PERKEMBANGAN HARGA TUJUH KOMODITI POKOK HINGGA 25 MEI 2009 Kamis, 28 Mei 2009 Pergerakan harga tujuh komoditi pokok yang diamati pada seminggu terakhir cukup beragam. Empat komoditi mengalami kenaikan yakni tepung terigu, gula pasir lokal, minyak goreng kemasan dan kedelai lokal. Sedangkan harga beras, minyak goreng curah dan kedelai impor mengalami penurunan. Perkembangan harga ketujuh komoditi pokok yang diamati sebagaimana dilaporkan oleh Departemen Perdagangan dapat dilihat melalui tabel berikut di bawah ini Pada seminggu terakhir terjadi kenaikan harga untuk beberapa komoditi pokok yang diamati, yaitu tepung terigu sebesar Rp. 1,- (0,02%), gula pasir lokal sebesar Rp 4,- (0,04%), minyak goreng kemasan sebesar Rp. 34,- (0,40%) dan kedelai lokal sebesar Rp. 25,- (0,29%). Sedangkan penurunan harga terjadi pada komoditi beras sebesar Rp. 19,- (0,34%), minyak goreng curah sebesar Rp. 73,- (0,71%) dan kedelai impor sebesar Rp. 22,- (0,27%). Dibandingkan dengan harga rata-rata pada bulan April 2009, maka komoditi pokok beras, tepung terigu, gula pasir lokal, minyak goreng kemasan, dan minyak goreng curah mengalami kenaikan harga pada 25 Mei 2009. Penurunan harga terjadi pada kedelai impor dan kedelai lokal.
Jika dibandingkan dengan harga rata-rata bulan Maret 2009, maka komoditi pokok tepung terigu, gula pasir lokal dan minyak goreng curah mengalami kenaikan harga pada 25 Mei 2009. Penurunan harga terjadi pada komoditi beras, minyak goreng kemasan, kedelai impor dan kedelai lokal. Pergerakan harga komoditi kebutuhan pokok tersebut juga dapat digambarkan dalam bentuk grafik sebagai berikut: Komoditi Beras Meskipun Bulog telah mengantongi rekomendasi ekspor beras premium sebanyak 10.000 ton dari Departemen Pertanian, tetapi rekomendasi itu belum akan dimanfaatkan dalam waktu dekat ini, bahkan mengarah pada pembatalan ekspor beras premium. Sebanyak 10.000 ton beras yang rencananya akan dieskpor tersebut diantaranya berjenis Muncul, Pandan Wangi dan lain-lain, dan calon pembeli dari Jepang telah mewanti-wanti untuk siap menampung beras premium dari Bulog.
Bulog akan lebih fokus pada pengawasan proses ekspor dan stabilitas harga beras di dalam negeri. Pengawasan ekspor beras sangat penting dilakukan untuk mengantisipasi penyimpangan berbentuk penggelembungan volume ekspor seperti yang dikhawatirkan oleh banyak pihak. Sementara itu, minat eksportir untuk mengekspor beras premium menjadi kendor karena turunnya harga beras di pasar internasional dan penguatan kurs rupiah terhadap dollar AS, sehingga potensi margin keuntungan yang akan diperoleh menjadi tipis. Di pihak lain, Departemen Perdagangan (Depdag) masih berpikir ulang terkait rencana perpanjangan ekspor beras hingga September 2009, dengan alasan sekarang ini Indonesia sudah masuk musim paceklik. Oleh karena itu, Depdag lebih memilih untuk mengutamakan keamanan pasokan beras di dalam negeri terlebih dahulu ketimbang melakukan ekspor. Meski demikian, khusus untuk beras yang tidak dikonsumsi dalam negeri seperti beras organik, masih ada kemungkinan untuk dilakukannya perpanjangan ekspor hingga September nanti. Terlaksana atau tidaknya Indonesia melakukan ekspor beras tentu tergantung pula pada harga beras di pasar negara tujuan. Jika harganya terus menurun sebagaimana kecenderungan perkembangan harga beras yang diterbitkan oleh Food and Agriculture Organization of The United Nations (FAO - UN) pada bulan Mei 2009, kemungkinan ekspor beras tidak akan dilakukan. Dari grafik yang dirilis oleh FAO tersebut dapat dibaca bahwa harga beras di pasar internasional cenderung naik pada awal tahun 2008, tetapi sejak bulan Mei 2008 sampai dengan bulan April 2009 harga beras cenderung terus menurun.
Komoditi Kedelai Kedelai saat ini bukan hanya untuk bahan baku industri pembuatan tahu tempe saja, tetapi makin beragam seperti untuk bahan baku susu dan berbagai produk makanan lainnya. Hal ini mendorong permintaan kedelai dalam negeri semakin tinggi. Secara teoritis, apabila permintaan meningkat maka harga cenderung akan naik. Oleh sebab itu, harga dasar kedelai perlu ditetapkan oleh instansi yang berwenang untuk menjamin keberlangsungan usaha pengrajin tahu, tempe dan susu kedelai, serta menggiatkan petani kedelai. Jika harga dasar atau semacam harga pembelian pemerintah (HPP) sudah ditetapkan, akan membuat pengrajin tahu, tempe serta susu kedelai lebih tenang berusaha karena tidak lagi perlu terlalu mengkhawatirkan terjadinya fluktuasi harga yang melambung tinggi seperti halnya yang pernah terjadi pada tahun lalu, yang mengakibatkan banyak pengrajin menutup usahanya. Di sisi lain, petani juga akan lebih termotivasi untuk menanam kacang kedelai, karena mereka tidak terlalu khawatir akan anjloknya harga jual pada saat panen raya tiba. Jika petani semakin bergairah untuk menanam kedelai, maka produksi dalam negeri akan meningkat dan mengurangi kebutuhan impor. Sebagai gambaran, pada saat ini produksi kedelai petani kita hanya sekitar 400 ton per tahun, hanya mampu penuhi 20 persen dari total kebutuhan kedelai nasional yang mencapai 2,2 juta ton per tahun. Sebanyak 1,8 juta ton diantaranya masih dipenuhi dari kedelai impor beberapa negara seperti Amerika Serikat guna memenuhi konsumsi kedelai nasional yang terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk Indonesia.
( Ibnu Purna / Hamidi / Elis )