V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Citra Landsat Tahun 1990, 2001 dan 2010 Interpretasi citra landsat dilakukan dengan melihat karakteristik

dokumen-dokumen yang mirip
Lampiran 1. Peta Penutupan Lahan tahun 1990

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMBAHASAN 5.1 Data dan Analisis Penghitungan Komponen Penduduk

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Sukaraja dan di Kecamatan Sukamakmur

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. terus-menerus dari hulu (sumber) menuju hilir (muara). Sungai merupakan salah

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009,

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan,

ANALISIS FLUKTUASI DEBIT AIR AKIBAT PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI KAWASAN PUNCAK KABUPATEN BOGOR

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. tersebut relatif tinggi dibandingkan daerah hilir dari DAS Ciliwung.

commit to user BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. 9 Tubuh Air Jumlah Sumber : Risdiyanto dkk. (2009, hlm.1)

PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENGGUNAAN DAN PELESTARIAN AIR DI LINGKUNGANNYA (Studi kasus di Daerah Aliran Sungai Garang, Semarang) Purwadi Suhandini

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Karakteristik Hidrologi Di SUB DAS CIRASEA

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Pola (Pemanfaatan) Ruang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2016 EVALUASI LAJU INFILTRASI DI KAWASAN DAS CIBEUREUM BANDUNG

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

OPINI MASYARAKAT TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN SUNGAI DI DAERAH HILIR SUNGAI BERINGIN KOTA SEMARANG

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak

MODEL PENANGGULANGAN BANJIR. Oleh: Dede Sugandi*)

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya jumlah populasi penduduk pada suatu daerah akan. memenuhi ketersediaan kebutuhan penduduk. Keterbatasan lahan dalam

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Banjir adalah peristiwa meluapnya air hingga ke daratan. Banjir juga

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

III. METEDOLOGI PENELITIAN

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dibutuhkan umat

PENGARUH PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP DEBIT LIMPASAN PADA SUB DAS SEPAUK KABUPATEN SINTANG KALIMANTAN BARAT

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan

ANALISIS POTENSI DAERAH RESAPAN AIR HUJAN DI SUB DAS METRO MALANG JAWA TIMUR

PENDUGAAN TINGKAT SEDIMEN DI DUA SUB DAS DENGAN PERSENTASE LUAS PENUTUPAN HUTAN YANG BERBEDA

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011 ISSN KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN. Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem merupakan suatu interaksi antara komponen abiotik dan biotik

BAB I PENDAHULUAN. dan binatang), yang berada di atas dan bawah wilayah tersebut. Lahan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup,

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Sungai berdasarkan keberadaan airnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu (Reid, 1961):

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. secara topografik dibatasi oleh igir-igir pegunungan yang menampung dan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ,

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis Karakter Daerah Tangkapan Air Merden

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG

Stadia Sungai. Daerah Aliran Sungai (DAS)

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002.

Gambar 3.1 Peta lokasi penelitian Sub DAS Cikapundung

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

dasar maupun limpasan, stabilitas aliran dasar sangat ditentukan oleh kualitas

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DAS SUNGAI SIAK PROVINSI RIAU

PEMBUATAN PETA TINGKAT KERAWANAN BANJIR SEBAGAI SALAH SATU UPAYA MENGURANGI TINGKAT KERUGIAN AKIBAT BENCANA BANJIR 1 Oleh : Rahardyan Nugroho Adi 2

BAB I PENDAHULUAN. karena curah hujan yang tinggi, intensitas, atau kerusakan akibat penggunaan lahan yang salah.

PENGARUH PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP DEBIT PUNCAK PADA SUBDAS BEDOG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA. R. Muhammad Isa

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Solehudin, 2015 Kajian Tingkat Bahaya Erosi Permukaandi Sub Daerah Aliran Sungai Cirompang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

MATERI 4 : PENGENALAN TATAGUNALAHAN DI GOOGLE EARTH

Transkripsi:

24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Citra Landsat Tahun 1990, 2001 dan 2010 Interpretasi citra landsat dilakukan dengan melihat karakteristik dasar kenampakan masing-masing penutupan/penggunaan lahan pada citra yang dibantu dengan unsur-unsur interpretasi. Masing-masing penutupan/penggunaan lahan memiliki karakteristik yang unik. Citra landsat dari masing-masing tahun memiliki kualitas citra yang berbeda, sehingga kenampakan yang terlihat juga berbeda. Hutan Lebat menunjukkan bentuk dan pola yang tidak teratur dengan ukuran yang cukup luas. Berwarna hijau tua sampai gelap, tekstur relatif kasar, ada bayangan igir-igir puncak gunung yang menunjukan sebaran hingga daerah curam. Identik dengan letak di sekitar puncak gunung. Hutan Semak/Belukar memiliki kenampakan bentuk dan pola yang hampir sama dengan hutan lebat. Berwarna hijau agak terang dibandingkan hutan lebat, tekstur lebih halus dari hutan lebat. Umumnya dijumpai di perbatasan antara hutan lebat dan lahan budidaya (kebun teh, kebun campuran atau tegalan). Kebun Teh memiliki kenampakan bentuk dan pola yang lebih teratur, berwarna hijau muda campur ungu dan merah muda halus. Dengan tekstur relatif halus dan seragam pada lereng-lereng yang relatif landai hingga curam. Kebun Campuran memiliki kenampakan tekstur yang relatif agak kasar berwarna hijau agak gelap bercampur magenta atau ungu. Bentuk dan pola relatif kurang teratur dan menyebar. Biasanya berbatasan dengan tegalan, sawah, pemukiman dan hutan lebat. Pemukiman menunjukan bentuk petak-petak dengan pola menyebar di sepanjang jalan utama. Berwarna magenta, ungu kemerahan dengan tekstur relatif agak kasar sampai kasar. Sawah mempunyai warna hijau agak gelap bercampur biru tua, ungu tua, hijau tua atau magenta dengan tekstur relatif kasar. Bentuknya berpetak-petak, polanya menyebar di daerah dataran dengan lereng landai. Tegalan menunjukan warna hijau terang bercampur kuning terang dan magenta dengan tekstur agak kasar. Bentuk tegalan berpetak-petak, pola sebaran seperti sawah.

25 Citra landsat dari masing-masing tahun memiliki kenampakan yang sedikit berbeda, namun secara umum masih banyak kesamaan. Perbedaan penampakan citra masing-masing tahun untuk setiap penutupan lahan terlihat pada perbedaan rona citra. Tingkat kecerahan dari ketiga citra yaitu 1990, 2010 kemudian 2001. Namun secara keseluruhan citra tahun 2010 memiliki kualitas gambar yang lebih baik dari dua citra landsat lainnya. Penampakan penutupan lahan dari masingmasing citra dapat dilihat dalam Tabel Lampiran 1. Foto penggunaan lahan existing terdapat pada Tabel Lampiran 2. 5.2 Pola Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan Pola penutupan/penggunaan lahan wilayah sub DAS Ciliwung Hulu tahun 1990, 2001 dan 2010 masing-masing disajikan pada lampiran 1, 2 dan 3. Berdasarkan peta tersebut, daerah penelitian memiliki luas 15.057 hektar dengan 7 tipe penutupan/penggunaan lahan yaitu hutan lebat, hutan semak/belukar, kebun camapuran, kebun teh, pemukiman, sawah dan tegalan. Luas masing-masing tipe penutupan/penggunaan lahan untuk masing-masing tahun tersaji dalam Tabel 5. Tabel 5. Luas Penutupan/Penggunaan Lahan Tahun 1990, 2001 dan 2010 Penutupan/Penggunaan Luas (ha) % Peringkat Luas (ha) % Peringkat Luas (ha) % Peringkat Lahan 1990 2001 2010 Hutan Lebat 4300.4 28.6 1 4077.8 27.1 1 3946.0 26.2 1 Hutan Semak/Belukar 2125.1 14.1 4 1765.5 11.7 4 1370.1 9.1 6 Kebun Campuran 2411.1 16.0 2 2130.2 14.1 3 1833.0 12.2 5 Kebun Teh 2378.7 15.8 3 2469.2 16.4 2 2514.8 16.7 2 Pemukiman 883.3 5.9 7 1521.4 10.1 6 2170.6 14.4 3 Sawah 1563.8 10.4 5 1454.9 9.7 7 1227.0 8.1 7 Tegalan 1394.8 9.3 6 1638.2 10.9 5 1995.6 13.3 4 Perlu diketahui sebelumnya bahwa terdapat perbedaan makna dari penutupan dan penggunaan lahan. Berdasarkan Liliesand Kiefer (1997) istilah penutupan lahan berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi. Istilah penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Dalam artikel Beni Raharjo mengutip Townshend dan Justice pada tahun 1981 penutupan lahan adalah perwujudan secara fisik (visual) dari vegetasi, benda alam, dan unsur-unsur budaya yang ada di permukaan bumi tanpa memperhatikan kegiatan manusia terhadap obyek tersebut. Peta yang dihasilkan dari analisis citra pada tahun 1990 dan 2001 merupakan peta penutupan lahan dikarenakan tidak terdapat data lapangan mengenai penggunaan lahan sebenarnya

26 pada tahun tersebut. Namun peta hasil analisis citra pada tahun 2010 merupakan peta penggunaan lahan karena dilakukan pengecekan lapang terhadap penggunaan lahan sesungguhnya pada tahun yang berdekatan. Dari Tabel 5 dapat diketahui bahwa penutupan pada tahun 1990 masih didominasi berturut-turut oleh hutan lebat, kemudian kebun campuran dan kebun teh. Masing-masing memiliki luas wilayah sebesar 4300,4 ha, 2411,1 ha dan 2378,7 ha. Dengan persentase untuk masing-masing dari seluruh wilayah penelitian yaitu 28,6%, 16% dan 15,8%. Penutupan/penggunaan lahan lainnya yaitu hutan semak (2125,1 ha dengan persentase 14,1%), sawah (1563,8 ha dan persentase 10,4 %), tegalan (1394,8 ha dan persentase 9,3%) dan pemukiman (883,3 ha dan persentase 5,9%). Untuk tahun 2001 tutupan lahan didominasi secara berturut-turut oleh hutan lebat dengan luas area dan persentase sebesar 4077,8 ha dan 27,1%, kemudian kebun teh dengan luas area dan persentase sebesar 2469,2 ha dan 16,4% dan kebun campuran dengan luas area dan persentase sebesar 2130,2 dan 14,1%. Untuk penutupan lahan lainnya yaitu hutan semak/belukar (1765,5 ha dan persentase 11,7%), tegalan (1638 ha dan persentase 10,9%), pemukiman (1521 ha dan persentase 10,1%) dan sawah (1454,9 ha dan persentase 9,7%). Penggunaan lahan tahun 2010 menunjukkan pola yang agak berbeda dengan dua tahun yang lain yaitu hutan lebat menjadi dominasi utama dengan luas area dan persentase sebesar 3946,0 ha dan 26,2%, kemudian kebun teh dengan luas area dan persentase 2514,8 ha dan 16,7% lalu pemukiman dengan luas area 2170,6 ha dan persentase 14,4%. Pola penutupan/penggunaan lahan lainnya yaitu tegalan (1995,6 ha dan persentase 13,3%), kebun campuran (1833 ha dan persentase 12,2%), hutan semak/belukar (1370,1 ha dan persentase 9,1%) dan sawah (1227 ha dan 8,1%). Dari pola penutupan/penggunaan lahan masing-masing tahun dapat dilihat bahwa tipe penutupan/penggunaan lahan yang mengalami perubahan pesat adalah pemukiman dari peringkat terakhir di tahun 1990 kemudian naik satu peringkat di tahun 2001 dan naik tiga peringkat di tahun 2010 menjadi peringkat ke tiga. Penutupan/penggunaan lahan lain yang mengalami peningkatan yang tinggi adalah tegalan naik satu peringkat setiap sepuluh tahun. Sedangkan

27 penutupan/penggunaan lahan yang mengalami penurunan yaitu kebun campuran, sawah dan hutan semak/belukar. Penutupan/penggunaan lahan yang cenderung tetap adalah hutan lebat dan kebun teh. Persentase proporsi penutupan/penggunaan lahan dalam wilayah penelitian yang terjadi dari tahun 1990, 2001 dan 2010 menunjukkan bahwa pemukiman mengalami peningkatan tertinggi yaitu dari tahun 1990 sebesar 5,9% kemudian tahun 2001 sebesar 10,1% dan tahun 2010 sebesar 14,4%. Tegalan juga mengalami peningkatan yaitu di tahun 1990 sebesar 9,3%, tahun 2001 sebesar 10,9% dan tahun 2010 sebesar 13,3%. Penutupan/penggunaan lahan yang mengalami penurunan persentase tertinggi adalah hutan semak/belukar yaitu di tahun 1990 persentasenya adalah 14,1%, tahun 2001 sebesar 11,7% dan tahun 2010 sebesar 9,1%. Kemudian kebun campuran pada tahun 1990 adalah 16%, tahun 2001 14,1 dan 2010 12,2%. Penutupan/penggunaan lahan lain yang mengalami penurunan persentase lainnya adalah sawah yaitu 10,4 pada tahun 1990, 9,7% tahun 2001% dan 8,1% tahun 2010. 5.3 Perubahan Penutupan Penggunaan Lahan Gambar 3 merupakan grafik yang menggambarkan luas masing-masing tipe penutupan/penggunaan lahan tahun 1990, 2001 dan 2010. Dari grafik tersebut diketahui bahwa penutupan/penggunaan lahan yang mengalami penurunan luasan area pada dua periode tahun yaitu hutan semak/belukar, kebun campuran, hutan lebat dan sawah. Sedangkan penutupan/penggunaan lahan yang mengalami kenaikan luasan area yaitu kebun teh, pemukiman, dan tegalan. Gambar 3. Grafik Luas Penutupan/Penggunaan Lahan tahun 1990, 2001 dan 2010

28 Gambar 4. Grafik Luas Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan tahun 1990, 2001 dan 2010 Tabel 6. Luas Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan Tahun 1990, 2001 dan 2010 Luas Perubahan Penutupan/Penggunaan Luas (ha) 1990 2001 2001 2010 Lahan 1990 2001 2010 ha % ha % Hutan Lebat 4300.4 4077.8 3946.0-222.6-5.2-131.8-3.2 Hutan Semak/Belukar 2125.1 1765.5 1370.1-359.6-16.9-395.3-22.4 Kebun Campuran 2411.1 2130.2 1833.0-280.9-11.7-297.1-13.9 Kebun Teh 2378.7 2469.2 2514.8 90.4 3.8 45.6 1.8 Pemukiman 883.3 1521.4 2170.6 638.1 72.2 649.1 42.7 Sawah 1563.8 1454.9 1227.0-108.8-7.0-227.9-15.7 Tegalan 1394.8 1638.2 1995.6 243.4 17.5 357.4 21.8 Dari Grafik 4 dan Tabel 6 dapat diketahui bahwa pertambahan luas area tertinggi terdapat pada lahan pemukiman baik pada periode tahun 1990-2001 (638,1 ha dengan persentase 72,2% dari penutupan/penggunaan lahan pemukiman sebelumnya) dan periode tahun 2001-2010 (649,1 ha dengan persentase 42,7% dari penutupan/penggunaan lahan pemukiman sebelumnya). Untuk periode tahun 1990-2001 luas penutupan/penggunaan lahan lain yang bertambah adalah tegalan (243,4 ha dengan persentase pertambahan 17,5%) kemudian kebun teh (90,4 ha dengan persentase kenaikan 3,8%). Pada periode tahun 2001 2010 luas penutupan/penggunaan lahan yang bertambah adalah tegalan (357.4 ha dengan persentase pertambahan 21.8 %) dan kebun teh (45.6 ha dengan persentase kenaikan 1.8%). Sedangkan tipe penutupan/penggunaan lahan yang berkurang luasannya pada periode 1990-2001 adalah hutan semak/belukar (-359,6 ha dengan persentase penurunan -16,9%), kebun campuran (-280,9 ha dengan persentase penurunan

29 luas -11,7%), hutan lebat (-222,6 ha dengan persentase penurunan -5,2 %) dan sawah (-108,8 ha dengan persentase penurunan -7,0%). Tipe penutupan/penggunaan lahan yang mengalami penurunan luasan untuk periode 2001-2010 adalah hutan semak/belukar (-395,3 ha dengan persentase penurunan -22,4%), kebun campuran (-297,1 ha dengan persentase penurunan -13,9%), sawah (-227,9 ha dengan persentase penurunan -15,7%) dan hutan lebat (-131,8 ha dengan persentase penurunan -3,2%). Tabel 7. Perubahan tipe dan luas tutupan lahan periode tahun 1990-2001 Penutupan/Penggunaan Lahan tahun 2001(ha) Penutupan/Penggunaan Hutan Hutan Kebun Kebun Pemukim Grand Lahan tahun 1990(ha) Sawah Tegalan Lebat Semak/Belukar Campuran Teh an Total Hutan Lebat 4077.8 89.7 5.2 104.7 0.0 1.9 21.1 4300.4 Hutan Semak/Belukar 0.0 1675.8 140.7 180.1 37.0 37.3 54.2 2125.1 Kebun Campuran 0.0 0.0 1779.7 26.6 127.8 65.7 411.3 2411.1 Kebun Teh 0.0 0.0 125.1 2155.1 26.0 46.9 25.7 2378.7 Pemukiman 0.0 0.0 0.0 0.0 883.3 0.0 0.0 883.3 Sawah 0.0 0.0 13.3 2.8 208.5 1242.7 96.6 1563.8 Tegalan 0.0 0.0 66.1 0.0 238.8 60.4 1029.4 1394.8 Grand Total 4077.8 1765.5 2130.2 2469.2 1521.4 1454.9 1638.2 15057.2 Tabel 8. Perubahan tipe dan luas tutupan lahan periode tahun 2001-2010 Penutupan/Penggunaan Lahan tahun 2010(ha) Penutupan/Penggunaan Hutan Hutan Kebun Kebun Pemukim Grand Lahan tahun 2001(ha) Sawah Tegalan Lebat Semak/Belukar Campuran Teh an Total Hutan Lebat 3946.0 64.9 0.0 61.2 0.0 0.9 4.9 4077.8 Hutan Semak/Belukar 0.0 1305.3 22.8 107.1 77.0 144.9 108.4 1765.5 Kebun Campuran 0.0 0.0 1538.1 39.3 176.2 47.1 329.5 2130.2 Kebun Teh 0.0 0.0 16.4 2275.9 35.8 11.2 129.9 2469.2 Pemukiman 0.0 0.0 0.0 0.0 1521.4 0.0 0.0 1521.4 Sawah 0.0 0.0 78.2 11.1 231.3 921.5 212.8 1454.9 Tegalan 0.0 0.0 177.7 20.2 128.9 101.4 1210.0 1638.2 Grand Total 3946.0 1370.1 1833.0 2514.8 2170.6 1227.0 1995.6 15057.2 Hal penting yang perlu diketahui dari pola perubahan penutupan/penggunaan lahan adalah perubahan yang terjadi dari jenis tertentu menjadi jenis yang lain. Untuk mengetahui hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 7 dan 8. Pada periode tahun 1990-2001, pengurangan luas penutupan/penggunaan lahan terbesar adalah hutan semak/belukar yang terkonversi menjadi kebun teh (180,1 ha), tegalan (54,2 ha), sawah (37,3 ha) dan pemukiman (37,0 ha). Kemudian kebun campuran yang terkonversi menjadi tegalan (411,3 ha), pemukiman (127,8 ha), sawah (65,7 ha) dan kebun teh (26,6 ha) Hutan lebat banyak terkonversi menjadi kebun teh (104,7 ha), tegalan (21,1 ha), sawah (1,9

30 ha) dan kebun campuran (5,2 ha). Terakhir sawah yang terkonversi menjadi pemukiman (208,5 ha), tegalan (96,6 ha), kebun campuran (13,3 ha) dan kebun teh (2,8 ha). Dari Tabel 7 dan 8, juga dapat diketahui pertambahan luas tipe penutupan/penggunaan lahan tertentu adalah hasil konversi dari penutupan/penggunaan lahan yang lain. Pertambahan luas penutupan/penggunaan lahan yang tertinggi pada periode tahun 1990-2001 adalah pemukiman hasil konversi dari tegalan (238,8 ha), sawah (208,5 ha), kebun campuran (127,8 ha) dan kebun teh (26,6 ha). Kemudian tegalan adalah hasil konversi dari kebun campuran (411,3 ha), sawah (96,6 ha), hutan semak/belukar (54,2 ha), kebun teh (25,7 ha) dan hutan lebat (21,1 ha). Kebun teh adalah hasil konversi dari penutupan/penggunaan lahan hutan semak/belukar (180,1 ha), hutan lebat (104,7 ha), kebun campuran (26,6 ha), dan sawah (2,8 ha). Pada periode tahun 2001-2010, pengurangan luas penutupan/penggunaan lahan terbesar adalah hutan semak belukar yang terkonversi menjadi sawah (144,9 ha), tegalan (108,4 ha), kebun teh (107,1 ha), pemukiman (77,0 ha) dan kebun campuran (22,8 ha). Kebun campuran terkonversi menjadi jenis penutupan/penggunaan lahan tegalan (329,5 ha), pemukiman (176,2 ha), sawah (47,1 ha) dan kebun teh (39,3 ha). Hutan lebat terkonversi menjadi kebun teh (61,2 ha), hutan semak/belukar (64,9 ha), tegalan (4,9 ha) dan sawah (0,9 ha). Sawah terkonversi menjadi pemukiman (231,3 ha), tegalan (212,8 ha), kebun campuran 78,2 ha dan kebun teh (11,1 ha). Pertambahan luas penutupan/penggunaan lahan periode tahun 2001-2010 yang tertinggi adalah pemukiman merupakan hasil konversi dari lahan sawah (231,3 ha), kebun campuran (176,2 ha), tegalan (128,9 ha), hutan semak/belukar (77 ha) dan kebun teh (35,8 ha). Kebun teh merupakan hasil konversi tipe penutupan/penggunaan lahan hutan semak/belukar (107,1 ha), hutan lebat (61,2 ha), kebun campuran (39,3 ha), tegalan (20,2 ha), dan sawah (11,1 ha). Tegalan konversi dari kebun campuran (329,5 ha), sawah (212,8 ha), kebun teh (129,9 ha), hutan semak/belukar(108,4 ha) dan hutan lebat (4,9 ha).

31 Tabel 9. Tipe Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan Dominan tahun 1990-2001 No Tipe Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan Luas (ha) tahun 1990-2001 % 1 Kebun Campuran-->Tegalan 411.3 18.6 2 Tegalan-->Pemukiman 238.8 10.8 3 Sawah-->Pemukiman 208.5 9.4 4 Hutan Semak/Belukar-->Kebun Teh 180.1 8.1 5 Hutan Semak/Belukar-->Kebun Campuran 140.7 6.4 6 Kebun Campuran-->Pemukiman 127.8 5.8 7 Kebun Teh-->Kebun Campuran 125.1 5.7 8 Hutan Lebat-->Kebun Teh 104.7 4.7 9 Sawah-->Tegalan 96.6 4.4 10 Hutan Lebat-->Hutan Semak/Belukar 89.7 4.1 11 Lainnya 490.2 22.1 Total 2213.33 100.0 Tabel 10. Tipe Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan Dominan tahun 2001-2010 No Tipe Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan Luas (ha) tahun 2001-2010 % 1 Kebun Campuran-->Tegalan 329.5 14.1 2 Sawah-->Pemukiman 231.3 9.9 3 Sawah-->Tegalan 212.8 9.1 4 Tegalan-->Kebun Campuran 177.7 7.6 5 Kebun Campuran-->Pemukiman 176.2 7.5 6 Hutan Semak/Belukar-->Sawah 144.9 6.2 7 Kebun Teh-->Tegalan 129.9 5.6 8 Tegalan-->Pemukiman 128.9 5.5 9 Hutan Semak/Belukar-->Tegalan 108.4 4.6 10 Hutan Semak/Belukar-->Kebun Teh 107.1 4.6 11 Lainnya 592.0 25.3 Total 2338.84 100.0 Perubahan tipe penutupan/penggunaan lahan yang dominan dapat dilihat pada Tabel 9 untuk tahun 1990-2001 dan Tabel 10 untuk tahun 2001-2010. Perubahan penutupan/penggunaan lahan dominan tahun 1990-2001 yaitu kebun campuran menjadi tegalan dengan luas perubahan 411,3 ha dan persentase dari luas total perubahan sebesar 18,6%. Kemudian tegalan menjadi pemukiman dengan luas perubahan 238,8 ha dan persentase dari total luas perubahan sebesar 10,8% serta sawah menjadi pemukiman sebesar 208,5 ha dan persentase dari total

32 luas perubahan sebesar 9,4%. Perubahan penutupan/penggunaan lahan dominan pada tahun 2001-2010 yaitu kebun campuran menjadi tegalan dengan perubahan 329,5 ha dan persentase dari luas total perubahan sebesar 14,1%. Kemudian sawah menjadi pemukiman dengan perubahan 231,3 ha dan persentase dari luas total perubahan sebesar 9,9% dan sawah menjadi tegalan dengan perubahan 212,8 ha dan persentase dari luas total perubahan sebesar 9,1%. Dari data-data yang sudah dipaparkan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa kecenderungan perubahan yang terjadi adalah perubahan menuju area pemukiman dan tegalan. Hal ini menunjukkan bahwa tegalan merupakan jenis budidaya pertanian yang diminati masyarakat dibandingkan budidaya pertanian lainnya seperti kebun campuran dan sawah. Hal tersebut dikarenakan mengelola tegalan lebih mudah dari pada sawah dikarenakan pasokan air untuk budidaya hanya mengandalkan air hujan tidak perlu irigasi, tegalan juga lebih cepat menghasilkan dari pada kebun campuran. Hal tersebut diduga menjadi alasan masyarakat lebih memilih tegalan menjadi alternatif usaha budidaya pertanian. Pemukiman yang selalu meningkat menggambarkan kebutuhan penduduk akan pemukiman semakin meningkat, secara tidak langsung menggambarkan terjadinya peningkatan jumlah penduduk. Namun terjadinya peningkatan pemukiman ini tidak hanya disebabkan.penduduk yang terus meningkat. Fenomena yang menyebabkan terjadinya peningkatan area pemukiman adalah wilayah ini cocok untuk dijadikan sarana rekreasi keluarga sehingga banyak vila serta tempat wisata yang dibangun. Dengan adanya pembangunan tersebut menyebabkan dibangunnya sarana dan prasarana pendukung. Hal tersebut berpengaruh pada peningkatan area pemukiman masyarakat karena lokasi wisata merupakan salah satu sumber kegiatan ekonomi. Kenyataan tersebut sesuai dengan yang pernyataan Haryadi (2007), bahwa pada wilayah dengan curah hujan tinggi berpenduduk jarang, pola penutupan/penggunaan lahannya lebih dominan pada tanaman tahunan, sebaliknya pada wilayah curah hujan tinggi berpenduduk padat pola penutupan/penggunaan lahannya lebih dominan pada tananan semusim. Hal ini sesuai dengan peningkatan area tegalan sebagai budidaya pertanian yang diiringi dengan peningkatan area pemukiman.

33 Dari fakta di atas dapat diketahui kecenderungan perubahan penutupan/penggunaan lahan adalah perubahan ke area pemukiman, dari penutupan/penggunaan lahan sebelumnya yaitu terutama tegalan, sawah dan kebun campuran. Dengan berkurangnya area lahan budidaya pertanian tegalan dan sawah menyebabkakan lahan kebun campuran dan sebagian hutan semak/belukar terkonversi menjadi lahan tegalan dan sawah. Pola perubahan penutupan/penggunaan lahan pada periode tahun 2001-2010 yang terjadi dalam skala yang lebih besar. Hasil dari penelitian ini juga menunjukkan fakta bahwa hutan lebat relatif tetap, yaitu berkurang sekitar 1% setiap sepuluh tahun. Hutan yang menjadi pilihan masyarakat untuk dikonversi adalah hutan semak/belukar. Pola perubahan yang tidak berbeda terjadi pada periode tahun 1981-1990 di wilayah yang sama, berdasarkan hasil penelitian Sudadi et al. (1991) terjadi arah perubahan pola penggunaan lahan ke areal pemukiman. Perubahan pola penutupan/penggunaan lahan yang terjadi pada sub DAS Ciliwung Hulu memperkuat pernyataan Vink dalam Sudadi et al. (1991) yaitu penggunaan lahan secara umum dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu faktor alami seperti iklim, topografi, tanah atau bencana alam dan faktor manusia berupa aktivitas manusia pada sebidang lahan. Faktor manusia dirasakan berpengaruh lebih dominan dibandingkan dengan faktor alam karena sebagian besar perubahan penggunaan lahan disebabkan oleh aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhannya pada sebidang lahan yang spesifik. Berdasarkan pengamatan di lapangan dan sudah disebutkan di atas bahwa banyak dibangun vila dan area rekreasi lain yang menyebabkan bertambah pula sarana lain yang mendukung dan area pemukiman di sekitarnya. Pertambahan penduduk juga menyebabkan terjadinya kebutuhan pemukiman dan area pemukiman meningkat. Hal ini membuktikan bahwa manusia menjadi faktor utama dalam perubahan penggunaan lahan yang terjadi. Kenyataan ini diperkuat dengan artikel yang dimuat dalam Kompas (2010) yang menyatakan bahwa pembangunan kawasan puncak sudah tidak mengindahkan peraturan tata ruang. Hutan yang tersisa di Puncak pun terus tergerus pembangunan vila dan perluasan pemukiman warga tanpa izin. Menurut data Dinas Tata Bangunan dan

34 Permukiman Kabupaten Bogor 2010, dari 59.486 bangunan di Kecamatan Ciawi, Megamendung, dan Cisarua baru 12.844 bangunan yang memiliki izin mendirikan bangunan atau sekitar seperlimanya. Kawasan di sepanjang jalan utama sudah dibangun menjadi berbagai sarana atau fasilitas umum untuk masyarakat, ketika menelusuri jalan sempit ataupun gang di kiri dan kanan jalan utama, ditemukan lebih banyak lagi vila yang disewakan. Dari fakta-fakta yang dipaparkan di atas, dapat dibuat ringkasan perubahan penutupan/penggunaan lahan yang terjadi dalam Gambar 5 dan 6. Gambar 5. Pola perubahan penutupan/penggunaan lahan tahun 1990-2001 Keterangan menunujukkan perubahan tipe penutupan/penggunaan lahan meniunjukkan perubahan tipe penutupan/penggunaan lahan dominan

35 Gambar 6. Pola perubahan penutupan/penggunaan lahan tahun 2001-2010 Keterangan menunujukkan perubahan tipe penutupan/penggunaan lahan meniunjukkan perubahan tipe penutupan/penggunaan lahan dominan Sumberdaya tanah menjadi semakin penting seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dengan laju yang masih tinggi serta akibat dari berkembangnya kegiatan ekonomi. Keadaan ini akan membawa konsekuensi semakin besarnya tekanan permintaan (demand) akan tanah untuk berbagai keperluan yang semakin beragam seperti untuk perluasan tanah pertanian, perkebunan, hutan produksi, pemukiman/perumahan, pertambangan maupun lokasi kegiatan perdagangan/bisnis dan industri serta keperluan pembangunan infrastruktur (Rustiadi et al., 2001). Terjadinya ketimpangan antara permintaan dan penawaran tentunya merupakan suatu indikasai bahwa tanah dapat dikategorikan sebagai sumberdaya yang mempunyai sifat kelangkaan (scarcity). Kelangkaan tanah tersebut akan berimplikasi terhadap melambungnya harga tanah itu sendiri, yang dapat dibedakan berdasarkan (1) nilai intrinsik yang terkandung dalam sebidang tanah seperti kesuburan dan topografinya, sehingga mempunyai keunggulan produktifitas dari tanah lain (Ricardiant rent); (2) nilai yang disebabkan oleh perbedaan lokasi (locational rent); dan (3) nilai perlindungan terhadap lingkungan

36 (enviromental rent). Konsekuensi lanjut dari kedaan demikian akan berpengaruh terhadap pola kepemilikan masyarakat terhadap tanah. Dengan berkembangnya area wisata pada wilayah penelitian, menyebabkan terciptanya kegiatan ekonomi yang diikuti oleh peningkatan jumlah penduduk. Peningkatan jumlah penduduk ini menyebabkan permintaan akan lahan meningkat untuk area pemukiman sehingga nilai tanah menjadi tinggi untuk lahan pemukiman dengan lokasi yang dekat dengan kegiatan ekonomi yaitu area wisata. Hal ini mengakibatkan pemilik lahan cenderung menjual tanahnya karena income yang akan diterima lebih banyak jika lahan dijual untuk dijadikan area pemukiman dibandingkan dengan pemanfaatan yang sudah ada terutama yaitu budidaya pertanian. Dengan berkurangnya area budidaya pertanian, maka masyarakat akan mengkonversi lahan yang pemanfaatannya cenderung tidak memberikan income yang banyak bagi mereka yaitu hutan untuk dijadikan area budidaya pertanian. Tegalan menjadi area yang paling banyak diminati oleh masyarakat menjadi alternatif budidaya pertanian karena lahan tegalan memberikan income yang lebih besar dibandingkan dengan budidaya pertanian lainnya. Pola perubahan yang terjadi pada wilayah ini, mengikuti teori land rent yaitu nilai atau profit yang diterima dari lahan tersebut. Perubahan yang terjadi akan mengarah kepada jenis penggunaan lahan yang memberikan income terbesar. Bagan pola perubahan penutupan/penggunaan lahan menunjukkan perubahan kearah pemukiman dan tegalan. Urutan nilai land rent dari yang terkecil hingga terbesar tiap jenis penutupan/penggunaan lahan yaitu hutan lebat, hutan semak/belukar, kebun teh, kebun campuran, sawah, tegalan dan pemukiman. Laju perubahan penutupan/penggunaan lahan dapat diminimalisir dengan adanya upaya dari pemerintah. Pemerintah dapat membuat program berupa reward and punishment kepada masyarakat yang memiliki ataupun yang melakukan usaha di lahan tersebut. Yaitu dengan memberikan insentif kepada masyarakat yang tetap mempertahankan penggunaan lahannya dan memberikan pajak yang tinggi pada lahan yang telah dikonversi atau dirubah penggunaan lahannya. Selain dapat memperlambat laju perubahan, program ini juga dapat merubah arah perubahan penggunaan lahan, karena masyarakat akan cenderung

37 memilih nilai yang lebih tinggi yang dapat diterima. Program lain yang dapat dilakukan pemerintah untuk mengubah arah perubahan penggunaan lahan lainnya adalah dengan penertiban penggunaan lahan sesuai dengan ketentuan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) yang ada. Sehingga penggunaan lahan yang menyimpang dari ketetapan RTRW akan secara paksa diubah. Program ini sudah dijalankan oleh pemerintah setempat terutama untuk penggunaan lahan pemukiman yang tidak memiliki IMB (Izin Mendirikan Bangunan). 5.4 Analisis Debit Maksimum-Minimum Debit maksimum-minimum dapat memberikan gambaran kondisi suatu DAS, berikut akan disajikan kondisi debit maksimum minimum sub DAS Ciliwung Hulu. Tabel 11. Debit maksimum dan Debit Minimum tahun 1990, 2001 dan 2010 Tahun Qmax (lt/dtk) Qmin (lt/dtk) Rasio Qmax/Qmin 1990 198,558 500 397.12 2001 411,675 1,216 338.55 2010 629,968 1,310 480.89 Dari Tabel 11 dapat diketahui bahwa debit minimum meningkat pada dua periode tahun, hal ini merupakan hal yang tidak merugikan karena menunjukkan bahwa di musim panas masih tersedia pasokan air. Terjadi peningkatan untuk debit maksimum dari tahun 1990, 2001 dan 2010. Hal ini menunjukkan semakin besar peluang terjadinya banjir pada musim hujan. Kejadian tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sudadi et al. (1991) pada wilayah penelitian yang sama yaitu terjadi peningkatan debit minimum dalam kurun waktu 1981-1985 yang menguntungkan dari segi pemanfaatan dan kelestarian sumberdaya air. Tetapi di lain pihak peningkatan debit maksimum pada kurun waktu yang sama merupakan hal yang sebaliknya, karena dapat memperbesar peluang terjadinya banjir. Hal ini menggambarkan bahwa sub DAS Ciliwung Hulu telah mengalami gangguan. Dari Tabel 11 dapat terlihat bahwa terjadi penurunan rasio debit maksimum-minimum pada periode tahun 1990-2001 dan kenaikan pada tahun 2001-2010. Namun secara umum menggambarkan kondisi yang semakin

38 memburuk. Perbandingan debit maksimum dan minimum yang semakin meningkat menggambarkan kondisi DAS yang semakin memburuk, yaitu menunjukkan tingginya debit maksimum saat musim hujan dan rendahnya debit minimum saat musim panas. Apabila fungsi dari suatu DAS terganggu, maka sistem hidrologisnya akan terganggu, penangkapan curah hujan, resapan dan penyimpanan airnya menjadi sangat berkurang atau sistem penyalurannya menjadi sangat boros. Kejadian tersebut akan menyebabkan melimpahnya air pada musim hujan dan sebaliknya sangat minimnya air pada musim kemarau. Hal ini membuat fluktuasi debit sungai sangat tajam. Jika fluktuasi debit sangat tajam, berarti fungsi DAS tidak berjalan dengan baik, yang berarti kualitas DAS tersebut rendah (Suripin, 2002). 5.5 Analisis Banjir Banjir adalah debit aliran sungai yang secara relatif lebih besar dari biasanya akibat hujan yang turun di hulu atau di suatu tempat tertentu secara terus menerus, sehingga air limpasan tidak dapat ditampung oleh alur/palung sungai yang ada, maka air melimpah keluar dan menggenangi daerah sekitarnya (Kristianto, 2010). Dalam istilah teknis, banjir adalah aliran air sungai yang mengalir melampaui kapasitas tampung sungai dan dengan demikian aliran air akan melewati tebing sungai dan menggenangi daerah di sekitarnya (Asdak, 2010). Banjir dapat terjadi karena berbagai hal tergantung pada kondisi penyebab dan proses terjadinya. Dalam penelitian ini, banjir yang diidentifikasi adalah banjir sungai, karena terjadi pada daerah aliran sungai. Peristiwa banjir merupakan dampak negatif dari kegiatan manusia pada suatu DAS. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa kegiatan manusia telah menyebabkan DAS gagal menjalankan fungsinya sebagai penampung air hujan, penyimpanan dan pendistribusian air tersebut ke saluran-saluran atau sungai (Suripin, 2002). Berikut adalah grafik yang memberikan informasi frekuensi serta kualitas banjir yang terjadi pada tahun 1990, 2001 dan 2010.

39 Gambar 7. Grafik Frekuensi Banjir berdasarkan Status Siaga Pada Gambar 7 diketahui frekuensi terjadinya banjir pada tahun 1990, 2001 dan 2010. Untuk melihat kejadian banjir secara lengkap, dapat dilihat pada Lampiran 8, 9 dan 10. Gambar 7 tersebut menunjukkan bahwa kejadian banjir meningkat di tahun 2001-2010 sebesar 400%, namun di tahun 1990-2001 kejadian banjir berkurang sebanyak satu kali kejadian banjir. Dari gambar tersebut juga diketahui bahwa kualitas banjir selalu meningkat dari tahun 1990, 2001 hingga 2010. Di tahun 1990 banjir yang terjadi hanya dalam kategori siaga 3, tahun 2001 banjir yang terjadi ada pada kategori siaga 2 dan siaga 3. Pada tahun 2010 banjir yang terjadi bahkan mencapai kategori siaga 1 dan kategori 2 serta 3 yang meningkat. Walaupun pada tahun 2001 frekuensi banjir yang terjadi turun satu kali dari tahun 1990 namun terjadi peningkatan dari segi kualitas sebanyak dua kali banjir pada siaga 2. Peristiwa banjir merupakan hasil output dari ekosistem DAS dimana masukannya adalah curah hujan. Menurut Kristianto (2010), faktor-faktor penyebab timbulnya banjir dipengaruhi oleh aktifitas manusia, kondisi alam yang bersifat tetap, dan kondisi alam yang bersifat dinamis. Aktifitas manusia yang mempengaruhi timbulnya banjir yaitu pembangunan dan perkembangan tempat pemukiman, penggundulan hutan, di daerah pegunungan atau perbukitan untuk penggunaan lahan budidaya, pemanfaatan dataran banjir yang digunakan untuk pemukiman atau industry dan buruknya pengelolaan sampah. Beberapa kondisi alam yang bersifat tetap dan menjadi faktor penyebab timbulnya banjir antara lain kondisi geografi daerah yang sering terkena badai atau siklon, kondisi topografi

40 yang cekung dan kondisi daerah aliran sungai. Peristiwa alam yang dinamis yang menjadi faktor penyebab terjadinya banjir yaitu hujan dalam jangka waktu panjang atau hujan deras selama berhari-hari. Debit maksimum dan selisih debit maksimum-minimum yang selalu meningkat, berhubungan dengan kualitas banjir dan kejadian banjir yang juga meningkat. Walaupun pada periode tahun 1990-2001 terjadi penurunan kejadian banjir yang sangat kecil namun terjadi peningkatan kualitas banjir, secara umum dapat dikatakan terjadi penurunan kualitas hidrologi bila dilihat dari karakteristik banjir. 5.6 Hubungan Curah Hujan dengan Banjir Berikut adalah grafik yang menggambarkan hubungan curah hujan dengan banjir. Gambar 8. Grafik hubungan Curah Hujan dengan Banjir (Kejadian banjir dengan curah hujan yang relatif sama) Tabel 12. Kejadian Banjir dengan Curah Hujan Sama Tahun Tanggal CH(mm/hr) h-1 h banjir rata2 h banjir (cm) 1990 24 Januari 28.84 48.55 38.70 85 2001 11 Februari 35.24 41.28 38.26 90 2001 12 Februari 41.28 25.23 33.26 90 2010 9 Februari 19.06 48.89 33.98 150

41 Berdasarkan pendapat Kristianto (2010) hujan menjadi faktor penyebab banjir yaitu hujan dalam jangka waktu yang panjang selama berhari-hari. Seperti banjir yang terjadi pada Februari tahun 2007 di Jakarta disebabkan karena hujan deras pada dua hari berturut-turut. Untuk mengetahui pengaruh dari curah hujan terhadap debit banjir yang ditimbulkan dapat dilihat melalui Gambar 7. Berdasarkan teori tersebut, maka curah hujan yang digunakan adalah curah hujan yang tertinggi pada tiga tahun pengamatan. Curah hujan tersebut merupakan curah hujan rata-rata dari kejadian hujan sebelum dan pada hari kejadian hujan. Pada Gambar 8, dapat diketahui bahwa dengan curah hujan yang sama yaitu berkisar antara 30 40 mm menghasilkan banjir yang berbeda untuk tahun yang berbeda. Terjadi peningkatan banjir dengan nilai curah hujan yang sama. Pada tahun 1990 tinggi air saat banjir hanya 85 cm, tahun 2001 tinggi air 90 cm dan pada tahun 2010 tinggi air mencapai 150 cm. Hal ini membuktikan bahwa terjadi penurunan kualitas karakteristik hidrologi sub DAS Ciliwung Hulu, yaitu dengan curah hujan yang relatif sama, menimbulkan banjir yang selalu meningkat. Walaupun curah hujan yang berpengaruh terhadap banjir adalah curah hujan selama berhari-hari, namun curah hujan pada saat kejadian banjir juga menentukan banjir yang terjadi. Kenaikan tingkat banjir yang sangat tinggi pada tahun 2010 disebabkan karena curah hujan yang turun pada hari kejadian banjir mencapai 48,89 mm/hr sehingga kenaikan banjir sangat tinggi. Namun dengan pola yang sama yaitu curah hujan saat hari h banjir yang tinggi pada tahun 1990 menyebabkan banjir yang lebih rendah dari tahun 2010. Curah hujan pada hari kejadian banjir di tahun 1990 mencapai 48,55 mm/hr, namun tinggi banjir yang dihasilkan hanya 85 cm. Kejadian banjir yang disebabkan karena hujan berkaitan erat dengan aliran permukaan yang terjadi. Air yang tidak terserap ke tanah saat hujan menjadi aliran permukaan yang kemudian terkumpul di outlet dan menjadi banjir. Parameter hujan yang berpengaruh terhadap aliran permukaan meliputi intensitas, waktu atau durasi hujan. Laju dan volume aliran permukaan akan mencapai harga terbesar jika hujan menyebar di seluruh bagian DAS (Suripin, 2002). Menurut Suripin (2002), salah satu karakteristik DAS yang berpengaruh terhadap aliran permukaan adalah luas dan bentuk DAS. Laju dan volume aliran

42 permukaan bertambah besar dengan bertmbahnya luas DAS. Bentuk DAS memanjang dan sempit cenderung menghasilkan laju aliran permukaan yang lebih kecil dibandingkan DAS yang berbentuk melebar atau melingkar. Hal ini terjadi karena waktu konsentrasi DAS yang memanjang lebih lama dibandingkan dengan DAS melebar, sehingga terjadinya konsentrasi air di titik kontrol lebih lambat yang berpengaruh pada laju dan volume aliran permukaan. Faktor bentuk juga berpengaruh pada aliran permukaan apabila hujan yang terjadi tidak serentak di seluruh DAS, tetapi bergerak dari ujung yang satu ke ujung lainnya misalnya dari hilir ke hulu. Pada DAS memanjang laju aliran akan lebih kecil karena aliran permukaan akibat hujan di hulu belum memberikan kontribusi pada titik kontrol ketika aliran permukaan dari hujan di hilir telah habis. Sebaliknya pada DAS melebar, datangnya aliran permukaan dari dari semua titik di DAS tidak terpaut banyak, artinya air dari hulu sudah tiba sebelum aliran dari hilir habis. 5.7 Pengaruh Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan dengan Karakteristik Hidrologi DAS (Banjir dan Debit Maksimum- Minimum). DAS (Daerah Aliran Sungai) merupakan suatu ekosistem yang terdiri dari komponen biotik dan abiotik. Aktifitas komponen ekosistem selalu memberi pengaruh terhadap komponen ekosistem yang lain. Aktifitas dalam DAS yang menyebabkan perubahan ekosistem misalnya perubahan tata guna lahan (Asdak, 2010). Tabel 13 merupakan ringkasan dari hasil penelitian yang dilakukan. Telah diketahui sebelumnya bahwa pola perubahan penutupan/penggunaan lahan yang terjadi adalah mengarah kepada perkembangan pemukiman dan pertanian intensif yaitu tegalan. Area pemukiman merupakan hasil konversi dari tegalan dan sawah. Dengan berkurangnya area budidaya pertanian menyebabkan terkonversinya area hutan semak/belukar. Budidaya pertanian yang paling diminati masyarakat adalah tegalan sehingga menyebabkan area terutama kebun campuran terkonversi.

43 Tabel 13. Hubungan Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan dengan Karakteristik Hidrologi Periode Tutupan Lahan Terkonversi 1990-2001 2001-2010 Hutan Semak/Belukar (-359.6 ha), Kebun Campuran (-280.9 ha), Hutan Lebat (-222.6 ha), Sawah (108.8 ha) Kebun Campuran (-914.2 ha), Hutan Semak/Belukar (-374.1 ha), Sawah (-204.2 ha), Hutan Lebat (-131.8 ha) Tutupan Lahan yg bertambah luasannya Pemukiman (638.1 ha), Tegalan (243.4 ha), Kebun teh (90.4 ha) Pemukiman (649.1 ha), Kebun teh (45.6 ha), Tegalan (357.4 ha) Parameter Tutupan Lahan Perubahan tutupan lahan dominan Kebun Campuran --> Tegalan (411.3 ha), Tegalan --> Pemukiman (238.8 ha), Sawah --> Pemukiman (208.5 ha) Kebun Campuran --> Tegalan (329.5 ha), Sawah - -> Pemukiman (231.3 ha), Sawah --> Tegalan (212.8 ha) Hutan ke lahan budidaya Hutan Semak (-269.9 ha), Hutan Lebat (-222.6 ha) : Total ( -492.5 ha) Hutan Semak (-374.1 ha), Hutan Lebat (-131.8 ha) : Total (-441 ha) Perubahan Karakteristik DAS Hutan ke pemukiman 37 ha 77 ha Frekuensi Banjir turun naik Kualitas Banjir naik naik Rasio Qmax-Qmin turun naik Parameter karakteristik hidrologi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu frekuensi kejadian banjir, kualitas banjir dan debit maksimum-minimum. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa secara umum terjadi penurunan kualitas karakteristik hidrologi pada dua periode tahun, namun penurunan kualitas lebih tajam pada periode tahun 2001-2010. Dengan luasan hutan lebat yang relatif tetap dan masih dominan dalam wilayah sub DAS Ciliwung hulu, perubahan kualitas karakteristik hidrologi tetap terjadi. Perubahan pola penggunaan lahan yang berpengaruh adalah perubahan ke arah area pemukiman dan tegalan yang menyebabkan terjadinya penurunan kualitas hidrologi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sudadi et al. (1991), Suarna et al. (2008) serta Asdak (2010). Menurut penelitian Suarna et al. (2008), semakin banyak area terbangun DAS maka proses peresapan air permukaan menjadi air tanah akan terganggu. Hal ini berakibat pada tingginya aliran permukaan serta tingginya debit sungai pada saat musim hujan yang dapat menyebabkan terjadinya banjir. Selain itu kondisi tersebut juga berdampak pada minimnya debit sungai pada saat musim kemarau yang berdampak pada menurunnya kualitas air sungai. Penelitian yang dilakukan oleh Sudadi et al. (1991) menyatakan bahwa pengaruh perubahan penggunaan lahan tehadap perubahan karakteristik aliran

44 sungai berkaitan dengan berubahnya areal konservasi menjadi areal pertanian ekstensif dan selanjutnya menjadi areal pertanian intensif dan pemukiman yang dapat menurunkan kemampuan tanah dalam menahan air. Menurut Asdak (2010), pola perubahan penutupan lahan yang umum terjadi kemudian meningkatkan debit aliran adalah apabila diantaranya jenis vegetasi diganti dari tanaman berakar dalam menjadi tanaman berakar dangkal. Perubahan pola penutupan/penggunaan lahan ke area pemukiman dan tegalan (pertanian intensif) dari kebun campuran serta terkonversinya area hutan menyebabkan aliran permukaan tinggi. Aliran permukaan yang tinggi disebabkan karena perubahan perakaran tanaman yang semakin dangkal dan pengurangan tajuk vegetasi sehingga laju dan volume aliran permukaan semakin tinggi. Aliran permukaan inilah yang menyebabkan debit maksimum saat musim hujan menjadi tinggi yang kemudian menimbulkan banjir. Kejadian tersebut memberikan gambaran bahwa perubahan penutupan/penggunaan lahan yang terjadi pada wilayah sub DAS Ciliwung hulu telah memberikan pengaruh terhadap penurunan kualitas karakteristik hidrologi DAS tersebut. Hal tersebut sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Suripin (2002) yaitu komponen hidrologi yang terkena dampak kegiatan pembangunan di dalam DAS meliputi koefisien aliran permukaan, koefisien regim sungai, nisbah debit maksimum-minimum, kadar lumpur atau kandungan sedimen sungai, laju, frekuensi dan periode banjir serta keadaan air tanah. Serta teori dari Leopold dan Dunne (1978) dalam Sudadi et al. (1991) mengatakan secara umum perubahan penggunaan lahan akan mengubah (1) karakteristik aliran sungai, (2) total aliran permukaan, (3) kualitas air dan (4) sifat hidrologi yang bersangkutan Dari penelitian ini, karakteristik hidrologi yang diamati adalah banjir dan debitmaksimum-minimum yang ternyata mengalami perubahan karena adanya perubahan penutupan/penggunaan lahan.