BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang berarti bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa manusia lain. Hanya dalam kehidupan bersamalah manusia dapat dimungkinkan untuk memenuhi panggilan hidupnya, memenuhi kepentingan dan kebutuhannya. Agar kebutuhan dan kepentingan tersebut terpenuhi dan terlindungi, maka manusia hidup secara berkelompok di dalam masyarakat. 1 Di dalam kelompok tersebut kemudian manusia dapat berkembang mengikuti arah pembangunan modern seperti sekarang ini. Dalam era pembangunan ini umumnya semua orang, baik perorangan maupun badan hukum memerlukan dana untuk memenuhi kebutuhannya, terutama mereka yang terlibat dalam dunia bisnis modern yang semakin berkembang pesat. Untuk mendapatkan sumber dana tersebut dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, misalnya seperti orang perorangan maka dia dapat bekerja untuk mendapatkan upah, sementara bagi badan hukum maka ia dapat meningkatkan produksi atas barang maupun jasa. Namun dalam kenyataannya pada waktu tertentu seseorang baik perorangan maupun badan hukum adakalanya tidak memiliki dana yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya, oleh karena itu untuk memperoleh tambahan dana agar 1 Sudikno Mertokusumo, 2003, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, hlm 3
dapat mencukupi kebutuhannya maka orang perorangan maupun suatu badan hukum tersebut dapat melakukannya dengan cara meminjam dana dari pihak lain, salah satunyadengan mengadakan perjanjian kredit. Selanjutnya dalam perjanjian tersebut pihak yang memperoleh pinjaman disebut debitor sedangkan pihak yang memberi pinjaman disebut kreditor. Apabila pihak kreditornya adalah bank, dalam perjanjian kredit tersebut biasanya disertai dengan adanya agunan atau jaminan terhadap pelunasan utang dari debitor, hal ini bertujuan agar apabila di kemudian hari debitor benar-benar tidak melunasi utangnya, maka jaminan tersebut akan dieksekusi oleh kreditor yang hasilnya akan digunakan sebagai pelunasan utang debitor. Menurut Sutan Remy Sjahdeini pada dasarnya, pemberian kredit oleh kreditor kepada debitor dilakukan karena percaya bahwa debitor akan mengembalikan pinjamannya itu pada waktunya. Dengan demikian, faktor pertama yang menjadi pertimbangan bagi kreditor adalah kemauan (willingness) dari debitor untuk mengembalikan utangnya itu. Tanpa adanya kepercayaan (trust) dari kreditor kepada debitor tersebut, maka kreditor tidak akan memberikan kredit atau pinjaman tersebut. Oleh karena itulah, mengapa pinjaman dari seorang debitor disebut kredit (credit) yang berasal dari kata credere yang berarti kepercayaan atau trust. 2 Dalam perkembangannya dana yang dipinjam debitor dari kreditor tadi umumnya digunakan untuk mengembalikan kembali kestabilan neraca keuangan debitor, menambah modal debitor, atau untuk menutup utang lainnya. Hal tersebut 2 Sutan Remy Sjahdeini, 2009, Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, Grafiti, Jakarta,hlm.3
dilakukan tidak lain bertujuan agar debitor tersebut tetap dapat melangsungkan kehidupannya. Namun dalam praktek tidak semua debitor mampu mengambil kebijakan yang tepat,guna mengelola uang pinjaman dari kreditor, sehingga justru mengakibatkan kondisi keuangan debitor menjadi tidak sehat karena pembengkakan jumlah utang yang harus dibayar, bahkan tidak jarang debitor tersebut tidak lagi dapat melakukan kegiatan usahanya, yang pada akhirnya berakibat debitor tersebut bangkrut (pailit) karena tidak mampu sama sekali membayar utangnya yang telah jatuh tempo. Pailit dapat diartikan bahwa debitor dalam keadaan berhenti membayar utang karena tidak mampu. Kata pailit dapat juga diartikan sebagai bankrupt. Kata bankrupt sendiri berasal dari kata Banca Rupta, dimana kata tersebut mempunyai arti bermaksud memporak-porandakan kursi-kursi, adapun sejarahnya mengapa dikatakan demikian adalah karena dahulu suatu peristiwa dimana terdapat seorang debitor yang tidak dapat membayar hutangnya kepada kreditor, karena marah sang kreditor mengamuk dan menghancurkan dan mematahkan seluruh kursi-kursi yang terdapat di tempat debitor. 3 Pailit merupakan suatu keadaan hukum berdasarkan keputusan Pengadilan karena alasan-alasan tertentu. Keputusan Pengadilan dimaksud mempunyai akibat hukum yang sangat penting bagi kedudukan debitor. 4 3 http://hukum-area.blogspot.com/2009/11/hukum-kepailitan-pengantar.html. diakses pada jam 20.56 WIB 4 Sri Redjeki Hartono, 1999, Hukum Perdata Sebagai Dasar Hukum Kepailitan Modern, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis (YPHB), Jakarta, hlm.22
Dalam kepailitan, masalah pembayaran utang merupakan suatu hal yang penting dalam rangka menjaga perputaran ekonomi. Ketidakmampuan debitor untuk melunasi utangnya secara otomotatis dapat menghambat pemasukan para kreditornya. Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya efek domino, karena ketidakmampuan debitor dalam membayar utangnya tadi dapat menjadikan para kreditornya yang mungkin berutang kepada kreditor lain menjadi terhambat dan berlanjut terus menerus, yang kemudian efek domino dari kredit macet ini dapat mencakup pada skala nasional. Di Indonesia ketentuan mengenai kepailitan diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UUK-PKPU). Dalam Undang-Undang tersebut dikatakan bahwa kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan Hakim pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tersebut. Dengan adanya putusan pailit tersebut maka menimbulkan berbagai macam akibat hukum, antara lain yaitu: 1. Dengan dinyatakan pailit maka berlaku sita umum atas seluruh harta debitor. Pada prinsipnya kepailitan terhadap seorang debitor berarti meletakkan sitaan umum terhadap seluruh aset debitor. Karena sitaan-sitaan yang lain jika ada harus dianggap gugur karena hukum. Sitaan umum tersebut berlaku terhadap seluruh kekayaan debitor yang meliputi kekayaan yang sudah ada pada saat pernyataan pailit ditetapkan, dan kekayaan yang
diperoleh oleh debitor selama kepailitan tersebut. Debitor pailit tidak lagi berhak atas harta kekayaannya sampai pemberesan harta pailit yang dilakukan oleh kurator selesai. Debitor pailit demi hukum kehilangan hak untuk mengurus dan menguasai kekayaannya yang termasuk harta pailit, sejak hari putusan pailit diucapkan. 2. Akibat hukum yang kedua adalah akibat hukum terhadap kreditor pemegang hak jaminan. Dalam Pasal 55 ayat (1) UUK-PKPU menentukan bahwa dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, setiap kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia,hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah olah tidak terjadi kepailitan. Namun Pasal 56 Ayat (2) UUK-PKPU menentukan, hak eksekusi kreditor pemegang hak jaminan itu ditangguhkan (tidak dapat seketika) untuk jangka waktu paling lama 90 hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan. 3. Putusan pailit juga berakibat pemberesan terhadap harta pailit menjadi kewenangan kurator. Menurut Pasal 1 angka 5 UUK-PKPU yang dimaksud dengan kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitor pailit di bawah pengawasan Hakim pengawas sesuai dengan Undang-Undang ini. 4. Kreditor dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk pembatalan segala perbuatan yang tidak diwajibkan untuk dilakukan oleh
debitor terhadap harta kekayaannya yang diketahui oleh debitor perbuatan tersebut merugikan kreditor. Hak kreditor ini merupakan hak yang timbul dari adanya asas actio pauliana. Actio Pauliana merupakan hak yang diberikan Undang-Undang kepada seorang kreditor untuk mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk pembatalan segala perbuatan yang tidak diwajibkan untuk dilakukan debitor terhadap kekayaan yang diketahui oleh debitor perbuatan itu merugikan kreditor. Hak tersebut merupakan perlindungan hukum yang diberikan kepada kreditor atas perbuatan debitor yang dapat merugikan kreditor, sebagaimanadiatur dalam Pasal 1341 KUHPerdata.Dalam UUK-PKPU, ketentuan tersebut diakomodir pelaksanaannya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal49UUK-PKPU,dalam Undang-Undang tersebut memberikan hak kepada kreditor untukmengajukan pembatalan atas tindakan-tindakan hukum yang dilakukan olehdebitor yang melakukan kecurangan-kecurangan yang dapat merugikan kreditor sebagaimana diatur dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 37 Tahun2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang, yang dalam Hukum Perdata dikenal sebagai Actio Pauliana. 5 Meskipun Actio Pauliana secara teoritis dan normatif tersedia dalam kepailitan, akan tetapi dalam prakteknya tidak mudah untuk mengajukan gugatan actio paulianasampai dikabulkan oleh Hakim. Menurut Andriani Nurdin (mantan Hakim Niaga Pengadilan Niaga Jakarta Pusat) menyatakan bahwa tidak banyak perkara actio pauliana yang diajukan ke Pengadilan Niaga, berdasarkan data di 5 Jono, S.H., 2008, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.135
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat sejak tahun 1998 sampai dengan tahun 2004, perkara actio pauliana tercatat hanya ada 6 perkara, dan terhadap kasus-kasus actio pauliana yang telah diputuskan baik oleh Pengadilan Niaga pada tingkat pertama maupun pada tingkat kasasi dan PK di Mahkamah Agung kesemuanya ditolak. Penyebab ditolaknya gugatan actio pauliana dalam kepailitan adalah karena terdapatnya perbedaan persepsi di antara para Hakim niaga baik pada peradilan tingkat pertama maupun tingkat Mahkamah Agung mengenai: apakah tindakan-tindakan ataupun transaksi yang dilakukan oleh debitor merupakan suatu kecurangan, sehingga merugikan para kreditor dan karenanya dapat diajukan permohonan pembatalan atau actio pauliana, serta mengenai yurisdiksi peradilan yang berwenang memeriksa dan mengadili permohonan actio pauliana. 6 Dalam penulisan hukum ini, di tengah sulitnya mencari putusan tentang actio pauliana, penulis menemukan terdapat Putusan Pengadilan Niaga Makassar Nomor 01/Actio Pauliana/2013/PN.Mks, yang dalam amar putusannya mengabulkan sebagian gugatanactio pauliana yang diajukan oleh kurator dalam perkara kepailitan Herry selaku debitor pailit, yang kemudian menarik perhatian penulis dan menjadi penting untuk dikaji lebih jauh, karena bisa saja dalam putusan tersebut termuat di dalamnya suatu terbosan hukum, atau justru menjadi suatu putusan yang bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Pelaksanaan putusan terhadap gugatanactio pauliana yang benar dapat menjamin tercapainya tujuan utama dan tujuan sosial UUK-PKPU. 6 Andriani Nurdin, 2004, Masalah Seputar Actio Pauliana, Dalam: Emmy Yuhassarie, Kepailitan dan Transfer Aset Secara Melawan Hukum, Pusat Pengkajian Hukum, Jakarta, hlm.261
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan pengkajian mengenai penerapan asas actio pauliana dalam perkara kepailitan dalam sebuah penulisan hukum yang berjudul Analisis Yuridis Penerapan Asas Actio Pauliana Dalam Perkara Kepailitan (Studi Kasus Kepailitan Dengan Register Perkara Nomor 01/Actio Pauliana/2013/PN.MKS) B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, rumusan masalah yang diangkat dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut : 1. Apa yang menjadi dasar dan pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Makassar dalam memberikan putusan terkait gugatan actio pauliana dengan register perkara Nomor 01/Actio Pauliana/2013/PN.Mks? 2. Apakah dasar dan pertimbangan Hakim dalam memberikan putusan terkait gugatan actio pauliana dengan register perkara Nomor 01/Actio Pauliana/2013/PN.Mkstelah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian yang hendak dicapai oleh penulis dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut : 1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui dasar dan pertimbangan Hakim dalam memberikan putusan terkait gugatan actio paulianadengan register perkara Nomor 01/Actio Pauliana/2013/PN.Mks. b. Untuk mengetahui kesesuaian dasar dan pertimbangan Hakim dalam memberikan putusan terkait gugatanactio paulianadengan register perkara Nomor 01/Actio Pauliana/2013/PN.Mksdengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia 2. Tujuan Subyektif: a. Untuk menambah ilmu dan pengetahuan penulis tentang hukum kepailitan, khususnya tentang penerapan asas actio pauliana dalam kepailitan. b. Untuk memberikan tambahan literatur bagi sesama mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada c. Untuk memenuhi tugas akhir sebagai persyaratan kelulusan dalam memperoleh gelar kesarjanaan di bidang ilmu hukum. D. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang dilakukan oleh penulis di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, penelitian yang penulis lakukan dengan judul Analisis Yuridis Penerapan Asas Actio Pauliana Dalam Perkara Kepailitan (Study Kasus Kepailitan Dengan Register Perkara
Nomor.01/2013/Actio Pauliana/PN.MKS) belum pernah dilakukan dan penelitian ini dapat dianggap asli serta layak untuk diteliti. Seandainya telah ada penelitian yang dilakukan sebelumnya dengan permasalahan yang sama, penulis berharap penelitian ini dapat melengkapi penelitian yang telah ada sebelumnya. E. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memiliki manfaat, baik secara akademis maupun praktis, yaitu : 1. Manfaat Akademis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan mengenai ilmu hukum pada umumnya dan hukum kepailitan pada khususnya, serta menjadi bahan kepustakaan bagi penelitian lebih lanjut. 2. Manfaat Praktis Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran maupun masukan kepada para praktisi hukum, mahasiswa, serta masyarakat umum, berkaitan dengan actio pauliana.