BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Erosi gigi adalah luruhnya jaringan keras gigi yang disebabkan oleh asam

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. DMF-T Indonesia menurut hasil Riskesdas pada tahun 2013 adalah 4,6% yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. cukup tinggi. Menurut hasil Riskesdas tahun 2013, indeks DMF-T Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan gigi dan mulut dengan asupan nutrisi (Iacopino, 2008). Diet yang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Karies adalah penyakit jaringan keras gigi, yaitu enamel, dentin dan

KARAKTERISTIK GIGI YANG TERPAPAR ASAM SUNTI (Averrhoa bilimbi L)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Streptococcus mutans merupakan bakteri gram positif golongan

BAB I PENDAHULUAN. indeks caries 1,0. Hasil riset kesehatan dasar tahun 2007 melaporkan bahwa

BAB 1 PENDAHULUAN. kelenjar saliva, dimana 93% dari volume total saliva disekresikan oleh kelenjar saliva

BAB I PENDAHULUAN. aktifitas mikroorganisme yang menyebabkan bau mulut (Eley et al, 2010). Bahan yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Departemen Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. dijual dipasaran, diantaranya adalah chlorhexidine. Chlorhexidine sendiri

BAB 1 PENDAHULUAN. menggunakan tanaman obat di Indonesia perlu digali lebih mendalam, khususnya

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mempengaruhi derajat keasaman saliva. Saliva memiliki peran penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. virus, bakteri, dan lain-lain yang bersifat normal maupun patogen. Di dalam

BAB I PENDAHULUAN. Community Dental Oral Epidemiologi menyatakan bahwa anakanak. disebabkan pada umumnya orang beranggapan gigi sulung tidak perlu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. rendah (Depkes RI, 2005). Anak yang memasuki usia sekolah yaitu pada usia 6-12

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. prevalensi yang terus meningkat akibat fenomena perubahan diet (Roberson dkk.,

BAB I PENDAHULUAN. Sebanyak 14 provinsi mempunyai prevalensi masalah gigi dan mulut di atas

BAB 1 PENDAHULUAN. Nikaragua. Bersama pelayar-pelayar bangsa Portugis di abad ke 16, tanaman ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Rongga mulut manusia tidak pernah terlepas dari bakteri. Dalam rongga mulut

BAB I PENDAHULUAN. atau biofilm dan diet (terutama dari komponen karbohidrat) yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Madu merupakan salah satu sumber makanan yang baik. Asam amino,

BAB 1 PENDAHULUAN. Kerusakan pada gigi merupakan salah satu penyakit kronik yang umum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. masyarakat Indonesia. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2004 yang

BAB I PENDAHULUAN. dan mulut yang memiliki prevalensi tinggi di masyarakat pada semua

BAB 1 PENDAHULUAN. Saliva merupakan cairan rongga mulut yang kompleks yang terdiri atas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karies. Hal ini dipengaruhi oleh morfologi dan kandungan mineral penyusun gigi

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. gigi dan mulut di Indonesia. Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Gigi merupakan salah satu faktor penting dalam estetika yang mendukung

BAB I PENDAHULUAN. ata terbaru yang dikeluarkan Departemen Kesehatan (Depkes) Republik

BAB I PENDAHULUAN. Karies gigi merupakan masalah kesehatan gigi dan mulut yang paling dominan

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia saat ini sedang menggalakkan pemakaian bahan alami sebagai bahan obat,

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan seseorang (Sari & Suryani, 2014). Penyakit gigi dan mulut memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Mulut memiliki lebih dari 700 spesies bakteri yang hidup di dalamnya dan. hampir seluruhnya merupakan flora normal atau komensal.

BAB I PENDAHULUAN. kelamin, usia, ras, ataupun status ekonomi (Bagramian R.A., 2009). Karies

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. bahan baku utamanya yaitu susu. Kandungan nutrisi yang tinggi pada keju

BAB 1 PENDAHULUAN. Gambir adalah ekstrak kering dari ranting dan daun tanaman Uncaria gambir

BAB 5 HASIL PENELITIAN. Hasil rata rata pengukuran kekerasan pada spesimen adalah sebagai berikut:

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. yaitu aquades sebagai variabel kontrol dan sebagai variabel pengaruh

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan tubuh, baik bagi anak-anak, remaja maupun orang dewasa. 1,2

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. interaksi dari bakteri di permukaan gigi, plak/biofilm, dan diet. Komponen diet

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terjadi pada jaringan keras gigi yang bermula dari ke dentin berlanjut ke

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Kelompok I: Gel ekstrak buah belimbing wuluh (Konsentrasi 0,25%)

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. oleh aktivitas suatu jasad renik dalam suatu karbohidrat yang dapat difermentasi

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kelenjar ludah besar dan kecil yang ada pada mukosa oral. Saliva yang terbentuk

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

I.PENDAHULUAN. A.Latar Belakang Permasalahan. bersoda dan minuman ringan tanpa karbonasi. Minuman ringan berkarbonasi

Bayyin Bunayya Cholid*, Oedijani Santoso**, Yayun Siti Rochmah***

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. utama yaitu preparasi biomekanis saluran akar atau pembersihan dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

SALIVA SEBAGAI CAIRAN DIAGNOSTIK RESIKO TERJADINYA KARIES PUTRI AJRI MAWADARA. Dosen Pembimbing : drg. Shanty Chairani, M.Si.

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. berdasarkan ada atau tidaknya deposit organik, materia alba, plak gigi, pelikel,

BAB 1 PENDAHULUAN. diisolasi dari saluran akar yang terinfeksi dengan pulpa terbuka adalah obligat

BAB I PENDAHULUAN. dari sisa makanan, menghilangkan plak dan bau mulut serta memperindah

BAB 5 HASIL PENELITIAN

PENGARUH KONSUMSI COKELAT DAN KEJU TERHADAP KONSENTRASI KALSIUM

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Hasil Penelitian. Penelitian tentang perbedaan status karies pada anak Sekolah Dasar yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Streptococcus sanguis adalah jenis bakteri Streptococcs viridans yang

BAB 1 PENDAHULUAN. lainnya sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari. Angka kejadian masalah

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kesehatan gigi dan makanan sehat cenderung dapat menjaga perilaku hidup sehat.

BAB I PENDAHULUAN. merupakan kelompok mikroba di dalam rongga mulut dan dapat diklasifikasikan. bakteri aerob, anaerob, dan anaerob fakultatif.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. protein, berbagai vitamin dan mineral (Widodo, 2003). Susu adalah cairan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

STUDI PENGUJIAN SEM DAN EDX HIDROKSIAPATIT DARI GIPSUM ALAM CIKALONG DENGAN 0

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Semen Ionomer Kaca Modifikasi Resin (SIKMR) ionomer kaca. Waktu kerja yang singkat dan waktu pengerasan yang lama pada

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mahkota (crown) dan jembatan (bridge). Mahkota dapat terbuat dari berbagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dalam rongga mulut. Hasil survei Kesehatan Rumah Tangga (2006) menunjukan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesehatan merupakan bagian terpenting dalam kehidupan manusia. Manusia

BAB I PENDAHULUAN. diterima oleh dokter gigi adalah gigi berlubang atau karies. Hasil survey

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kavitas oral ditempati oleh bermacam-macam flora mikroba, yang berperan

BAB I PENDAHULUAN. diantaranya adalah dengan menggunakan obat kumur antiseptik. Tujuan berkumur

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. pada permulaan terjadinya karies gigi (Purnamasari et al., 2010). Namun, tanpa

BAB I PENDAHULUAN. mulut. Ketidakseimbangan indigenous bacteria ini dapat menyebabkan karies gigi

BAB 1 PENDAHULUAN. RI tahun 2004, prevalensi karies gigi mencapai 90,05%. 1 Karies gigi merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu cermin dari kesehatan manusia, karena merupakan

Gambar 1. Kelenjar saliva 19

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. melalui makanan yang dikonsumsi sehari-hari. Berbagai macam bakteri ini yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dalam bidang kedokteran gigi, masalah kesehatan gigi yang umum terjadi di

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Karies gigi atau yang biasanya dikenal masyarakat sebagai gigi berlubang,

BAB I PENDAHULUAN. Karies gigi merupakan suatu penyakit yang sering dijumpai. Menurut Dr. WD

BAB 1 PENDAHULUAN. ke dentin kemudian ke pulpa (Tarigan, 2013). Penyakit karies dapat

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dekade terakhir, sebanyak 80% orang didunia bergantung pada

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Ortodonsia adalah cabang dari Ilmu Kedokteran Gigi yang mempelajari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dikeluhkan masyarakat.menurut survei di Indonesia, karies gigi

BAB I PENDAHULUAN. Karies gigi merupakan salah satu penyakit kronis yang paling umum terjadi di

BAB I PENDAHULUAN. seperti kesehatan, kenyamanan, dan rasa percaya diri. Namun, perawatan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karies gigi merupakan suatu penyakit jaringan keras gigi yaitu email, dentin dan sementum, yang disebabkan oleh aktifitas berbagai mikroorganisme yang ditandai dengan terjadinya demineralisasi, disertai kerusakan jaringan struktur organik dari gigi yaitu interprismata (Bechal., 1992). Mikroorganisme yang paling dominan pada pembentukan karies gigi adalah Streptokokus mutans, bersifat sangat asidogenik sehingga dapat menyebabkan demineralisasi hidroksiapatit yang dapat menyebabkab karies gigi (Lester., 2010). Demineralisasi dapat diatasi dengan cara penggunaan fluoride, namun dengan dosis yang berlebihan akan menyebabkan fluorosis, sehingga banyak peneliti mencari alternatif bahan antikariogenik yang tidak menyebabkan fluorosis (Kumar, 2006 ; Alverez, dkk., 2009). Bahan remineralisasi pertama kali yang diungkapkan pada tahun 1998 adalah CPP-ACP (Casein Phosphopeptide-Amorphous Calcium Phosphate) atau yang lebih dikenal dengan kompleks fosfopeptida kasein dan kalsium fosfat amorf. Beberapa studi telah membuktikan bahwa CPP-ACP merupakan suatu bahan yang memiliki aktivitas antikariogenik pada hewan maupun manusia dalam percobaan secara in situ (Moayedi, 2009). Oleh karena itu, CPP-ACP dipilih sebagai salah satu bahan dalam bidang kedokteran gigi yang berasal dari derivat kasein dan merupakan bahan baru untuk melawan penyakit karies (Moezizadeh dan Moayedi., 2009). Fosfopeptida kasein (CPP) adalah kelompok peptida yang berasal dari kasein dan merupakan bagian dari protein yang terjadi secara alami dalam susu. Susu adalah makanan protein yang sangat baik dalam menyediakan asam amino esensial dan nitrogen organik untuk manusia dan hewan dari segala usia, serta memiliki sifat antikariogenik yang terdiri dari kalsium, fosfat, kasein, dan lipid. Produk susu mulai

diakui di akhir 1950-an sebagai kelompok makanan yang efektif dalam mencegah karies gigi (Reynolds., 1987). CPP dianggap memiliki bioavailabilitas kalsium yang tinggi dan kemampuan dalam menstabilkan kalsium dan fosfat pada saliva serta mengikat plak pada permukaan gigi. Hal ini dikarenakan ikatan CPP mampu menjaga kalsium dan fosfat pada saliva agar tetap dalam keadaan amorf non-kristalin, yang artinya stabil. Hal ini menyebabkan ion kalsium dan fosfat dapat dengan mudah beradhesi ke email gigi sehingga dapat mengurangi risiko demineralisasi email dan membantu proses remineralisasi enamel gigi (Walker dkk., 2009). CPP-ACP memiliki kekurangan dimana memiliki kelarutan yang rendah dalam suasana asam, hal ini menyebabkan berkurangnya kemampuan CPP-ACP untuk menahan ion kalsium dan fosfat pada lingkungan yang asam (Hong dkk., 2013). Selain itu CPP-ACP lebih baik dihindari pada pasien dengan riwayat alergi protein susu, karena kandungan kasein di dalam bahan ini dapat menimbulkan reaksi alergi (Chalmers., 2006 ). Indonesia dikenal sebagai negara dengan sumber daya alam hayati kedua terbesar yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Jenis spesies tanaman yang ada didunia, dijumpai sekitar 40 ribu spesies dan 30 ribu diantaranya terdapat di Indonesia. Sebanyak 9.600 di antaranya terbukti memiliki khasiat sebagai obat, bahkan sekitar 300 spesies adalah dimanfaatkan sebagai bahan obat tradisional oleh industri obat tradisional (Depkes RI, 2007). Diperkirakan sekitar 75%-80% penduduk di dunia menggunakan bahan obat yang berasal dari tumbuhan. Pada dekade terakhir ini banyak perhatian para ahli ditujukan kepada tumbuhan sebagai sumber bahan obat karena kenyataan menunjukkan bahwa tumbuhan dapat digunakan untuk keperluan perawatan kesehatan dasar (Kontranas., 2006). Menurut Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan melingkupi bahan atau ramuan berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, atau campuran dari bahan-bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan. Sesuai dengan pasal 100 ayat (1) dan (2), sumber obat tradisional

yang sudah terbukti berkhasiat dan aman digunakan akan tetap dijaga kelestariannya dan dijamin pemerintah untuk pengembangan serta pemeliharaan bahan bakunya (Depkes RI., 2009). Dunia Kedokteran Indonesia sendiri secara perlahan mulai membuka diri menerima herbal sebagai pilihan untuk pengobatan, bukan sekedar sebagai pengobatan alternatif saja, ini terbukti dengan berdirinya beberapa organisasi seperti Badan Kajian Kedokteran Tradisional dan Komplementer Ikatan Dokter Indonesia pada Muktamar IDI XXVII tahun 2009, persatuan dokter herbal medik Indonesia [PDHMI], persatuan dokter pengembangan kesehatan timur [PDPKT] dan beberapa organisasi sejenis lainnya, menggambarkan bahwa dunia kedokteran terbuka lebar, dan para pelakunya adalah para dokter yang mulai melihat potensi yang cukup besar untuk dikembangkan dalam pengobatan berbasis obat herbal, tidak hanya menangani penyakit yang ringan, juga untuk mengatasi penyakit yang parah (Kontranas., 2006). Peneliti belum banyak menaruh perhatian terhadap pemanfaatan tumbuhan obat dalam bidang kedokteran gigi, namun laporan hasil penelitian mulai tampak menjamur dan umumnya ditujukan untuk kepentingan dalam bidang pencegahan penyakit gigi dan mulut. Hal ini berkenaan dengan kebijakan Program Nasional Pengembangan Bahan Alam dengan menjadikan Indonesia sebagai produsen nomor satu di dunia dalam industri obat berbasis bahan alami (World First Class Herbal Medicine Country) pada tahun 2020. Sejarah pengobatan tradisional sebagai warisan budaya bangsa dan kekayaan alam yang dimiliki Indonesia, serta adanya kebijakan kebijakan yang mendukung pengembangan tanaman obat menunjukkan, bahwa pengobatan tradisional dengan memanfaatkan tumbuhan untuk meningkatkan kesehatan gigi dan mulut masyarakat, dimana keterpurukan ekonomi Indonesia saat ini sehingga muncul kecenderungan untuk kembali ke alam. Salah satu tanaman obat yang telah digunakan sejak dahulu adalah belimbing wuluh, tanaman ini mendapat perhatian yang sangat besar saat ini karena adanya bukti penelitian-penelitian ilmiah yang menyatakan bahwa buah

belimbing wuluh kaya dengan mineral dan mempunyai banyak khasiat, khususnya dalam bidang kedokteran gigi (Kontranas., 2006). Beberapa peneliti menyatakan bahwa ekstrak buah belimbing wuluh memiliki efektivitas antifungi yang dapat menghambat pertumbuhan Candida albicans dengan konsentrasi hambat minimal 6 % (Rahayu., 2013). Suwondo., (2006) melakukan penelitian terhadap tiga puluh jenis flora dan salah satu di antaranya ekstrak buah belimbing wuluh yang aktif terhadap bakteri spesifik penyebab karies dan bakteri pembentuk plak Streptococcus mutans. Penelitian lain oleh Qurrotu (2008), menyebutkan bahwa ekstrak buah belimbing wuluh berpotensi sebagai anti bakteri yaitu menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus aureus dan Esherichia Coli. Hal ini menunjukkan bahwa buah belimbing wuluh memiliki potensi sebagai antibakteri. Belimbing wuluh memiliki senyawa karboksilat, yang memiliki potensi sebagai bahan dental bleaching (Fauziah dkk., 2012). Belimbing wuluh bersifat asam dengan ph 4,7 (Purwaningsih., 2003). Meskipun memiliki ph yang rendah, akan tetapi proses remineralisasi dalam suatu larutan remineralisasi yang asam (ph = 4,8) terjadi tiga kali lebih besar dibandingkan dengan larutan ph netral (ph = 7). Hal ini terjadi karena dalam kandungan asam laktat diketahui memiliki kemampuan untuk mengikat ion kalsium dan memberikan buffer dalam suasana asam sehingga proses remineralisasi akan terjadi lebih besar (Yamazaki., 2007). Hasil penelitian- penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa buah belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L) memiliki kemampuan sebagai proses remineralisasi gigi karena memiliki kandungan ion kalsium dan fosfat yang tinggi. Dalam rangka upaya pengembangan dan pemanfaatan tanaman belimbing wuluh sebagai obat herbal, yang dikaitkan dalam upaya meningkatkan kesehatan gigi dan mulut. Berdasarkan uraikan di atas, penelitian ini dilakukan uji terhadap efek pemberian ekstrak buah belimbing wuluh dalam proses remineralisasi pada permukaan enamel gigi yang diformulasikan dalam bentuk sediaan gel, dengan menggunakan pembanding gel CPP-ACP yang merupakan bahan remineralisasi komersil yang dipakai saat ini.

1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, tema sentral penelitian ini adalah: - Mineralisasi gigi dipengaruhi oleh ph saliva, semakin rendah ph saliva, maka akan menyebabkan ion hidrogen semakin meningkat sehingga dapat merusak ikatan hidroksiapatit pada gigi dan akan melarutkan kristal email sehingga menyebabkan demineralisasi. - Bahan remineralisasi yang merupakan gold standar saat ini adalah CPP-ACP, CPP dianggap memiliki bioavailabilitas kalsium yang tinggi dan kemampuan dalam menstabilkan kalsium dan fosfat pada saliva serta mengikat plak pada permukaan gigi. - Kekurangan CPP ACP adalah memiliki kelarutan yang rendah dalam suasana asam, hal ini menyebabkan berkurangnya kemampuan CPP-ACP untuk menahan ion kalsium dan fosfat pada lingkungan yang asam. - CPP-ACP lebih baik dihindari pemberiannya pada pasien dengan riwayat alergi protein susu, karena kandungan kasein di dalam bahan ini dapat menimbulkan reaksi alergi. - Buah belimbing wuluh memiliki ph yang rendah, akan tetapi proses remineralisasi dalam buah belimbing wuluh terjadi lebih besar hal ini dikarenakan, kandungan asam laktat pada belimbing wuluh diketahui memiliki kemampuan untuk mengikat ion kalsium dan memberikan buffer dalam suasana asam sehingga proses remineralisasi dapat terjadi. Masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah pemberian sedian gel ekstrak buah belimbing wuluh dapat meningkatkan proses remineralisasi pada permukaan email gigi dibanding dengan permukaan email tanpa aplikasi. 2. Apakah pemberian kombinasi sedian ekstrak gel buah belimbing wuluh dan gel CPP-ACP dapat meningkatkan proses remineralisasi pada permukaan

email gigi dibanding dengan permukaan email yang tidak diberi sedia kombinasi gel CPP-ACP dan ekstrak gel buah belimbing wuluh. 3. Apakah ada perbedaan diantara sediaan ekstrak gel buah belimbing wuluh, gel CPP-ACP atau kombinasi antara dua bahan tersebut dalam menahan mineral kalsium (Ca) dan fosfat (P) pada email gigi. 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk : 1. Mengetahui kemampuan gel ekstrak buah belimbing wuluh dalam meningkatkan remineralisasi email gigi. 2. Mengetahui efek CPP-ACP dan penambahan gel ekstrak buah belimbing wuluh pada CPP-ACP (Casein Phosphopeptide-Amorphous Calcium Phosphate ) dalam meremineralisasi email gigi. 3. Menganalisa struktur email dengan menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM) untuk melihat perbedaan setelah pemberian CPP-ACP dan gel ekstrak buah belimbing wuluh. 4. Menganalisis elemen Ca dan P dengan menggunakan Energy Dispersive X- ray analysis (EDX) setelah pemberian gel ekstrak buah belimbing wuluh dan gel CPP- ACP. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Ilmiah Menambah data ilmiah tentang pemanfaatan buah belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L) sebagai penghambat proses karies. 1.4.2 Manfaat Klinis Meningkatkan ilmu pengetahuan di dalam bidang kesehatan gigi dan mulut, tentang penggunaan bahan alam sebagai bahan remineralisasi gigi dan sebagai dasar bagi peneliti dalam pencegahan karies dengan memanfaatkan bahan biomaterial antikaries yang baru.

1.4.3 Manfaat Praktis Meningkatkan pelayanan kesehatan gigi terhadap masyarakat dipusat kesehatan masyarakat (PUSKESMAS) dan memberi sumber informasi pada masyarakat luas sebagai upaya (preventif) dalam menjaga kesehatan gigi dan mulut. 1.4.4 Manfaat Peneliti Menambah wawasan dan pengalaman dalam meneliti bahan alam untuk remineralisasi gigi.