1
Pembatasan Pengertian Perencanaan Partisipatif (a) Perencanaan Partisipatif disebut sebagai model perencanaan yang menerapkan konsep partisipasi, yaitu pola perencanaan yang melibatkan semua pihak (pelaku) dalam proses pengambilan keputusan yang langsung mempengaruhi kehidupan mereka yang (akan) terkena pembangunan (b) PJM Pronangkis (program jangka menengah program penanggulangan kemiskinan) disebut sebagai program masyarakat yang direncanakan secara partisipatif oleh masyarakat kelurahan / desa melalui Tim Perencanaan Partisipatif (Tim PP) (c) Perencanaan partisipatif PJM Pronangkis merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan Re<leksi Kemiskian (RK) dan Pemetaan Swadaya (PS); Keyword dalam konteks Perencanaan Partisipatif (PJM Pronangkis) adalah keterlibatan semua pihak (subyek), eksistensi dan peran Tim Perencanaan Partisipatif (Tim PP), proses Refleksi Kemiskinan (RK), dan proses Pemetaan Swadaya (PS) Mengapa diperlukan PJM Pronangkis? Pertimbangan Didapat fakta bahwa sejumlah program / kegiatan pembangunan di tingkat masyarakat dinilai gagal / kurang berhasil oleh karena masyarakat tidak / kurang dilibatkan dalam kedudukan yang setara dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan / pengawasan dan evaluasi sehingga tidak terjadi kesamaan pandangan / pemahaman antar para pihak Pengamatan Tidak terjadinya kesamaan pemahaman menyebabkan posisi masyarakat sebagai pemilik / penerima manfaat program kurang diakui yang mengakibatkan rendahnya rasa kepemilikan masyarakat terhadap program / kegiatan Kondisi tersebut menjadi faktor penghambat tumbuhnya kesadaran dan rasa kepemilikan masyarakat, yang lebih jauh akan berpengaruh pula terhadap keberlanjutan program / kegiatan pembangunan masyarakat Fakta dan Data Tidak / belum ada Program Penanggulangan Kemiskinan yang direncanakan secara bersama sebagai Dokumen Perencanaan Tingkat Kelurahan / Desa yang mempunyai nilai tawar strategis dalam Perencanaan Pembangunan di tingkat Kota 2
Mengapa diperlukan PJM Pronangkis? Melalui proses Perencanaan Par/sipa/f (PJM Pronangkis) dilakukan upaya untuk : Menumbuhkan kebersamaan untuk mampu menemukenali permasalahan kemiskinan yang dihadapinya Menumbuhkan kebersamaan dalam merumuskan dan menemukan solusi mengatasi masalah kemiskinannya Proses pembelajaran menyusun program yang direncanakan secara bersama dengan berlandaskan hasil- hasil pemetaan swadaya (yang mencerminkan visi masyarakat kedepan, prioritas kebutuhan riil masyarakat sesuai dengan 8ngkat kemendesakan dan urgensi masalah serta kapasitas dan potensi yang dimiliki) Kebersamaan pada proses perencanaan par0sipa0f diharapkan mampu menumbuhkan kesadaran masyarakat terhadap : Prinsip dan pendekatan Perencanaan Par8sipa8f sbagai bagian integral pembangunan par0sipa0f, sehingga dapat melewa8 proses pembelajaran perencanaan par8sipa8f (menyusun PJM Pronangkis dan Renta Pronangkis) Pen0ngnya menerapkan prinsip dan nilai P2KP dalam kegiatan penyusunan program secara sistema8s, terarah dan sesuai kebutuhannya (pro- poor program) Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) melalui implementasi prinsip dan pendekatan TRIDAYA pada Pronangkis yang disusun masyarakat secara proporsional (bidang lingkungan, sosial dan ekonomi) dan berbasis kebutuhan nyata (real demand). Pertanyaan Penelitian (Fokus Kajian Perencanaan Par/sipa/f) 1. Sejauh mana masyarakat peduli pada tujuan PJM Pronangkis? 2. Sejauh mana rencana PJM Pronangkis dipengaruhi oleh elit lokal, berdasarkan 0ngkat keterlibatannya? 3. Sejauh mana rencana PJM Pronangkis dipengaruhi oleh maksud proyek ( da;ar harapan proyek) dan oleh batasan volume alokasi anggaran (orientasi BLM)? 4. Sejauh mana rencana pembangunan masyarakat (PJM Pronangkis) menggambarkan orientasi yang diharapkan ke arah pembangunan sosial dan manusia yang berkelanjutan seper8 di- indikasikan oleh HDI/MDG? 5. Apa sajakah kebutuhan peningkatan kapasitas dan advokasi di 8ngkat masyarakat untuk memas0kan pemahaman dan orientasi ke arah pembangunan sosial dan manusia yang berkelanjutan sebagai dasar untuk perencanaan masyarakat yang bersifat par0sipa0f? 6.Faktor- faktor apa yang menghambat par8sipasi berbasis luas secara umum, dan termasuk par0sipasi perempuan (dicirikan oleh jelasnya rasa kepemilikan), dan pembagian tanggung jawab dalam proses perencanaan di lokasi peneli0an? 7. Apakah strategi advokasi yang tepat yang harus dijalankan P2KP untuk mengurangi tantangan- tantangan tersebut? 8. Apakah persyaratan mendasar pada kedua pihak (dalam kemampuan, pengetahuan dan dalam penjadwalan) untuk meningkatkan pengintegrasi yang lebih baik ke dalam proses perencanaan pemerintah formal di berbagai 0ngkatan dan mekanisme? 9.Peraturan pemerintah manakah yang perlu direvisi untuk mendukung integrasi yang lebih baik lagi di 0ngkat lokal dari aspirasi masyarakat ke dalam proses perencanaan pembangunan formal? 3
3. PROSES PENELITIAN Alur Akses Koordinasi di Lapangan PROPINSI SKPD/ TKPKD KELURAHAN SNVT PROP BAPEDA KOTA FASKEL BKM RELAWAN KMW KORKOT Alur Akses Pengumpulan Data Mini Survey BKM Lurah Bapeda /SKPD Faskel Relawan PJOK TKPKD TKPPD Korkot SEMI LOKAKARYA TINGKAT KOTA KBK KBP KMW 4
9 METODE PENGUMPULAN DATA MENURUT INFORMAN DAN KOTA 5
11 Proses Awal Perencanaan Partisipatif Fasilitasi kegiatan diawali oleh Fasilitator Kelurahan (faskel) dengan dukungan Kelurahan; dilanjutkan oleh BKM, setelah kelembagaan ini terbangun di tingkat Kelurahan; Proses Perencanaan Partisipatif Keterlibatan Warga Miskin pada tahap awal perencanaan relatif cukup tinggi (tahap Refleksi Kemiskinan) --- umumnya adalah relawan, partisipan lainnya adalah warga miskin yang bermukim di lokasi sasaran; Keterlibatan Warga Miskin pada tahap lanjutan mulai menurun pada tahap Pemetaan Swadaya dan tahap pengorganisasian masyarakat (pembentukkan KSM) --- sebagian besar karena merasa tidak punya peluang mendapat BLM; Keterlibatan Warga Miskin pada proses pelaksanaan tahap perumusan Rencana Kegiatan dan tahap penyusunan draft PJM Pronangkis semakin berkurang --- umumnya karena (i) faktor keterbatasan wawasan, (ii) faktor mekanisme dan prosedur pada tahapan tersebut; dan (iii) dominasi elite lokal; Keterlibatan Warga Miskin pada tahap Konsultasi Publik kembali meningkat, meskipun cenderung partisipasi yang semu --- dilatarbelakangi oleh harapan realisasi BLM; 12 6
Proses Pengintegrasian Program (tingkat Kelurahan) Peran dan fungsi BKM menjadi kunci keberhasilan; Tahap paling awal yang dilakukan umumnya adalah koordinasi di tingkat Kelurahan --- langsung dengan Pemerintah Kelurahan maupun melalui LPM; Tahap selanjutnya adalah konsultasi dalam rangka sinkronisasi usulan masyarakat dengan rencana program yang disusun Kelurahan sebagai bahan Musrenbang di tingkat Kecamatan --- sebagian besar usulan masyarakat masih dapat terakomodir dalam Rencana Program Kelurahan; Pada tahap-tahap ini, tingkat keterlibatan (langsung) warga miskin sangat rendah --- karena mekanisme dan prosedur yang berlaku dalam prosesnya; Proses Pengintegrasian Program (tingkat Kecamatan dan Kota) Peluang yang umumnya dimanfaatkan BKM pada tahap ini adalah prosedur konsultasi publik yang wajib ditempuh SKPD dalam penyusunan rencana programnya atau sering disebut dengan istilah jaring asmara (menjaring aspirasi masyarakat) melalui forum Musrenbang tingkat Kecamatan --- sebagian besar usulan masyarakat mulai terseleksi dan tidak terakomodir; Pada tahap konsultasi tingkat Kota, secara prosedur dilakukan melalui Musrenbang tingkat Kota atau Forum SKPD tingkat Kota --- meskipun kecil kemungkinan untuk melakukan akses langsung pada tingkat Kota, namun pada tahap ini terdapat peluang menyajikan usulan program kepada forum dalam Musrenbang tingkat Kota dapat dilakukan melalui SKPD yang menjadi penanggung jawab pengelolaan PNPM di tingkat Kota atau tokoh masyarakat; 13 Ilustrasi Proses Perencanaan Partisipatif (di semua Kota) Siklus proses perencanaan umumnya telah melibatkan warga miskin. Akan tetapi proses pengintegrasian usulan masyarakat ke dalam rencana program pembangunan daerah atau agar usulan masyarakat dapat bersinergi dengan rencana program pembangunan daerah, masih menjadi persoalan; Pada umumnya usulan masyarakat masih berorientasi pada realisasi target BLM, sehingga substansi usulan masyarakat belum sepenuhnya dapat dikatakan mencerminkan adanya pemahaman yang berorientasi terhadap target capaian IPM (HDI) dan TPM (MDG); Perbedaan proses dan prosedur perencanaan antara tingkat masyarakat (community level) dengan tingkat pemerintah (policy level) merupakan awal permasalahan dalam proses pengintegrasian; Kesenjangan wawasan pengetahuan dan kemampuan antara masyarakat dengan unsur aparat pemerintah juga masih menjadi permasalahan; Dalam perkembangannya, permasalahan ini menimbulkan kecenderungan bentuk partisipasi yang dimobilisasi atau partisipasi semu, dimana kelompok yang mempunyai wawasan pengetahuan dan kemampuan yang lebih (biasanya bukan warga miskin) menunjukkan peran dominan dalam setiap tahapan proses kegiatan. Berbagai langkah menuju proses pengintegrasian PJM Pronangkis ke dalam Perencanaan Pembangunan Daerah sudah terlaksana. Namun, pada tahapan proses tertentu masih didapati kelemahan, antara lain: (i) rendahnya tingkat keterlibatan masyarakat miskin atau representasinya dalam proses akhir atau pengambilan keputusan; (ii) perwakilan masyarakat miskin yang terlibat dalam prosesnya, karena sesuatu dan lain hal, tidak mampu menyuarakan aspirasi yang dibawanya; (iii) perwakilan yang hadir, kurang atau tidak merepresentasikan kelompok miskin; dan (iv) proses pengambilan keputusan cenderung dipengaruhi faktor eksternal masyarakat. 14 7
Kondisi yang diuraikan tersebut diatas didapati hampir di semua Kota, baik yang menunjukkan indikasi tingkat keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan yang tinggi (kota Pasuruan, kota Bengkulu), sedang (kota Surabaya, kota Medan) maupun relatif rendah (kota Makassar, kota Gorontalo); Kelemahan-kelemahan tersebut terutama dicerminkan oleh keluaran proses kegiatan, yaitu kualitas isi dokumen PJM Pronangkis dan hasil integrasinya ke dalam usulan LPM Kelurahan. Keterkaitan antar kedua variabel tersebut menunjukkan kondisi tingkat keterlibatan masyarakat dalam proses penyusunan PJM Pronangkis, dan indikasi siapa aktor sesungguhnya yang dominan dalam proses penyusunan PJM Pronangkis. Didapati adanya kecenderungan bahwa pengaruh faktor eksternal relatif cukup kuat, yang menunjukkan bahwa ketergantungan masyarakat terhadap proses fasilitasi dan dukungan pihak lain masih cukup besar. Keterkaitan antar variabel tersebut menunjukkan kondisi lemahnya proses perencanaan partisipatif, yang ditemukan hampir di seluruh lokasi sasaran kajian. Didapati adanya kondisi tertentu yang merupakan karakteristik lokal dan berpengaruh terhadap keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan, antara lain: (i) karakter sosial budaya dan sistem strata sosial masyarakat; (ii) status legalitas lahan kawasan; dan (iii) aspek kebijakan pemerintah daerah. Keseluruhan variabel ini cenderung melemahkan posisi tawar usulan kegiatan masyarakat di lokasi sasaran kajian, baik dalam konteks proses perencanaan partisipatif maupun dalam proses pengintegrasian rencana kegiatan masyarakat ke dalam rencana pembangunan daerah. 15 Berdasarkan hasil review terhadap dokumen PJM Pronangkis serta penelusuran proses penyusunan PJM Pronangkis, pada setiap lokasi sasaran kajian didapati kondisi bahwa pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat miskin relatif telah terakomodir --- termasuk misi pencapaian target IPM / TPM, meskipun belum didapat fakta yang jelas adanya korelasi langsung dengan target capaian IPM / TPM Daerah --- dengan proporsi susunan program yang merefleksikan kinerja konsep TRIDAYA. Berdasarkan kajian terhadap proses pengintegrasian usulan PJM Pronangkis ke dalam usulan Perencanaan Pembangunan tingkat Kelurahan, pada setiap lokasi sasaran kajian didapati kondisi bahwa: (i) pemahaman tentang integrasi program masih kurang karena penyusunan PJM Pronangkis masih berorientasi pada pencairan BLM P2KP; (ii) proses integrasi telah dilakukan melalui koordinasi dan sinkronisasi program dengan LPM / LPKM, namun peluang integrasi menjadi berkurang karena perbedaan jadwal antara proses PJM Pronangkis dengan Musrenbang; (iii) secara formal dokumen rencana pembangunan daerah telah mengakomodir program penanggulangan kemiskinan, namun sulit didapat fakta bahwa substansi program tersebut berasal dari PJM Pronangkis Kelurahan. 16 8
Berdasarkan kajian terhadap siklus perencanaan partisipatif penyusunan PJM Pronangkis, pada setiap lokasi sasaran kajian didapati kondisi bahwa: (i) persiapan sosial relatif kurang karena kapasitas fasilitator kurang memadai, sehingga partisipasi masyarakat (miskin) cenderung rendah dan menurun menjelang pengambilan keputusan; (ii) penyusunan draft Dokumen PJM Pronangkis belum sepenuhnya dilakukan mandiri oleh Tim PP, dan fasilitasi oleh faskel berubah menjadi proses penyusunan PJM Pronangkis secara 'instant' (dibuat FASKEL); (iii) sosialisasi PJM Pronangkis dan pengesahannya sebagai dokumen resmi Kelurahan sebagian besar telah dilaksanakan, namun keterlibatan masyarakat miskin pada tahap ini berada pada tingkat paling rendah; (iv) konsultasi PJM Pronangkis di tingkat Kecamatan / Kota sebagian besar terlaksana melalui Musrenbang Kecamatan dan Forum SKPD / Musrenbang Kota, meskipun perwakilan masyarakat miskin tidak terlibat secara langsung. Berdasarkan kajian terhadap aktor-aktor penyusun dan keterlibatan kelompok elite tempatan dalam proses penyusunan PJM Pronangkis, pada setiap lokasi sasaran kajian didapati kondisi bahwa: (i) tingkat keterlibatan atau partisipasi masyarakat miskin dalam siklus penyusunan PJM Pronangkis secara umum relatif cukup tinggi, yang ditunjukkan dari jumlah kumulatif warga miskin yang terlibat mulai tahap awal hingga dikukuhkan sebagai dokumen resmi Kelurahan; (ii) trend partisipasi yang sangat tinggi adalah pada tahap sosialisasi awal dan perumusan kesepakatan penerima BLM; (iii) trend partisipasi terendah diawali pada tahap refleksi kemiskinan dan pemetaan swadaya, kemudian semakin menurun pada tahap penyusunan draft dan konsultasi di tingkat Kelurahan / Kecamatan dan Kota; (iv) tingkat partisipasi kalangan tertentu --- elite masyarakat tempatan --- relatif lebih konsisten, yang ditunjukkan dari keterlibatannya yang menerus dari tahap awal hingga akhir proses PJM Pronangkis; dan (v) pengaruh unsur partisipan yang hadir dan terlibat secara menerus cukup mewarnai isi PJM Pronangkis, yang pada akhirnya menimbulkan kesan menjadi kelompok elite baru dalam skala tempatan. 17 Berdasarkan hasil kajian terhadap hal-hal yang bersifat kontekstual dalam perencanaan partisipatif, pada setiap lokasi sasaran kajian didapati kondisi bahwa: (i) KMW / Korkot / Ass Korkot / Faskel cukup berpengaruh dalam mendorong partisipasi masyarakat, meski masih ada faskel yang kurang menguasai filosofi pendampingan masyarakat sehingga proses pendampingan perencanaan partisipatif kurang optimal; (ii) aparat pemerintah tingkat Kelurahan umumnya tidak banyak berpartisipasi pada proses 'awal' dikarenakan sosialisasi dan pengenalan program umumnya langsung dilakukan di tingkat warga (lingkungan/ RW/ RT), dan meningkat pada tahap konsultasi Kelurahan / Kecamatan serta forum SKPD / Musrenbang tingkat Kota; (iii) keterlibatan aparat pemerintah merupakan pendorong bagi meningkatnya partisipasi masyarakat miskin dalam proses perencanaan partisipatif, terutama apabila Lurah aktif hadir dalam proses sosialisasi dan atau konsultasi; (iv) masih didapati persepsi kurang tepat tentang PJM Pronangkis di kalangan aparat pemerintah, sehingga proses pengintegrasian usulan masyarakat ke dalam rencana pembangunan di tingkat Kota masih mengalami hambatan; (v) kebijakan penanggulangan kemiskinan yang menerapkan pendekatan perencanaan berbasis masyarakat atau pemberdayaan masyarakat sudah ada di setiap Kota, namun umumnya menerapkan mekanisme implementasi yang berbeda dengan PNPM P2KP; (vi) pada umumnya APBD Kota sudah mengagendakan program pro-poor sesuai target pencapaian IPM / TPM Daerah, namun didapat fakta bahwa tidak seluruhnya agenda kegiatan tersebut merupakan upaya akomodatif Pemda terhadap substansi PJM Pronangkis Kelurahan yang disusun dalam PNPM P2KP. 18 9
(a) Peningkatan kapasitas masyarakat (miskin) secara intensif dan berkesinambungan, melalui upaya penyampaian informasi dasar sejak awal tahap perencanaan dan pada setiap awal tahap pelaksanaan --- yang perlu dicermati terutama informasi dan pengetahuan mengenai IPM dan TPM sebagai dasar pertimbangan sekaligus orientasi sasaran yang digunakan dalam menyusun usulan rencana kegiatan masyarakat; (b) Untuk meningkatkan proses pengintegrasian, sebaiknya dilakukan sosialisasi secara terstruktur mulai dari tingkat Propinsi, Kota, Kecamatan, dan Kelurahan --- yang dilakukan terhadap unsur aparatur pemerintah (policy level) maupun masyarakat (community level) --- terutama mengenai (i) mekanisme dan prosedur perencanaan partisipatif, (ii) jadwal pelaksanaan, (iii) peran serta pelaku, dan (iv) kelembagaan pelaku di setiap tingkatan; (c) Perbaikan mekanisme dan prosedur perencanaan, terutama peluang mengakomodir rencana kegiatan masyarakat pada setiap tingkatan, koordinasi dan kerja sama antara BKM dengan LPM maupun lembaga lain, sinkronisasi jadwal proses perencanaan antara tingkat masyarakat dengan tingkat kebijakan (Kelurahan, Kecamatan, Kota), dan peningkatan peran serta BKM dan LPM dalam Musrenbang (Kelurahan, Kecamatan, Kota) maupun forum konsultatif kelembagaan eksekutif (SKPD terkait) maupun legislatif; (d) Pelatihan reguler para pelaku di tingkat masyarakat maupun kebijakan dalam konteks perencanaan program pembangunan berbasis masyarakat, dan pendampingan dalam proses implementasinya; 19 (e) Pemerintah Kota menetapkan arah kebijakan alokasi anggaran pembangunan daerah untuk kegiatan berbasis masyarakat, dan menyajikannya secara jelas dalam dokumen formal daerah (RKPD, KU- APBD, dan PPAS sampai dengan APBD); (f) Pemerintah Kota menetapkan kebijakan tentang mekanisme, prosedur, dan jadwal proses perencanaan pembangunan daerah yang dilakukan melalui Musrenbang (Kelurahan, Kecamatan, Kota), terutama terkait upaya men-sinergi-kan usulan masyarakat dengan target pencapaian IPM / TPM yang ditetapkan Pemerintah Kota; (g) Pemerintah Kota menetapkan kebijakan daerah tentang pembagian peran, tugas pokok dan fungsi antara BKM dan LPM / LPMK secara definitif dalam penyusunan Rencana Pembangunan Kelurahan / Kecamatan; (h) Pemerintah Kota menetapkan kebijakan (atau me-review kebijakan yang telah ada) tentang penetapan definisi masyarakat miskin dengan indikator kemiskinan yang jelas dan terukur, sehingga selain diperuntukkan mendukung kebutuhan implementasi Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah juga dapat digunakan dalam implementasi program bantuan masyarakat yang dicanangkan dari Propinsi dan Pusat. 20 10
21 11