BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP PELAKSANAAN EKSEKUSI BENDA JAMINAN YANG TELAH DIBEBANI HAK TANGGUNGAN PADA DEBITUR PAILIT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP PELAKSANAAN EKSEKUSI BENDA JAMINAN YANG TELAH DIBEBANI HAK TANGGUNGAN PADA DEBITUR PAILIT"

Transkripsi

1 34 BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP PELAKSANAAN EKSEKUSI BENDA JAMINAN YANG TELAH DIBEBANI HAK TANGGUNGAN PADA DEBITUR PAILIT A. Tinjauan Umum Tentang Hukum Jaminan Hak Tanggungan Menurut UUHT No. 4 Tahun 1996 Dalam kamus Bahasa Indonesia, tanggungan diartikan sebagai barang yang dijadikan jaminan. Jaminan itu sendiri artinya tanggungan atas pinjaman yang diterima (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989:899). Menurut Pasal 1 ayat (1) UUHT disebutkan pengertian Hak Tanggungan, yang dimaksud dengan Hak Tanggungan adalah Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya. Di dalam hukum jaminan hak tanggungan terdapat ketentuan-ketentuan yang dijadikan pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan hukum jaminan hak tanggungan tersebut. Adapun unsur-unsur yang tercantum dalam pengertian Hak Tanggungan adalah: Hak Jaminan yang dibebankan hak atas tanah yaitu hak penguasaan khusus yang diberikan kepada kreditur yang memberikan wewenang baginya untuk menjual Bandung, hal Habib Adjie, 2006, Hak Tanggungan sebagai Lembaga Jaminan atas Tanah, Mandar Maju, 34

2 35 lelang tanah yang secara khusus sebagai agunan piutangnya apabila debitur cedera janji dan mengambil hasil penjualannya baik seluruh atau sebagian hasilnya untuk pelunasan hutangnya walaupun tanah tersebut telah berpindah kepada pihak lain (droit de suite) dengan hak mendahului dari kreditur lainnya (droit de preference). 2. Hak atas tanah berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan suatu kesatuan dengan tanah itu. Kreditur mempunyai wewenang untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dijadikan agunan, tetapi bukan untuk dikuasai secara fisik dan digunakan, melainkan untuk menjualnya jika debitur wan prestasi. 3. Untuk pelunasan hutang tertentu yaitu hak tanggungan tersebut dapat membereskan hutang debitur kepada kreditur. 4. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya, lazimnya disebut droit de preference. 56 Syarat-syarat tanah dan bangunan yang dapat dijadikan objek jaminan hak tanggungan harus didasarkan kepada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila persyaratan tersebut tidak terpenuhi maka tanah dan bangunan tersebut tidak dapat dibebani dengan jaminan hak tanggungan sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang hak tanggungan. Syarat-syarat tanah dan bangunan yang dapat dibebani dengan jaminan hak tanggungan adalah sebagaimana diuraikan dalam pembahasan di bawah ini. 56 Salim HS, 2011, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal

3 36 1. Obyek Jaminan Hak Tanggungan Untuk dapat dibebani hak jaminan atas tanah, obyek hak tanggungan yang bersangkutan harus memenuhi 4 syarat, yaitu: a. dapat dinilai dengan uang; b. termasuk hak yang didaftar dalam daftar umum karena harus memenuhi syarat publisitas; c. mempunyai sifat dapat dipindahtangankan; d. memerlukan penunjukan oleh undang-undang. 57 Adapun obyek dari hak tanggungan adalah hak atas tanah yang dapat dibebani hak tanggungan yaitu: a. Hak milik; b. Hak guna usaha; c. Hak guna bangunan; d. Hak Pakai, baik hak maupun hak atas Negara e. Hak atas tanah berikut bangunan, tanaman dan hasil karya yang telah ada atau akan ada merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dan merupakan hak milik pemegang hak pembebanannya dengan tegas dan dinyatakan dalam akta pemberian hak atas tanah yang bersangkutan. 58 Sebagaimana telah dikemukakan dalam Penjelasan Umum dari UUHT, dua unsur mutlak dari hak atas tanah yang dapat dijadikan obyek tanggungan adalah: 59 a. Hak tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku wajib didaftar dalam daftar umum, dalam hal ini pada Kantor Pertanahan. Unsur ini berkaitan dengan kedudukan diutamakan (preferent) yang diberikan kepada kreditor pemegang hak tanggungan terhadap kreditor lainnya. Untuk itu harus ada catatan mengenai hak Ibid, hal Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. 59 Gatot Suparman, 2010, Azas-azas Hukum Hak Tanggungan, Prenada Media, Jakarta, hal

4 37 tanggungan tersebut pada buku tanah dan sertipikat hak atas tanah yang dibebaninya, sehingga setiap orang dapat mengetahuinya (asas publisitas), dan; b. Hak tersebut menurut sifatnya harus dapat dipindah tangankan, sehingga apabila diperlukan dapat segera direalisasi untuk membayar utang yang dijamin pelunasannya. Dalam Pasal 4 ayat (2) UUHT disebutkan bahwa selain hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat (1) UUHT, Hak Pakai atas tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani hak tanggungan. 2. Subyek Jaminan Hak Tanggungan Dalam perjanjian pemberian hak jaminan atas tanah dengan hak tanggungan, ada dua pihak yaitu pihak yang memberikan hak tanggungan dan pihak yang menerima hak tanggungan tersebut. a. Pemberi Hak Tanggungan Dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 menentukan bahwa pemberi hak tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan yang bersangkutan. Kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan sebagaimana dimaksud di atas harus ada pada pemberi hak tanggungan pada saat pendaftaran hak tanggungan dilakukan. Dalam hal pemberi hak tanggungan adalah suatu perseroan terbatas, pelaksanaannya harus tetap mengacu kepada ketentuan Undang-Undang Nomor 1

5 38 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Menurut ketentuan Pasal 88 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1995 Direksi wajib meminta persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) untuk mengalihkan atau menjadikan jaminan hutang seluruh atas sebagian besar kekayaan perseroan. Selanjutnya menurut Pasal 88 ayat (4) UU tersebut, bahwa untuk melakukan perbuatan hukum mengalihkan atau menjadikan jaminan hutang seluruh atau sebagian besar kekayaan perseroan itu diumumkan dalam 2 (dua) surat kabar harian paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak perbuatan hukum itu dilakukan. 60 b. Pemegang Hak Tanggungan Menurut Pasal 9 UUHT, pemegang hak tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang. Dengan demikian yang dapat menjadi pemegang hak tanggungan adalah siapapun juga yang berwenang melakukan perbuatan perdata untuk memberi uang, baik orang perseorangan warga negara Indonesia maupun orang asing Proses Pembebanan Hak Tanggungan Mengingat Hak Tanggungan bersifat accesoir pada suatu hubungan hutang piutang tertentu, maka proses Pembebanan Hak Tanggungan didahului dengan diadakannya perjanjian hutang piutang antara debitur dan kreditur, yang merupakan perjanjian pokoknya, seperti perjanjian kredit atau perjanjian pinjam uang atau 60 Sutan Remy Sjahdeini, 2009, Hak Tanggungan Asas-Asas Ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah-Masalah yang Dihadapi Oleh Perbankan, Airlangga University Press, Surabaya, 2005, hal Ibid., hal 79.

6 39 perjanjian lainnya yang menimbulkan hubungan pinjam meminjam uang antara kreditur dengan debitur. 62 Menurut Pasal 10 ayat (1) UUHT, janji tersebut wajib dituangkan dan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perjanjian utang piutang. Proses pembebanan hak tanggungan dilaksanakan dalam 2 (dua) tahap, yaitu tahap pembebanan hak tanggungan dan tahap pendaftaran hak tanggungan, yaitu sebagai berikut: a. Tahap Pembebanan Hak Tanggungan Menurut Pasal 10 Ayat (2) Undang-Undang Hak tanggungan, pemberian hak tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta pemindahan hak atas tanah dan akta lain dalam rangka pembebanan hak atas tanah, sebagai bukti perbuatan hukum tertentu mengenai tanah yang terletak dalam daerah kerjanya masing-masing. 63 b. Tahap Pendaftaran Hak Tanggungan Menurut Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan, pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Pasal 13 ayat (2) menyatakan selambat-lambatnya 7 hari kerja setelah penanda tanganan APHT, PPAT wajib 62 Arie S. Hutagalung, 2002, Serba Aneka Masalah Tanah Dalam Kegiatan ekonomi, Suatu Kumpulan Karangan, Cetakan Kedua, Badan Penerbit Fakultas Hukum Uniersitas Indonesia, Depok, hal Sutardja Sudrajat, 2010, Pendaftaran Hak Tanggungan dan Penerbitan Sertifikatnya, Mandar Maju, Bandung, hal 54.

7 40 mengirimkan APHT yang bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan. Warkah yang dimaksud meliputi surat-surat bukti yang berkaitan dengan obyek hak tanggungan dan identitas pihak-pihak yang bersangkutan, termasuk di dalamnya sertipikat hak atas tanah dan/atau surat-surat keterangan mengenai obyek hak tanggungan. PPAT wajib melaksanakan hal tersebut karena jabatannya dan sanksi atas pelanggaran hal tersebut akan ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang jabatan PPAT. Pendaftaran Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) ke Kantor Pertanahan setempat sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 13 ayat (1) UUHT menegaskan pembebanan hak tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Pasal 13 ayat (2) dan ayat (3) UUHT dijelaskan bagaimana caranya pendaftaran Hak Tanggungan itu dilakukan. Tata cara pelaksanaannya adalah sebagai berikut: 1) Setelah penandatanganan APHT yang dibuat oleh PPAT dilakukan oleh para pihak, PPAT mengirimkan APHT yang bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan oleh Kantor Pertanahan. Pengiriman tersebut wajib dilakukan oleh PPAT yang bersangkutan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan APHT itu; 2) Pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan oleh kantor pertanahan dengan membuatkan buku tanah Hak Tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan. 3) Tanggal buku tanah Hak Tanggungan adalah tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku tanah yang bersangkutan diberi tanggal hari kerja berikutnya Sutarno, 2009, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Alfabeta, Bandung, hal 169.

8 41 Selanjutnya Pasal 14 ayat (1) UUHT menentukan bahwa sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan sertipikat Hak Tanggungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam Pasal 14 ayat (4) UUHT ditentukan bahwa sertipikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) UUHT, dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Namun, kreditur dapat memperjanjikan lain di dalam APHT, yaitu agar sertipikat hak atas tanah tersebut diserahkan kepada kreditur. Sertipikat Hak Tanggungan diterbitkan oleh Kantor Pertanahan dan sertipikat hak atas tanah dibubuhi catatan pembebanan Hak Tanggungan, diserahkan oleh Kantor Pertanahan kepada pemegang Hak Tanggungan. Demikian menurut Pasal 14 ayat (5) UUHT. 4. Eksekusi Benda Jaminan Hak Tanggungan Eksekusi adalah pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.yang dapat dieksekusi adalah salinan putusan dan grosse akta (salinan pertama dari akta autentik). Grosse akta dapat dieksekusi karena memuat titel eksekutorial, sehingga grosse akta disamakan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 65 Ada empat macam jenis pelaksanaan putusan (eksekusi), yaitu: 65 Salim HS, op.cit., hal 189.

9 42 a. Eksekusi putusan yang menghukum pihak yang dikalahkan untuk membayar sejumlah uang. Dalam eksekusi ini prestasi yang diwajibkan adalah membayar sejumlah uang. Eksekusi ini diatur dalam Pasal 196 HIR atau Pasal 206 Rbg. b. Eksekusi putusan yang menghukum orang untuk melakukan suatu perbuatan. Eksekusi ini diatur dalam Pasal 225 HIR atau Pasal 259 Rbg. Orang tidak dapat dipaksa memenuhi prestasi berupa perbuatan, akan tetapi pihak yang dimenangkan dapat meminta pada Hakim agar kepentingan yang akan diperolehnya dinilai dengan uang. 66 c. Eksekusi riil yaitu pelaksanaan putusan hakim yang memerintahkan pengosongan benda tetap. Dalam hal orang yang dihukum oleh hakim untuk mengosongkan benda tetap tidak mau memenuhi perintah tersebut, maka hakim akan memerintahkan dengan surat kepada juru sita supaya dengan bantuan panitera Pengadilan dan kalau perlu dengan bantuan alat kekuasaan negara, agar barang tetap tersebut dikosongkan oleh orang yang dihukum besrta keluarganya. Eksekusi ini diatur dalam Pasal 1033 Rv. Sedangkan dalam HIR hanya mengenal eksekusi riil ini dalam penjualan lelang, termuat dalam Pasal 200 ayat 11 HIR/Pasal 218 Rbg. d. Eksekusi Parat (parate executie), yaitu merupakan pelaksanaan perjanjian tanpa melalui gugatan atau tanpa melalui pengadilan. Parate executie ini terjadi apabila 66 ibid., hal 190.

10 43 seorang kreditur menjual barang tertentu milik debitur tanpa mempunyai titel eksekutorial. 67 Eksekusi Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 yang disebabkan si pemberi hak tanggungan (debitur) telah melakukan wanprestasi dan diberikan peringatan 3 (tiga) kali berturut turut oleh krediturnya. Pelaksanaan Eksekusi hak tanggungan dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu: 68 a. Pasal 6 UUHT memberikan kewenangan kepada pemegang hak tanggungan pertama atas kekuasaan sendiri untuk melakukan penjualan objek hak tanggungan melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut, apabila debitur cedera janji. Pemegang Hak Tanggungan pertama tidak perlu meminta persetujuan dari pemberi Hak Tanggungan dan tidak perlu pula meminta penetapan Ketua Pengadilan setempat untuk melakukan eksekusi. Pemegang Hak Tanggungan tingkat pertama itu cukup mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Lelang Negara setempat untuk pelaksanaan pelelangan umum untuk eksekusi objek Hak Tanggungan tersebut. b. Penjualan dibawah tangan, maksudnya dengan adanya kesepakatan antara pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan objek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan, jka dengan cara itu dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan kedua belah pihak. Pasal 20 ayat (2) UUHT menyatakan 67 Ibid., hal Sutan Remy Sjahdeini,op.cit., hal

11 44 karena penjualan di bawah tangan objek Hak Tanggungan hanya dapat dilaksanakan bila ada kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, kreditur tidak mungkin melakukan penjualan di bawah tangan terhadap objek Hak Tanggungan apabila debitur tidak menyetujuinya. Di dalam Pasal 21 UUHT No. 4 Tahun 1996 disebutkan bahwa, Apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit, pemegang Hak Tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang diperolehnya menurut ketentuan undangundang ini. Hal ini dipertegas lagi oleh Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU yang menyebutkan bahwa, Dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, 57 dan Pasal 58 undang-undang ini, setiap kreditur pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotik atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolaholah tidak terjadi kepailitan. B. Akibat Putusan Pailit Terhadap Benda Jaminan menurut Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran (PKPU) 1. Akibat Putusan Pailit Kepailitan berasal dari kata dasar pailit yang berasal dari bahasa Belanda yaitu failliet yang mempunyai arti ganda sebagai kata benda dan kata sifat yang berarti pemogokan atau kemacetan pembayaran. Di negara-negara berbahasa Inggris

12 45 pengertian pailit atau kepailitan diwakili dengan kata-kata bankrupt dan bankruptcy. 69 Menurut Radin dalam bukunya the Nature of Bankruptcy, tujuan semua Undang-Undang Kepailitan (bankruptcy law) adalah untuk memberikan suatu forum kolektif untuk memilah hak-hak dari berbagai penagih terhadap aset seorang debitur yang tidak cukup nilainya. Pasal 21 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 menentukan bahwa kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitur pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta kepailitan segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Dari ketentuan pasal 21 diatas diketahui bahwa kepailitan merupakan sita umum. Dengan adanya sita umum ini hendak dihindari adanya sita perorangan. Pembentuk Undang-Undang memandang perlu untuk memungkinkan adanya eksekusi masal dengan cara melakukan sitaan umum atas seluruh kekayaan debitur untuk kepentingan semua kreditur yang bersangkutan yang dijalankan dengan pengawasan Hakim Pengawas. 70 Sita umum dilakukan adalah sita konservatoir yang bertujuan untuk kepentingan bersama para kreditur. Sesuai dengan pada Pasal 1132 KUH Perdata bahwa tujuan dari kepailitan adalah untuk membagi seluruh kekayaan pailiit debitur yang dilakukan oleh Kurator kepada krediturnya dengan memperhatikan hak mereka 69 Zainal Asikin, 2001, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm Sunarmi, 2009, Hukum Kepailitan, USU Press, Medan, hal 83.

13 46 masing masing. Yang dimaksud kekayaan disini adalah semua barang dan hak atas kebendaan yang dapat diuangkan (ten gelde kunnen worden gemaakt). Kepailitan itu juga berlaku terhadap semua harta kekayaan debitur yang berada di luar negeri. Terhadap harta kekayaan debitur yang berada di luar negeri ini dapat dilakukan sita umum dengan memperhatikan asas teritorialitas. 71 Undang-Undang Kepailitan mengatur pihak-pihak yang dapat mengajukan kepailitan yaitu: a. atas permohonan debitur sendiri b. atas permintaan seorang atau lebih kreditur c. oleh kejaksaan atas kepentingan umum d. Bank Indonesia dalam hal debitur merupakan lembaga Bank e. Oleh Badan Pengawas Pasar Modal dalam hal debitur merupakan Perusahaan Bursa Efek. 72 Sebelum diputuskan pernyataan pailit, debitur mempunyai hak mutlak untuk mengurus dan menguasai harta kekayaannya. Namun, pada saat telah dijatuhkannya putusan pailit, maka hak si pailit beralih kepada Kurator untuk mengurus dan menguasai hartanya yang bertujuan untuk kepentingan para krediturnya dan dipimpin oleh hakim pengawas yang mengawasi jalannya kepailitan. Pada dasarnya harta kepailitan itu meliputi seluruh kekayaan debitur pada saat pernyataan pailit dilakukan, beserta semua kekayaan diperoleh selama kepailitan. 73 Segala perikatan yang dilakukan oleh debitur setelah dijatuhinya putusan pailit tidak dapat dibayar kecuali jika menguntungkan harta pailit tersebut. 74 Ini 71 Sunarmi, ibid., hal Pasal 2 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 73 Pasal 21 Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penudaan Kewajiban Pembayaran Utang.

14 47 berarti bahwa seluruh harta kekayaan debitur pailit berada dalam penguasaan dan pengurusan Kurator atau BHP. Namun, ada beberapa barang atau hak atas benda yang masih dalam penguasaan debitur pailit. Pasal 22 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 secara terperinci menyebutkan: a. Benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh debitur pailit sehubungan dengan pekerjaannya, perlengkapannya, alat-alat medis yang dipergunakan untuk kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya yang dipergunakan oleh dan keluarganya, dan bahan makanan untuk 30 (tiga puluh) hari bagi debitur dan keluarganya yang terdapat di tempat itu; b. Segala sesuatu yang diperoleh debitur dari pekerjaanya sendiri sebagai penggajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah pensiun, uang tunggu atau uang tunjangan, sejauh yang ditentukan oleh Hakim Pengawas, atau; c. Uang yang diberikan kepada debitur untuk memenuhi suatu kewajiban memberikan nafkah menurut Undang-Undang. Tuntutan dan gugatan mengenai hak dan kewajiban harta pailit harus diajukan oleh atau terhadap kurator. 75 Kepailitan semata-mata mengenai harta kekayaan si debitur bukan pribadi si debitur, sehingga debitur yang telah dinyatakan pailit masih dapat melangsungkan pernikahan, mengangkat anak dan sebagainya. 76 Dengan demikian, harta warisan yang diperoleh selama kepailitan termasuk dalam harta kepailitan, tetapi kurator tidak boleh menerima, kecuali dengan hak istimewa untuk mengadakan pendaftaran harta peninggalan. Hibah yang dilakukan debitur pailit dapat dibatalkan apabila Kurator dapat membuktikan bahwa pada saat dilakukan penghibahan debitur mengetahui bahwa 74 Pasal 25 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 75 Pasal 26 ayat 1 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 76 Titik Tejaningsih, op.cit., hal 87.

15 48 tindakan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditur. Pasal 44 Undang- Undang No. 37 Tahun 2004 menyebutkan, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, debitur dianggap mengetahui bahwa hibah yang dilakukan dapat merugikan kreditur apabila tindakan tersebut dilakukan dalam waktu 1 (satu) tahun sejak putusan pailit dilakukan. Selama berlangsungnya kepailitan tuntutan untuk memperoleh pemenuhan perikatan dari harta pailit yang ditujukan kepada debitur pailit hanya dapat diajukan dengan mendaftarkan untuk dicocokan, dalam arti bahwa segala tuntutan hukum dengan tujuan memenuhi perikatan harta pailit selama dalam kepailitan walaupun diajukan kepada debitur pailit sendiri dapat diajukan dengan laporan untuk pencocokan. 77 Akibat terhadap transfer dana, Pasal 24 ayat (3) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 mengatur bahwa apabila sebelum putusan pailit diucapkan telah dilaksanakan transfer dana melalui bank atau lembaga selain bank pada tanggal putusan dimaksud, transfer tersebut wajib diteruskan. 78 Jika pada saat putusan pailit diumumkan terdapat: a Perjanjian timbal balik yang belum atau sebagian dilaksanakan maka pihak dengan siapa debitur membuat perjanjian dapat meminta kepastian pada kurator tentang kelanjutan pelaksanaan perjanjian tersebut yang disepakati oleh pihak kurator dan pihak yang melakukan perjanjian. Jika kesepakatan tercapai maka 77 ibid., hal Man S. Sastrawidjaja,op.cit., hal 108.

16 49 hakim pengawas akan menetapkan jangka waktu tersebut. Jika kurator menolak untuk memenuhi, maka perjanjian tersebut berakhir. Pihak dengan siapa debitur membuat perjanjian dapat menuntut ganti rugi dan diletakkan sebagai kreditur konkuren. 79 b Perjanjian dengan memberikan barang di kemudian hari (future trading), yang waktu penyerahan dilakukan pada saat debitur pailit atau selama dalam masa kepailitan dengan sendirinya dihapus dan pihak dengan siapa debitur melakukan perjanjian diperlakukan sebagai kreditur konkuren. 80 c Perjanjian sewa menyewa dengan debitur sebagai penyewa maka pihak yang menyewa atau kurator dapat menghentikan sewa menyewa sesuai dengan adat kebiasaan setempat, tetapi menghentikan 90 (sembilan puluh) hari sebelumnya selalu dianggap cukup. Dalam hal melakukan penghentian harus pula diindahkan pemberitahuan penghentian menurut perjanjian atau menurut kelaziman dalam jangka waktu paling singkat 90 (sembilan puluh) hari. 81 Sejak tanggal putusan pailit diucapkan maka uang sewa menjadi hutang harta pailit. 82 d Untuk perjanjian perburuhan, pekerja yang bekerja pada debitur dapat memutuskan hubungan kerja, dan sebaliknya kurator dapat memberhentikannya dengan mengindahkan jangka waktu menurut persetujuan atau ketentuan undang- 79 Pasal 36 ayat 3 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 80 Pasal 37 ayat 2 Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 81 Pasal 38 ayat 2 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 82 Pasal 38 ayat 4 Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

17 50 undang yang berlaku. Perjanjian kerja dapat diputuskan dengan pemberitahuan sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) hari sebelum tanggal pemutusan atau kurator atau buruh dapat melakukan pemutusan hubungan kerja dengan mengindahkan perjanjian perburuhan atau undang-undang yang berlaku, tetapi 6 (enam) minggu sebelumnya selalu dianggap cukup. Sejak putusan pailit diucapkan, maka upah buruh menjadi utang harta pailit. 83 a. Actio Pauliana Dalam uraian terdahulu telah dikemukakan bahwa kreditur dapat meminta kepada Pengadilan untuk membatalkan perbuatan hukum debitur yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan kreditur, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan. Singkatnya, kemungkinan sebelum dinyatakan pailit, debitur melakukan perbuatan hukum yang ternyata merugikan krediturnya. Atas perbuatan hukum tersebut, kreditur mempunyai hak untuk meminta pembatalan kepada Pengadilan. Dalam UUKPKPU, Actio Pauliana tersebut diatur dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal 44 UUKPKPU. Terdapat 5 (lima) syarat agar dapat dilakukan Actio Pauliana. Persyaratan dimaksud adalah: 84 1) Debitur telah melakukan suatu perbuatan hukum; 2) Perbuatan hukum tersebut bukan merupakan perbuatan yang diwajibkan; 3) Perbuatan hukum tersebut merugikan kreditur; 4) Debitur mengetahui bahwa perbuatan hukum dimaksud merugikan krediturnya; 83 Pasal 39 ayat 1 dan ayat (2) Undang Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 84 Man S. Sastrawidjaja,op.cit., hal 120.

18 51 5) Pihak ketiga dengan siapa perbuatan hukum itu dilakukan mengetahui bahwa perbuatan debitur tersebut merugikan kreditur. Sejauhmana debitur dan pihak ketiga dianggap mengetahui bahwa perbuatan tersebut merugikan krediturnya yang diatur dalam Pasal 42 UUKPKPU, kecuali dibuktikan sebaliknya, debitur dan pihak ketiga dianggap mengetahui merugikan apabila perbuatan hukum tersebut dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum putusan pernyataan pailit. Mengenai Actio Pauliana diatur dalam Pasal 1341 KUH Perdata yang berbunyi: Meskipun demikian, tiap orang berpiutang boleh mengajukan batalnya segala perbuatan yang tidak diwajibkan yang dilakukan oleh siberutang dengan nama apapun juga, yang merugikan orang-orang berpiutang asal dibuktikan, ketika perbuatan dilakukan, baik siberutang maupun orang dengan atau untuk siapa siberutang berbuat mengetahui bahwa perbuatan itu membawa akibat merugikan orang-orang berpiutang. Hak-hak yang diperolehnya dengan itikad baik oleh orang-orang pihak ketiga atas barang-barang yang menjadi pokok perbuatan yang batal itu dilindungi. Untuk mengajukan hak batalnya perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan Cuma-Cuma oleh siberutang, cukuplah si berpiutang membuktikan bahwa siberutang pada waktu melakukan perbuatan itu tahu, bahwa ia dengan berbuat demikian merugikan orang-orang yang mengutangkan padanya, tak perduli apakah orang yang menerima keuntungan juga mengetahui atau tidak. Ketentuan Actio Pauliana sesungguhnya dimaksud untuk melindungi kepentingan kreditur yang dirugikan akibat perbuatan hukum yang dilakukan oleh debiturnya. Ketentuan Actio Pauliana dalam hukum kepailitan substansinya sama dengan Actio Pauliana yang diatur dalam KUH Perdata mulai dari Pasal 1841 hingga Pasal Hanya bedanya dari segi jangka waktu yaitu Actio Pauliana dalam

19 52 kepailitan dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sedangkan Actio Pauliana dalam KUH Perdata jangka waktunya 4 (empat) bulan. 85 Dalam uraian dimuka telah diutarakan bahwa Actio Pauliana adalah hak kreditur untuk menuntut pembatalan terhadap perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitur yang merugikan kreditur. Pembatalannya dilakukan oleh Pengadilan. Berkaitan dengan hal tersebut, Pasal 47 UUK PKPU menegaskan bahwa tuntutan Actio Pauliana tersebut yang mengajukan ke Pengadilan adalah Kurator. Di pihak lain Pasal tersebut menyebutkan bahwa kreditur dengan alasan-alasan seperti dimaksud dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal 46 UUK PKPU dapat mengajukan bantahan terhadap tuntutan Kurator tersebut. 86 b. Akibat Putusan Pailit Terhadap Benda jaminan Putusan pernyataan pailit oleh Pengadilan tidak mempunyai pengaruh terhadap pemegang hak gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotik, atau hak agunan atas kebendaan lainnya dan hak retensi (Pasal 55 dan Pasal 61 Undang- Undang No.37 Tahum 2004). 87 Pemegang hak tanggungan dapat melaksanakan haknya sebagai yang ditetapkan pada pasal 1178 KUH Perdata, yaitu menjual benda jaminan. Pasal 55 Undang-Undang No.37 Tahun 2004 menetukan dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 56 dan Pasal 58 UUK PKPU, setiap kreditur pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotik atau hak agunan atas kebendaan lain, dapat 85 Sunarmi, op.cit., hal Man S. Sastrawidjaja,Ibid., hal Sunarmi, op.cit., hal 102.

20 53 mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Dalam hal penagihan suatu piutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 dan Pasal 137 UUKPKPU maka mereka hanya dapat demikian setelah dicocokkan penagihannya dan hanya untuk mengambil pelunasan dari jumlah yang diakui dalam penagihan tersebut. 88 Namun,.Pasal 56 ayat (1) UUKPKPU menyebutkan bahwa hak eksekusi kreditur sebagaimana disebut dalam Pasal 55 ayat (1) UUKPKPU ditangguhkan selama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit di putuskan. Penangguhan tersebut tidak berlaku untuk tagihan kreditur yang dijamin dengan uang tunai dan hak kreditur untuk memperjumpakan hutang (set off). c. Penangguhan (Stay) dalam Hukum Kepailitan Munir Fuady mengatakan bahwa stay adalah cool down period atau legal moratorium. Penangguhan eksekusi ini terjadi karena hukum tanpa dimintakan sebelumnya oleh Kurator. 89 Tujuan penangguhan tersebut antara lain: 1) untuk memperbesar kemungkinan tercapainya perdamaian; atau 2) untuk memperbesar kemungkinan mengoptimalkan harta pailit atau 3) untuk memungkinkan kurator melaksanakan tugasnya secara optimal. 90 Selama jangka waktu penangguhan sebagaimana dimaksud pada Pasal 56 ayat (1) UUKPKPU, segala tuntutan hukum untuk memperoleh pelunasan atas suatu 88 ibid., hal Muni Fuady, op.cit, hal Penjelasan Pasal 56 ayat 1 Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

21 54 piutang tidak dapat diajukan dalam sidang Peradilan. Baik kreditor maupun pihak ketiga dimaksud dilarang mengeksekusi atau memohonkan sita atas barang yang menjadi agunan. Kurator dapat menggunakan harta pailit, baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak dan kurator dapat menjual harta pailit yang terbatas pada barang persediaan (inventory) dan atau barang bergerak (current asset), untuk kelangsungan usaha debitur, dalam hal ini telah diberikan perlindungan yang wajar bagi kepentingan kreditur atau pihak ketiga. Penjelasan Pasal 56 ayat (3) UUKPKPU perlindungan yang dimaksud dapat berupa: 1) ganti kerugian atas terjadinya penurunan nilai pailit; 2) hasil penjualan bersih; 3) hak kebendaan pengganti; 4) imbalan yang wajar dan adil serta pembayaran tunai (utang yang dijamin) lainnya. 91 Stay diberlakukan kepada semua kreditur separatis kecuali terhadap kreditur yang haknya timbul dari perjumpaan hutang (set-off) serta terhadap kreditur yang piutangnya dijamin dengan uang tunai. Menurut Pasal 57 (ayat 2), kreditur dapat memohon agar stay diangkat dimana permohonan tersebut disampaikan kepada Kurator. 92 Jika kurator menolak penangguhan tersebut debitur atau pihak ketiga dapat mengajukan permohonan tersebut kepada hakim pengawas. Hakim pengawas dalam 91 Man S Sastrawisjaja, opcit., hal Pasal 57 ayat 1 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

22 55 waktu paling lambat 1 (satu) hari setelah permohonan dimaksud diterima wajib memerintahkan Kurator untuk segera memanggil dengan surat tercatat atau melalui kurir kreditur dan pihak ketiga sebagaimana dimaksud untuk didengar pada sidang pemeriksaan atas permohonan tersebut. Hakim pengawas wajib memberikan penetapan atas permohonan tersebut dalam waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah permohonan sebagaimana dimaksud diajukan kepada hakim pengawas. 93 Dalam memutuskan permohonan tersebut hakim pengawas mempertimbangkan: 1) Lamanya jangka waktu penangguhan yang sudah berlangsung 2) Perlindungan kepentingan kreditur dan pihak ketiga dimaksud 3) Kemungkinan terjadinya perdamaian 4) Dampak penangguhan tersebut atas kelangsungan usaha dan manajemen usaha debitur serta pemberesan harta pailit. Putusan dari hakim pengawas dapat berupa diangkatnya penangguhan untuk satu atau lebih kreditur, atau menetapkan persyaratan tentang lamanya waktu penangguhan (stay), atau tentang satu atau beberapa agunan yang dapat dieksekusi oleh kreditur. Akibat hukum penangguhan (stay) adalah sebagai berikut:. 94 1) Selama penagguhan (stay) berlangsung, debitur tidak dapat dituntut ke Pengadilan untuk melunasi hutangnya. 93 Titik Tejaningsih, op.cit., hal Freddy Simanjuntak, 2008, Penangguhan Eksekusi (Stay) Benda Agunan Dalam Kepailitan, USU e-repository, hal 83.

23 56 2) Pihak kreditur separatis maupun pihak ketiga yang berkepentingan dengan harta debitur tidak dibenarkan mengeksekusi atau memohon sita atas barang jaminan tersebut. 3) Kurator dapat menggunakan atau menjual harta pailit yang termasuk sebagai barang persediaan (inventory) atau barang-barang bergerak (current asset) meskipun harta tersebut dibebani hak tanggungan. Jika hakim pengawas menolak untuk mengangkat atau mengubah persyaratan penangguhan (stay) tersebut maka hakim pengawas wajib memerintahkan agar Kurator memberikan perlindungan yang dianggap wajar untuk melindungi kepentingan pemohon. Kreditur atau pihak ketiga dapat mengajukan perlawanan yang ditujukan kepada Pengadilan terhadap penetapan Hakim Pengawas dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari setelah putusan diucapkan, dan pengadilan wajib memutuskan perlawanan tersebut dalam jangka waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah permohonan tersebut diterima. Terhadap putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud tidak dapat diajukan upaya hukum termasuk upaya hukum peninjauan kembali. Jangka waktu penangguhan (stay) berakhir demi hukum pada saat kepailitan diakhiri lebih cepat atau pada saat dimulainya masa insolvensi. Kreditur atau pihak ketiga yang haknya ditangguhkan dapat mengajukan permohonan kepada Kurator untuk mengangkat penangguhan atau mengubah syarat penangguhan. 95 Yang dimaksud dengan insolvensi adalah keadaan tidak mampu membayar (Penjelasan Pasal 57 ayat (1) UUK PKPU) Sunarmi, opcit,.hal Ibid., hal 104.

24 57 Dengan berakhirnya penangguhan maka hak-hak kreditur pemegang jaminan harus segera dilaksanakan dalam jangka waktu selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sejak dimulainya masa ini ditegaskan dalam Pasal 59 UUKPKPU yang menentukan: Dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 56, Pasal 57 dan Pasal 58 kreditur pemegang hak jaminan harus melaksanakan haknya tersebut dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi sebagaimana diatur dalam Pasal 178 ayat (1). 97 Setelah lewat jangka waktu yang telah ditentukan, maka kurator berhak meminta kembali benda jaminan yang dijadikan agunan selanjutnya dijual sesuai dengan tata cara yang diatur dalam Pasal 185 UUKPKPU tanpa mengurangi hak kreditur pemegang jaminan atas hasil penjualannya. 98 Setiap waktu Kurator dapat membebaskan benda yang menjadi agunan dengan membayar jumlah terkecil antara harga pasar benda agunan dan jumlah utang yang dijamin dengan benda agunan tersebut kepada kreditur yang bersangkutan. 99 Meskipun pada prinsipnya hak kreditur separatis tidak terpengaruh oleh adanya penangguhan (stay) eksekusi, namun dalam kegiatan ekonomi saat ini yang bergerak cepat, penangguhan (stay) dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari dapat memberikan akibat yang tidak menguntungkan. Salah satunya adalah terhadap nilai investasi atas benda jaminan yang diagunkan menjadi tidak pasti, kecuali jika terhadap utang debitur itu dijamin dengan nilai benda yang lebih besar nilainya Ibid., hal Ibid, hal Ibid,.hal Freddy Simanjuntak, op.cit. hal 85.

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. PRESIDEN, bahwa pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 29 IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 Pasal 144 UU No. 37 Tahun 2004 menentukan, debitor pailit berhak untuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa gejolak moneter yang terjadi di

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan memberikan hak. benda yang memiliki hubungan langsung dengan benda-benda itu, dapat

BAB I PENDAHULUAN. merupakan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan memberikan hak. benda yang memiliki hubungan langsung dengan benda-benda itu, dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan pinjam-meminjam uang telah dilakukan sejak lama dalam kehidupan masyarakat yang telah mengenal uang sebagai alat pembayaran. Dapat diketahui bahwa hampir semua

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN. Seiring dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN. Seiring dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 23 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN A. Pengertian Hak Tanggungan Seiring dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, maka Undang-Undang tersebut telah mengamanahkan untuk

Lebih terperinci

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang 1 Tahun - Jangka Waktu Hibah - Kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, Debitor dianggap mengetahui atau patut mengetahui bahwa hibah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU;

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU; 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Kepailitan 1. Dasar Hukum dan Pengertian Kepailitan Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: 10) adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

Mengenai Hak Tanggungan. Sebagai Satu-Satunya Lembaga Hak Jaminan atas Tanah

Mengenai Hak Tanggungan. Sebagai Satu-Satunya Lembaga Hak Jaminan atas Tanah Mengenai Hak Tanggungan Sebagai Satu-Satunya Lembaga Hak Jaminan atas Tanah Tentang Hak Tanggungan PENGERTIAN HAK TANGGUNGAN Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah dibebankan pada hak atas tanah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB II KEADAAN DIAM (STANDSTILL) DALAM HUKUM KEPAILITAN INDONESIA. Konsep keadaan diam atau standstill merupakan hal yang baru dalam

BAB II KEADAAN DIAM (STANDSTILL) DALAM HUKUM KEPAILITAN INDONESIA. Konsep keadaan diam atau standstill merupakan hal yang baru dalam BAB II KEADAAN DIAM (STANDSTILL) DALAM HUKUM KEPAILITAN INDONESIA A. Pengertian Keadaan Diam (Standstill) Konsep keadaan diam atau standstill merupakan hal yang baru dalam Undang-Undang Kepaillitan Indonesia.

Lebih terperinci

UU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004)

UU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004) Copyright (C) 2000 BPHN UU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004) TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN

Lebih terperinci

HAK TANGGUNGAN TANAH & BANGUNAN SEBAGAI JAMINAN PELUNASAN UTANG

HAK TANGGUNGAN TANAH & BANGUNAN SEBAGAI JAMINAN PELUNASAN UTANG HAK TANGGUNGAN TANAH & BANGUNAN SEBAGAI JAMINAN PELUNASAN UTANG Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA DEFINISI Hak Tanggungan adalah: Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah, berikut/tidak

Lebih terperinci

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah Latar Belakang Masalah BAB VIII KEPAILITAN Dalam undang-undang kepailitan tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan kepailitan tetapi hanya menyebutkan bahwa debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur

Lebih terperinci

BAB II LAHIRNYA HAK KEBENDAAN PADA HAK TANGGUNGAN SEBAGAI OBYEK JAMINAN DALAM PERJANJIAN KREDIT

BAB II LAHIRNYA HAK KEBENDAAN PADA HAK TANGGUNGAN SEBAGAI OBYEK JAMINAN DALAM PERJANJIAN KREDIT 56 BAB II LAHIRNYA HAK KEBENDAAN PADA HAK TANGGUNGAN SEBAGAI OBYEK JAMINAN DALAM PERJANJIAN KREDIT 1. Hak Tanggungan sebagai Jaminan atas Pelunasan Suatu Utang Tertentu Suatu perjanjian utang-piutang umumnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Perusahaan adalah badan usaha yang dibentuk untuk menjalankan kegiatan usaha di bidang ekonomi. Sebagai badan yang dibentuk untuk menjalankan usaha maka perusahaan harus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepailitan biasanya pada umumnya dikaitkan dengan utang piutang antara debitor dengan kreditor yang didasarkan pada perjanjian utang piutang atau perjanjian

Lebih terperinci

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB III HAK KREDITOR ATAS EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA BILAMANA DEBITOR PAILIT

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB III HAK KREDITOR ATAS EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA BILAMANA DEBITOR PAILIT BAB III HAK KREDITOR ATAS EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA BILAMANA DEBITOR PAILIT 3.1. Klasifikasi Pemegang Jaminan Fidusia Atas Eksekusi Objek Jaminan Fidusia Bilamana Debitor Pailit 3.1.1. Prosedur Pengajuan

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP KREDITOR PREFEREN DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIJAMINKAN DENGAN HAK TANGGUNGAN

AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP KREDITOR PREFEREN DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIJAMINKAN DENGAN HAK TANGGUNGAN AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP KREDITOR PREFEREN DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIJAMINKAN DENGAN HAK TANGGUNGAN Danik Gatot Kuswardani 1, Achmad Busro 2 Abstrak Pokok permasalahan yaitu: (1) Bagaimana

Lebih terperinci

Hak Tanggungan. Oleh: Agus S. Primasta 2

Hak Tanggungan. Oleh: Agus S. Primasta 2 1 Oleh: Agus S. Primasta 2 Pengantar Secara awam, permasalahan perkreditan dalam kehidupan bermasyarakat yang adalah bentuk dari pembelian secara angsuran atau peminjaman uang pada lembaga keuangan atau

Lebih terperinci

BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP HARTA KEKAYAAN DEBITUR. 1. Akibat kepailitan terhadap harta kekayaan debitur pailit

BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP HARTA KEKAYAAN DEBITUR. 1. Akibat kepailitan terhadap harta kekayaan debitur pailit BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP HARTA KEKAYAAN DEBITUR A. Akibat Kepailitan Secara Umum 1. Akibat kepailitan terhadap harta kekayaan debitur pailit Dengan dijatuhkannya putusan pailit oleh

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. A. Kedudukan Hukum Karyawan Pada Perusahaan Pailit. perusahaan. Hal ini dikarenakan peran dan fungsi karyawan dalam menghasilkan

BAB IV PEMBAHASAN. A. Kedudukan Hukum Karyawan Pada Perusahaan Pailit. perusahaan. Hal ini dikarenakan peran dan fungsi karyawan dalam menghasilkan BAB IV PEMBAHASAN A. Kedudukan Hukum Karyawan Pada Perusahaan Pailit Karyawan merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam suatu perusahaan. Hal ini dikarenakan peran dan fungsi karyawan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan yang sedang giat dilaksanakan melalui rencana bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, baik materiil

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG 2.1. Pengertian Utang Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 2 ayat (1) menentukan

Lebih terperinci

Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia

Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia Oleh : Lili Naili Hidayah 1 Abstrak Pada Undang undang Kepailitan,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN SEBAGAI HAK JAMINAN. A. Dasar Hukum Pengertian Hak Tanggungan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN SEBAGAI HAK JAMINAN. A. Dasar Hukum Pengertian Hak Tanggungan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN SEBAGAI HAK JAMINAN A. Dasar Hukum Pengertian Hak Tanggungan Adanya unifikasi hukum barat yang tadinya tertulis, dan hukum tanah adat yang tadinya tidak tertulis

Lebih terperinci

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Ranitya Ganindha, SH. MH. Dosen Hukum Dagang Fakultas Hukum Univ Brawijaya Dalam suatu kegiatan usaha / bisnis berutang merupakan hal yang lazim. Permasalahan

Lebih terperinci

PERBEDAAN ANTARA GADAI DAN FIDUSIA

PERBEDAAN ANTARA GADAI DAN FIDUSIA PERBEDAAN ANTARA GADAI DAN FIDUSIA NO. URAIAN GADAI FIDUSIA 1 Pengertian Gadai adalah suatu hak yang diperoleh kreditor (si berpiutang) atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh debitur

Lebih terperinci

LEMBARAN-NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN-NEGARA REPUBLIK INDONESIA 1 of 10 LEMBARAN-NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 42, 1996 TANAH, HAK TANGGUNGAN, Jaminan Utang, Sertipikat. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3632). UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS DASAR HUKUM tindakan Penagihan Pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang

Lebih terperinci

PENGURUSAN HARTA PAILIT PEMBERESAN HARTA PAILIT TUGAS KURATOR. Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS)

PENGURUSAN HARTA PAILIT PEMBERESAN HARTA PAILIT TUGAS KURATOR. Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS) PENGURUSAN HARTA PAILIT PEMBERESAN HARTA PAILIT TUGAS KURATOR 1 Menyimpan: Surat,dokumen, uang, perhiasan, efek, surat berharga lainnya dengan memberikan tanda terima (Ps.98 UUK) MENGAMANKAN HARTA PAILIT

Lebih terperinci

KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN

KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN Oleh: Adem Panggabean A. PENDAHULUAN Pada dunia bisnis dapat terjadi salah satu pihak tidak dapat melakukan kewajibannya membayar hutang-hutangnya kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Keterbatasan finansial atau kesulitan keuangan merupakan hal yang dapat dialami oleh siapa saja, baik orang perorangan maupun badan hukum. Permasalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jaminan atau agunan yang diajukan atau yang diberikan oleh debitur

BAB I PENDAHULUAN. Jaminan atau agunan yang diajukan atau yang diberikan oleh debitur 9 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jaminan atau agunan yang diajukan atau yang diberikan oleh debitur kepada Bank berupa tanah-tanah yang masih belum bersertifikat atau belum terdaftar di Kantor Pertanahan.

Lebih terperinci

PRINSIP=PRINSIP HAK TANGGUNGAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG

PRINSIP=PRINSIP HAK TANGGUNGAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG PRINSIP=PRINSIP HAK TANGGUNGAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH Oleh: Drs. H. MASRUM MUHAMMAD NOOR, M.H. A. DEFINISI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai orang perseorangan dan badan hukum 3, dibutuhkan penyediaan dana yang. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai orang perseorangan dan badan hukum 3, dibutuhkan penyediaan dana yang. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. 13 A. Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN Pembangunan ekonomi, sebagai bagian dari pembangunan nasional merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan

Lebih terperinci

Pembebanan Jaminan Fidusia

Pembebanan Jaminan Fidusia Jaminan Fidusia Fidusia menurut Undang-Undang no 42 tahun 1999 merupakan pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut

Lebih terperinci

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah Kepailitan 9/4/2014

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah Kepailitan 9/4/2014 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Ranitya Ganindha, SH. MH. Dosen Hukum Dagang Fakultas Hukum Univ Brawijaya Dalam suatu kegiatan usaha / bisnis berutang merupakan hal yang lazim. Permasalahan

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 29 BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa kebutuhan yang sangat besar dan terus meningkat bagi dunia usaha atas tersedianya

Lebih terperinci

BAB II SEGI HUKUM MENGENAI JAMINAN FIDUSIA

BAB II SEGI HUKUM MENGENAI JAMINAN FIDUSIA BAB II SEGI HUKUM MENGENAI JAMINAN FIDUSIA A. Sejarah dan Pengertian Jaminan Fidusia Fidusia berasal dari kata fides yang artinya adalah kepercayaan. Sesuai dengan arti dari kata ini, maka hubungan hukum

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Tulungagung. sebagai barang yang digunakan untuk menjamin jumlah nilai pembiayaan

BAB V PEMBAHASAN. Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Tulungagung. sebagai barang yang digunakan untuk menjamin jumlah nilai pembiayaan 1 BAB V PEMBAHASAN A. Faktor-faktor yang mendukung dan menghambat BMT Istiqomah Unit II Plosokandang selaku kreditur dalam mencatatkan objek jaminan di Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Tulungagung.

Lebih terperinci

TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH: LILIK MULYADI 1

TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH: LILIK MULYADI 1 TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH: LILIK MULYADI 1 I. TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN Putusan perkara kepailitan

Lebih terperinci

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 3 B. Saran... 81 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 4 A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keadilan akan terpenuhi apabila berbagai elemen yang berbeda kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara harmonis, termasuk kepentingan pemilik

Lebih terperinci

PENANGGUHAN EKSEKUSI OBJEK HAK JAMINAN KREDIT DI BANK DARI PERUSAHAAN YANG PAILIT 1 Oleh : Timothy Jano Sajow 2

PENANGGUHAN EKSEKUSI OBJEK HAK JAMINAN KREDIT DI BANK DARI PERUSAHAAN YANG PAILIT 1 Oleh : Timothy Jano Sajow 2 120 PENANGGUHAN EKSEKUSI OBJEK HAK JAMINAN KREDIT DI BANK DARI PERUSAHAAN YANG PAILIT 1 Oleh : Timothy Jano Sajow 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kedudukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan sejumlah uang misalnya, dapat meminjam dari orang

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan sejumlah uang misalnya, dapat meminjam dari orang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan hidup financial setiap orang dapat diperoleh dengan berbagai cara. Orang (orang perseorangan dan badan hukum) yang hendak memenuhi kebutuhan hidupnya dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT A. Pengertian Hukum Jaminan Kredit Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, zekerheidsrechten atau security of law. Dalam Keputusan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Imma Indra Dewi Windajani

Imma Indra Dewi Windajani HAMBATAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN DI KANTOR PELAYANAN KEKAYAAN NEGARA DAN LELANG YOGYAKARTA Imma Indra Dewi Windajani Abstract Many obstacles to execute mortgages by auctions on the Office of State Property

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Tentang Perjanjian Kredit a. Pengertian Perjanjian Kredit Secara etimologi kata kredit berasal dari bahasa Yunani yaitu credere yang berarti kepercayaan.

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 4443 (Penjelasan Atas Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 131) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

BAB II PENGANGKATAN PENGURUS DALAM PKPU. Ada dua cara yang disediakan oleh UU Kepailitan dan PKPU agar debitur

BAB II PENGANGKATAN PENGURUS DALAM PKPU. Ada dua cara yang disediakan oleh UU Kepailitan dan PKPU agar debitur BAB II PENGANGKATAN PENGURUS DALAM PKPU A. Prosedur Permohonan PKPU Ada dua cara yang disediakan oleh UU Kepailitan dan PKPU agar debitur dapat terhindar dari ancaman harta kekayaannya dilikuidasi ketika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup memberikan dampak yang negatif terhadap keadaan ekonomi di Indonesia. Krisis ekonomi tersebut,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN UMUM MENGENAI LEMBAGA JAMINAN HAK TANGGUNGAN. A. Jaminan Kredit Dengan Menggunakan Hak Tanggungan

BAB 2 TINJAUAN UMUM MENGENAI LEMBAGA JAMINAN HAK TANGGUNGAN. A. Jaminan Kredit Dengan Menggunakan Hak Tanggungan 11 BAB 2 TINJAUAN UMUM MENGENAI LEMBAGA JAMINAN HAK TANGGUNGAN. A. Jaminan Kredit Dengan Menggunakan Hak Tanggungan Dalam transaksi perkreditan terdapat dua jenis perikatan yang dapat ditinjau dari segi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Perbankan) Pasal 1 angka 11, menyebutkan : uang agar pengembalian kredit kepada debitur dapat dilunasi salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Perbankan) Pasal 1 angka 11, menyebutkan : uang agar pengembalian kredit kepada debitur dapat dilunasi salah satunya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan ekonomi menyebabkan meningkatnya usaha dalam sektor Perbankan. Fungsi perbankan yang paling utama adalah sebagai lembaga intermediary, yakni menghimpun

Lebih terperinci

ANALISIS YURIDIS TERHADAP EKSEKUSI BENDA JAMINAN YANG DIBEBANI HAK TANGGUNGAN PADA DEBITUR PAILIT SALAWATI SUYITNO ABSTRACT

ANALISIS YURIDIS TERHADAP EKSEKUSI BENDA JAMINAN YANG DIBEBANI HAK TANGGUNGAN PADA DEBITUR PAILIT SALAWATI SUYITNO ABSTRACT Salawati Suyitno 1 ANALISIS YURIDIS TERHADAP EKSEKUSI BENDA JAMINAN YANG DIBEBANI HAK TANGGUNGAN PADA DEBITUR PAILIT SALAWATI SUYITNO ABSTRACT Banking credit contract is generally made with hypothecation

Lebih terperinci

BAB III KEABSAHAN JAMINAN SERTIFIKAT TANAH DALAM PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM DI SLEMAN. A. Bentuk Jaminan Sertifikat Tanah Dalam Perjanjian Pinjam

BAB III KEABSAHAN JAMINAN SERTIFIKAT TANAH DALAM PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM DI SLEMAN. A. Bentuk Jaminan Sertifikat Tanah Dalam Perjanjian Pinjam BAB III KEABSAHAN JAMINAN SERTIFIKAT TANAH DALAM PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM DI SLEMAN A. Bentuk Jaminan Sertifikat Tanah Dalam Perjanjian Pinjam Meminjam Di Kabupaten Sleman Perjanjian adalah suatu hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan Nasional yang dilaksanakan selama ini merupakan upaya pembangunan yang berkesinambungan dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HIPOTIK DAN HAK TANGGUNGAN. Hipotik berasal dari kata hypotheek dari Hukum Romawi yaitu hypotheca yaitu suatu jaminan

BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HIPOTIK DAN HAK TANGGUNGAN. Hipotik berasal dari kata hypotheek dari Hukum Romawi yaitu hypotheca yaitu suatu jaminan BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HIPOTIK DAN HAK TANGGUNGAN A. Tinjauan Terhadap Hipotik 1. Jaminan Hipotik pada Umumnya Hipotik berasal dari kata hypotheek dari Hukum Romawi yaitu hypotheca yaitu suatu

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 42 TAHUN 1999 (42/1999) TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 42 TAHUN 1999 (42/1999) TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 42 TAHUN 1999 (42/1999) TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kebutuhan yang sangat besar

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa peningkatan Pembangunan Nasional yang berkelanjutan memerlukan dukungan

Lebih terperinci

BAB III UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI ATAS OBJEK FIDUSIA BERUPA BENDA PERSEDIAAN YANG DIALIHKAN DENGAN JUAL BELI

BAB III UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI ATAS OBJEK FIDUSIA BERUPA BENDA PERSEDIAAN YANG DIALIHKAN DENGAN JUAL BELI BAB III UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI ATAS OBJEK FIDUSIA BERUPA BENDA PERSEDIAAN YANG DIALIHKAN DENGAN JUAL BELI 1. Ketentuan Dalam Pasal 21 UUJF Mengenai Benda Persediaan yang Dialihkan dengan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak, yang isinya adalah hak dan kewajiban, suatu hak untuk menuntut sesuatu

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TENTANG HAK KREDITOR DALAM MELAKSANAKAN EKSEKUSI SELAKU PEMEGANG JAMINAN DENGAN HAK TANGGUNGAN

TINJAUAN YURIDIS TENTANG HAK KREDITOR DALAM MELAKSANAKAN EKSEKUSI SELAKU PEMEGANG JAMINAN DENGAN HAK TANGGUNGAN 1 TINJAUAN YURIDIS TENTANG HAK KREDITOR DALAM MELAKSANAKAN EKSEKUSI SELAKU PEMEGANG JAMINAN DENGAN HAK TANGGUNGAN NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat-syarat Guna Memperoleh

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk.

BAB IV ANALISIS Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk. BAB IV ANALISIS C. Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk. Salah satu upaya penyelamatan kebangkrutan perusahaan dapat dilakukan dengan cara yuridis

Lebih terperinci

HAK MILIK ATAS RUMAH SEBAGAI JAMINAN FIDUSIA

HAK MILIK ATAS RUMAH SEBAGAI JAMINAN FIDUSIA HAK MILIK ATAS RUMAH SEBAGAI JAMINAN FIDUSIA Oleh : Dr. Urip Santoso, S.H, MH. 1 Abstrak Rumah bagi pemiliknya di samping berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian, juga berfungsi sebagai aset bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keinginan untuk meningkatkan keuntungan yang dapat diraih, baik dilihat dari segi

BAB I PENDAHULUAN. keinginan untuk meningkatkan keuntungan yang dapat diraih, baik dilihat dari segi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu motif utama badan usaha meminjam atau memakai modal adalah keinginan untuk meningkatkan keuntungan yang dapat diraih, baik dilihat dari segi jumlah maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun selalu hidup bersama serta berkelompok. Sejak dahulu kala pada diri manusia terdapat hasrat untuk berkumpul

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum PD BPR Bank Purworejo 1. Profil PD BPR Bank Purworejo PD BPR Bank Purworejo adalah Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat yang seluruh modalnya

Lebih terperinci

BAB 2 TEORI UMUM HAK TANGGUNGAN

BAB 2 TEORI UMUM HAK TANGGUNGAN BAB 2 TEORI UMUM HAK TANGGUNGAN 2.1. Pengertian Hak Tanggungan Hak tanggungan menurut ketentuan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda- Benda Yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KREDITUR DAN DEBITUR. Dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KREDITUR DAN DEBITUR. Dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KREDITUR DAN DEBITUR A. Pengertian Kreditur dan Debitur Dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adapun pengertian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TENTANG HUKUM JAMINAN DALAM HUKUM AGRARIA. A. Hak Tanggunan Sebagai Hukum Jaminan Tanah

BAB II TINJAUAN TENTANG HUKUM JAMINAN DALAM HUKUM AGRARIA. A. Hak Tanggunan Sebagai Hukum Jaminan Tanah BAB II TINJAUAN TENTANG HUKUM JAMINAN DALAM HUKUM AGRARIA A. Hak Tanggunan Sebagai Hukum Jaminan Tanah 1. Lahirnya Hak Tanggungan Sebelum berlakunya Undang Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelebihan dana kepada pihak-pihak yang membutuhkan dana, dalam hal ini bank

BAB I PENDAHULUAN. kelebihan dana kepada pihak-pihak yang membutuhkan dana, dalam hal ini bank 9 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perbankan memegang peranan sangat penting dalam bidang perekonomian seiring dengan fungsinya sebagai penyalur dana dari pihak yang mempunyai kelebihan dana kepada

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. IV/No. 4/Apr/2016. PROSES PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN Oleh : Naomi Meriam Walewangko 2

Lex Administratum, Vol. IV/No. 4/Apr/2016. PROSES PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN Oleh : Naomi Meriam Walewangko 2 PROSES PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1996 1 Oleh : Naomi Meriam Walewangko 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana Pendaftaran Pemberian

Lebih terperinci

BAB II PENGAJUAN PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG KEPADA PENGADILAN NIAGA

BAB II PENGAJUAN PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG KEPADA PENGADILAN NIAGA 20 BAB II PENGAJUAN PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG KEPADA PENGADILAN NIAGA A. Pengertian PKPU Istilah PKPU (suspension of payment) sangat akrab dalam hukum kepailitan. Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

BAB II PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG YANG DIAJUKAN OLEH DEBITUR. Sebelum keluarnya UUK dan PKPU, peraturan perundang-undangan yang

BAB II PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG YANG DIAJUKAN OLEH DEBITUR. Sebelum keluarnya UUK dan PKPU, peraturan perundang-undangan yang BAB II PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG YANG DIAJUKAN OLEH DEBITUR A. Syarat dan Prosedur Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang Diajukan Oleh Debitur Sebelum keluarnya UUK dan PKPU, peraturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional, salah satu usaha untuk mewujudkan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional, salah satu usaha untuk mewujudkan masyarakat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan di bidang ekonomi merupakan bagian dari pembangunan nasional, salah satu usaha untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan pancasila dan Undang-Undang

Lebih terperinci

EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA

EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA A. PENDAHULUAN Pada era globalisasi ekonomi saat ini, modal merupakan salah satu faktor yang sangat dibutuhkan untuk memulai dan mengembangkan usaha. Salah satu cara untuk

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL APABILA ON GOING CONCERN GAGAL DALAM PELAKSANAANNYA. apabila proses On Going Concern ini gagal ataupun berhasil dalam

BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL APABILA ON GOING CONCERN GAGAL DALAM PELAKSANAANNYA. apabila proses On Going Concern ini gagal ataupun berhasil dalam 43 BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL APABILA ON GOING CONCERN GAGAL DALAM PELAKSANAANNYA 3.1 Batasan Pelaksanaan On Going Concern Dalam berbagai literatur ataupun dalam UU KPKPU-2004 sekalipun tidak ada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (dalam tulisan ini, undang-undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak untuk

BAB I PENDAHULUAN. lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak untuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bank merupakan lembaga keuangan yang mempunyai peranan penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi nasional dan merupakan sarana bagi pemerintah dalam mengupayakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN. A. Pemberian Hak Tanggungan dan Ruang Lingkupnya

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN. A. Pemberian Hak Tanggungan dan Ruang Lingkupnya BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN A. Pemberian Hak Tanggungan dan Ruang Lingkupnya Pemberian Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap debitur yang berada dalam keadaan berhenti membayar dapat dijatuhi

BAB I PENDAHULUAN. Setiap debitur yang berada dalam keadaan berhenti membayar dapat dijatuhi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap debitur yang berada dalam keadaan berhenti membayar dapat dijatuhi putusan kepailitan. Debitur ini dapat berupa perorangan (badan pribadi) maupun badan hukum.

Lebih terperinci

3 Lihat UU No. 4 Tahun 1996 (UUHT) Pasal 20 ayat (1) 4 Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hal. 339

3 Lihat UU No. 4 Tahun 1996 (UUHT) Pasal 20 ayat (1) 4 Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hal. 339 KEWENANGAN MENJUAL SENDIRI (PARATE EXECUTIE) ATAS JAMINAN KREDIT MENURUT UU NO. 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN 1 Oleh: Chintia Budiman 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN JAMINAN DALAM HUKUM POSITIF. Istilah jaminan dalam peraturan perundang-undangan dapat dijumpai

BAB II PERJANJIAN JAMINAN DALAM HUKUM POSITIF. Istilah jaminan dalam peraturan perundang-undangan dapat dijumpai BAB II PERJANJIAN JAMINAN DALAM HUKUM POSITIF G. Pengertian Perjanjian Jaminan Istilah jaminan dalam peraturan perundang-undangan dapat dijumpai pada Pasal 1131 KUHPerdata dan penjelasan Pasal 8 UUP, namun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian dunia yang semakin kompleks mengakibatkan semakin meningkatnya pula kebutuhan ekonomi masyarakat terutama para pelaku usaha. Dalam menjalani kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Secara umum, bank adalah lembaga yang melaksanakan tiga fungsi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Secara umum, bank adalah lembaga yang melaksanakan tiga fungsi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara umum, bank adalah lembaga yang melaksanakan tiga fungsi utama, yaitu menerima simpanan uang, meminjamkan uang, dan memberikan jasa pengiriman uang. Bank

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016

Lex Administratum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016 AKIBAT HUKUM PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG TERHADAP PERJANJIAN SEWA MENYEWA YANG DI NYATAKAN PAILIT MENURUT UU NO. 37 TAHUN 2004 1 Oleh : Joemarto V. M. Ussu 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial senantiasa memerlukan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya termasuk pula kebutuhan keuangan, sehingga untuk

Lebih terperinci

LEMBARAN-NEGARA Republik Indonesia No.42 Tahun 1996

LEMBARAN-NEGARA Republik Indonesia No.42 Tahun 1996 Lembaran Negara Republik Indonesia LEMBARAN-NEGARA Republik Indonesia No.42 Tahun 1996 No. 42, 1996 TANAH, HAK TANGGUNGAN, Jaminan Utang, Sertipikat. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sangat penting dan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sangat penting dan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia 7 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Majunya perekonomian suatu bangsa, menyebabkan pemanfaatan tanah menjadi sangat penting dan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia itu sendiri. Hal ini terlihat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (SKMHT) YANG BERSIFAT KHUSUS DAN UNDANG-

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (SKMHT) YANG BERSIFAT KHUSUS DAN UNDANG- BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (SKMHT) YANG BERSIFAT KHUSUS DAN UNDANG- UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN A. Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya pemberian kredit dapat diberikan oleh siapa saja yang memiliki kemampuan, untuk itu melalui perjanjian utang piutang antara Pemberi utang (kreditur)

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa gejolak moneter yang terjadi di

Lebih terperinci