BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
PERENCANAAN GEOMETRIK DAN PERKERASAN RUAS JALAN ARIMBET-MAJU-UJUNG-BUKIT-IWUR PROVINSI PAPUA

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI. jalan, diperlukan pelapisan ulang (overlay) pada daerah - daerah yang mengalami

BAB III LANDASAN TEORI. tanah adalah tidak rata. Tujuannya adalah menciptakan sesuatu hubungan yang

BAB IV PERENCANAAN. Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan Metode Analisa Komponen SKBI

JURUSAN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER Oleh NRP :

BAB III METODE PERENCANAAN. 1. Metode observasi dalam hal ini yang sangat membantu dalam mengetahui

BAB III LANDASAN TEORI. A. Parameter Desain

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan disain yang menggunakan material tersebut telah sangat luas sehingga material

Perhitungan Intensitas Maksimum Stasiun Tanjung Perak Perhitungan Intensitas Maksimum Stasiun Sampang...

PERENCANAAN GEOMETRIK DAN PERKERASAN PEMBANGUNAN JALAN RUAS ONGGORAWE MRANGGEN PROPINSI JAWA - TENGAH

BAB III LANDASAN TEORI. Pada metode Bina Marga (BM) ini jenis kerusakan yang perlu diperhatikan

PERENCANAAN GEOMETRIK PADA RUAS JALAN TANJUNG MANIS NILAS KECAMATAN SANGKULIRANG

Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan Lingkar Barat Metropolitan Surabaya Jawa Timur

BAB I PENDAHULUAN Rumusan Masalah

PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN DAN TEBAL PERKERASAN LENTUR PADA RUAS JALAN GARENDONG-JANALA

BAB V EVALUASI V-1 BAB V EVALUASI

Menetapkan Tebal Lapis Perkerasan

5/11/2012. Civil Engineering Diploma Program Vocational School Gadjah Mada University. Nursyamsu Hidayat, Ph.D. Source:. Gambar Situasi Skala 1:1000

BAB III PARAMETER PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN

Berfungsi mengendalikan limpasan air di permukaan jalan dan dari daerah. - Membawa air dari permukaan ke pembuangan air.

PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN PADA PROYEK PENINGKATAN JALAN BATAS KABUPATEN TAPANULI UTARA SIPIROK (SECTION 2)

254x. JPH = 0.278H x 80 x 2.5 +

Eng. Ibrahim Ali Abdi (deercali) 1

Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan Tol Pandaan-Malang dengan Jenis Perkerasan Lentur

NOTASI ISTILAH DEFINISI

BAB II DASAR TEORI. Bab II Landasan Teori

TUGAS AKHIR. Untuk memenuhi sebagai persyaratan dalam memperoleh Gelar Sarjana Teknik (S-1) Diajukan Oleh : ADI SISWANTO

Volume 5 Nomor 1, Juni 2016 ISSN

BAB II DASAR TEORI 2.1 Tinjauan Umum 2.2 Dasar Teori Oglesby, C.H Hicks, R.G

PROYEK AKHIR. PROGRAM DIPLOMA III TEKNIK SIPIL Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya

Perencanaan Geometrik & Perkerasan Jalan PENDAHULUAN

BAB II1 METODOLOGI. Berikut ini adalah bagan alir (Flow Chart) proses perencanaan lapis

BAB II LANDASAN TEORI

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 3 PARAMETER PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN

BAB II LANDASAN TEORI

BAB III METODA PERENCANAAN

ANALISA DESAIN OVERLAY DAN RAB RUAS JALAN PONCO - JATIROGO LINK 032, STA KM

BAB 2 PENAMPANG MELINTANG JALAN

BAB III LANDASAN TEORI. Kendaraan rencana dikelompokan kedalam 3 kategori, yaitu: 1. kendaraan kecil, diwakili oleh mobil penumpang,

SKRIPSI PERBANDINGAN PERHITUNGAN PERKERASAN LENTUR DAN KAKU, DAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN (STUDI KASUS BANGKALAN-SOCAH)

Oleh : ARIF SETIYAFUDIN ( )

ABSTRAK PERENCANAAN GEOMETRIK DAN TEBAL PERKERASAN JALAN NGIPIK KECAMATAN KEBOMAS KABUPATEN GRESIK

PERENCANAAN PENINGKATAN JALAN TUBAN BULU KM KM JAWA TIMUR DENGAN PERKERASAN LENTUR

PENGANTAR PERENCANAAN JALAN RAYA SO324 - REKAYASA TRANSPORTASI UNIVERSITAS BINA NUSANTARA 2006

ELEMEN PERANCANGAN GEOMETRIK JALAN

Gambar 3.1. Diagram Nilai PCI

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

PERENCANAAN ULANG PENINGKATAN JALAN BANGKALAN BATAS KABUPATEN SAMPANG STA KABUPATEN BANGKALAN PROPINSI JAWA TIMUR

BAB III LANDASAN TEORI. dapat digunakan sebagai acuan dalam usaha pemeliharaan. Nilai Pavement

PERENCANAAN PERKERASAN LENTUR PADA RUAS JALAN BLITAR - SRENGAT (STA STA ) DENGAN METODE ANALISA KOMPONEN TUGAS AKHIR

BAB III LANDASAN TEORI. dapat digunakan sebagai acuan dalam usaha pemeliharaan. Nilai Pavement

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum

Outline. Klasifikasi jalan Dasar-dasar perencanaan geometrik Alinemen horisontal Alinemen vertikal Geometri simpang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA

GAMBAR KONSTRUKSI JALAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN (HSKB 250) Lengkung Geometrik

BAB III METODOLOGI 3.1 Metode Pengumpulan Data

DAFTAR ISI.. KATA PENGANTAR i DAFTAR GAMBAR. DAFTAR TABEL.. DAFTAR NOTASI DAFTAR LAMPIRAN..

LAPORAN. Ditulis untuk Menyelesaikan Matakuliah Tugas Akhir Semester VI Pendidikan Program Diploma III. oleh: NIM NIM.

PERANCANGAN GEOMETRIK JALAN MENGGUNAKAN SOFTWARE AUTODESK LAND DESKTOP 2006 Veronica Dwiandari S. NRP:

ANALISIS TEBAL PERKERASAN LENTUR DENGAN METODE ANALISA KOMPONEN SKBI 1987 BINA MARGA DAN METODE AASHTO

PEDOMAN. Perencanaan Median Jalan DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH. Konstruksi dan Bangunan. Pd. T B

BAB II PENAMPANG MELINTANG JALAN

Memperoleh. oleh STUDI PROGRAM MEDAN

LEMBAR PENGESAHAN. TUGAS AKHIR PERENCANAAN JALAN LINGKAR SELATAN SEMARANG ( Design of Semarang Southern Ringroad )

BAB IV PERHITUNGAN TEBAL PERKERASAN LENTUR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Provinsi Banten ini nantinya akan berubah status dari Jalan Kolektor

Perencanaan Geometrik Jalan

BAB I PENDAHULUAN Perkembangan Teknologi Jalan Raya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

EVALUASI DAN PERENCANAAN GEOMETRIK JARINGAN JALAN DI DALAM UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

PERENCANAAN GEOMETRIK, TEBAL PERKERASAN DAN RENCANA ANGGARAN BIAYA RUAS JALAN TINGKIR TENGAH BENDOSARI KOTAMADYA SALATIGA

PERANCANGAN GEOMETRIK JALAN DENGAN MENGGUNAKAN PROGRAM BENTLEY MX ROAD Rizky Rhamanda NRP:

Dalam perencanaan lapis perkerasan suatu jalan sangat perlu diperhatikan, bahwa bukan cuma karakteristik

BAB II DASAR TEORI Tinjauan pustaka

BAB IV PERHITUNGAN TEBAL PERKERASAN LENTUR. perumahan Puri Botanical Residence di jl. Joglo Jakarta barat. ditanah seluas 4058

BAB 1 PENDAHULUAN Tahapan Perencanaan Teknik Jalan

STUDI BANDING DESAIN TEBAL PERKERASAN LENTUR MENGGUNAKAN METODE SNI F DAN Pt T B

PERENCANAAN GEOMETRIK DAN RENCANA ANGGARAN BIAYA RUAS JALAN PANDAAN TAPEN KOTA MADYA SALATIGA TUGAS AKHIR

BAB II STUDI PUSTAKA

PROYEK AKHIR. PERENCANAAN ULANG PENINGKATAN JALAN PASURUAN-PILANG STA s/d STA PROVINSI JAWA TIMUR

PERENCANAAN PENINGKATAN JALAN PANDAN ARUM - PACET STA STA KABUPATEN MOJOKERTO JAWA TIMUR

terjadi, seperti rumah makan, pabrik, atau perkampungan (kios kecil dan kedai

EVALUASI ALINEMEN HORIZONTAL PADA RUAS JALAN SEMBAHE SIBOLANGIT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN. membandingkan perhitungan program dan perhitungan manual.

BAB II STUDI PUSTAKA

ANALISA ALINYEMEN HORIZONTAL PADA JALAN LINGKAR PASIR PENGARAIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Penampang Melintang Jalan Tipikal. dilengkapi Trotoar

BAB III METODOLOGI PERENCANAAN PERKERASAN LENTUR KONSTRUKSI JALAN RAYA. 1. Nama Proyek : Pembangunan Jalan Spine Road III Bukit Sentul

Sesuai Peruntukannya Jalan Umum Jalan Khusus

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang C. Tujuan Penelitian D. Manfaat Penelitian B. Rumusan Masalah

PERENCANAAN GEOMETRIK TEBAL PERKERASAN DAN RENCANA ANGGARAN BIAYA RUAS JALAN KARTASURA SUKOHARJO

BAB IV METODE PENELITIAN

DAFTAR ISI KATA PENGATAR

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umum Perencanaan jalan terdiri dari dua bagian yaitu perancangan geometrik dan struktur perkerasan jalan. Perencanaan geometrik jalan merupakan bagian perencanaan jalan yang dititik beratkan pada perencanaan bentuk fisik, sehingga dapat memenuhi fungsinya untuk memberikan pelayanan yang optimum pada arus lalu lintas dan akses dari rumah ke rumah. Dalam lingkup pekerjaan ini termasuk pula dimensi perkerasan, tetapi bukan pada perencanaan tebal perkerasannya. Walaupun dimensi dari perkerasan merupakan bagian dari perencanaan geometric sebagai bagian dari perencanaan jalan seutuhnya. Demikian pula dengan drainase jalan. Jadi tujuan dari perencanaan geometric jalan adalah menghasilkan infra struktur yang aman, efisien pelayanan arus lalu-lintas dan memaksimalkan ratio tingkat penggunaan/biaya pelaksanaan. Ruang, bentuk dan ukuran jalan dikatakan baik jika dapat memberikan rasa aman dan nyaman kepada pengemudi jalan. Yang menjadi dasar perencanaan geometrik adalah sifat gerakan dan ukuran kendaraan, sifat pengemudi dalam mengendalikan gerak haruslah menjadi bahan pertimbangan perencanaan sehingga dihasilkan bentuk dan ukuran jalan, serta ruang gerak kendaraan yang memenuhi tingkat kenyamanan dan keamanan yang diharapkan. II-1

2.2 Teori Umum Dasar teori yang digunakan dalam pembahasan ini adalah teori Bina Marga yang mengadopsi teori dari AASHTO telah disesuaikan berdasarkan iklim, jenis material dan pola berkendaraan di Indonesia dan panduan SNI 1732 1989 F mengenai Perkerasan Jalan Raya, serta Analisa harga dan bahan DKI Jakarta. Dalam penulisan tugas akhir ini sebagian menggunakan literatur elektronik dari website yang dapat mendukung pembahasan untuk perencanaan ini. Parameter perencanaan yang perlu dipertimbangkan antara lain : a. Kendaraan rencana Dilihat dari bentuk, ukuran, dan daya dari kendaraan-kendaraan yang mempergunakan jalan, kendaraan-kendaraan tersebut dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok. Umumnya dapat dikelompokkan menjadi kelompok mobil penumpang, bus/truk, semi trailer, trailer. Untuk perencanaan, setiap kelompok diwakili oleh satu ukuran standar, dan disebut sebagai kendaraan rencana. Ukuran kendaraan rencana untuk masing-masing kelompok adalah ukuran tersebesar yang mewakili kelompoknya. Kendaraan rencana adalah kendaraan yang merupakan wakil dari kelompoknya, dipergunakan untuk merencanakan bagian-bagian dari jalan. Untuk perencanaan geometric jalan, ukuran lebar kendaraan rencana akan mempengaruhi lebar lajur yang dibutuhkan. Sifat membelok kendaraan akan mempengaruhi perencanaan tikungan, dan lebar median II-2

dimana mobil diperkenankan untuk memutar (U-turn). Daya kendaraan akan mempengaruhi tingkat kelandaian yang dipilih, dan tinggi tempat duduk pengemudi akan mempengaruhi jarak pandangan pengemudi. Kendaraan rencana mana yang akan dipilih sebagai dasar perencanaan geometric jalan ditentukan oleh fungsi jalan dan jenis kendaraan dominan yang memakai jalan tersebut. Pertimbangan biaya tentu juga ikut menentukan kendaraan rencana yang dipilih sebagai kriteria perencanaan. Tabel 2.2.1. : Dimensi Kendaraan Rencana Gambar 2.2.1. : Dimensi Kendaraan Rencana II-3

Gambar 2.2.2 : Kendaraan Rencana Tabel : Ukuran kendaraan rencana Tabel 2.2.2 : Ukuran Kendaraan Rencana Tabel : ukuran kendaraan rencana II-4

b. Kecepatan adalah besaran yang menunjukkan jarak yang ditempuh kendaraan dibagi waktu tempuh. Biasanya dinyatakan dalam Km/jam. Kecepatan ini menggambarkan nilai gerak dari kendaraan. Perencanaan jalan yang baik tentu saja haruslah berdasarkan kecepatan yang dipilih dari keyakinan bahwa kecepatan tersebut sesuai dengan kondisi dan fungsi jalan yang diharapkan. Kecepatan rencana adalah kecepatan yang dipilih untuk keperluan perencanaan setiap bagian jalan raya seperti tikungan, kemiringan jalan, jarak pandang dan lain-lain. Kecepatan yang dipilih tersebut adalah kecepatan tertinggi menerus dimana kendaraan dapat berjalan dengan aman dan keamanan itu sepenuhnya tergantung dari bentuk jalan. Hampir semua jalan dipengaruhi oleh kecepatan rencana, baik secara langsung seperti tikungan horizontal, dan kemiringan melintang ditikungan, jarak pandangan maupun secara tak langsung seperti lebar lajur, lebar bahu, kebebasan melintang dan lain-lain. Oleh karena itu pemilihan kecepatan rencana sangat mempengaruhi keadaan seluruh bagian-bagian jalan dan biaya untuk pelaksanaan jalan tersebut. c. Volume Lalu-lintas, sebagai pengukur jumlah dari arus lalu-lintas digunakan volume. Volume lalu-lintas menunjukkan jumlah kendaraan yang melintasi satu titik pengamatan dalam satu satuan waktu (hari, jam, menit). Volume lalu-lintas yang tinggi membutuhkan lebar perkerasan jalan yang lebih lebar, sehingga tercipta kenyamanan dan keamanan. Sebaliknya jalan yang terlalu lebar untuk volume lalu lintas rendah cenderung II-5

membahayakan, karena pengemudi cenderung mengemudikan kendaraannya pada kecepatan yang lebih tinggi sedangkan kondisi jalan belum tentu memungkinkan. Dan disamping itu mengakibatkan peningkatan biaya pembangunan jalan yang tidak pada tempatnya. Kapasitas, adalah jumlah kendaraan maksimum yang dapat melewati suatu penampang pada jalur jalan selama satu jam dengan kondisi serta arus lalu lintas tertentu. Perbedaan antara VJP dan kapasitas adalah VJP menunjukkan jumlah arus lalu lintas yang direncanakan dan melintasi suatu penampang jalan selama satu jam, sedangkan kapasitas menunjukkan jumlah arus lalu lintas yang maksimum dapat melewati penampang tersebut dalam waktu satu jam sesuai dengan kondisi jalan (sesuai dengan lebar lajur, kebebasan samping, kelandaian, dan lain-lain). Tabel 2.2.3 : Standart Perencanaan Geometrik JALAN RAYA JALAN JALAN RAYA SEKUNDER KLASIFIKASI JALAN UTAMA PENGHUBUNG I IIA IIB IIC III Klasifikasi Medan D B G D B G D B G D B G D B G Lalu-lintas harian rata2 (LHR) dalam Smp > 20.000 6000-20.000 1500-8000 < 2000 - Kecepatan Rencana (Km/jam) 120 100 80 100 80 60 80 60 40 60 40 30 60 40 30 Lebar daerah penguasaan minimum (m) 60 60 60 40 40 40 30 30 30 30 30 30 20 20 20 Lebar Perkerasan (m) Minimum 2x3,5 atau 2 x 3,5 2 x 3 3,50 6,00 2(2x3,75) 2x(2x3,5) Lebar median minimum (m) %1,00 1,50 ** - - - Lebar Bahu (m) 3,5 3 3 3 2,5 2,5 3 2,5 2,5 2,5 1,5 1,0 1,5 2,5 * Lereng melintang perkerasan 2 % 2 % 2% 3% 4% Lereng melintang bahu 4% 4% 6% 6% 6% Jenis lapisan permukaan jalan Aspal beton (hotmix) Aspal beton Penetrasi berganda atau Paling tinggi penetrasi Paling tinggi pelaburan dengan aspal setaraf tunggal Miring tikungan maximum 10% 10% 10% 10% 10% Jari2 lengkung minimum (m) 560 350 210 350 210 115 210 115 50 115 50 30 115 50 30 Landai maximum 3% 5% 6% 4% 6% 7% 5% 7% 8% 6% 8% 10% 6% 8% 12% Catatan : * = Menurut keadaan setempat ** = untuk 4 jalur II-6

d. Tingkat pelayanan jalan Lebar dan jumlah lajur yang dibutuhkan tidak dapat di rencanakan dengan baik walaupun VJP/ LHRtelah ditentukan. Hal ini disebabkan oleh karena tingkat kenyamanan dan keamanan yang akan diberikan oleh jalan rencana belum ditentukan. Lebar lajur yang dibutuhkan akan lebih lebar jika pelayanan dari jalan diharapkan lebih tinggi. Kebebasan bergerak yang dirasakan oleh pengemudi akan lebih baik pada jalan jalan dengan kebebasan samping yang memadai, tetapi hal tersebut tentu saja menuntut daerah manfaat jalan yang lebih lebar pula. Pada suatu keadaan dengan volume lalu lintas yang rendah, pengemudi akan merasa lebih nyaman mengendarai kendaraan dibandingkan jika dia berada pada daerah tersebut dengan volume lalu lintas yang lebih besar. Kenyamanan akan berkurang sebanding dengan bertambahnya volume lalu lintas. Dengan perkataan rasa nyaman dan volume arus lalu lintas tersebut berbanding terbalik, tetapi kenyamanan dari kondisi arus lalu lintas yang ada tak cukup hanya digambarkan dengan volume lalu lintas tanpa disertai data kapasitas jalan, dan kecepatan pada jalan tersebut. e. Jarak pandangan, merupakan keamanan dan kenyaman pengemudi kendaraan untuk dapat melihat dengan jelas dan menyadari situasinya pada saat mengemudi, sangat tergantung pada jarak yang dapat dilihat dari tempat kedudukannya. Panjang jalan didepan kendaraan yang masih dapat dilihat dengan jelas diukur dari titik kedudukan pengemudi disebut jarak pandangan. Jarak pandangan berguna untuk : II-7

1. Menghindarkan terjadinya tabrakan yang dapat membahayakan kendaraan dan manusia akibat adanya benda yang berukuran cukup besar, kendaraan yang sedang berhenti, pejalan kaki, atau hewanhewan pada lajur jalannya. 2. Memberi kemungkinan untuk mendahului kendaraan lain yang bergerak dengan kecepatan lebih rendah dengan mempergunakan lajur disebelahnya. 3. Menambah efisien jalan tersebut, sehingga volume pelayanan dapat dicapai semaksimal mungkin. 4. Sebagai pedoman bagi pengatur lalu lintas dalam menempatkan rambu rambu lalu lintas yang diperlukan pada setiap segmen jalan. Dilihat dari kegunaannya jarak pandangan dapat dibedakan atas : - Jarak pandangan henti yaitu jarak pandangan yang dibutuhkan untuk menghentikan kendaraannya. - Jarak pandangan menyiap yaitu jarak pandangan yang dibutuhkan untuk dapat menyiap kendaraan lain yang berada pada lajur jalannya dengan menggunakan lajur untuk arah yang berlawanan. Gambar 2.2.3 : Lengkung Vertikal Cembung II-8

Gambar 2.2.4 : Lengkung Vertikal Cekung f. Sedangkan untuk perkerasan jalan yang merupakan konstruksi utama jalan harus memenuhi syarat dari segi konstruktif,ekonimis, dan pelayanan. Dalam penyusunan tugas akhir ini bahasan yang akan ditinjau adalah disain dan analisa, dimana disain mengikuti pedoman Dasar dasar Perencanaan Geometrik Jalan sesuai yang diterbitkan oleh Direktorat Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum. 2.2.1 Tinjauan Geometrik Perencanaan geometric jalan merupakan bagian dari perencanaan jalan yang dititik beratkan pada perencanaan bentuk fisik sehinggga dapat memenuhi fungsi dasar dari jalan yaitu memberikan pelayanan yang optimum pada arus lalu lintas dan sebagai akses ke rumah rumah. Elemen dari perencanaan geometric terdiri atas II-9

2.2.1.1. Alignemen horizontal,yaitu proyeksi sumbu jalan pada bidang horizontal atau proyeksi horizontal sumbu jalan tegak lurus bidanng horizontal. Alinyemen horizontal merupakan trase jalan yang terdiri dari garis lurus dan lengkung atau biasa disebut tikungan. Secara umum bentuk tikungan yang dipergunakan ada 3 yaitu Lengkung busur lingkaran sedernana (Full Circle atau TC - CT) Bentuk ini hanya pada tikungan yang mempunyai radius yang besar dan sudut tangen relatif kecil. Rumus umum : T = R. tg ½ Δ. (I-1) E = T. tg ½ Δ. (I-2) L = (π / 180). Δ. R. (I-3) Harga Δ dihitung secara analitis berdasarkan koordinatkoordinat PI. Harga R ditentukan secara grafis pada plan dengan menggunakan maal. Gambar 2.2.5 : Super Elevasi pada tikungan type Full Circle II-10

ß PI TC TC LC C T R ½ ß ½ ß R Gambar 2.2.6 : Tikungan Full Circle Lengkung busur lingkaran dengan lengkung peralihan (Spiral Circle Spiral atau TS-SC-CS-ST) Pada tikungan yang tajam dimana radius lengkung kecil dan superelevasi yang dibuthkan besar akan menyebabkan perubahan kemiringan melintang yang besar yang mengakibatkan timbulnya kesan patah pada tepi perkerasan luar,untuk mengurangi efek negatif tersebut dapat dikurangi dengan membuat lengkung peralihan. Rumus yang digunakan : Ts = (R + p) tg ½ Δ + k.. (II-1) Es = [(R + p) / (Cos ½ Δ)] R. (II-2) L = L + 2 Ls (II-3) Dimana : L = (Δ / 360). 2. π. R.. (II-4) Δ = Δ 2 θs. (II-5) Kontrol I : L > 20 meter Harga e (super elevasi) II-11

Gambar 2.2.7 : Super Elevasi pada tikungan type SCS Gambar 2.2..8 : Tikungan type SCS Lengkung Spiral spiral (TS ST) Lengkung horizontal berbentuk spiral adalah lengkung tanpa busur lingkaran dengan tangen yang besar. Rumus-rumus yang digunakan adalah : Ls = (θs / 28,648). R (III-1) Ts = (R + p) tg ½ Δ + k (III-2) Es = [(R + p)/(cos ½ Δ)] R (III-3) L = 2 Ls Kontrol ; 2 Ls < 2 Ts II-12

Dimana : P = P*. Ls K = K*. Ls Harga-harga P* dan K* adalah harga-harga yang dibaca dari table. Gambar 2.2.9 : Diagram Superelevasi tikungan Spiral-spiral Gambar 2.2.10 : Tikungan Spiral - spiral II-13

2.2.1.2.Alignemen vertikal,adalah perpotongan bidang vertical dengan bidang permukaan perkerasan jakan melalui sumbu jalan untuk 2 lajur 2 arah melalui tepi dalam masing masing perkerasan untuk jalan dengan median atau sering disebut penampang memanjang jalan.pergantian dari suatu kelandaian ke kelandaian yang lain dilakukan dengan mempergunakan lengkung verikal yang direncanakan sehingga memenuhi keamanan,kenyamanan,dan drainase. Perencanaan alinemen vertical dipengaruhi oleh besarnya biaya pembangunan yang tersedia. Alinemen vertical yang mengikuti muka tanah asli akan mengurangi pekerjaan tanah, tetapi mungkin saja akan mengakibatkan jalan itu terlalu banyak mempunyai tikungan. Tentu saja hal ini belum tentu sesuai dengan persyaratan yang diberikan sehubungan dengan fungsi jalan. Muka jalan sebaiknya diletakkan sedikit diatas muka tanah asli sehingga memudahkan dalam pembuatan drainase jalannya, terutama didaerah yang datar. Pada daerah yang seringkali dilanda banjir sebaiknya penampang memanjang jalan diletakkan diatas elevasi muka banjir. Di daerah perbukitan atau pegunungan diusahakan banyaknya pekerjaan galian seimbang dengan pekerjaan timbunan, sehingga secara keseluruhan biaya yang dibutuhkan tetap dapat dipertanggung jawabkan. Jalan yang terletak diatas lapisan tanah yang lunak harus pula diperhatikan akan kemungkinan besarnya penurunan dan perbedaan penurunan yang mungkin terjadi. Dengan demikian penarikan alinemen II-14

vertical sangat dipengaruhi oleh berbagai pertimbangan seperti : - Kondisi tanah dasar - Keadaan medan - Fungsi jalan - Muka air banjir - Muka air tanah - Kelandaian yang masih memungkinkan Perlu pula diperhatikan bahwa alinemen vertical yang direncanakan itu akan berlaku untuk masa panjang, sehingga sebaiknya alinemen vertical yang dipilih tersebut dengan mudah mengikuti perkembangan lingkungan. Alinemen vertical disebut juga penampang memanjang jalan yang terdiri dari garis-garis lurus dan garis-garis lengkung. Garis lurus tersebut dapat datar, mendaki atau menurun, biasa disebut berlandai. Landai jalan dinyatakan dengan persen. Jenis lengkung vertical dilihat dari letak titik perpotongan kedua bagian lurus (tangen) adalah : Lengkung vertical cembung, adalah lengkung dimana titik perpotongan antara kedua tangen berada di atas permukaan jalan yang bersangkutan. Untuk lengkung vertical cembung : - Syarat keamanan berdasarkan jarak pandang henti (S<L atau S > L), jarak pandang menyiap. - Keluwesan bentuk : Lv = 0,6 v (m) Dimana v = kecepatan rencana II-15

= Syarat drainasi : Lv = 40 A paling ideal diambil Lv yang terpanjang Gambar 2.2.11 : Jarak Pandang Lengkung Vertikal Cembung (S<L) Gambar 2.2.12 : Jarak Pandang Lengkung Vertikal Cembung (S>L) Lengkung vertical cekung, adalah lengkung dimana titik perpotongan antara kedua tangen berada di bawah permukaan jalan. Untuk lengkung vertical cekung : - Syarat kenyamanan : Lv = [(A. V 2 )/(1300 a) Dimana : a = percepatan sentripugal a 0,3 m/det - Syarat keluwesan bentuk : II-16 2 (umumnya diambil a = 0,1 m/det).

Lv = 0,6 V, dimana V = kecepatan rencana (km/jam) - Syarat drainase : Lv = 40 A Dimana A = perbedaan aljabar dari landai (%) paling ideal ambil Lv yang terpanjang Gambar 2.2.13 : Lengkung Vertikal Cekung dengan jarak pandang penyinaran Lampu Depan < L Gambar 2.2.14 : Lengkung Vertikal Cekung dengan jarak pandang penyinaran Lampu Depan > L 3. Penampang melintang jalan,merupakan potongan melintang tegak lurus sumbu jalan sehingga dapat terlihat bagian bagian jalan yang dapat dikelompokkan sebagai berikut ; Bagian yang langsung berguna untuk lalu lintas (badan jalan) a. Jalur lalu lintas II-17

b. Lajur lalu lintas c. Bahu jalan d. Trotoar e. Median jalan Gambar 2.2.15: Penampang Melintang Jalan tanpa Median Gambar 2.2.16 : Penampang Melintang Jalan dengan Median Bagian yang berguna untuk drainase jalan ; a. Saluran samping b. Kemiringan melintangg jalur lalu lintas c. Kemiringan melintang bahu jalan d. Kemiringan lereng. II-18

Gambar 2.2.17 : Penampang melintang Jalan dengan saluran Gambar 2.2.18 : Penampang melintang Jalan dengan saluran Bagian konstruksi jalan : a. Lapisan perkerasan jalan b. Lapisan pondasi atas c. Lapisan pondasi bawah d. Lapisan tanah dasar Gambar 2.2.19 : Susunan Perkerasan II-19

Bagian pelengkap jalan, seperti kerb dan pengaman tepi. Daerah manfaat jalan (damaja) Daerah milik jalan (damija) Gambar 2.2.20 : Damaja, Damija dan Dawasja 2.2.2 Tinjauan Perkerasan Perkerasan jalan merupakan konstruksi utama dari jalan, karena nilai suatu jalan akan sangat ditentukan dengan pelayanan jalan tersebut.syarat utama dari konstruksi jalan adalah kuat,kedap air,dan sesuai dengan umur rencana.perkerasan jalan dari segi material yang digunakan dibedakan menjadi 2, yaitu : 1. Perkerasan Lentur dengan material dasar aspal, biasanya terdiri dari 3 (tiga) lapisan yaitu : Lapisan permukaan (surface) Lapisan pondasi atas (Base ) Lapisan pondasi bawah (sub base) Karena perkerasan ini bersifat fleksible maka beban yang II-20

diterima konstruksi jalan tidak besar tetapi peranan daya dukung tanah menjadi sangat dominan. 2. Perkerasan kaku, biasanya dengan material utama semen sebagai bahan pengikat. Perkerasan kaku ini terdiri dari 2 (dua) lapisan yaitu : - Lapisan kaku dengan mutu beton K-350 - Lapisan lantai kerja Secara umum pemahamannya adalah suatu proses yang menguraiakan komponen komponen dari suatu proyek menjadi suatu fungsi sehingga menghasilkan nilai yang memuaskan. Fase fase penerapannya ada beberapa tahapan yaitu : 1. Phase investigasi, mengidentifikasi data data pendukung,data data teknik,data lapangan,analisa kebutuhan dan obyektivitas yang diharapkan. 2. Phase Spekulasi, merupakan waktu pengolahan data data seoptimal mungkin untuk dijadikan pedoman. 3. Phase presentasi, hasil proposal yang telah ditetapkan diuraikan sehingga secara umum perencana mengetahui arahan yang akan diterapkan. 4. Phase Pelaksanaan, hasil yang telah direkomendasikan tersebut diterapkan di lapangan selama kegiatan konstruksi. 5. Phase Evaluasi, menganalisa kemungkinan kemingkinan yang terjadi serta,kegiatan konstruksi itu sendiri dan biaya pelaksanaan. II-21

6. Phase pengembangan, dalam phase ini dilakukan pengembangan teknik dan ekonomi yang mungkin dapat dilakukan untuk jangka singkat maupun jangka panjang. 7. Phase Audit, merupakan kegiatan penilaian dari semua rekomendasi yang telah diterapkan untuk kemudian didokumentasi untuk keperluan pelaporan. 8. Phase perhitungan, dalam phase ini dilakukan perhitungan secara manual. 2.2.3 Sitem Jaringan Jalan Sekunder Sistem jaringan jalan sekunder disusun mengikuti ketentuan pengaturan tata ruang wilayah yang menghubungkan kawasan kawasan yang memiliki fungsi primer, fungsi sekunder kesatu, fungsi sekunder kedua, fungsi sekunder ketiga dan seterusnya sampai ke perumahan. 2.2.4 Karakteristik Lalu Lintas Pada umumnya lalu lintas pada jalan raya terdiri dari campuran kendaraan cepat, kendaraan lambat, kendaraan berat, kendaraan ringan dan kendaraan tidak bermotor. Dalam hubungannya dengan kapasitas jalan, pengaruh dari setiap jenis kendaraan tersebut terhadap keseluruhan arus lalu lintas diperhitungkan dengan membandingkan terhadap pengaruh dari suatu mobil penumpang. Pengaruh mobil penumpang dalam hal ini dipakai sebagai satuan dan disebut Satuan Mobil Penumpang atau disingkat smp. Untuk menilai setiap kendaraan kedalam satuan mobil penumpang (smp) bagi jalan-jalan didaerah datar digunakan koefisien dibawah ini : II-22

Tabel 2.2.4 : Koefisien Satuan Mobil Penumpang. Jenis Kendaraan Koefisien Sepeda Motor 0.5 Mobil Penumpang 1.0 Truk Ringan (< 5 ton) 2.0 Truk Sedang (> 5 ton) 2.5 Truk Berat (> 10 ton) 3.0 Bus 3.0 Sumber : Standar Perencanaan Geometrik Untuk Jalan Perkotaan ; Direktorat Jenderal Bina Marga 1997 2.2.5 Tipe Jalan Jalan dibedakan menjadi dua bagian yaitu tipe I (full acces control) yaitu jalan masuk/akses langsung sangat dibatasi secara efisien dan jalan tipe II (partial or acces control) yaitu jalan masuk/akses langsung diijinkan secara terbatas seperti pada table dibawah ini : Tabel 2.2.5 : Tipe Jalan I Fungsi Primer Arteri Kolektor Kelas I II Sekunder Arteri III Sumber : Standar Perencanaan Geometrik Untuk Jalan Perkotaan ; Direktorat Jenderal Bina Marga 1997 II-23

Tabel 2.2.6 : Tipe Jalan II Fungsi Volume Lalu Lintas Rencana Kelas Arteri I Utama Kolektor 10.000 atau lebih I Kurang dari 10.000 II Arteri 20.000 atau lebih I Kurang dari 20.000 II Sekunder Kolektor 6.000 atau lebih II Kurang dari 6.000 III Lokal 500 atau lebih III Kurang dari 500 IV Sumber : Standar Perencanaan Geometrik Untuk Jalan Perkotaan ; Direktorat Jenderal Bina Marga 1997 2.2.6 Kelas Jalan Jalan dibagi dalam kelas-kelas yang penetapannya selain didasarkan pada fungsinya juga dipertimbangkan pada besarnya volume serta sifat lalu lintas yang diharapkan akan menggunakan jalan yang bersangkutan. Volume lalu lintas dinyatakan dalam satuan mobil penumpang (smp) yang besarnya menunjukkan jumlah lalu lintas harian rata-rata (LHR) untuk kedua jurusan. Kelas jalan dibedakan atas 2 (dua) tipe jalan dan terdapat 4 (empat) pembagian kelas jalan seperti dibawah ini : II-24

Tabel 2.2.7 : Klasifikasi Jalan Tipe I Tipe II Kelas I Kelas II Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV Jalan dengan standar tinggi untuk melayani antar wilayah atau antar kota untuk kecepatan tinggi dengan pembatas jalan masuk Jalan dengan standar tinggi untuk melayani antar wilayah atau didalam metropolitan untuk kecepatan tinggi dengan pembatas jalan masuk Jalan dengan standar tinggi, 4 lajur atau lebih untuk antar kota atau dalam kota, kecepatan tinggi, volume lalu lintas tinggi dengan masih ada beberapa pembatasan jalan masuk Jalan dengan standar tinggi, 2 lajur atau lebih untuk antar kota atau dalam kota, kecepatan tinggi, volume lalu lintas sedang dengan/tanpa pembatasan jalan masuk Jalan dengan standar menengah, 2 lajur atau lebih untuk melayani antar distrik, kecepatan sedang, volume lalu lintas sedang dengan/tanpa pembatasan jalan masuk Jalan dengan standar rendah, 1 jalur dua arah sebagai jalan penghubung Sumber : Standar Perencanaan Geometrik Untuk Jalan Perkotaan ; Direktorat Jenderal Bina Marga 1997 2.2.7 Klasifikasi Medan Topografi merupakan factor yang penting dalam menentukan lokasi jalan dan pada umumnya mempengaruhi alinemen sebagai standard perencanaan geometric seperti landai jalan, jarak pandangan, pandangan melintang dan lain-lain. Adapun pengaruh medan meliputi hal-hal sebagai berikut : 1. Pada tikungan, jari-jari tikungan dan pelebaran perkerasan sedemikian rupa sehingga keamanan jalan dan pandangan bebas kendaraan pada perencanaan harus diperhatikan. 2. Tanjakan, adanya tanjakan yang cukup curam dapat mengurangi kecepatan, berat muatan harus dikurangi sehingga dapat mengurangi kapasitas angkut. Karena itu diusahakan tanjakan dibuat selandai mungkin II-25

3. Bentuk penampang melintang. Tabel 2.2.8 : Klasifikasi Medan dan Besarnya Kelerengan Melintang Golongan Medan Lereng Melintang Datar ( D ) 0 9,9 % Bukit ( B ) 10 24,9 % Gunung ( G ) > 25 % Sumber : Sukirman, Silvia. Dasar- dasar Perencanaan Geometrik Untuk Jalan Nova 1999 2.2.8 Pelebaran pada Tikungan Jalur lalu lintas sebaiknya dilebarkan pada bagian tikungannya sesuai dengan tipe jalan, kelas dan jari jari tikungannya. Harga-harga pelebaran sebaiknya seperti tercantum pada table dibawah ini : II-26

Gambar 2.2.21 : Pelebaran Perkerasan pada Tikungan II-27

Tabel 2.2.9 : Pelebaran Pada Tikungan Jari jari Tikungan M Pelebaran per jalur M Tipe I, Tipe II Kelas I Jalan jalan lainnya 280 150 160-90 0.25 150 100 90 60 0.50 100 70 60 45 0.75 70 50 45 32 1.00 32 26 1.25 26 21 1.50 21 19 1.70 19 16 2.00 16 15 2.50 Sumber : Standar Perencanaan Geometrik Untuk Jalan Perkotaan ; Direktorat Jenderal Bina Marga 1997 II-28

Tabel 2.2.10 : Pedoman Penentuan Jumlah Jalur Lebar Perkerasan L < 5,5 m Jumlah Jalur (n) 1 jalur 5,5 m L < 8,25 m 2 jalur 8,25 m L < 11,25 m 3 jalur 11,25 m L < 15,00 m 4 jalur 15,00 m L < 18,75 m 5 jalur 18,75 m L < 22,00 m 6 jalur Sumber : Standar Perencanaan Geometrik Untuk Jalan Perkotaan ; Direktorat Jenderal Bina Marga 1997 Tabel 2.2.11 : Koefisien Distribusi ke Lajur Rencana (C) Jumlah Jalur Kendaraan Ringan Kendaraan Berat 1 arah 2 arah 1 arah 2 arah 1 jalur 1,00 1,00 1,00 1,00 2 jalur 0,60 0,50 0,70 0,50 3 jalur 0.40 0,40 0,50 0,475 4 jalur 0,30 0,45 5 jalur 0,25 0,425 6 jalur 0,2 0,40 Sumber : Standar Perencanaan Geometrik Untuk Jalan Perkotaan ; Direktorat Jenderal Bina Marga 1997 II-29

Tabel 2.2.12 : Angka Ekivalent Beban Satu Sumbu Angka ekivalen Kg Lbs Sumbu Tunggal Sumbu Ganda 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 8160 9000 10000 11000 12000 13000 14000 15000 16000 2205 4409 6614 8818 11023 13228 15432 17637 1800 19841 22046 24251 26455 28660 30864 33069 36276 0,0002 0,0036 0,0183 0,0577 0,1410 0,2923 0,5415 0,9238 1,0000 1,4798 2,2555 3,3027 4,6770 6,4419 8,6647 11,4184 14,7815-0,0003 0,0016 0,0050 0,0121 0,0251 0,0466 0.0794 0,0800 0,1273 0,1940 0,2840 0,4022 0,5540 0,7452 0,9820 1,2712 Sumber : Standar Perencanaan Geometrik Untuk Jalan Perkotaan ; Direktorat Jenderal Bina Marga 1997 II-30

Tabel 2.2.13 : Faktor Region (FR) Iklim I <900mm/th Iklim II 900mm/th Kenlandaian I (<6%) Kenlandaian II (6.10%) Kenlandaian III (>10%) % Kendaraan Berat % Kendaraan Berat % Kendaraan Berat 30 % > 30% 30 % > 30% 30 % > 30% 0,5 1,0-1,5 1,0 1,5-2,0 1,5 2,0-2,5 1,5 2,0-2,5 2,0 2,5-3,0 2,5 3,0-3,5 Sumber : Standar Perencanaan Geometrik Untuk Jalan Perkotaan ; Direktorat Jenderal Bina Marga 1997 Catatan : Pada bagian-bagian jalan tertentu, seperti persimpangan, pemberhentian atau tikungan tajam (jari-jari 30m) FR FR ditambah dengan 0,5 pada daerah rawa-rawa FR ditambah dengan 1,0. Lalu-lintas Ekivalen Rencana (LER) menurut daftar dibawah ini Tabel 2.2.14 : Indek permukaan pada akhir UR (IP) LER=Lintas Ekivalen Rencana*) < 10 10 100 100 1000 > 1000 Klasifikasi Jalan Lokasl Kolektor Arteri Toll 1,0-1,5 1,5 1,5-2,0-1,5 1,5-2,0 2,0 2,0-2,5 1,5-2,0 2,0 2,0-2,5 2,5 *) = LER dalam satuan angka ekivalen 8,16 ton beban sumbu tunggal - - - 2,5 Catatan = Pada proyek-proyek penunjang jalan JAPAT /Jalan murat atau jalan darurat maka IP dapat diambil 1,0 Sumber : Standar Nasional Indonesia ; SNI 1732-1989-F. Tata Cara Perencanaan Tebal perkerasan Jalan Raya Dengan Metode Analisa Komponen 1989 II-31

Dalam menentukan index permukaan pada awal umur rencana (IP0), perlu diperhatikan jenis lapis permukaan jalan (kerataan/kehalusan serta kekokohan) pada awal umur rencana, menurut daftar dibawah ini : Tabel 2.2.15 : Indeks permukaan pada awal UR (IPo) Jenis Lapis Perkerasan IPo Roughness *) (mm/km) LASTON 4 3,9-3,5 1000 > 1000 Abuston / HRA 3,9-3,5 3,4-3,0 2000 > 2000 BURDA 3,9-3,5 2000 BURTU 3,4-3,0 > 2000 LAPEN 3,4-3,0 2,9-2,5 3000 > 3000 Lapis Pelindung 2,9-2,5 Jalan Tanah 2,4 Jalan Kerikil 2,4 *) = Alat pengukur Rouhness yang dipakai adalah roghometer NAASRA, yang dipasang pada kendaraan standar datsun 1500 station wagon dengn kecepatan kendaraan ± 32 km/jam. Gerakan sumbu belakang dalam arah vertical dipindahkan pada alat roughometer melalui kabel yang dipasang ditengah tengah sumbu belakang kendaraan yang selanjutnya dipindahkan kepada coanter melalui plexible drive Setiap putaran coanter adalah sama dengan 15,2 mm gerakan vertical antara sumbu belakang dan body kendaraan. Alat pengukur roughness type lain dapat digunakan dengan mengkalibrasikan hasil yang diperoleh terhadap roughometer NAASRA. Sumber : Standar Nasional Indonesia ; SNI 1732-1989-F. Tata Cara Perencanaan Tebal perkerasan Jalan Raya Dengan Metode Analisa Komponen 1989 II-32

Tabel 2.2.16: Koefisien kekuatan relative (a) Koefisien kekuatan relatif a 1 0,40 0,35 0,32 0,30 0,35 0,31 0,28 0,26 0,3 0,26 0,25 0,20 a 2 0,28 0,26 0,24 a 3 Kekuatan bahan MS (kg) 744 590 454 340 744 590 454 340 340 340 Kt (kg) CBR (%) Jenis Bahan LASTON Asbuton Hot Roled Asphalt Aspal Macadam LAPEN (mekanis) LAPEN (manual) LASTON ATS Sumber : Standar Nasional Indonesia ; SNI 1732-1989-F. Tata Cara Perencanaan Tebal perkerasan Jalan Raya Dengan Metode Analisa Komponen 1989 II-33

Tabel 2.2.17 : Jenis Bahan. Koefisien kekuatan relatif a 1 a 2 0,23 0,19 0,15 0,13 0,15 0,13 0,14 0,17 0,14 0,13 0,12 a 3 0,13 0,12 0,11 0,10 Kekuatan bahan MS (kg) Kt (kg) 22 18 22 18 CBR (%) 100 60 100 80 60 70 50 30 20 Jenis Bahan LAPEN (mekanis) LAPEN (manual) Stab tanah dengan semen Stab tanah dengan kapur Pondasi Macadam (mekanik) Pondasi Macadam (manual) Batu pecah (kelas A) Batu pecah (kelas B) Batu pecah (kelas C) Sirtu (klas A) Sirtu (klas B) Sirtu (klas C) Tanah / lempung kepasiran Sumber : Standar Nasional Indonesia ; SNI 1732-1989-F. Tata Cara Perencanaan Tebal perkerasan Jalan Raya Dengan Metode Analisa Komponen 1989 II-34

Tabel 2.2.18 : Lapis Permukaan ITP Tebal minimum (cm) Bahan < 3 - Lapis pelindung PURAS/BURTU/ BURDA 3,00-6,70 5 LAPEN/ Aspal macadam/hra, Asbuton LASTON 6,70-7,49 7,5 LAPEN/Aspal macadam/hra asnbuton LASTON 7,50-9,99 7,5 Asbuton, LASTON > 10,00 10 LASTON Sumber : Standar Nasional Indonesia ; SNI 1732-1989-F. Tata Cara Perencanaan Tebal perkerasan Jalan Raya Dengan Metode Analisa Komponen 1989 II-35

Tabel 2.2.19 : Lapis Pondasi ITP Tebal minimum Bahan (cm) < 3 15 Batu pecah, stab tanah dengan semen Stab tanah dengan kapur 3,00-7,49 20 * Batu pecah, stab tanah dengan semen Stab tanah dengan kapur 10 7 9,99 20 LASTON ATS Batu pecah, stab tanah dengan semen Stab tanah dengan kapur, pondasi macadam 15 LASTON ATAS 10,00-12,24 20 Batu pecah, stab tanah dengan semen Stab tanah dengan kapur, pondasi macadam LAPEN, LASTON ATAS 12,25 25 Batu pecah, stab tanah dengan semen Stab tanah dengan kapur, pondasi macadam LAPEN, LASTON ATAS *) batas 20 cm tersebut dapat diturunkan menjadi 15 cm bila untuk pondasi tanah didapat material berbutir kasar. Sumber : Standar Nasional Indonesia ; SNI 1732-1989-F. Tata Cara Perencanaan Tebal perkerasan Jalan Raya Dengan Metode Analisa Komponen 1989 II-36

3. Lapis Pondasi Bawah Untuk setiap nilai ITP bila digunakan pondasi bawah tebal minimum adalah 10 cm. 2.2.9 Perencanaan Drainase Drainase permukaan jalan adalah sistim drainase yang berkaitan dengan pengendalian air pada permukaan jalan, tujuan dari pengaturan ini adalah untuk mendapatkan keseragaman dalam cara merencanakan drainase permukaan jalan yang sesuai dengan persyaratan teknis. Persyaratanpersyaratan dalam drainase permukaan jalan adalah : - Perencanaan drainase harus sedemikian rupa sehingga fungsi drainase sebagai penampung, pembagi dan pembuang air dapat sepenuhnya berdaya guna dan berhasil guna. - Pemilihan dimensi dari fasilitas drainase harus mempertimbangkan factor ekonomi dan factor keamanan. - Perencanaan drainase harus dipertimbangkan pula segi kemudahan nilai ekonomis terhadap pemeliharaan sistim drainase tersebut. 2.2.9.1 Menentukan Debit Air Dalam merencanakan debit aliran data-data yang diperlukan adalah Intensitas curah hujan, luas daerah pengaliran dan harga koefisien pengaliran. 2.2.9.2 Intensitas Curah Hujan ( I ) Dihitung berdasarkan data-data sebagai berikut : 1. Data curah hujan, merupakan data curah hujan harian maksimum dalam setahun mm/hari, data curah hujan ini diperoleh dari Lembaga Meteorologi dan Geofisika, untuk stasiun curah hujan yang terdekat dengan lokasi sistim drainase, jumlah data curah hujan paling sedikit dalam jangka waktu 10 tahun. 2. Menghitung intensitas curah hujan (I) menggunakan analisa distribusi frekuensi menurut rumus sebagai berikut : II-37

Xt = x + Sx (Yt + Yn) Sn I = 90 % Xt 4 Keterangan : Xt = besarnya curah hujan untuk periode ulang T tahun (mm) / 24 jam x = nilai rata-rata aritmatik hujan kumulatif Sx = standart deviasi Yt = variasi yang merupakan fungsi periode ulang Yn = nilai yang tergantung pada nilai n Sn = standart deviasi yang merupakan fungsi dari n I = intensitas curah hujan mm/jam Dimana nilai Yn, Yt dan Sn ditentukan oleh : Tabel 2.2.20 : Yn n 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 0.4952 0.4496 0.5035 0.5070 0.5100 0.5128 0.5157 0.5181 0.5202 0.5220 20 0.5225 0.5252 0.5268 0.5283 0.5296 0.5309 0.5320 0.5332 0.5343 0.5353 30 0.5362 0.5371 0.5380 0.5388 0.5402 0.5402 0.5410 0.5418 0.5424 0.5432 40 0.5436 0.5422 0.5448 0.5453 0.5458 0.5463 0.5468 0.5473 0.5477 0.5481 50 0.5485 0.5489 0.5493 0.5497 0.5501 0.5504 0.5508 0.5511 0.5519 0.5518 60 0.5521 0.5534 0.5527 0.5530 0.5533 0.5535 0.5538 0.5540 0.5543 0.5545 70 0.5548 0.5552 0.5555 0.5555 0.5557 0.5559 0.5561 0.5563 0.5565 0.5567 80 0.5569 0.5570 0.5572 0.5574 0.5576 0.5578 0.5580 0.5581 0.5583 0.5585 90 0.5586 0.5587 0.5569 0.5591 0.5592 0.5593 0.5595 0.5596 0.5598 0.5599 Sumber : Standart Nasional Indonesia SNI 03-3424-1994 Tatacara Perencanaan Drainase Permukaan Jalan 1994 II-38

Tabel 2.2.21 : Sn n 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 0.9496 0.9676 0.9833 0.9971 1.0095 1.0206 1.0316 1.0411 1.0493 1.0565 20 0.0626 1.0696 1.0696 1.0811 1.0864 1.0915 1.0961 1.1004 1.1047 1.1086 30 0.1124 1.1159 1.1159 1.1226 1.1255 1.1285 1.1313 1.1339 1.1363 1.1388 40 0.1413 1.1436 1.1436 1.1480 1.1499 1.1519 1.1538 1.1557 1.1574 1.1590 50 0.1607 1.1623 1.1623 1.1658 1.1667 1.1681 1.1696 1.1708 1.1721 1.1734 60 0.1747 1.1759 1.1759 1.1782 1.1793 1.1803 1.1814 1.1824 1.1834 1.1844 70 0.1859 1.1863 1.1863 1.1881 1.1890 1.1898 1.1905 1.1915 1.1923 1.1930 80 0.1938 1.1945 1.1945 1.1959 1.1967 1.1973 1.1980 1.1987 1.1994 1.2001 90 0.2007 1.2013 1.2020 1.2026 1.2032 1.2038 1.2044 1.2049 1.2055 1.2060 Sumber : Standart Nasional Indonesia SNI 03-3424-1994 Tatacara Perencanaan Drainase Permukaan Jalan 1994 Tabel 2.2.22 : Yt Periode Ulang ( tahun) Variasi Yang Berkurang 2 5 10 25 50 100 0.3665 1.4999 2.2502 3.1985 3.9019 4.6001 Sumber : Standart Nasional Indonesia SNI 03-3424-1994 Tatacara Perencanaan Drainase Permukaan Jalan 1994 II-39

3. Waktu konsentrasi (Tc), dihitung dengan rumus : Tc = t 1 + t 2 T 1 = (2/3 x 3,28 x Lo. Nd ) 0,167 S t 2 = L 60 V Keterangan : Tc = waktu konsentrasi (menit) t 1 = waktu inlet (menit) t 2 = waktu aliran (menit) Lo = jarak dari titik terjauh ke panjang saluran (m) nd = koefisien hambatan s = kemiringan daerah pengaliran V = kecepatan air rata-rata diselokan (m/det) Dimana nilai nd ditentukan dibawah ini : Tabel 2.2.23 : Hubungan Kondisi Permukaan Dengan Koefisien Hambatan (nd) Kondisi Lapis Permukaan 1. Lapisan semen dan aspal buton 2. Permukaan licin dan kedap air 3. Permukaan licin dan kokoh 4. Tanah dengan rumput tipis dan gundul dengan permukaan sedikit kasar 5. Padang rumput dan rerumputan 6. Hutan gundul 7. Hutan rimbun dan hutan gundul rapat dengan hamparan rumput jarang sampai rapat nd 0.013 0.020 0.10 0.20 0.40 0.60 0.80 Sumber : Standart Nasional Indonesia SNI 03-3424-1994 Tatacara Perencanaan Drainase Permukaan Jalan 1994 II-40

4. Menghitung Luas Daerah Pengaliran L = L1 + L2 + L3 L1 = ditetapkan dari as jalan sampai bagian tepi perkerasan L2 = ditetapkan dari tepi perkerasan yang ada sampai tepi bahu jalan L3 = tergantung dari keadaan daerah setempat dan panjang maksimum 100 m L = Batas Daerah Pengaliran Tabel 2.2.24 : Kemiringan Melintang Perkerasan dan Bahu Jalan No 1 2 3 4 Jenis Lapis Permukaan Jalan Beraspal, Beton Japat Kerikil Tanah Kemiringan Melintang Normal i ( % ) 2 % - 3 % 4 % - 6 % 3 % - 6 % 4 % - 6 % Sumber : Standart Nasional Indonesia SNI 03-3424-1994 Tatacara Perencanaan Drainase Permukaan Jalan 1994 5. Harga Koefisien Pengaliran ( C ) Bila daerah pengaliran diambil terdiri dari beberapa tipe kondisi permukaan yang mempunyai nilai C yang berbeda, harga C ratarata ditentukan dengan persamaan : C = C1.A1 + C2.A2 +. A1 + A2 +. Keterangan : C1, C2,. = koefisien pengaliran yang sesuai dengan tipe kondisi permukaan A1, A2... = luas daerah pengaliran yang diperhitungkan sesuai dengan kondisi permukaan II-41

Tabel 2.2.25 : Hubungan Kondisi Tanah dan Koefisien Pengaliran Kondisi Permukaan Tanah Koefisien Pengaliran ( C ) 1. Jalan beton dan jalan aspal 0.70 0.95 2. Jalan kerikil & jalan tanah 0.40 0.70 3. Bahu jalan : - Tanah berbutir halus - Tanah berbutir kasar - Batuan massif keras - Batuan massif lunak 0.40 0.65 0.10 0.20 0.70 0.85 0.60 0.75 4. Daerah perkotaan 0.70 0.95 5. Daerah pinggir kota 0.60 0.70 6. Daerah industri 0.60 0.90 7. Pemukiman padat 0.40 0.60 8. Pemukiman tidak padat 0.40 0.60 9. Taman dan kebun 0.20 0.40 10. Persawahan 0.45 0.60 11. Perbukitan 0.70 0.80 12. Pegunungan 0.75 0.90 Sumber : Standart Nasional Indonesia SNI 03-3424-1994 Tatacara Perencanaan Drainase Permukaan Jalan 1994 6. Debit Air ( Q ) Untuk menghitung debit air (Q) menggunakan rumus, yaitu : Q = _1_ C. I. A 3,6 Keterangan : Q = debit air (M 3 /detik) C = koefisien pengaliran I = intensitas hujan (mm/jam) A = luas daerah pengaliran (Km 2 ) II-42

Tabel 2.2.26 : Kemiringan Talud Selokan Trapesium Debit Air Q (M 3 / detik) Kemiringan Talud 0,00 0,75 0,75 15 15-80 1 : 1 1 : 1,5 1 : 2 Sumber : Standart Nasional Indonesia SNI 03-3424-1994 Tatacara Perencanaan Drainase Permukaan Jalan 1994 Tabel 2.2.27 : Data Curah Hujan 10 Tahun Terakhir Tahun Curah Hujan (mm) 2000 1999 1998 1997 1996 1995 1994 1993 1992 1991 198,6 109,6 136,8 116,4 110,5 102,3 106,5 88,7 95,6 115,2 II-43

2.2.28 : II-44

2.2.29 : II-45

2.2.30 : II-46

2.2.31 : II-47

Tabel 2.2.31 : Standar Perencanaan Alternatif Gambar 2.2.21 : Kebebasan pada Jalan Raya II-48

Gambar Grafik II : Kebebsan Samping pada Tikungan Gambar 2.2.21 : Grafik I Perkerasan pada Tikungan II-49

Gambar 2.2.22 : Gaya sentrifugal pada lengkung horizontal Gambar 2.2.23 : Gaya gaya yang bekerja pada lengkung horizontal II-50

Gambar 2.2.24 : Perubahan Kemiringan Melintang II-51

Gambar 2.2.25 : Diagram super elevasi dengan sumbu jalan sebagai sumbu putar Gambar 2.2.26 : Diagram super elevasi dengan tepi dalam perkerasan sebagai sumbu putar jalan tanpa median Gambar 2.2.27 : Diagram super elevasi dengan tepi luar perkerasan sebagai sumbu putar jalan tanpa median II-52

Gambar 2.2.28 : Pencapaian superelevasi pada jalan dengan media II-53

Gambar 2.2.29 : Jari-jari Manuver Kendaraan Kecil II-54

Gambar 2.2.30 : Jari-jari Manuver Kendaraan Sedang II-55

Gambar 2.2.31 : Jari jari Manuver Kendaraan Besar II-56

Gambar 2.2.32 : Jalan 1 jalur 2 lajur 2 arah (2/2 TB) Gambar 2.2.33 : Jalan 1 jalur 2 lajur 1 arah (2/1 TB) Gambar 2.2.34 : Jalan 1 jalur 4 lajur 2 arah (4/2 TB) II-57

Gambar 2.2.35 : Korelasi antara nilai CBR dan DDT II-58

Gambar 2.2.36 : Grafik Nomogram II-59

Gambar 2.2.37 : CBR = 21.5 % DDT = 7,4 II-60

Gambar 2.2.38 : Grafik Nomogram Indek Tebal Perkerasan (ITP) = - CBR = 21,5, DDT = 7,4 - Curah Hujan 680 mm/thn - Kelandaian Jalan 4 % - Nilai Fr = 0,5 - Nilai IPo = 3,9 3,5 - Nilai IPt = 2,5 - LER 10 = 1000....................ITP 10 = 6,5 II-61

II-62 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA