GANGGUAN STRESS PASCATRAUMA

dokumen-dokumen yang mirip
GANGGUAN STRESS PASCA TRAUMA

PTSD POSTTRAUMATIC STRESS DISORDER

Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD)

GANGGUAN STRES PASCA TRAUMA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

POST TRAUMATIC STRESS DISORDER

Mengenal Gangguan Stress Pasca Trauma

POST TRAUMATIC STRESS DISORDER

REFERAT GANGGUAN STRESS PASCA TRAUMA

POST TRAUMATIC STRESS DISORDER

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Istilah obsesi menunjuk pada suatu idea yang mendesak ke dalam pikiran.

Gangguan Mental Terkait Trauma. Pusat Kajian Bencana dan Tindak Kekerasan Departemen Psikiatri FKUI/RSCM

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedaruratan psikiatri adalah sub bagian dari psikiatri yang. mengalami gangguan alam pikiran, perasaan, atau perilaku yang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. gejala klinik yang manifestasinya bisa berbeda beda pada masing

GANGGUAN PSIKOTIK TERBAGI. Pembimbing: Dr. M. Surya Husada Sp.KJ. disusun oleh: Ade Kurniadi ( )

JOURNAL READING GANGGUAN GEJALA SOMATIK. Diajukan Kepada : dr. Rihadini, Sp.KJ. Disusun oleh : Shinta Dewi Wulandari H2A012001

IPAP PTSD Tambahan. Pilihan penatalaksanaan: dengan obat, psikososial atau kedua-duanya.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Skizofrenia merupakan sindroma klinis yang berubah-ubah dan sangat

BAB I. Pendahuluan. 1.1 Latar belakang

Adhyatman Prabowo, M.Psi

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia, khususnya di

EPIDEMIOLOGI MANIFESTASI KLINIS

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tekanan mental atau beban kehidupan. Dalam buku Stress and Health, Rice (1992)

PATOFISIOLOGI ANSIETAS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Gangguan bipolar dulunya dikenal sebagai gangguan manik

16/02/2016 ASKEP KEGAWATAN PSIKIATRI MASYKUR KHAIR TENTAMEN SUICIDE

GANGGUAN SKIZOAFEKTIF FIHRIN PUTRA AGUNG

Dua komponennya yaitu kesadaran akan sensasi fisiologis dan kesadaran bahwa ia gugup

PERSOALAN DEPRESI PADA REMAJA

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. kecelakaan lalu lintas yang cukup parah, bisa mengakibatkan cedera

BIPOLAR. Dr. Tri Rini BS, Sp.KJ

GAMBARAN POLA ASUH KELUARGA PADA PASIEN SKIZOFRENIA PARANOID (STUDI RETROSPEKTIF) DI RSJD SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Gangguan Bipolar. Febrilla Dejaneira Adi Nugraha. Pembimbing : dr. Frilya Rachma Putri, Sp.KJ

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan fisik yang tidak sehat, dan stress (Widyanto, 2014).

GANGGUAN BIPOLAR PENDAHULUAN

Pendahuluan Masalah kesehatan jiwa sering terabaikan karena dianggap tidak menyebabkan kematian secara langsung. DALY (disability-adjusted adjusted li

BAB I PENDAHULUAN. Post Traumatic Stress Disorder

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

A. Gangguan Bipolar Definisi Gangguan bipolar merupakan kategori diagnostik yang menggambarkan sebuah kelas dari gangguan mood, dimana seseorang

POST TRAUMATIC STRESS DISORDER

Gangguan Penyesuaian (Adjustment Disorder)

BIPOLAR. oleh: Ahmad rhean aminah dianti Erick Nuranysha Haviz. Preseptor : dr. Dian Budianti amina Sp.KJ

Pendahuluan. Dr. Ika Widyawati, SpKJ(K)

DAFTAR KOMPETENSI KLINIK

NYERI DAN EFEK PLASEBO

PROSES TERJADINYA MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. tersebut dapat terlihat dari peningkatan Umur Harapan Hidup (UHH) dan Angka

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Semakin pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,

A. Pemeriksaan penunjang. - Darah lengkap

BAB II PEMBAHASAN. 2.1 Definisi

GAMBARAN KLINIS GANGGUAN KECEMASAN

REFERAT Gangguan Afektif Bipolar

KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA PENYANDANG KANKER PAYUDARA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

FAKTOR PSIKOLOGIS DAN PERILAKU YANG BERHUBUNGAN DENGAN GANGGUAN Pembimbing : dr. Dharmawan Ardi, Sp.KJ

A. Pengertian Defisit Perawatan Diri B. Klasifikasi Defisit Perawatan Diri C. Etiologi Defisit Perawatan Diri

BAB I PENDAHULUAN. riskan pada perkembangan kepribadian yang menyangkut moral,

Gangguan ini dapat ada pada semua usia dan lebih sering pada remaja. 1

BAB I PENDAHULUAN. menyesuaikan diri yang mengakibatkan orang menjadi tidak memiliki. suatu kesanggupan (Sunaryo, 2007).Menurut data Badan Kesehatan

2005). Hasil 62 survei di 12 negara dan mencakup narapidana menemukan tiap 6

POST TRAUMATIC STRESS DISORDER (PTSD)

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan gejala-gejala atau kecacatan yang membutuhkan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. Hampir semua perasaan takut bermula dari masa kanak-kanak karena pada

PEMERIKSAAN PSIKIATRI

ABSTRAK. Kata Kunci: Manajemen halusinasi, kemampuan mengontrol halusinasi, puskesmas gangguan jiwa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. penduduk dunia seluruhnya, bahkan relatif akan lebih besar di negara-negara sedang

BAB II KONSEP DASAR A. PENGERTIAN. Halusinasi adalah suatu persepsi yang salah tanpa dijumpai adanya

BAB 1 PENDAHULUAN. atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan

SISTEM KLASIFIKASI DAN DIAGNOSIS GANGGUAN MENTAL DITA RACHMAYANI, S.PSI., M.A

LAMPIRAN. Depresi. Teori Interpersonal Depresi

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan jiwa pada manusia. Menurut World Health Organisation (WHO),

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Oleh: Raras Silvia Gama Pembimbing: dr. Justina Evy Tyaswati, Sp. KJ

TIM CMHN BENCANA DAN INTERVENSI KRISIS

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. penutupan rumah sakit jiwa dan cepatnya pengeluaran pasien tanpa

BAB 1 PENDAHULUAN. kronik yang sering ditemukan (Kurniati, 2003). Biasanya terjadi di daerah yang

UNIVERSITAS SEBELAS MARET FAKULTAS KEDOKTERAN SILABUS PSIKIATRI

EATING DISORDERS. Silvia Erfan

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa menurut WHO (World Health Organization) adalah ketika

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2010 GAMBARAN POLA ASUH

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan dengan laki-laki, yaitu 10,67 juta orang (8,61 % dari seluruh penduduk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1. PENDAHULUAN. Menurut Asosiasi Psikiatri Amerika dalam Diagnostic and Statistical Manual

BAB I PENDAHULUAN. Congestive Heart Failure (CHF) atau gagal jantung merupakan salah

BAB I PENDAHULUAN. terlupakan, padahal kasusnya cukup banyak ditemukan, hal ini terjadi karena

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Anak-anak yang mengalami kekerasan seksual memiliki gejala gangguan yang lebih

1. Dokter Umum 2. Perawat KETERKAITAN : PERALATAN PERLENGKAPAN : 1. SOP anamnesa pasien. Petugas Medis/ paramedis di BP

Diagnosis & Tatalaksana Gangguan Depresi & Anxietas di Layanan Kesehatan Primer Dr. Suryo Dharmono, SpKJ(K)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BUNUH DIRI DAN GANGGUAN BIPOLAR

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

Transkripsi:

GANGGUAN STRESS PASCATRAUMA Definisi Stress adalah ketegangan fisiologis atau psikologis yang disebabkan oleh rangsangan merugikan, fisik, mental atau emosi, internal atau eksternal, yang cenderung mengganggu fungsi organisme dan keinginan alamiah organisme tersebut untuk menghindar. Trauma adalah suatu respon psikologis dalam diri seseorang atas kejadian yang menimpa dirinya, kejadian ini biasanya membawa seseorang kepada suatu belenggu kehidupan, selalu teringat pada kejadian masa lalunya, yang berdampak pada pandangannya di masa mendatang. Gangguan Stress Pasca Trauma / Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) dapat didefinisikan sebagai keadaan yang melemahkan fisik dan mental secara ekstrim yang timbul setelah seseorang melihat, mendengar, atau mengalami suatu kejadian trauma yang hebat dan atau kejadian yang mengancam kehidupannya. Keadaan ini ditandai dengan suasana perasaan murung, sedih, kurangnya semangat dalam melakukan kegiatan sehari-hari maupun kegiatan yang menimbulkan kesenangan, kadang-kadang disertai dengan waham dan bila sudah berat dapat menimbulkan gangguan dalam fungsi peran dan kehidupan sosial. Stress-Traumatik dapat dilihat sebagai bagian dari respon manusia normal terhadap pengalaman yang mengguncang jiwa. Pada sebagian orang, gejala berkurang atau bahkan menghilang selama beberapa bulan pertama, terutama dengan bantuan dari anggota keluarga dan kepedulian teman-temannya. Dalam keadaan lain, seperti kurangnya kepedulian orang sekitar, gejala tampaknya tidak berkurang dengan cepat dan bahkan dalam beberapa kasus dapat terus menimbulkan masalah bagi sisa hidup ke depan. Kadang kala gejala tidak dimulai sampai berbulan-bulan atau bahkan tahunan setelah peristiwa traumatik terjadi. Epidemiologi Prevalensi seumur hidup gangguan stress pasca trauma diperkirakan 8 persen populasi umum, walaupun suatu tambahan 5 sampai 15 persen mungkin mengalami bentuk gangguan yang subklinis. Di antara kelompok resiko tinggi yang merupakan anggota yang mengalami peristiwa traumatik, angka prevalensi seumur hidup terentang antara 5 sampai 75 persen. Suatu survei yang menyangkut veteran Vietnam disebutkan bahwa 15% dari veteran tersebut mengalami gangguan stres paca-traumatik sejak kepulangan mereka (Centers

Disease Control, 1988), sementara penelitian lain menyebutkan bahwa reaksi stres terhadap horor perang juga ditemukan pada Perang Dunia I yang disebut dengan shell shock sindrom dan combat fatigue pada Perang Dunia II. Walaupun dapat tampak pada segala usia, gangguan stress pasca trauma paling menonjol pada dewasa muda. Trauma untuk laki laki biasanya pengalaman peperangan, sedangkan pada wanita paling sering adalah penyerangan atau pemerkosaan. Pada survei yang dilakukan antara Februari 2001 dan April 2003 di Amerika, dilakukan wawancara pada 9,282 warga negara amerika yang dianggap representatif yang berusia 18 tahun keatas. Gangguan stress pasca trauma dinilai pada 5,692 orang dengan menggunakan kriteria DSM-IV. Prevalensi gangguan stress pasca trauma pada pria adalah 3,6% dan pada wanita 9,7%. Hal ini menunjukkan bahwa wanita memiliki resiko yang lebih tinggi (2,6:1) untuk menderita gangguan stress pasca trauma. Di Indonesia telah terjadi berbagai macam kejadian yang dapat menimbulkan gangguan stress pasca trauma. Salah satu dari kejadian tersebut adalah tsunami yang terjadi di Aceh. Pada penelitian yang dilakukan pada 482 anak yang berusia antara 11 sampai 19 tahun yang mengalami tsunami, 54 anak (11,2%), 124 anak (25,7%), 196 anak (40,7%), 103 anak (21,4%), dan 5 anak (1%) secara berturut turut menunjukkan none, mild, moderate, severe, dan very severe symptoms dari gangguan stress pasca trauma. Hasil dari studi ini penyimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi keparahan gejala gangguan stress pasca trauma adalah jenis kelamin, kehilangan orangtua, dukungan sosial yang rendah, dan respons somatik berat. Perempuan menunjukkan gejala gangguan stress pasca trauma yang lebih menonjol dibanding dengan laki laki. Studi ini juga menyimpulkan bahwa usia dan tingkat pendidikan tidak mempengaruhi gejala gangguan stress pasca trauma. III. ETIOLOGI Penyebab utama gangguan stress pasca trauma adalah stressor yang berupa peristiwa traumatik yang extreme. 1 Walaupun stressor diperlukan, stressor tidak cukup untuk menyebabkan gangguan. Klinisi harus mempertimbangkan juga faktor biologis individual yang telah ada sebelumnya, faktor psikososial sebelumnya, dan peristiwa yang terjadi setelah trauma. Penelitian terakhir pada gangguan stress pasca trauma telah sangat menekankan pada respon subjektif seseorang terhadap trauma ketimbang beratnya stressor itu sendiri. Beberapa faktor predisposisi bagi seseorang individu untuk mengalami gangguan stress pasca trauma adalah:

Adanya gangguan psikiatrik sebelumnya baik pada individu maupun keluarganya Adanya trauma masa kanak, seperti kekerasan fisik maupun seksual Kecenderungan untuk mudah menjadi khawatir Ciri kepribadian ambang, paranoid, dependent, atau antisosial Mempunyai karakter yang bersifat introvert atau isolasi sosial; adanya problem menyesuaikan diri Adanya kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi secara bermakna Terpapar oleh kejadian kejadian yang luar biasa sebelumnya baik tunggal maupun ganda dan dirasakan secara subjektif oleh individu yang bersangkutan sebagai suatu kondisi atau peristiwa yang menimbulkan penderitaan bagi dirinya. Tipe kejadian yang cenderung akan meningkatkan angka kejadian gangguan stress pasca trauma dapat dikategorikan menjadi ; 1. Mereka yang mengalami tindakan kekerasan interpersonal 2. Mereka yang mengalami kecelakaan atau bencana alam yang mengancam nyawa, baik berupa kejadian yang alamiah atau kejadian yang dibuat oleh manusia 3. Trauma berulang dan bersifat kronik Berdasarkan DSM IV, ada beberapa jenis kejadian yang potensial mungkin akan meningkatkan gaangguan stress pasca trauma, yaitu ; 1. Kekerasan personal (kekerasan seksual, penyerangan fisik dan perampokan) 2. Penculikan 3. Penyanderaan 4. Serangan militer 5. Serangan teroris 6. Penyiksaan 7. Ditahan dalam penjara sebagai tahanan politik atau tahanan perang 8. Bencana alam baik yang alamiah maupun yang dibuat oleh manusia 9. Kecelakaan mobil yang berat 10. Didiagnosis mengalami penyakit berat yang mengancam kehidupan Pada umumnya individu yang mempunyai karakter extrovert atau lebih berpikir positif lebih jarang mengalami masalah psikologis seperti ini. Karakteristik dari peristiwa traumatik yang dialami juga akan mempengaruhi jenis reaksi psikologis yang akan terjadi, seperti : Durasi dan intensitas dari stressor yang dialami Derajatnya dalam kaitan dengan ancaman terhadap kehidupan seseorang Berat ringannya kehilangan yang dialami (baik material maupun personal) Perilaku korban yang selamat pada waktu menghadapi peristiwa traumatik tersebut, misalnya apakah ia juga menyelamatkan orang lain pada saat kejadiaan itu atau dia hanya menyelamatkan dirinya sendiri.

Angka komorbiditas tinggi pada pasien dengan PTSD, sekitar duapertiga memiliki sedikitnya dua gangguan lain. Keadaan komorbid yang lazim mencakup gangguan depresif, gangguan terkait zat, gangguan ansietas lain dan gangguan bipolar. Gangguan komorbid membuat orang lebih rentan untuk mengalami PTSD. BAGAN STRES DAN STRES PASCA TRAUMA IV. PATOMEKANISME Gejala gejala gangguan stress pasca trauma timbul sebagai akibat dari respons biologik dan juga psikologik seorang individu. Kondisi ini terjadi oleh karena aktivasi dari beberapa sistem di otak yang berkaitan dengan timbulnya perasaan takut pada seseorang. Faktor Biologik Terpaparnya seseorang oleh peristiwa yang traumatik akan menimbulkan respons takut sehingga otak dengan sendirinya akan menilai kondisi keberbahayaan peristiwa yang dialami, serta mengorganisasi suatu respons perilaku yang sesuai. Dalam hal ini, Amigdala merupakan bagian otak yang sangat berperan besar. Amigdala mengaktivasi beberapa neurotransmitter serta bahan bahan neurokimiawi di otak sebagai respons tubuh terhadap trauma. Hal ini akan menimbulkan stimulus berupa tanda darurat kepada: 1. Sistem Saraf Simpatis Sistem saraf simpatis akan membuat tubuh menjadi siaga dengan meningkatkan denyut jantung dan tekanan darah, sehingga seseorang mampu untuk menghadapi trauma tersebut.

2. Sistem Saraf Parasimpatis Sistem saraf parasimpatis bereaksi dengan membatasi reaksi sistem saraf simpatis pada beberapa jaringan tubuh. 3. Aksis Hipotalamus-Hipofisis-kelenjar Adrenal (HPA) Hipotalamus akan mengeluarkan Cortico Releasing Factor (CRF) dan beberapa neuropeptida regulator lainnya, sehingga kelenjar hipofisis akan terangsang dan mengeluarkan adenocorticotropic hormone (ACTH) yang akhirnya menstimulasi pengeluaran hormon kortisol dari kelenjar adrenal. Hormon kortisol berfungsi untuk menghentikan respons tubuh yang bersifat defensif terhadap stress. Pada pasien yang mengalami gangguan stress pasca trauma, dihipotesis terjadi hipersensitivitas dari ketiga sistem yang teraktivasi di atas sehingga seseorang menjadi mudah untuk mengalami gejala gejala tersebut. Faktor Psikodinamik Di hipotesis bahwa pada gangguan stress pasca trauma, terjadi reaktivasi konflik psikologik yang belum terselesaikan di masa lampau. Dengan adanya peristiwa traumatik yang dialami, maka konflik konflik psikologis yang belum diselesaikan itu akan tereaktivasi kembali. Sistem ego akan kembali teraktivasi dan berusaha untuk mengatasi masalah dan meredakan kecemasan yang terjadi. Hal hal yang berkaitan dengan aspek psikodinamik gangguan stress pasca trauma adalah: 1. Arti subjektif dari stresor yang dialami mungkin menentukan dampak dari peristiwa traumatik yang dialami oleh seseorang. 2. Kejadian traumatik yang dialami mungkin mereaktivasi konflik konflik psikologis pada peristiwa trauma di masa kanak. 3. Peristiwa traumatik akan membuat seseorang gagal untuk meregulasi sistem afeksinya. 4. Refleksi peristiwa traumatik yang dialami mungkin akan timbul dalam somatisasi atau aleksitimia. 5. Beberapa sistem defensif yang sering digunakan pada individu dengan gangguan stress pasca trauma adalah penyangkalan, splitting, proyeksi, disosiasi, dan rasa bersalah. 6. Model relasi objek yang digunakan adalah proyeksi dan introyeksi dari berbagai peran seperti penyelamat yang omnipoten atau korban yang omnipoten. II.4. Manifestasi Klinis

Gangguan ini selalu merupakan konsekuensi langsung dari suatu stress akut yang berat atau trauma berkelanjutan. Stres yang terjadi atau keadaan yang tidak nyaman tersebut merupakan faktor pemicu utama, dan tanpa hal tersebut gangguan ini tidak akan terjadi. Gambaran klinis dari gangguan stress pasca trauma seringkali berupa adanya ingataningatan kembali akan peristiwa-peristiwa traumatik yang pernah dialami serta mendesak untuk timbul ke alam sadar dan disertai adanya mimpi-mimpi buruk. Individu juga dengan sengaja tampak menghindari berbagai situasi atau kondisi yang akan mengingatkannya akan peristiwa traumatik tersebut. 11 Umumnya individu dengan gangguan stress pasca trauma datang ke dokter tidak dengan gejala-gejala tersebut, mereka umumnya datang dengan gejala depresi, ide-ide bunuh diri, penarikan diri dari lingkungan sosialnya, kesulitan tidur, penyalahgunaan alkohol/zat adiktif lainnya, serta berbagai keluhan fisik lainnya (misalnya nyeri kronik, irritable bowel syndrome). Penelitian mendapatkan bahwa individu dengan gangguan stress pasca trauma 3 kali lebih banyak mengunjungi praktek dokter umum atau pusat pelayanan kesehatan primer jika dibandingkan dengan kunjungan ke professional kesehatan mental lainnya. Gangguan-gangguan ini dianggap sebagai respon maladaptif terhadap stress berat atau stress berkelanjutan dimana mekanisme penyesuaian tidak berhasil mengatasi sehingga menimbulkan masalah dalam fungsi sosialnya. Gangguan ini terjadi berminggu-minggu atau berbulan-bulan setelah kejadian, awitan biasanya dalam 6 bulan. 3 kelompok utama gejala (tidak ada sebelum pajanan) 1. Hyperarousal (rangsangan yang berlebihan) a. Ansietas yang menetap b. Kewaspadaan yang berlebihan c. Konsentrasi buruk d. Insomnia 2. Intrusions (pengacauan) a. Kilasan balik b. Mimpi buruk c. Ingatan yang hidup 3. Avoidance (penghindaran) a. Menghindari hal-hal yang mengingatkan b. Ketidakmampuan mengingat beberapa dari kejadian c. Minat yang rendah terhadap kehidupan sehari-hari

VI. DIAGNOSIS Kriteria diagnostik untuk gangguan stress pascatraumatik menurut DSM IV: 1. Individu pernah terpapar dengan peristiwa traumatik berupa ; a. Individu mengalami, menjadi saksi mata atau berhadapan langsung dengan suatu kejadian atau beberapa kejadian yang mengerikan atau ancaman terhadap integritas fisik diri sendiri atau orang lain. b. Respons individu yang terlibat dalam peristiwa yang sangat mengerikan, keputusasaan atau ketakutan yang luar biasa. Pada anak, kondisi ini mungkin ditunjukkan oleh adanya perilaku yang disorganisasi atau agitasi. 2. Pengalaman peristiwa traumatik selalu timbul berulang dalam salah satu bentuk di bawah ini ; a. Adanya bayangan, pikiran atau persepsi yang berkaitan dengan peristiwa traumatik yang timbul secara berulang dan menyebabkan penderitaan bagi individu yang bersangkutan. Bagi anak, kondisi ini diekspresikan melalui pola permainan yang bertemakan peristiwa traumatik yang dialaminya. b. Adanya mimpi-mimpi buruk berulang yang menimbulkan penderitaan bagi individu. Pada anak, kondisi ini sering kali berupa timbulnya mimpi buruk tanpa dapat dikenali isi dari mimpi-mimpinya itu. c. Berprilaku atau berperasaan seolah-olah peristiwa traumatik yang dialami itu terjadi kembali (termasuk ilusi, halusinasi dan episode disosiatif yang bersifat flashback) d. Adanya distress psikologis jika berhadapan dengan hal-hal atau simbol-simbol yang berkaitan dengan aspek peristiwa traumatik baik sebagian atau seluruhnya secaara internal maupun eksternal. e. Adanya reaksi fisiologis jika berhadapan dengan hal-hal atau simbol-simbol yang berkaitan dengan aspek peristiwa traumatik baik sebagian atau seluruhnya secara internal maaupun eksternal. 3. Adanya perilaku penghindaran yang menetap terhadap stimulus-stimulus yang berkaitan dengan peristiwa traumatik yang dialami dan disertai dengan respons emosi yang membeku secara keseluruhan (tidak dijumpai sebelum trauma terjadi), yang ditunjukkan oleh 3 atau lebih gejala di bawah ini ; a. Adanya usaha untuk menghindari pikiran-pikiran, perasaan, atau pembicaraan yang berkaitan dengan peristiwa traumatik yang dialaminya b. Adanya usaha untuk menghindari aktivitas, tempat-tempat atau orang-orang yang bangkitkan ingatan-ingatan tentang peristiwa traumatik yang dialaminya. c. Kesulitan untuk mengingat kembali aspek-aspek penting yang berkaitan dengan peristiwa traumatik yang dialaminya. d. Penurunan yang jelas akan keterkaitan atau pastisipasi dalam aktivitas-aktivitas. e. Merasa asing atau merasa terpisah dari lingkungan atau orang-orang disekitarnya. f. Adanya ekspresi afektif yang terbatas, misalnya tidak mampu lagi merasakan perasaan dicintai. g. Kehilangan motivasi untuk membina masa depannya, misalnya tidak mempunyai keinginan lagi untuk mengembangkan karier, hidup perkawinan, mengasuh anak atau dalam aktivitas sehari-harinya.

4. Adanya gejala yang menetap dari peningkatan kewaspadaan (tidak dijumpai sebelum mengalami peristiwa traumatik), yang ditandai oleh 2 atau lebih gejala di bawah ini; a. Kesulitan untuk tidur atau jatuh tertidur b. Irritabilitas atau mudah mengalami ledakan amarah c. Kesulitan berkonsentrasi d. Hypervigilance e. Respons yang kacau dan tidak terkendali 5. Durasi dari gejala-gejala dalam kriteria 2,3 dan 4 berlangsung lebih dari 1 (satu) bulan 6. Gejala-gejala di atas jelas menimbulkan penderitaan atau hendaya dalam fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lainnya. Spesifikasi : Akut : jika durasi gejala-gejala kurang dari 3 bulan Kronik : jika durasi gejala-gejala berlangsung 3 bulan atau lebih Dengan awitan lambat : jika awitan dari gejala-gejala terjadi paling lambat 6 bulan setelah mengalami peristiwa traumatik. Kriteria Diagnostik menurut PPDGJ III (F 43.1): 1. Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun waktu 6 bulan setelah kejadian traumatik berat (masa laten yang berkisar antara beberapa minggu sampai beberapa bulan, jangan sampai melampaui 6 bulan). Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu mulai saat kejadian dan onset gangguan melebihi waktu 6 bulan,asal saja manifestasi klinisnya adalah khas dan tidak terdapat alternatif kategori gangguan lainnya. 2. Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayang- bayang atau mimpimimpi dari kejadian traumatik tersebut secara berulang-ulang kembali (flashbacks) 3. Gangguan otonomik, gangguan afek dan kelainan tingkah laku semuanya dapat mewarnai diagnosis tetapi tidak khas. 4. Suatu sequelae manahun yang terjadi lambat setelah stres yang luar biasa, misalnya saja beberapa puluh tahun setelah trauma, diklasifikasikan dalam kategori F62.0 (perubahan kepribadian yang berlangsung lama setelah mengalami katastrofa). Diagnosis Banding Pertimbangan utama dalam diagnosis banding gangguan stress pascatraumatik dengan kemungkinan bahwa pasien juga mengalami cedera kepala selama trauma. Pertimbangan organik lainnya yang dapat menyebabkan atau mengeksaserbasi gejala adalah epilepsi, gangguan penggunaan alkohol dan gangguan yang berhubungan dengan zat lainnya. Intoksikasi akut atau putus dari suatu zat mungkin juga menunjukkan gambaran klinis yang sulit dibedakan dari gangguan stres pascatraumatik sampai efek zat hilang.

Gangguan stress pascatraumatik pada umumnya sering keliru didiagnosis sebagai gangguan mental lain, yang menyebabkan pengobatan yang tidak tepat. Klinisi harus mempertimbangkan gangguan stres pascatraumatik pada pasien yang menderita gangguan nyeri (pain disorder), penyalahgunaan zat, gangguan kecemasan lain, dan gangguan mood. Pada umumnya, gangguan stres pascatraumatik dapat dibedakan dari gangguan mental organik dengan mewawancarai pasien tentang peristiwa traumatik sebelumnya dan melalui sifat gejala sekarang ini. Gejala gangguan stress pasca trauma dapat sulit dibedakan dengan gejala gangguan panik dan gangguan cemas menyeluruh. Hal ini dikarenakan ketiganya berhubungan dengan kecemasan dan aktivasi gejala autonomik. Kunci untuk membedakan gangguan stress pasca trauma adalah relasi waktu antara kejadian traumatik dan gejala, dan terngiang-ngiang akan trauma yang tidak terjadi pada dua kelainan lainnya. Depresi mayor juga sering terjadi bersamaan dengan gangguan stress pasca trauma. Hal ini perlu dicatat karena akan mempengaruhi terapi gangguan stress pasca trauma. 3 Gangguan kepribadian ambang, gangguan disosiatif, gangguan buatan atau berpurapura juga harus dipertimbangkan. Gangguan kepribadian ambang mungkin sulit dibedakan dari gangguan stress pascatraumatik. Dua gangguan tersebut dapat terjadi bersama-sama atau bahkan saling berhubungan sebab akibat. Gangguan disosiatif biasanya tidak memiliki derajat perilaku menghindar, kesadaran berlebih otonomik, atau riwayat trauma yang dilaporkan oleh pasien gangguan stres pascatraumatik. Sebagian karena publisitas yang telah diterima gangguan stres pascatraumatik dalam berita populer, klinisi harus juga mempertimbangkan kemungkinan suatu gangguan buatan dan berpura pura. Penatalaksanaan Saat klinisi dihadapkan dengan pasien yang telah mengalami trauma berat, pendekatan yang dianjurkan adalah dukungan, memberikan semangat untuk mendiskusikan kejadian tersebut, dan edukasi mengenai mekanisme mekanisme penenangan diri. Penggunaan sedatif dan hipnotik biasanya membantu. Pada pasien yang telah mengalami peristiwa traumatik di masa lalu dan sekarang memiliki gangguan stress pasca trauma, penatalaksaan harus lebih ditekankan pada edukasi mengenai kelainan dan pengobatannya, baik farmakologis maupun psikologis. Psikoterapi

Psikoterapi yang bersifat psikodinamik biasanya memberikan hasil baik pada pasien gangguan stress pasca trauma. Pada beberapa kasus, terapi rekonstruksi kejadian dengan pelepasan dan pembersihan dapat memberikan hasil yang baik, tapi psikoterapi harus diindividualisasikan karena mengalami kembali kejadian traumatik kadang kadang menakutkan pasien. Psikoterapi pada pasien dengan gangguan stress pasca trauma terdiri dari terapi perilaku, terapi kognitif, dan hipnotis. Adapun berbagai macam teknik psikoterapi pada gangguan stress pasca trauma, yaitu sebagai berikut : 1. Manajemen ansietas, yaitu mengajarkan berbagai kemampuan kepada pasien untuk mengurangi stress yakni dengan cara latihan relaksasi ( latihan untuk mengurangi ketegangan berbagai otot), latihan pernapasan ( latihan untuk melakukan hiperventilasi), berpikir positif, dan melatih untuk berhenti memikirkan segala hal yang dapat menyebabkan kecemasan. 2. Terapi kognitif, digunakan untuk mengurangi berbagai pikiran dan kepercayaan yang tidak realistik yang dapat mengganggu fungsi dan emosi pasien. Misalnya pada pasien korban bencana alam, sebaiknya diberikan terapi kognitif dengan memberikan berbagai penjelasan yang realistik sehingga dapat membantu untuk mengurangi gangguan stress pada pasien. 3. Exposure Theraphy, membantu pasien dengan mengkonfrontasikan berbagai situasi yang dialami sebelumnya, baik itu orang, objek, ingatan, atau emosi yang berhubungan dengan stressor pasien. 4. Play Theraphy, diugunakan pada anak-anak berupa permainan yang dapat memberikan dan mengarahkan anak pada stressor dengan cara perlahan-lahan, sehingga tidak memperburuk stress yang dialami. 5. Psikoedukasi, yaitu dengan mengedukasikan kepada pasien dan keluarga pasien tentang gejala-gejala dan berbagai pengobatan pada gangguan stress pasca trauma. Adapun teknik-teknik psikoterapi tersebut digunakan sesuai dengan gejala-gejala yang timbul pada pasien, yang tampak pada tabel dibawah ini :

Tabel 1. Teknik Psikoterapi berdasarkan gejala target Adapun teknik psikoterapi berdasarkan umur adalah sebagai berikut : Tabel 2. Teknik psikoterapi terbaik yang digunakan berdasarkan umur Dari berbagai macam psikoterapi untuk gangguan stress pasca trauma, yang paling diterima adalah psikoterapi kognitif perilaku. Teknik spesifik pada terapi ini adalah dengan

pengeksposan dan restrukturisasi kongnitif. Terapi pengeksposan berfungsi untuk membantu pasien menghadapi dan mengontrol terhadap ketakutan dan kesakitan yang sangat pada trauma, dan harus dilakukan dengan sangat hati hati, jangan sampai membuat pasien menjadi semakin trauma. Pada sebagian kasus, seluruh trauma dapat dihadapi bersamaan ( flooding ), sedangkan pada sebagian kasus pasien lebih memilih untuk menghadapi trauma satu per satu dari trauma terkecil sehingga yang terparah dengan teknik relaksasi ( desensitization ). Termasuk dalam restrukturisasi kognitif adalah mengidentifikasi cara berpikir, merasakan, dan sikap yang tidak rasional (tapi dapat dimengerti) yang muncul setelah kejadian traumatik. Psikoterapi kognitif perilaku tambahan adalah dengan mempelajari teknik untuk menghadapi kecemasan. Selain dari psikoterapi kognitif perilaku, teknik psikoterapi lainnya adalah psikoterapi berkelompok. Teknik ini baik digunakan pada pasien gangguan stress pasca trauma dengan trauma perang seperti para veteran Vietnam. 10 Psikoterapi lainnya yang bersifat kontroversial adalah eye movement desensitization and reprocessing (EMDR) dimana pasien memfokuskan pada pergerakan ke lateral jari klinisi sambil mempertahankan gambaran mental mengenai traumanya. Masyarakat umum mempercayai bahwa gejala dapat dihilangkan bila pasien melewati peristiwa traumatik tersebut dengan relaksasi dalam. Pasien pasien yang telah melakukan terapi ini mengatakan bahwa terapi ini sangat efektif dan mereka lebih memilih terapi ini untuk penyembuhan mereka. Farmakoterapi Bukti efikasi obat tertentu untuk gangguan stress pasca trauma masih terbatas, meskipun kondisi komorbiditas harus diobati dengan intervensi spesifik. Selective Serotinin Reuptake Inhibitor (SSRI) dianggap sebagai lini pertama yang dapat menghilangkan gejala gejala gangguan stress pasca trauma. Trisiklik belum terbukti memberikan hasil yang baik untuk penanganan gangguan stress pasca trauma, walaupun begitu, pasien yang memberi hasil positif terhadap obat ini sebaiknya mengkonsumsi obat ini selama satu tahun sebelum dilakukan usaha untuk menarik obat. Benzodiazepin dan Monoamine Oxidase Inhibitor (MAOI) belum terbukti memberikan hasil yang baik untuk terapi gangguan stress pasca trauma.

Antipsikotik hanya digunakan sebagai kontrol jangka pendek untuk sikap agresif yang berat dan agitasi. Hampir tidak ada data positif mengenai penggunaan antipsikotik pada penderita gangguan stress pasca trauma. Pada terapi farmakologi, adapun terapi yang digunakan berdasarkan keefektifan dan keamanan penderita adalah sebagai berikut: Tabel 3. Terapi farmakologi berdasarkan keektifan dan keamanannya Adapun berbagai obat yang digunakan pada gangguan stress pada pasca trauma berdasarkan gejala klinis yang menonjol pada pasien.

Tabel 4. Terapi farmakologi berdasarkan gejala yang menonjol pada pasien Adapun dosis yang direkomendasikan adalah sebagai berikut : Tatalaksana gangguan stress pasca trauma diharapkan dalam bentuk yang komprehensif, meliputi : - pemberian medikasi :

anti depressan, seperti fluoxentin 10-60 mg/hari, sertralin 50-200 mg/hari - Psikoterapi : Psikoterapi yang diberikan umumnya, seperti psikoterapi kognitif-perilaku, psikoterapi kelompok, dan hypnotherapy. - Edukasi, - Dukungan psikososial - Meredakan kecemasan, seperti dengan teknik-teknik mengatur pernafasan serta mengontrol pikiran-pikiran. - Modifikasi pola hidup, seperti diet yang sehat mengarut konsumsi kafein, alkohol, rokok dan obat-obatan lainnya. Berdasarkan rekomendasi dari The Expert Consensus Panels for PTSD, tatalaksana gangguan stress pasca trauma sebaiknya mempertimbangkan : 1. Gangguan stress pasca trauma merupakan suatu gangguan yang kronik dan berulang serta sering berkormobiditas dengan gangguan-gangguan jiwa serius lainnya. 2. Anti depressan golongan SSRI merupakan obat pilihan pertama untuk kasus ini. 3. Terapi yang efektif harus dilanjutkan paling sedikit 12 bulan. 4. Exposure therapy merupakan terapi dengan pendekatan psikososial terbaik yang dianjurkan dan sebaiknya dilanjutkan selama 6 bulan. IX. PROGNOSIS Sampai 50% kasus akan pulih pada tahun pertama, namun sampai 30% perjalanan penyakitnya akan kronis. Tampaknya hasilnya bergantung pada keparahan gejala awal. Pemulihan akan dibantu dengan: dukungan sosial yang baik, tidak ada tanggapan negatif dari orang lain, tidak ada mekanisme coping yang maladaptif, serta tidak adanya peristiwa traumatik berikutnya, termasuk kesehatan fisik, disabilitas, kecacatan, relasi yang terputus, masalah keuangan dan proses hukum. Kebanyakan individu yang menjalani terapi medik dan psikiatrik yang sesuai dan sembuh sempurna (atau hampir sempurna). Walaupun begitu, ada individu yang mengalami gejala yang semakin parah dan bunuh diri bahkan dengan terapi yang intensif. Pada pasien gangguan stress pasca trauma yang menjalani pengobatan, gejala bertahan rata rata dalam 36 bulan, dibandingkan dengan 64 bulan pada pasien yang tidak mendapat terapi. Walaupun begitu, lebih dari sepertiga pasien yang menderita gangguan stress pasca trauma tidak pernah sembuh sempurna. KESIMPULAN

Gangguan Stress Pasca Trauma / Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) dapat didefinisikan sebagai keadaan yang melemahkan fisik dan mental secara ekstrim yang timbul setelah seseorang melihat, mendengar, atau mengalami suatu kejadian trauma yang hebat dan atau kejadian yang mengancam kehidupannya. Gejala gejala gangguan stress pasca trauma timbul sebagai akibat dari respons biologik dan juga psikologik seorang individu. Kondisi ini terjadi oleh karena aktivasi dari beberapa sistem di otak yang berkaitan dengan timbulnya perasaan takut pada seseorang. 7 Pada pasien yang mengalami gangguan stress pasca trauma terdapat gangguan faktor biologis, dimana dihipotesis terjadi hipersensitivitas dari ketiga sistem yang teraktivasi (sistem saraf simpatis, parasimpatis, dan aksis HPA) sehingga seseorang menjadi mudah untuk mengalami gejala gejala tersebut. Pada gangguan faktor psikologik, dihipotesis bahwa pada gangguan stress pasca trauma, terjadi reaktivasi konflik psikologik yang belum terselesaikan di masa lampau. Dengan adanya peristiwa traumatik yang dialami, maka konflik konflik psikologis yang belum diselesaikan itu akan tereaktivasi kembali. Manifestasi klinis utama gangguan stress pasca trauma adalah mengalami kembali secara involunter peristiwa traumatik dalam bentuk mimpi atau bayangan yang intrusif, yang menerobos masuk ke dalam kesadaran secara tiba tiba (kilas balik atau flashback. Hal ini sering dipicu oleh hal hal yang mengingatkan penderita akan peristiwa traumatik yang pernah dialami. 1, selain itu juga bermanifestasi terhadap penghindaran terhadap trauma serta kesadaran berlebihan yang persisten sifatnya. DSM-IV menyebutkan bahwa gejala pengalaman ulang, menghindar, dan kesadaran yang berlebihan harus berlangsung lebih dari satu bulan. Bagi pasien yang gejalanya ditemukan kurang dari satu bulan, diagnosis yang tepat adalah gangguan stress akut. Kriteria diagnostik DSM-IV untuk gangguan stress pascatraumatik memungkinkan klinisi menentukan apakah gangguan adalah akut (jika gejala berlangsung kurang dari tiga bulan) atau kronis (lebih dari tiga bulan). Obat yang berguna dalam pengobatan gangguan stress pascatraumatik adalah Serotonin-Specific Reuptake Inhibitors (SSRI), trisiklik (imipramin, mitriptilin), Mono-Amine Oxidase Inhibitors (MAOI), dan anti konvulsan (carbamazepin). Clonidin dan Propanol dianjurkan. Tatalaksana gangguan stress pasca trauma diharapkan dalam bentuk yang komprehensif, meliputi : - Pemberian medikasi :

anti depressan, seperti fluoxentin 10-60 mg/hari, sertralin 50-200 mg/hari - Psikoterapi : Psikoterapi yang diberikan umumnya, seperti psikoterapi kognitif-perilaku, psikoterapi kelompok, dan hypnotherapy. - Edukasi, - Dukungan psikososial - Meredakan kecemasan, seperti dengan teknik-teknik mengatur pernafasan serta mengontrol pikiran-pikiran. - Modifikasi pola hidup, seperti diet yang sehat mengarut konsumsi kafein, alkohol, rokok dan obat-obatan lainnya. DAFTAR PUSTAKA 1. Maramis, W. F.; Albert A. Maramis. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Ed 2; Surabaya: Airlangga University Press. 2. Dorland, W. A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Ed. 29. Jakarta: ECG.

3. Kaplan, H. I., dkk. 2007. Synopsis of Psychiatry Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry. Ed 10. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 4. Gabbard GO : Anxiety Disorders : The DSM IV Edition, American Psychiatric Press, Washington, 1994. 5. Ibrahim A. S : Panik, Neurosis dan Gangguan Cemas, PT. Dian Ariesta,Jakarta, 2003. 6. Jaimie L. Gradus, DSc, MPH. 2007. Epidemiology of PTSD.Available from: http://www.ptsd.va.gov/professional/pages/epidemiological-facts-ptsd.asp 7. Elvira, S. D., dkk. 2010. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: FKUI. 8. Maslim, Rusdi. 2003.Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III. Jakarta: PT Nuh Jaya. 9. Frances, A., M. D., Pincus, H. A., M. D., dkk. 1994. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders. Ed 4. Washington DC: American Psychiatric Association. 10. Cohen, H., Ph. D., 2008. Psychotherapy Treatment for PTSD. [cited 4 April 2012]. Available from: http://psychcentral.com/lib/2006/treatment-of-ptsd/ 11. Edna Foa, Jonathan Davidson, Allen Frances. The Expert Consensus Guideline Series, Treatment of Posttraumatic Stress Disorder. The Journal of Clinical Psikiatry, Volume 60. 1999.