BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karies gigi merupakan suatu penyakit jaringan keras gigi yaitu email, dentin dan sementum, yang disebabkan oleh aktifitas berbagai mikroorganisme yang ditandai dengan terjadinya demineralisasi, disertai kerusakan jaringan struktur organik dari gigi yaitu interprismata (Bechal., 1992). Mikroorganisme yang paling dominan pada pembentukan karies gigi adalah Streptokokus mutans, bersifat sangat asidogenik sehingga dapat menyebabkan demineralisasi hidroksiapatit yang dapat menyebabkab karies gigi (Lester., 2010). Demineralisasi dapat diatasi dengan cara penggunaan fluoride, namun dengan dosis yang berlebihan akan menyebabkan fluorosis, sehingga banyak peneliti mencari alternatif bahan antikariogenik yang tidak menyebabkan fluorosis (Kumar, 2006 ; Alverez, dkk., 2009). Bahan remineralisasi pertama kali yang diungkapkan pada tahun 1998 adalah CPP-ACP (Casein Phosphopeptide-Amorphous Calcium Phosphate) atau yang lebih dikenal dengan kompleks fosfopeptida kasein dan kalsium fosfat amorf. Beberapa studi telah membuktikan bahwa CPP-ACP merupakan suatu bahan yang memiliki aktivitas antikariogenik pada hewan maupun manusia dalam percobaan secara in situ (Moayedi, 2009). Oleh karena itu, CPP-ACP dipilih sebagai salah satu bahan dalam bidang kedokteran gigi yang berasal dari derivat kasein dan merupakan bahan baru untuk melawan penyakit karies (Moezizadeh dan Moayedi., 2009). Fosfopeptida kasein (CPP) adalah kelompok peptida yang berasal dari kasein dan merupakan bagian dari protein yang terjadi secara alami dalam susu. Susu adalah makanan protein yang sangat baik dalam menyediakan asam amino esensial dan nitrogen organik untuk manusia dan hewan dari segala usia, serta memiliki sifat antikariogenik yang terdiri dari kalsium, fosfat, kasein, dan lipid. Produk susu mulai
diakui di akhir 1950-an sebagai kelompok makanan yang efektif dalam mencegah karies gigi (Reynolds., 1987). CPP dianggap memiliki bioavailabilitas kalsium yang tinggi dan kemampuan dalam menstabilkan kalsium dan fosfat pada saliva serta mengikat plak pada permukaan gigi. Hal ini dikarenakan ikatan CPP mampu menjaga kalsium dan fosfat pada saliva agar tetap dalam keadaan amorf non-kristalin, yang artinya stabil. Hal ini menyebabkan ion kalsium dan fosfat dapat dengan mudah beradhesi ke email gigi sehingga dapat mengurangi risiko demineralisasi email dan membantu proses remineralisasi enamel gigi (Walker dkk., 2009). CPP-ACP memiliki kekurangan dimana memiliki kelarutan yang rendah dalam suasana asam, hal ini menyebabkan berkurangnya kemampuan CPP-ACP untuk menahan ion kalsium dan fosfat pada lingkungan yang asam (Hong dkk., 2013). Selain itu CPP-ACP lebih baik dihindari pada pasien dengan riwayat alergi protein susu, karena kandungan kasein di dalam bahan ini dapat menimbulkan reaksi alergi (Chalmers., 2006 ). Indonesia dikenal sebagai negara dengan sumber daya alam hayati kedua terbesar yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Jenis spesies tanaman yang ada didunia, dijumpai sekitar 40 ribu spesies dan 30 ribu diantaranya terdapat di Indonesia. Sebanyak 9.600 di antaranya terbukti memiliki khasiat sebagai obat, bahkan sekitar 300 spesies adalah dimanfaatkan sebagai bahan obat tradisional oleh industri obat tradisional (Depkes RI, 2007). Diperkirakan sekitar 75%-80% penduduk di dunia menggunakan bahan obat yang berasal dari tumbuhan. Pada dekade terakhir ini banyak perhatian para ahli ditujukan kepada tumbuhan sebagai sumber bahan obat karena kenyataan menunjukkan bahwa tumbuhan dapat digunakan untuk keperluan perawatan kesehatan dasar (Kontranas., 2006). Menurut Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan melingkupi bahan atau ramuan berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, atau campuran dari bahan-bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan. Sesuai dengan pasal 100 ayat (1) dan (2), sumber obat tradisional
yang sudah terbukti berkhasiat dan aman digunakan akan tetap dijaga kelestariannya dan dijamin pemerintah untuk pengembangan serta pemeliharaan bahan bakunya (Depkes RI., 2009). Dunia Kedokteran Indonesia sendiri secara perlahan mulai membuka diri menerima herbal sebagai pilihan untuk pengobatan, bukan sekedar sebagai pengobatan alternatif saja, ini terbukti dengan berdirinya beberapa organisasi seperti Badan Kajian Kedokteran Tradisional dan Komplementer Ikatan Dokter Indonesia pada Muktamar IDI XXVII tahun 2009, persatuan dokter herbal medik Indonesia [PDHMI], persatuan dokter pengembangan kesehatan timur [PDPKT] dan beberapa organisasi sejenis lainnya, menggambarkan bahwa dunia kedokteran terbuka lebar, dan para pelakunya adalah para dokter yang mulai melihat potensi yang cukup besar untuk dikembangkan dalam pengobatan berbasis obat herbal, tidak hanya menangani penyakit yang ringan, juga untuk mengatasi penyakit yang parah (Kontranas., 2006). Peneliti belum banyak menaruh perhatian terhadap pemanfaatan tumbuhan obat dalam bidang kedokteran gigi, namun laporan hasil penelitian mulai tampak menjamur dan umumnya ditujukan untuk kepentingan dalam bidang pencegahan penyakit gigi dan mulut. Hal ini berkenaan dengan kebijakan Program Nasional Pengembangan Bahan Alam dengan menjadikan Indonesia sebagai produsen nomor satu di dunia dalam industri obat berbasis bahan alami (World First Class Herbal Medicine Country) pada tahun 2020. Sejarah pengobatan tradisional sebagai warisan budaya bangsa dan kekayaan alam yang dimiliki Indonesia, serta adanya kebijakan kebijakan yang mendukung pengembangan tanaman obat menunjukkan, bahwa pengobatan tradisional dengan memanfaatkan tumbuhan untuk meningkatkan kesehatan gigi dan mulut masyarakat, dimana keterpurukan ekonomi Indonesia saat ini sehingga muncul kecenderungan untuk kembali ke alam. Salah satu tanaman obat yang telah digunakan sejak dahulu adalah belimbing wuluh, tanaman ini mendapat perhatian yang sangat besar saat ini karena adanya bukti penelitian-penelitian ilmiah yang menyatakan bahwa buah
belimbing wuluh kaya dengan mineral dan mempunyai banyak khasiat, khususnya dalam bidang kedokteran gigi (Kontranas., 2006). Beberapa peneliti menyatakan bahwa ekstrak buah belimbing wuluh memiliki efektivitas antifungi yang dapat menghambat pertumbuhan Candida albicans dengan konsentrasi hambat minimal 6 % (Rahayu., 2013). Suwondo., (2006) melakukan penelitian terhadap tiga puluh jenis flora dan salah satu di antaranya ekstrak buah belimbing wuluh yang aktif terhadap bakteri spesifik penyebab karies dan bakteri pembentuk plak Streptococcus mutans. Penelitian lain oleh Qurrotu (2008), menyebutkan bahwa ekstrak buah belimbing wuluh berpotensi sebagai anti bakteri yaitu menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus aureus dan Esherichia Coli. Hal ini menunjukkan bahwa buah belimbing wuluh memiliki potensi sebagai antibakteri. Belimbing wuluh memiliki senyawa karboksilat, yang memiliki potensi sebagai bahan dental bleaching (Fauziah dkk., 2012). Belimbing wuluh bersifat asam dengan ph 4,7 (Purwaningsih., 2003). Meskipun memiliki ph yang rendah, akan tetapi proses remineralisasi dalam suatu larutan remineralisasi yang asam (ph = 4,8) terjadi tiga kali lebih besar dibandingkan dengan larutan ph netral (ph = 7). Hal ini terjadi karena dalam kandungan asam laktat diketahui memiliki kemampuan untuk mengikat ion kalsium dan memberikan buffer dalam suasana asam sehingga proses remineralisasi akan terjadi lebih besar (Yamazaki., 2007). Hasil penelitian- penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa buah belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L) memiliki kemampuan sebagai proses remineralisasi gigi karena memiliki kandungan ion kalsium dan fosfat yang tinggi. Dalam rangka upaya pengembangan dan pemanfaatan tanaman belimbing wuluh sebagai obat herbal, yang dikaitkan dalam upaya meningkatkan kesehatan gigi dan mulut. Berdasarkan uraikan di atas, penelitian ini dilakukan uji terhadap efek pemberian ekstrak buah belimbing wuluh dalam proses remineralisasi pada permukaan enamel gigi yang diformulasikan dalam bentuk sediaan gel, dengan menggunakan pembanding gel CPP-ACP yang merupakan bahan remineralisasi komersil yang dipakai saat ini.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, tema sentral penelitian ini adalah: - Mineralisasi gigi dipengaruhi oleh ph saliva, semakin rendah ph saliva, maka akan menyebabkan ion hidrogen semakin meningkat sehingga dapat merusak ikatan hidroksiapatit pada gigi dan akan melarutkan kristal email sehingga menyebabkan demineralisasi. - Bahan remineralisasi yang merupakan gold standar saat ini adalah CPP-ACP, CPP dianggap memiliki bioavailabilitas kalsium yang tinggi dan kemampuan dalam menstabilkan kalsium dan fosfat pada saliva serta mengikat plak pada permukaan gigi. - Kekurangan CPP ACP adalah memiliki kelarutan yang rendah dalam suasana asam, hal ini menyebabkan berkurangnya kemampuan CPP-ACP untuk menahan ion kalsium dan fosfat pada lingkungan yang asam. - CPP-ACP lebih baik dihindari pemberiannya pada pasien dengan riwayat alergi protein susu, karena kandungan kasein di dalam bahan ini dapat menimbulkan reaksi alergi. - Buah belimbing wuluh memiliki ph yang rendah, akan tetapi proses remineralisasi dalam buah belimbing wuluh terjadi lebih besar hal ini dikarenakan, kandungan asam laktat pada belimbing wuluh diketahui memiliki kemampuan untuk mengikat ion kalsium dan memberikan buffer dalam suasana asam sehingga proses remineralisasi dapat terjadi. Masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah pemberian sedian gel ekstrak buah belimbing wuluh dapat meningkatkan proses remineralisasi pada permukaan email gigi dibanding dengan permukaan email tanpa aplikasi. 2. Apakah pemberian kombinasi sedian ekstrak gel buah belimbing wuluh dan gel CPP-ACP dapat meningkatkan proses remineralisasi pada permukaan
email gigi dibanding dengan permukaan email yang tidak diberi sedia kombinasi gel CPP-ACP dan ekstrak gel buah belimbing wuluh. 3. Apakah ada perbedaan diantara sediaan ekstrak gel buah belimbing wuluh, gel CPP-ACP atau kombinasi antara dua bahan tersebut dalam menahan mineral kalsium (Ca) dan fosfat (P) pada email gigi. 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk : 1. Mengetahui kemampuan gel ekstrak buah belimbing wuluh dalam meningkatkan remineralisasi email gigi. 2. Mengetahui efek CPP-ACP dan penambahan gel ekstrak buah belimbing wuluh pada CPP-ACP (Casein Phosphopeptide-Amorphous Calcium Phosphate ) dalam meremineralisasi email gigi. 3. Menganalisa struktur email dengan menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM) untuk melihat perbedaan setelah pemberian CPP-ACP dan gel ekstrak buah belimbing wuluh. 4. Menganalisis elemen Ca dan P dengan menggunakan Energy Dispersive X- ray analysis (EDX) setelah pemberian gel ekstrak buah belimbing wuluh dan gel CPP- ACP. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Ilmiah Menambah data ilmiah tentang pemanfaatan buah belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L) sebagai penghambat proses karies. 1.4.2 Manfaat Klinis Meningkatkan ilmu pengetahuan di dalam bidang kesehatan gigi dan mulut, tentang penggunaan bahan alam sebagai bahan remineralisasi gigi dan sebagai dasar bagi peneliti dalam pencegahan karies dengan memanfaatkan bahan biomaterial antikaries yang baru.
1.4.3 Manfaat Praktis Meningkatkan pelayanan kesehatan gigi terhadap masyarakat dipusat kesehatan masyarakat (PUSKESMAS) dan memberi sumber informasi pada masyarakat luas sebagai upaya (preventif) dalam menjaga kesehatan gigi dan mulut. 1.4.4 Manfaat Peneliti Menambah wawasan dan pengalaman dalam meneliti bahan alam untuk remineralisasi gigi.