BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peristiwa yang menyenangkan maupun peristiwa yang tidak menyenangkan.

BAB II LANDASAN TEORI. Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological

Paket 10 PSYCHOLOGICAL WELL BEING

BAB II LANDASAN TEORI. sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis dalam satu

HUBUNGAN ANTARA SELF ESTEEM DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA REMAJA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. perspektif besar mengenai psychological well being yang diturunkan dari dua

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) pada buku karangan Aristotetea yang berjudul Nicomacheon Ethics

BAB II TINJAUAN TEORITIS Kesejahteraan Psikologis (Psycological Well Being) Pengertian Kesejahteraan Psikologis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-being 1. Definisi Psychological well-being Psychological well-being merupakan istilah yang digunakan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being.

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI. Teori kesejahteraan psikologis yang menjelaskan sebagai pencapaian penuh dari potensi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis. Ryff (1989) mendefinisikan kesejahteraan psikologis adalah sebuah kondisi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam menjalani kehidupan manusia memiliki rasa kebahagiaan dan

RELIGIUSITAS ISLAM DAN KEBAHAGIAAN (Sebuah Telaah dengan Perspektif Psikologi)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi setiap manusia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daripada psikologis yang berfungsi positif (Ryff, 1989).

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB 1 PENDAHULUAN. 2014, remaja adalah penduduk dalam rentang usia tahun. Menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Hasil Presentase Pernikahan Dini di Pedesaan dan Perkotaan. Angka Pernikahan di Indonesia BKKBN (2012)

BAB I PENDAHULUAN. individu. Kegiatan bekerja dilakukan untuk berbagai alasan seperti; mencari uang,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Individu pada hakikatnya selalu mengalami proses pertumbuhan dan

BAB I PENDAHULUAN. 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan

BAB II TINJAUAN TEORITIS

PEMETAAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS GURU PG PAUD SE KOTA PEKANBARU

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa dimana peserta didik bergaul, belajar dan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk sosial yang setiap harinya menjalin hubungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa

Kesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Mahasiswa merupakan pelajar yang paling tinggi levelnya. Mahasiswa di

PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN

BAB I PENDAHULUAN. tahap-tahap perkembangan mulai dari periode pranatal sampai pada masa usia lanjut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. fisik, tetapi juga perubahan emosional, baik remaja laki-laki maupun perempuan.

Perkembangan Sepanjang Hayat

BAB I PENDAHULUAN. muncul melalui proses evaluasi masing-masing individu terhadap kehidupannya

Kesejahteraan Psikologis pada Survivor Kanker di Bandung Cancer Society (BCS)

BAB I PENDAHULUAN. menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk. membangun relasi sosial meningkat seiring bertambahnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. mahasiswa. Jenjang pendidikan yang lazim disebut kuliah ini cukup banyak diminati karena

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kebahagiaan. Kebahagian di dalam hidup seseorang akan berpengaruh pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dianggap sebagai masa topan badai dan stres, karena remaja telah memiliki

HUBUNGAN FORGIVENESS TERHADAP PERISTIWA PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well Being) 1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well Being)

BAB I PENDAHULUAN. dan pengurus pondok pesantren tersebut. Pesantren memiliki tradisi kuat. pendahulunya dari generasi ke generasi.

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. kemandirian sehingga dapat diterima dan diakui sebagai orang dewasa. Remaja

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

Perkembangan Sepanjang Hayat

Kesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh 11

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. penelitian dan saran untuk penelitian sejenisnya. maka dapat ditariklah suatu kesimpulan, yaitu :

BAB I PENDAHULUAN. dengan keterikatan aturan, emosional dan setiap individu mempunyai peran

PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI

PENGARUH KECERDASAN EMOSI DAN RASA SYUKUR TERHADAP PSYCHOLOGICAL WELL BEING MAHASISWA YANG KULIAH SAMBIL BEKERJA. Diajukan Kepada Fakultas Psikologi

kemunduran fungsi-fungsi fisik, psikologis, serta sosial ekonomi (Syamsuddin, 2008, Mencapai Optimum Aging pada Lansia, para.1).

BAB I PENDAHULUAN. jenjang pendidikan, di dalam suatu pembelajaran harus ada motivasi belajar, agar

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB V. Kesimpulan, Diskusi Dan Saran. hasil penelitian, diskusi, serta saran untuk penelitian sejenis lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. seorang guru honorer akan diberhentikan dari status kepegawaiannya.

BAB I PENDAHULUAN. kepekaan dan kepedulian mereka terhadap masalah sosial. Rendahnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup tanpa manusia lain dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penelitian ini menggunakan teori dari Carol D. Ryff mengenai psychological

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan tonggak pembangunan sebuah bangsa. Kemajuan. dan kemunduran suatu bangsa dapat diukur melalui pendidikan yang

5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. 2014), terlebih bagi individu yang sudah bekerja dan hanya memiliki latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. dilalui seorang individu sepanjang rentang kehidupannya. Keunikan pada masa

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kondisi mental remaja dan anak di Indonesia saat ini memprihatinkantebukti

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Perceraian adalah puncak dari penyesuaian perkawinan yang buruk,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

BAB I PENDAHULUAN. tersebut disebabkan oleh karena keluarga merupakan tempat yang nyaman untuk

BAB I PENDAHULUAN. 40 tahun dimana terjadi perubahan fisik dan psikologis pada diri individu, selain itu

BAB II LANDASAN TEORI

HUBUNGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA ISTRI YANG TINGGAL DI RUMAH MERTUA

BAB I PENDAHULUAN. Mulai dari masa prenatal sampai datangnya masa kematian. Setiap masa

Lampiran 1. Verbatim. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya, miskin, tua, muda, besar, kecil, laki-laki, maupun perempuan, mereka

BAB I PENDAHULUAN. Individu disadari atau tidak harus menjalani tuntutan perkembangan.

kalangan masyarakat, tak terkecuali di kalangan remaja. Beberapa kejadian misalnya; kehilangan orang yang dicintai, konflik keluarga,

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penerus bangsapun dibutuhkan sebagai sumber daya dalam pembangunan. Peran

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya maupun mengenai diri mereka sendiri. dirinya sendiri dan pada late childhood semakin berkembang pesat.

BAB I PENDAHULUAN. hambatan untuk melakukan aktivitas dalam kehidupannya sehari-hari. Akan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi. Terjadi pada usia kurang lebih lima

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. interaksi antara satu dengan lainnya, memiliki kecenderungan timbulnya

BAB I PENDAHULUAN. Pada perguruan tinggi mahasiswa tahun pertama harus bersiap menghadapi

BAB I PENDAHULUAN. lembaga kesejahteraan sosial yang mempunyai kewajiban untuk memberikan

BAB I PENDAHULUAN. Data Yayasan Lupus Indonesi (YLI) menunjukkan bahwa jumlah

BAB I PENDAHULUAN. terjadi perubahan-perubahan baik dalam segi ekonomi, politik, maupun sosial

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan generasi penerus bangsa yang diharapkan menjadi calon-calon pemimpin bangsa maupun menjadi calon penggerak kehidupan bangsa dari sumbangsih tenaga dan pikirannya di masyarakat sosial maupun di dunia pekerjaan. Mengingat masa remaja adalah masa transisi, dimana remaja belum bisa sungguh-sungguh dikatakan dewasa dan sudah tidak dapat dikatakan kanak-kanak menyebabkan situasi yang menegangkan bagi remaja. Ketegangan ini akan ditambah lagi dengan perubahan fisik, yaitu berkembangnya tanda kelamin sekunder yang menyebabkan adanya rasa aneh, ganjil serta berbeda dari orang lain. Akibatnya remaja merasa salah tingkah dan bingung. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya rasa tidak puas terhadap dirinya. Perasaan tidak puas terhadap keadaan dirinya menunjukkan bahwa remaja menolak tubuhnya sendiri. Situasi ini sangat mempengaruhi pembentukan citra fisiknya yang menjadi dasar pembentukan jati diri. Seorang remaja diharapkan dapat mengisi kehidupan masa remajanya dengan hal-hal yang positif sebagai persiapannya dalam menghadapi masa dewasa yang lebih mandiri, karena remaja sebagai generasi muda mempunyai peranan yang sangat berarti dan berguna untuk pembangunan negaranya. 1

2 Demi mendukung remaja bisa berkembang sesuai dengan tahap perkembangannya atau matang mental age-nya maka, remaja diharapkan mempunyai kesejahteraan psikologis atau psychological well-being atau disingkat PWB yang tinggi, agar remaja bisa menjadi generasi bangsa yang kuat, handal dan bermanfaat bagi banyak orang. Kesejahteraan psikologis adalah suatu kajian ilmu psikologi positif mengenai bagaimana penilaian manusia mengenai kelebihan dan kekurangan dalam dirinya serta pengembangan potensi optimal yang dimiliki (Ryff, 2007). Pada remaja, kesejahteraan psikologis merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. Evans dan Greenway (2010) mengatakan bahwa kesejahteraan psikologis merupakan unsur penting yang perlu ditumbuhkan pada individu agar dapat menguatkan keterikatan secara penuh dalam menghadapi tanggung jawab dan mencapai potensinya. Menurut Ryff (2007) gambaran tentang karakteristik orang yang memiliki kesejahteraan psikologis merujuk pada pandangan Rogers tentang orang yang berfungsi penuh (fully-functioning person), pandangan Maslow tentang aktualisasi diri (self actualization), pandangan Jung tentang individuasi, konsep Allport tentang kematangan, juga sesuai dengan konsep Erikson dalam menggambarkan individu yang mencapai integrasi dibanding putus asa. Psychological well-being ditandai dengan diperolehnya kebahagiaan, kepuasan hidup dan tidak adanya gejala-gejala depresi (Ryff, 2007). Menurut Bradburn, dkk (dalam Ryff, 2007) kebahagian (hapiness)

3 merupakan hasil dari kesejahteraan psikologis dan merupakan tujuan tertinggi yang ingin dicapai oleh setiap manusia. Berdasarkan gambaran psychological well-being yang tinggi dan rendah tersebut maka remaja diharapkan mempunyai psychological well-being yang tinggi agar terhindar dari depresi, mempunyai kepuasan hidup dan kebahagiaan yang tinggi. Namun pada kenyataannya, masih banyak remaja yang mempunyai psychological well-being rendah, hal itu tergambar pada fenomena bunuh diri yang dialami oleh remaja. Seperti dilaporkan oleh Komnas Nasional Perlindungan Anak bahwa dalam 6 bulan pertama di tahun 2012 telah tercatat 20 kasus bunuh diri. Berdasarkan tinjauan psikologi, penyebab individu yang melakukan bunuh diri karena mengalami gangguan mental seperti depresi dengan angka sebesar 90%. Para ahli psikologi pun memiliki kesepakatan bahwa indikasi terjadinya bunuh diri disebabkan oleh depresi (Risamana, 2015). Selain itu menurut data dari Health and Social Care Information Centre (HSCIC), panggilan psikiater darurat berjumlah 17.000-an pada 2014. Angka tersebut naik dua kali lipat dari 2010. Dilaporkan, hampir 16.000 remaja perempuan (15-19 tahun) melukai dirinya sendiri akibat depresi. Angka ini melonjak drastis dari tahun 2004 yang hanya berjumlah 9.000-an. Berdasarkan data terbaru Office for National Statistics (ONS) menyatakan bahwa satu dari lima remaja (16-24 tahun) memiliki kecenderungan depresi, cemas dan stres. Mempertegas angka kenaikan depresi pada remaja yang signifikan, rumah sakit

4 Priory menemukan remaja berusia 12 hingga 17 tahun semakin banyak yang mengalami depresi berat. Tahun 2014, hampir 300 anak di London pada rentang usia tersebut divonis depresi berat (Risamana, 2015). Gambaran PWB yang rendah juga terjadi pada siswa SMA 2 Sukoharjo. berdasarkan hasil wawancara yang dilaksanakan pada tanggal 24 Agustus 2016 tepat pada hari rabu kepada guru BP sekolah tersebut. Maka diperoleh informasi bahwa ditemukan ciri psychological well-being yang rendah di masing-masing individu yakni individu yang pertama merasa sulit untuk sulit untuk menjalin hubungan dengan orang lain, sulit untuk bersikap hangat dan hanya ingin menjalin hubungan dengan orang tertentu saja. Individu yang kedua mengaku mempunyai perasaan tidak puas terhadap diri sendiri, memiliki rasa kecewa disebabkan oleh pengalaman masa lalu sehingga sulit memaafkan orang yang telah membuatnya kecewa di masa lalu, sedangkan individu yang ketiga merasa kurang mampu untuk mengatur waktu dan tugas dalam kehidupan sehari-hari, mudah merasa jenuh dan kurang memiliki kontrol terhadap lingkungan luar sehingga merasa kurang percaya diri yang mengindikasikan harga diri yang rendah, ketiga individu tersebut menggambarkan rendahnya psychological well-being dalam dimensi penerimaan diri, dimensi hubungan positif dengan orang lain, dan dimensi penguasaan terhadap lingkungan. Oleh karena itu perlu kiranya dicari faktor yang mempengaruhi psychological well-being. Dari wawancara di atas dapat diperoleh gambaran bahwa rendahnya psychological well-being juga dipengaruhi karena merasa

5 kurang percaya diri yang mengindikasikan harga diri yang rendah, sehingga dapat disimpulkan bahwa rendahnya psychological well-being karena self esteem yang rendah pada interviewee. Penarikan kesimpulan oleh peneliti ini didukung oleh pendapat Paradise dan Kernis (2002) bahwa tingginya self esteem akan mempengaruhi pada besarnya psychological well-being pada individu. Diperkuat oleh pendapat Sharma, dkk (2015) bahwa harga diri merupakan prediktor yang signifikan terhadap PWB. Demikian pula menurut Awan dan Sitwat (2014) bahwa tingginya self esteem merupakan predictor dari tingginya PWB. Menurut Coopersmith (1967) Self esteem adalah penilaian individu yang berkaitan dengan dirinya, yang mengekspresikan sikap menerima atau menolak, juga menunjukkan besarnya kepercayaan individu terhadap kemampuan, keberartian, kesuksesan dan keberhargaannya. Hal tersebut diperoleh dari interaksinya dengan lingkungan, seperti adanya penghargaan, penerimaan dan perlakuan orang lain terhadap individu yang bersangkutan. Self esteem merupakan komponen evaluatif dari konsep diri, yang terdiri dari evaluasi positif dan negatif tentang diri sendiri yang dimiliki seseorang (Worchel dalam Dayaksini dan Hudaniah 2003). Mereka yang menilai dirinya positif cenderung untuk bahagia, sehat berhasil dan dapat menyesuaikan diri. Sebaliknya orang yang menilai dirinya negatif secara relatif tidak sehat, cemas, tertekan dan pesimis tentang masa depannya dan mudah atau cenderung gagal (Dayaksini dan Hudaniah 2003).

6 Berdasarkan uraian di atas, maka muncul rumusan masalah yang diajukan oleh penulis yakni apakah ada hubungan antara self esteem dengan psychological well being? Sehingga penulis merumuskan judul penelitian: Hubungan Antara Self Esteem dengan Psychological Well-Being Pada Remaja. B. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui hubungan antara self esteem dengan Psychological Well-Being pada remaja. 2. Mengetahui tingkat self esteem pada remaja. 3. Mengetahui tingkat Psychological Well-Being pada remaja. 4. Mengetahui sumbangan efektif self esteem terhadap Psychological Well- Being. C. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah: 1. Bagi guru, diharapkan mampu mendorong remaja agar dapat mempunyai self esteem yang tinggi sehingga tercapai kesejahteraan psikologis yang tinggi. 2. Bagi remaja agar mampu menggali potensi diri agar mempunyai rasa harga diri atau self esteem yang tinggi pula sehingga dapat mencapai kesejahteraan psikologis yang tinggi.

7 3. Bagi peneliti lain, diharapkan dapat memberikan informasi dalam mengamati dan menganalisa kondisi dan fenomena yang terjadi terutama yang berkaitan dengan self esteem dan psychological well-being.