VII. DAMPAK TRANSFER FISKAL TERHADAP KEMISKINAN DI INDONESIA

dokumen-dokumen yang mirip
5 HASIL DAN PEMBAHASAN

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

VII. ANALISIS KEBIJAKAN

III. METODE PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN

Pertumbuhan yang telah dicapai dari berbagai kebijakan akan memberi dampak positif terhadap penyerapan tenaga kerja, dan mengurangi angka pengangguran

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, sehingga harus disembuhkan atau paling tidak dikurangi. Permasalahan kemiskinan memang

Daftar Isi. Daftar Isi... i Daftar Tabel... iii Daftar Gambar... vii 1. PENDAHULUAN...1

VIII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN. produktivitas tenaga kerja di semua sektor.

III. METODE PENELITIAN

VIII. DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL TERHADAP EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

III. KERANGKA TEORITIS

V. TIPOLOGI KEMISKINAN DAN KERENTANAN

BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB VII KEBIJAKAN UMUM DAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis pertumbuhan..., Edi Tamtomo, FE UI, 2010.

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

Executive Summary Model Makro APBN: Dampak Kebijakan APBN terhadap Beberapa Indikator utama Pembangunan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

Bab V Validasi Model

VI. DAMPAK PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KEMISKINAN TERHADAP DEGRADASI LINGKUNGAN

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Selama pemerintahan orde baru sentralisasi kekuasaan sangat terasa dalam

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

VIII. DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP KEMISKINAN

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. 4.1 Kesimpulan. Berdasarkan hasil analisis, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai

Formula Dana Desa: CATATANKEBIJAKAN. No. 13, November Meningkatkan Tata Kelola Sumber Daya Alam dan Pelayanan Dasar

Tata Kelola Ekonomi Daerah & Kesejahteraan Masyarakat di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Problema kemiskinan terus menjadi masalah besar sepanjang sejarah sebuah

Jurnal Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Agriekonomika Volume 6, Nomor 2, 2017

BAB I PENDAHULUAN. menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KEMISKINAN

BAB I PENDAHULUAN. era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia (IPM), pembangunan manusia didefinisikan sebagai a process

BAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. implementasi kebijakan desentralisasi fiskal di Provinsi Sulawesi Barat. Bab ini

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Perkembangan Kinerja Keuangan Kabupaten/Kota

PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN DANA ALOKASI UMUM TERHADAP BELANJA MODAL PADA KABUPATEN GORONTALO

ABSTRAK. Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, Flypaper Effect.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Pemerintah Kabupaten/Kota Se propinsi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program

DAFTAR PUSTAKA. and C. T. Morris Economic Growth and Social Equity in Developing Countries. Stanford University Press, Oxford.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut

IV. METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. wewenang pelaksanaan pemerintahan diserahkan kepada daerah itu sendiri secara

BAB I PENDAHULUAN. finansial Pemerintah Daerah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

BAB I PENDAHULUAN. mengenai pemerintah kabupaten/kota dan UU Nomor 25 tahun 1999 mengenai

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi

DAMPAK FAKTOR EKSTERNAL DAN INTERNAL TERHADAP KINERJA EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI PLASMA

RINGKASAN PENERAPAN PENGANGGARAN PARTISIPATIF DI TINGKAT DESA

BAB I PENDAHULUAN. sejak Proklamasi Kemerdekaan hingga saat ini menarik untuk dicermati. Era

I. PENDAHULUAN. percepatan terwujudnya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat (Bappenas,

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Otonomi daerah atau sering disebut desentralisasi fiskal mengharuskan

I. PENDAHULUAN. Sebelum otonomi daerah tahun 2001, Indonesia menganut sistem

BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. membiayai pembangunan dan pelayanan atas dasar keuangan sendiri (Anzar, tangan dari pemerintah pusat (Fitriyanti & Pratolo, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya pembangunan nasional di negara-negara berkembang. difokuskan pada pembangunan ekonomi dalam rangka upaya pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. adanya otonomi daerah maka masing-masing daerah yang terdapat di Indonesia

BAB III METODE PENELITIAN. Utara. Series data yang digunakan dari tahun

BAB I PENDAHULUAN. Sejak big bang decentralization yang menandai era baru pemerintahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Pertumbuhan

1. PENDAHULUAN. merupakan salah satu unsur belanja langsung. Belanja modal merupakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 tahun

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembangunan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, dan teori konvergensi.

BAB I PENDAHULUAN. daerah. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang. Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Tuntutan reformasi yang mengemuka setelah era Orde Baru, salah

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB 5 PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Ringkasan Hasil Regresi

III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI DAN HIPOTESIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sumber pendapatan daerah. DAU dialokasikan berdasarkan presentase tertentu

I. PENDAHULUAN. yang lebih baik dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Pembangunan

BAB 3 METODE PENELITIAN. 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif dengan menggunakan data panel (pool data).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan kemampuan memproduksi barang dan jasa sebagai akibat

I. PENDAHULUAN. mendorong dan meningkatkan stabilitas, pemerataan, pertumbuhan dan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB III. METODE PENELITIAN

Transkripsi:

VII. DAMPAK TRANSFER FISKAL TERHADAP KEMISKINAN DI INDONESIA Secara teoritis, tujuan dari suatu simulasi kebijakan adalah untuk menganalisis dampak dari berbagai alternatif atau skenario kebijakan dengan jalan mengubah nilai peubah atau instrument kebijakan (policy instrument)-nya. Untuk mengetahui apakah model yang dibangun cukup baik untuk digunakan dalam simulasi kebijakan, maka dilakukan validasi model. Menurut Pyndick dan Rubinfeld (1991), tujuan melakukan validasi adalah untuk mengetahui sejauhmana nilai estimasi itu sesuai dengan nilai aktual dari masing-masing peubah endogen. Ada beberapa kriteria statistik yang dapat digunakan untuk menilai sahih (valid) atau tidaknya model, diantaranya adalah root mean square error (RMSE), root mean square percent error (RMSPE), dan Theil s Inequality coefficient (TIC) atau lebih popular dengan notasi U. Namun karena dalam studi ini yang dilakukan hanya terbatas pada simulasi kebijakan, dan tidak melakukan peramalan (forecasting), maka tidak semua kriteria statistik yang dikemukakan itu relevan untuk digunakan. Dalam studi ini, kriteria statistik yang lebih tepat atau relevan untuk digunakan adalah nilai bias (U M ), dimana kalau nilai U M makin mendekati nol, maka itu berarti model yang bersangkutan cukup baik untuk digunakan dalam simulasi kebijakan. Berdasarkan hasil validasi model yang dilakukan, diketahui bahwa hampir semua nilai U M adalah mendekati nol, yang berarti model ini cukup baik untuk digunakan dalam melakukan simulasi kebijakan (lihat Lampiran 5).

7.1. Dampak Kenaikan Bagi Hasil Pajak (BHPJK) Sebesar 10 Persen Terhadap Kemiskinan di Indonesia Simulasi skenario kebijakan yang pertama (S1) yang dilakukan melalui peningkatan bagi hasil pajak sebesar 10 persen menyebabkan berbagai jenis penerimaan asli daerah seperti pajak (PJKK), retribusi (RETRK), dan penerimaan asli daerah lainnya (PADL) mengalami kenaikan, yang pada gilirannya mendorong total penerimaan asli daerah (PADK) juga meningkat sebesar 2.27 persen. Selanjutnya, peningkatan yang terjadi pada PADK tersebut menyebabkan berbagai jenis pengeluaran pemerintah daerah juga mengalami peningkatan. Lebih jauh, meningkatnya pengeluaran pemerintah terutama untuk pembangunan sektor pertanian (PEPBA) dan sektor non pertanian (PEPBNA), menyebabkan output di kedua sektor tersebut (PDRBA dan PDRBNA) dan juga total output (PDRB) mengalami peningkatan. Peningkatan PDRB selanjutnya mendorong peningkatan pada pendapatan per kapita (YCAP) sebesar 2.59 persen. Pertanyaannya adalah bagaimana dampak akhir dari semua ini terhadap kemiskinan di Indonesia? Seperti yang telah dikemukakan pada bagian-bagian sebelumnya, transfer fiskal mempengaruhi kemiskinan melalui blok fiskal, dimana blok fiskal ini pada gilirannya mempengaruhi blok output dan tenaga kerja, selanjutnya blok output mempengaruhi blok pengeluaran dan blok distribusi pendapatan. Akhinya, secara bersama-sama blok pengeluaran dan blok distribusi pendapatan mempengaruhi blok kemiskinan.

Kenaikan pendapatan per kapita (YCAP) tersebut di atas, di satu sisi menyebabkan pengeluaran per kapita, baik di perdesaan (RPCE) maupun perkotaan (UPCE) mengalami kenaikan masing-masing sebesar 0.23 persen dan 0.42 persen. Namun disisi yang lain, kenaikan pendapatan per kapita tersebut ternyata juga menyebabkan indeks Gini baik di perdesaan (RGINI) maupun pekotaan (UGINI) mengalami kenaikan dengan persentase kenaikan yang jauh lebih besar daripada kenaikan yang terjadi pada pengeluaran per kapita tersebut, yaitu berturut-turut sebesar 0.93 persen dan 1.53 persen (lihat Lampiran 9). Tabel 18. Dampak Kenaikan Bagi Hasil Pajak Sebesar 10 Persen Terhadap Kemiskinan di Indonesia Dasar Simulasi (%) Nama Peubah Endogen Satuan Kemiskinan Perdesaan (Rural Poverty) : Tingkat Kemiskinan Perdesaan (RHCI) Persen 25.3263 26.1005 3.06 Indeks Kedalaman Kemiskinan Perdesaan (RPGI) Persen 5.5096 5.7750 4.82 Indeks Keparahan Kemiskinan Perdesaan (RPSI) Persen 1.8380 1.9558 6.41 Kemiskinan Perkotaan (Urban Poverty) : Tingkat Kemiskinan Perkotaan (UHCI) Persen 9.2270 9.3765 1.62 Indeks Kedalaman Kemiskinan Perkotaan (UPGI) Persen 1.5788 1.6083 1.87 Indeks Keparahan Kemiskinan Perkotaan (UPSI) Persen 0.5105 0.5193 1.72 Oleh karena pengeluaran per kapita memiliki pengaruh terhadap kemiskinan dengan tanda negatif, maka itu berarti kenaikan dalam pengeluaran per kapita akan mendorong kemiskinan mengalami penurunan. Sebaliknya, karena indeks Gini berpengaruh positif terhadap berbagai ukuran kemiskinan, maka kenaikan pada indeks Gini itu akan menyebabkan berbagai ukuran kemiskinan tersebut semakin meningkat. Namun mengingat berbagai ukuran kemiskinan tersebut, baik di daerah perdesaan maupun perkotaan memiliki hubungan yang lebih elastis dengan peubah indeks Gini dibandingkan dengan peubah pengeluaran per kapita, maka dampak akhir dari

kenaikan bagi hasil pajak tersebut adalah meningkatnya kemiskinan, baik di daerah perdesaan maupun perkotaan. Hasil simulasi skenario kebijakan S1 yang dilakukan dengan meningkatkan bagi hasil pajak (BHPJK) sebesar 10 persen, menyebabkan kemiskinan di daerah perdesaan dengan berbagai ukurannya mengalami kenaikan berturut-turut sebesar 3.06 persen (RHCI), 4.82 persen (RPGI), dan 6.41 persen (RPSI). Pada saat yang sama berbagai ukuran kemiskinan perkotaan, meningkat masing-masing sebesar 1.62 persen (UHCI), 1.87 persen (UPGI), dan 1.72 persen (UPSI) (lihat Tabel 18). Disini tampak bahwa kemiskinan di daerah perdesaan lebih sensitif terhadap perubahan dalam kebijakan (policy shock) daripada kemiskinan di daerah perkotaan. Hal ini terjadi karena di daerah perdesaan variasi kegiatan ekonomi masyarakat lebih terbatas, dimana hanya didominasi oleh satu jenis kegiatan yaitu pertanian. Keadaan ini menyebabkan kehidupan ekonomi perdesaan menjadi sangat rentan (vulnerable) terhadap berbagai guncangan (shocks) yang terjadi termasuk kalau terjadi perubahan dalam kebijakan pemerintah (policy shock). Sebaliknya, di perkotaan karena kegiatan ekonominya lebih bervariasi dimana pilihan bagi masyarakat lebih beragam, maka apabila terjadi suatu guncangan misalnya perubahan dalam kebijakan (policy shock) tidak akan banyak menimbulkan guncangan (shocks) yang berarti terhadap kehidupan ekonomi masyarakatnya seperti yang terjadi di daerah perdesaan. 7.2. Dampak Kenaikan Bagi Hasil Bukan Pajak (BHBPJK) Sebesar 10 Persen Terhadap Kemiskinan di Indonesia Dari sisi fiskal daerah, skenario kebijakan yang kedua (S2) yang dilakukan dengan menaikkan bagi hasil bukan pajak (BHBPJK) sebesar 10 persen, telah menye-

babkan PADK, dan pengeluaran pembangunan untuk sektor pertanian (PEPBA) dan pengeluaran pembangunan sektor non pertanian (PEPBNA) mengalami kenaikan dengan persentase masing-masing sebesar 2.47 persen, 1.07 persen dan 2.25 persen. Selanjutnya, kenaikan dalam pengeluaran pembangunan sektor pertanian dan non pertanian itu, pada gilirannya mendorong PDRB di kedua sektor tersebut dan pendapatan per kapita (YCAP) mengalami kenaikan. Dalam hal ini, pendapatan per kapita mengalami peningkatan sebesar 3.95 persen, lebih tinggi bila dibandingkan dengan kenaikan pendapatan per kapita yang terjadi ketika skenario kebijakan yang pertama (S1) diterapkan, dimana pendapatan per kapita hanya meningkat dengan persentase kenaikan sebesar 2.59 persen. Tabel 19. Dampak Kenaikan Bagi Hasil Bukan Pajak Sebesar 10 Persen Terhadap Kemiskinan di Indonesia Dasar Simulasi Nama Peubah Endogen Satuan Kemiskinan Perdesaan (Rural Poverty) : Tingkat Kemiskinan Perdesaan (RHCI) Persen 25.3263 25.5688 0.96 Indeks Kedalaman Kemiskinan Perdesaan (RPGI) Persen 5.5096 5.5952 1.55 Indeks Keparahan Kemiskinan Perdesaan (RPSI) Persen 1.8380 1.8765 2.09 Kemiskinan Perkotaan (Urban Poverty) : Tingkat Kemiskinan Perkotaan (UHCI) Persen 9.2270 9.2676 0.44 Indeks Kedalaman Kemiskinan Perkotaan (UPGI) Persen 1.5788 1.5838 0.32 Indeks Keparahan Kemiskinan Perkotaan (UPSI) Persen 0.5105 0.5107 0.04 (%) Dampak lebih jauh dari kenaikan bagi hasil bukan pajak adalah meningkatnya pengeluaran per kapita di perdesaan (RPCE) dan pengeluaran per kapita di perkotaan (UPCE) dengan persentase masing-masing sebesar 0.34 persen dan 0.62 persen. Pada saat yang sama, indeks Gini baik di perdesaan maupun perkotaan juga mengalami kenaikan dengan persentase kenaikan masing-masing sebesar 0.41 persen dan 0.56 persen (lihat Lampiran 9). Mengingat kemiskinan lebih sensitif terhadap indeks Gini, maka skenario inipun telah mendorong kemiskinan baik di daerah perdesaan maupun

perkotaan mengalami kenaikan, namun kenaikannya tidak sebesar ketika skenario kebijakan yang pertama (S1) dijalankan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dari sisi kemiskinan skenario ini lebih baik daripada skenario kebijakan yang pertama (S1) karena menyebabkan kenaikan terhadap berbagai ukuran kemiskinan dengan persentase kenaikan yang jauh lebih kecil (lihat Tabel 19). Disini terlihat bahwa kemiskinan di daerah perdesaan kembali menunjukkan persentase kenaikan yang lebih besar dibandingkan dengan kemiskinan di daerah perkotaan. 7.3. Dampak Kenaikan Dana Alokasi Umum (DAUK) Sebesar 1.25 Persen Terhadap Kemiskinan di Indonesia Hasil simulasi skenario kebijakan yang ketiga (S3) yang dilakukan melalui peningkatan Dana Alokasi Umum (DAUK) sebesar 1.25 persen, ternyata memiliki dampak yang jauh lebih kecil terhadap hampir semua blok yang ada dalam model. Pada blok fiskal, kenaikan Dana Alokasi Umum (DAUK) sebesar 1.25 persen itu, hanya mampu meningkatkan penerimaan asli daerah (PADK), pengeluaran pembangunan sektor pertanian (PEPBA) dan pengeluaran pembangunan untuk sektor non pertanian (PEPBNA), berturut-turut sebesar 0.60 persen, 0.32 persen, dan 0.54 persen. Konsisten dengan dampak kenaikan yang ditimbulkan terhadap blok fiskal, kenaikan DAUK sebesar 1.25 persen tersebut juga menyebabkan kenaikan yang relatif kecil pada blok output dan tenaga kerja, dimana PDRB sektor pertanian, PDRB sektor non pertanian, dan pendapatan per kapita (YCAP) hanya mengalami kenaikan masing-masing sebesar 0.15 persen, 0.75 persen, dan 0.68 persen. Sedangkan penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian (TKA) dan penyerapan tenaga kerja di

sektor non pertanian (TKNA), mengalami kenaikan masing-masing sebesar 0.15 persen dan 0.85 persen. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimanakah sesungguhnya dampak akhir dari kenaikan DAUK sebesar 1.25 persen itu terhadap kemiskinan di Indonesia? Hasil simulasi menunjukkan bahwa kenaikan pendapatan per kapita (YCAP) yang terjadi sebagai akibat dari adanya kenaikan DAUK tersebut, telah menyebabkan pengeluaran rata-rata per kapita perdesaan (RPCE) dan perkotaan (UPCE) meningkat masing-masing sebesar 0.06 persen dan 0.14 persen. Namun, pada saat yang sama kenaikan pendapatan per kapita tersebut juga telah menyebabkan indeks Gini perdesaan (RGINI) maupun indeks Gini perkotaan (UGINI) mengalami kenaikan dengan persentase yang jauh lebih besar daripada kenaikan yang ditimbulkan terhadap pengeluaran rata-rata per kapita perdesaan ataupun perkotaan, yaitu masingmasing sebesar 0.28 persen dan 0.46 persen. Oleh karena kemiskinan memiliki hubungan yang lebih elastis dengan ketimpangan pendapatan (indeks Gini), maka dengan adanya kenaikan dalam indeks Gini yang jauh lebih besar daripada kenaikan dalam pengeluaran rata-rata per kapita, telah mendorong kemiskinan baik di daerah perdesaan maupun perkotaan dengan berbagai ukurannya juga mengalami kenaikan atau peningkatan. Tingkat kemiskinan di daerah perdesaan (RHCI) mengalami kenaikan sebesar 0.96 persen, sementara tingkat kemiskinan di perkotaan (UHCI) mengalami kenaikan sebesar 0.51 persen. Indeks kedalaman kemiskinan (RPGI) dan indeks keparahan kemiskinan di daerah perdesaan (RPSI) meningkat masing-masing sebesar 1.03 persen dan 2.00 persen; sedangkan di

daerah perkotaan hanya meningkat dengan persentase yang jauh lebih kecil yaitu masing-masing sebesar 0.60 persen (UPGI) dan 0.57 persen (UPSI) (lihat Tabel 20). Tabel 20. Dampak Kenaikan Dana Alokasi Umum Sebesar 1.25 Persen Terhadap Kemiskinan di Indonesia Nama Peubah Endogen Satuan Dasar Simulasi Kemiskinan Perdesaan (Rural Poverty) : Tingkat Kemiskinan Perdesaan (RHCI) Persen 25.3263 25.569 0.96 Indeks Kedalaman Kemiskinan Perdesaan (RPGI) Persen 5.5096 5.5927 1.51 Indeks Keparahan Kemiskinan Perdesaan (RPSI) Persen 1.8380 1.8748 2.00 Kemiskinan Perkotaan (Urban Poverty) : Tingkat Kemiskinan Perkotaan (UHCI) Persen 9.2270 9.2741 0.51 Indeks Kedalaman Kemiskinan Perkotaan (UPGI) Persen 1.5788 1.5882 0.60 Indeks Keparahan Kemiskinan Perkotaan (UPSI) Persen 0.5105 0.5134 0.57 Dari hasil simulasi seperti yang disajikan dalam Tabel 20, tampak bahwa kenaikan transfer fiskal, dalam hal ini DAUK kembali menyebabkan kenaikan yang lebih besar terhadap kemiskinan di daerah perdesaan daripada kemiskinan di daerah perkotaan. Dari ketiga skenario kebijakan tersebut di atas, yaitu yang dilakukan dengan menaikan bagi hasil pajak (S1) sebesar 10 persen, menaikan bagi hasil bukan pajak (S2) sebesar 10 persen, dan/atau menaikan dana alokasi umum (S3) sebesar 1.25 persen, maka jelas skenario kebijakan yang pertama (S1) merupakan skenario yang harus dihindari sebab skenario tersebut dapat menyebabkan kenaikan dalam kemiskinan dengan persentase kenaikan tertinggi. Skenario kedua (S2) dan ketiga (S3), dari sisi kemiskinan dampak yang ditimbulkan cukup menarik. Skenario kebijakan S2, terlihat lebih efektif untuk menurunkan kemiskinan di daerah perkotaan, sedangkan skenario kebijakan S3 lebih efektif untuk mengurangi kemiskinan di daerah perdesaan. Namun, kalau kedua skenario kebijakan ini dicermati betul terutama dari sisi kemiskinan, maka akan terlihat bahwa dampak yang ditimbulkan kedua skenario kebijakan tersebut terhadap kemiskinan sesungguhnya tidak terlalu berbeda jauh. Oleh karena itu, untuk menentukan skenario mana yang akan dipilih, maka harus (%)

dilihat dampaknya terhadap blok-blok yang lain. Dari sisi fiskal, output, kesempatan kerja, dan pengeluaran rata-rata per kapita, maka skenario kebijakan yang kedua (S2) nampaknya akan menjadi pilihan terbaik sebab skenario ini memiliki dampak yang relatif lebih besar apabila dibandingkan dengan skenario kebijakan yang ketiga (S3). Skenario kebijakan yang kedua (S2) menyebabkan kenaikan dalam pendapatan per kapita (YCAP) dan pengeluaran rata-rata per kapita (RPCE dan UPCE) yang relatif lebih besar dibandingkan dengan dampak yang ditimbulkan oleh skenario kebijakan yang pertama (S1) dan skenario kebijakan yang ketiga (S3). Skenario kebijakan yang kedua (S2) yang dilakukan melalui peningkatan bagi hasil bukan pajak (BHBPJK), menyebabkan pendapatan per kapita (YCAP), pengeluaran rata-rata per kapita perdesaan (RPCE) dan pengeluaran rata-rata per kapita perkotaan (UPCE) mengalami kenaikan masing-masing sebesar 3.95 persen, 0.34 persen, dan 0.62 persen (lihat Lampiran 9). 7.4. Dampak Kenaikan Bagi Hasil Pajak (BHPJK) dan Bagi Hasil Bukan Pajak (BHBPJK), Masing-masing Sebesar 10 Persen Terhadap Kemiskinan di Indonesia Skenario kebijakan yang keempat (S4) yang merupakan kombinasi skenario kebijakan yang pertama (S1) dan skenario kebijakan yang kedua (S2) yang dilakukan dengan menaikan bagi hasil pajak (BHPJK) dan bagi hasil bukan pajak (BHBPJK) masing-masing sebesar 10 persen, ternyata memiliki dampak ekspansif paling besar terhadap semua blok yang ada dalam model termasuk blok kemiskinan, dibandingkan dengan kombinasi skenario kebijakan lainnya (S5 dan S6). Dengan demikian, dari sisi distribusi pendapatan dan kemiskinan, jelas bahwa skenario kebijakan S4 tidak

akan dipilih, sebab memiliki dampak inequalizing yang besar terhadap distribusi pendapatan, yang pada gilirannya semakin memperburuk kondisi kemiskinan yang ada. Dengan skenario kebijakan S4, maka akan menyebabkan berbagai ukuran kemiskinan baik di daerah perdesaan maupun perkotaan mengalami kenaikan antara 5.06 10.67 persen untuk perdesaan dan antara 2.49 2.90 persen untuk daerah perkotaan, yang berarti jauh lebih besar bila dibandingkan dengan skenario kebijakan S5 dan S6 (lihat Tabel 21). Dalam hal ini, terjadi semacam trade-off antara untuk mengurangi ketimpangan pendapatan dan kemiskinan di satu pihak, dengan tujuan untuk meningkat penyerapan tenaga kerja (employment) dan output di lain pihak. Artinya, kalau tujuan yang ingin dicapai adalah pengurangan ketimpangan pendapatan dan kemiskinan, maka skenario kebijakan S4 tersebut sebaiknya dihindari. Akan tetapi, kalau tujuan yang ingin dicapai terbatas pada peningkatan penyerapan tenaga kerja (employment) dan output, maka jelas skenario kebijakan S4 merupakan pilihan terbaik dibandingkan kombinasi kebijakan atau policy mix lainnya (skenario S5 dan S6). Tabel 21. Dampak Kenaikan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak Masing- Masing Sebesar 10 Persen Terhadap Kemiskinan di Indonesia Dasar Simulasi Nama Peubah Endogen Satuan Kemiskinan Perdesaan (Rural Poverty) : Tingkat Kemiskinan Perdesaan (RHCI) Persen 25.3263 26.6075 5.06 Indeks Kedalaman Kemiskinan Perdesaan (RPGI) Persen 5.5096 5.9505 8.00 Indeks Keparahan Kemiskinan Perdesaan (RPSI) Persen 1.8380 2.0342 10.67 Kemiskinan Perkotaan (Urban Poverty) : Tingkat Kemiskinan Perkotaan (UHCI) Persen 9.2270 9.4700 2.63 Indeks Kedalaman Kemiskinan Perkotaan (UPGI) Persen 1.5788 1.6246 2.90 Indeks Keparahan Kemiskinan Perkotaan (UPSI) Persen 0.5105 0.5232 2.49 (%) Persoalannya sekarang adalah tujuan manakah yang harus diprioritaskan, apakah peningkatan penyerapan tenaga kerja dan output ataukah pengurangan ketim-

pangan pendapatan dan kemiskinan?. Setiap pilihan sudah tentu akan memiliki cost, dan disinilah letak persoalannya. Andaikan yang diprioritaskan adalah peningkatan penyerapan tenaga kerja dan output, maka sebagai bayaran (cost)-nya adalah semakin meningkatnya ketimpangan pendapatan dan kemiskinan; sebaliknya kalau yang diprioritaskan adalah pengurangan ketimpangan pendapatan dan kemiskinan, maka bayarannya adalah pertumbuhan penyerapan tenaga kerja dan output akan terganggu, dalam arti pertumbuhan dari penyerapan tenaga kerja dan output itu tidak akan maksimal seperti ketika peningkatan penyerapan tenaga kerja dan output itu yang menjadi prioritas kebijakan. 7.5. Dampak Kenaikan Bagi Hasil Pajak (BHPJK) Sebesar 10 Persen dan Dana Alokasi Umum (DAUK) Sebesar 1.25 Persen Terhadap Kemiskinan di Indonesia Skenario kebijakan yang kelima (S5), yang dilakukan melalui peningkatan bagi hasil pajak (BHPJK) sebesar 10 persen dan dana alokasi umum (DAUK) sebesar 1.25 persen memiliki dampak terhadap blok fiskal yang lebih kecil dibandingkan dengan dampak yang ditimbulkan oleh skenario kebijakan S4 sebelumnya. Dengan skenario ini peubah blok fiskal hanya mengalami kenaikan dengan persentase antara 1.95 3.58 persen; sedangkan skenario S4 menyebabkan kenaikan antara 2.08 5.92 persen. Hal yang sama juga terjadi untuk blok-blok yang lainnya yaitu blok output, tenaga kerja, pengeluaran per kapita, distribusi pendapatan, dan kemiskinan. Dengan skenario kebijakan S5 ini menyebabkan berbagai ukuran kemiskinan di daerah perdesaan mengalami kenaikan antara 4.13-8.66 persen, dan perkotaan antara 2.19-2.54 persen (lihat Tabel 22). Tabel 22. Dampak Kenaikan Bagi Hasil Pajak dan Dana Alokasi Umum Masing-Masing Sebesar 10 Persen dan 1.25 Persen Terhadap

Kemiskinan di Indonesia Dasar Simulasi Nama Peubah Endogen Satuan Kemiskinan Perdesaan (Rural Poverty) : Tingkat Kemiskinan Perdesaan (RHCI) Persen 25.3263 26.3722 4.13 Indeks Kedalaman Kemiskinan Perdesaan (RPGI) Persen 5.5096 5.8679 6.50 Indeks Keparahan Kemiskinan Perdesaan (RPSI) Persen 1.8380 1.9971 8.66 Kemiskinan Perkotaan (Urban Poverty) : Tingkat Kemiskinan Perkotaan (UHCI) Persen 9.2270 9.4294 2.19 Indeks Kedalaman Kemiskinan Perkotaan (UPGI) Persen 1.5788 1.6189 2.54 Indeks Keparahan Kemiskinan Perkotaan (UPSI) Persen 0.5105 0.5226 2.37 (%) Dampak kenaikan yang ditimbulkan skenario ini terhadap kemiskinan, baik di daerah perdesaan maupun perkotaan masih sedikit lebih rendah bila dibandingkan dengan skenario kebijakan yang keempat (S4), dimana berbagai ukuran kemiskinan di daerah perdesaan mengalami kenaikan antara 5.06 10.67 persen, dan untuk daerah perkotaan antara 2.63 2.90 persen. Dengan demikian, dilihat baik dari sisi distribusi pendapatan dan pengurangan kemiskinan (poverty alleviation), skenario kebijakan yang kelima (S5) ini adalah lebih baik daripada skenario kebijakan S4, sebab dampak kenaikan yang ditimbulkan terhadap ketimpangan pendapatan dan kemiskinan relatif lebih kecil dibandingkan dengan skenario kebijakan S4. 7.6. Dampak Kenaikan Bagi Hasil Bukan Pajak (BHBPJK) Sebesar 10 Persen dan Dana Alokasi Umum (DAUK) Sebesar 1.25 Persen Terhadap Kemiskinan di Indonesia Adapun skenario kebijakan yang keenam (S6) yang dilakukan dengan menaikan bagi hasil bukan pajak (BHBPJK) dan dana alokasi umum (DAUK) masingmasing sebesar 10 persen dan 1.25 persen, ternyata memiliki dampak terhadap pengeluaran pembangunan sektor pertanian (PEPBA), output atau PDRB sektor peranian (PDRBA), dan penyerapan tenaga kerja sektor pertanian (TKA) yang jauh

lebih kecil dibandingkan dengan skenario kebijakan S4 dan S5 sebelumnya. Dengan skenario S6 ini, pengeluaran pembangunan sektor pertanian (PEPBA), output sektor pertanian (PDRBA), dan penyerapan tenaga kerja sektor pertanian (TKA), hanya mengalami kenaikan berturut-turut sebesar 1.39 persen, 0.64 persen, 0.65 persen; jauh dibawah kenaikan yang disebabkan oleh skenario kebijakan S4 dan S5. Hal yang menarik disini adalah walaupun skenario kebijakan S6 ini memiliki dampak kenaikan yang relatif lebih besar terhadap pendapatan per kapita (YCAP) yaitu 4.62 persen dibandingkan dengan dampak kenaikan yang ditimbulkan skenario kebijakan S5 yang hanya 3.27 persen, namun skenario kebijakan S6 ini ternyata memiliki inequalizing effect yang jauh lebih kecil terhadap distribusi pendapatan. Dengan skenario kebijakan S6 ini, indeks Gini di perdesaan dan perkotaan hanya naik masing-masing sebesar 0.73 persen dan 1.10 persen; sementara dengan skenario kebijakan S4 dan S5, indeks Gini perdesaan mengalami kenaikan masing-masing sebesar 1.62 persen dan 1.22 persen dan indeks Gini perkotaan naik sebesar 2.59 persen dan 2.06 persen. Akibat lebih lanjut, skenario kebijakan S6 inipun membawa dampak kenaikan terhadap kemiskinan, baik di daerah perdesaan maupun perkotaan yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan skenario S4 dan S5. Dengan skenario kebijakan S6 ini, berbagai ukuran kemiskinan di daerah perdesaan hanya mengalami kenaikan antara 2.02-4.32 persen dan di perkotaan mengalami kenaikan antara 0.67 1.01 persen (lihat Tabel 23), jauh dibawah kenaikan yang disebabkan oleh penerapan skenario kebijakan S4 dan S5. Tabel 23. Dampak Kenaikan Bagi Hasil Bukan Pajak (BHBPJK) Sebesar 10 Persen dan Dana Alokasi Umum (DAUK) Sebesar 1.25 Persen Terhadap Kemiskinan di Indonesia

Nama Peubah Endogen Satuan Dasar Simulasi (%) Kemiskinan Perdesaan (Rural Poverty) : Tingkat Kemiskinan Perdesaan (RHCI) Persen 25.3263 25.8381 2.02 Indeks Kedalaman Kemiskinan Perdesaan (RPGI) Persen 5.5096 5.6873 3.23 Indeks Keparahan Kemiskinan Perdesaan (RPSI) Persen 1.8380 1.9174 4.32 Kemiskinan Perkotaan (Urban Poverty) : Tingkat Kemiskinan Perkotaan (UHCI) Persen 9.2270 9.3201 1.01 Indeks Kedalaman Kemiskinan Perkotaan (UPGI) Persen 1.5788 1.5944 0.99 Indeks Keparahan Kemiskinan Perkotaan (UPSI) Persen 0.5105 0.5139 0.67 Hal ini menunjukkan bahwa sekalipun kenaikan bagi hasil bukan pajak (BHBPJK) sebesar 10 persen dan dana alokasi umum (DAUK) sebesar 1.25 persen telah menyebabkan kenaikan terhadap kemiskinan, baik kemiskinan di daerah perdesaan maupun perkotaan, namun dampak kenaikan yang ditimbulkan oleh skenario ini terhadap kemiskinan baik di daerah perdesaan maupun perkotaan adalah yang paling kecil bila dibandingan dengan kombinasi kebijakan lainnya (S4 dan S5). Dengan demikian, dapat dikatakan dari sisi distribusi pendapatan dan pengurangan kemiskinan, kombinasi kebijakan (policy mix) ini merupakan pilihan terbaik, sekalipun skenario kebijakan ini memiliki dampak yang sangat kecil terhadap output dan penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian. 7.7. Dampak Kenaikan Bagi Hasil Pajak (BHPJK) dan Bagi Hasil Bukan Pajak (BHBPJK) masing-masing Sebesar 10 Persen dan Dana Alokasi Umum (DAUK) sebesar 1.25 Persen Terhadap Kemiskinan di Indonesia Hasil simulasi skenario kebijakan yang ketujuh (S7) yang merupakan kombinasi dari skenario kebijakan S1, S2, dan S3, menunjukkan bahwa kenaikan bagi hasil pajak (BHPJK) dan bagi hasil bukan pajak (BHBPJK) masing-masing sebesar 10 persen, dan dana alokasi umum (DAUK) sebesar 1.25 persen, telah menyebabkan indeks Gini, baik untuk daerah perdesaan (RGINI) maupun perkotaan

(UGINI) meng-alami kenaikan dengan persentase masing-masing sebesar 2.03 persen dan 3.35 persen, jauh lebih besar dibandingkan dengan kenaikan yang terjadi pada pengeluaran rata-rata per kapita untuk daerah perdesaan (RPCE) dan perkotaan (UPCE), yang masing-masing hanya sebesar 0.62 persen dan 1.11 persen. Dengan adanya kenaikan indeks Gini yang lebih besar daripada kenaikan pengeluaran per kapita, dan mengingat berbagai ukuran kemiskinan, baik di daerah perdesaan maupun perkotaan memiliki hubungan yang cenderung lebih responsif atau elastis terhadap perubahan dalam indeks Gini, maka dampak akhir dari penerapan dari skenario kebijakan S7 ini dapat dipastikan akan semakin memperburuk kondisi kemiskinan yang ada. Dengan skenario kebijakan S7 ini, berbagai ukuran kemiskinan di perdesaan mengalami kenaikan antara 6.58 13.85 persen, sedangkan di perkotaan mengalami kenaikan antara 3.43 3.88 persen (lihat Tabel 24). Tabel 24. Dampak Kenaikan Bagi Hasil Pajak, Bagi Hasil Bukan Pajak dan Dana Alokasi Umum Masing-Masing Sebesar 10 Persen, 10 Persen dan 1.25 Persen Terhadap Kemiskinan di Indonesia Dasar Simulasi Nama Peubah Endogen Satuan Kemiski nan Perdesaan (Rural Poverty) : Tingkat Kemiskinan Perdesaan (RHCI) Persen 25.3263 26.9923 6.58 Indeks Kedalaman Kemiskinan Perdesaan (RPGI) Persen 5.5096 6.082 10.39 Indeks Keparahan Kemiskinan Perdesaan (RPSI) Persen 1.8380 2.0925 13.85 Kemiskinan Perkotaan (Urban Poverty) : Tingkat Kemiskinan Perkotaan (UHCI) Persen 9.2270 9.5455 3.45 Indeks Kedalaman Kemiskinan Perkotaan (UPGI) Persen 1.5788 1.6400 3.88 Indeks Keparahan Kemiskinan Perkotaan (UPSI) Persen 0.5105 0.5280 3.43 Simulasi terhadap berbagai skenario kebijakan menunjukkan adanya indikasi dimana kenaikan transfer fiskal yang mencakup bagi hasil pajak (BHPJK), bagi hasil bukan pajak (BHBPJK), dan dana alokasi umum (DAUK), ternyata memiliki dampak yang cenderung semakin memperburuk ketimpangan dalam distribusi pendapatan (%)

(inequalizing effects) dan meningkatkan kemiskinan (poverty increasing), baik di daerah perdesaan maupun perkotaan. Hasil temuan ini sekaligus menunjukkan bahwa bantuan atau transfer fiskal bukanlah segalanya (fiscal transfers is not everything). Transfer fiskal bukanlah obat mujarab (is not a panacea) yang dapat memecahkan semua persoalan sekaligus. Transfer fiskal hanyalah salah satu saja dari sekian banyak instrumen fiskal, dan satu hal yang perlu disadari adalah bahwa efektif atau tidaknya transfer fiskal dalam mengurangi kemiskinan tidak hanya ditentukan oleh besarnya transfer fiskal saja, tetapi ada banyak faktor lain yang diduga ikut berperan di dalamnya. Sejumlah studi yang dilakukan para ahli menunjukkan bahwa tata kelola pemerintahan dan kelembagaan termasuk di dalamnya desain dari program transfer fiskal yang bersangkutan merupakan faktor yang memiliki kontribusi penting. Studi yang dilakukan Kaufmann, et al (1999) dari Bank Dunia, menunjukkan bahwa tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) merupakan hal yang sangat dalam kinerja perekonomian suatu negara. Studi tersebut menunjukkan bahwa kenaikan satu standar deviasi pada salah satu infikator tata kelola pemerintahan menyebabkan kenaikan dua setengah sampai empat kali lipat dari pendapatan per kapita, penurunan dua setengah sampai empat kali lipat pada angka kematian bayi, dan kenaikan sebesar 15 sampai 25 persen pada angka kemampuan membaca (literacy rate) penduduk. Studi lain adalah oleh Rajkumar dan Swaroop (2002) yang menemukan bahwa efisiensi dalam pengeluaran publik menurunkan angka kematian bayi, menaikkan tingkat pendidikan penduduk, dan berhubungan positif dengan tata kelola pemerintahan. Pengeluaran publik menjadi lebih efektif apabila terdapat tata kelola pemerin-

tahan yang baik, dan sebaliknya menjadi kurang efektif apabila tata kelola pemerintahannya buruk (lihat Sumarto et al, 2004). Penelitian yang dilakukan SMERU Research Institute pada tahun 2004 menemukakan beberapa hal menarik sebagai berikut (1) terdapat indikasi yang kuat adanya korelasi antara berbagai kategori budaya birokrasi (disruptive, kurang kondusif, kondusif, sangat kondusif) terhadap iklim usaha dengan tingkat penurunan jumlah penduduk miskin. Pada kabupaten/kota yang birokrasi pemerintahannya berkarakter kurang kondusif, proporsi penurunan jumlah penduduk miskin yang terjadi hanya sebesar 3.4 persen. Sedangkan pada kabupaten/kota yang budaya birokrasinya berkarakter kondusif mengalami penurunan jumlah penduduk miskin yang jauh lebih besar lagi yaitu mencapai 15 persen. (2) hasil regresi perubahan jumlah penduduk miskin dengan peubah dummy budaya birokrasi (kondusif dan sangat kondusif), log GRDP per kapita, log belanja rutin pemerintah, log belanja pembangunan per kapita, dan log PAD per kapita, menunjukkan bahwa hanya peubah dummy budaya birokrasi yang secara statistik signifikan. Temuan ini mengkonfirmasikan hasil analisis bivariat yang mengindikasikan bahwa bentuk tata kelola pemerintahan yang dijalankan dengan baik oleh kabupaten/kota mempunyai pengaruh terhadap laju penurunan jumlah penduduk miskin di daerah yang bersangkutan. Studi yang dilakukan Rao, et al (1998) di Vietnam menunjukkan bahwa keberhasilan kebijakan desentralisasi fiskal dalam mengurangi kemiskinan di negara tersebut sangat ditentukan oleh faktor kelembagaan. Artinya, bagaimana institusiinstitusi pemerintah yang ada itu dapat digerakkan dan diarahkan untuk meningkatkan efisiensi dalam penyampaian berbagai layanan publik dan mempercepat pertum-

buhan ekonomi termasuk di dalamnya untuk mengurangi kemiskinan, dianggap merupakan hal yang penting. Faktor perilaku fiskal (fiscal behaviour) pejabat lokal diduga kuat ikut berperan di dalmnya. Data fiskal menunjukkan bahwa setelah kebijakan desentralisasi fiskal itu diterapkan, ada kecenderungan dimana pengeluaran-pengeluaran daerah untuk keperluan rutin mengalami peningkatan yang sangat besar, sebaliknya share pengeluaran pembangunan di dalam keseluruhan pengeluaran kabupaten/kota cenderung mengecil. Hal ini barangkali yang menjadi salah faktor penyebab mengapa transfer fiskal belum memberikan dampak seperti yang diharapkan. Selain itu, terdapat indikasi kuat bahwa dengan adanya transfer fiskal dari yang sangat besar yang dikucurkan ke Daerah setelah kebijakan desentralisasi fiskal diterapkan, ada kecenderungan dikalangan elite pemerintah kabupaten/kota terjadi semacam apa yang oleh Bird dan Fiszbein (1998) istilahkan sebagai kemalasan fiskal (fiscal laziness). Artinya, pejabat cenderung bermalas-malasan dan kurang ada upaya untuk bagaimana memacu dan meningkatkan kinerja fiskal daerahnya, termasuk di dalamnya untuk mengurangi kemiskinan. Hal ini jelas sekali karena kapasitas fiskal daerah dan poverty gap index (P1) dimasukkan ke dalam formula DAU yang digunakan Deparetmen Keuangan dalam menentukan besarnya DAU yang dapat diberikan kepada suatu kabupaten/kota. Artinya, kabupaten/kota yang memiliki kapasitas fiskal rendah dan indeks kemiskinan tinggi, memiliki peluang untuk mendapatkan jumlah DAU yang lebih besar, daripada kabupaten/kota yang kapasitas fiskalnya tinggi dan indeks kemiskinannya rendah. Oleh karena itu, wajar saja kalau ada keengganan

dikalangan pejabat pemerintah daerah untuk meningkatkan kapasitas fiskal dan/atau menurunkan jumlah dan tingkat kemiskinan di daerahnya. Selain itu, desentralisasi fiskal dan otonomi daerah baru berjalan dua tahun ketika studi ini diadakan. Pengalaman menunjukkan bahwa selama kurang lebih 30 tahun pengelolaan pembangunan di Indonesia dikendalikan secara terpusat dan daerah kurang mendapatkan atau diberi kesempatan untuk terlibat di dalamnya. Akibatnya, daerah menjadi tidak siap ketika tiba saatnya kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah diterapkan. Oleh karena itu, bukan sesuatu yang mengejutkan apabila transfer fiskal dalam studi ini belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan. Secara keseluruhan hasil simulasi kebijakan yang dilakukan dapat dirangkum dalam butir-butir sebagai berikut : 12. Secara individual, skenario kebijakan yang pertama (S1) yang dilakukan melalui peningkatan bagi hasil pajak (BHPJK) sekalipun memiliki dampak positif yang besar terhadap penerimaan dan pengeluaran daerah, output dan penyerapan tenaga kerja, namun melihat dampak skenario ini terutama dari sisi distribusi pendapatan dan pengurangan kemiskinan ternyata kurang bagus. 13. Skenario kebijakan yang kedua (S2) yang dilakukan melalui peningkatan bagi hasil bukan pajak (BHBPJK), selain memiliki dampak positif yang cukup besar terhadap penerimaan dan pengeluaran daerah, output dan penyerapan kerja (kecuali untuk sektor pertanian), juga memiliki dampak paling besar terhadap pengeluaran per kapita baik di perdesaan maupun perkotaan, dibandingkan dengan skenario kebijakan S1 ataupun S3.

14. Adapun skenario kebijakan yang ketiga (S3), yang dilakukan melalui peningkatan dana alokasi umum (DAUK), selain memiliki dampak yang kecil terhadap penerimaan dan pengeluaran daerah, output atau PDRB, penyerapan tenaga kerja, dan pengeluaran per kapita, dampaknya terhadap ketimpangan pendapatan dan kemiskinan di daerah juga ternyata tidak lebih baik dibandingkan dengan skenario kebijakan melalui peningkatan bagi hasil bukan pajak. 15. Bertitik tolak dari butir 1 3, dapat dikatakan bahwa secara individual skenario kebijakan yang kedua (S2) yang dilakukan dengan menaikkan bagi hasil bukan pajak merupakan pilihan terbaik dilihat dari berbagai sisi yaitu penerimaan dan pengeluaran daerah, output dan penyerapan tenaga kerja, ketimpangan pendapatan dan pengurangan kemiskinan. 16. Apabila dilakukan kombinasi kebijakan (policy mix), maka skenario kebijakan yang keenam (S6) yaitu kombinasi kebijakan S2 dan S3 adalah merupakan pilihan terbaik sebab skenario kebijakan S6 ini memiliki dampak inequalizing terhadap distribusi pendapatan yang relatif kecil dan juga dampak kenaikan yang ditimbulkan terhadap kemiskinan adalah yang paling kecil dibandingkan dengan skenario kebijakan yang keempat (S4) ataupun skenario kebijakan yang kelima (S5).