BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Industri rumah sakit terus meningkat di Indonesia seiring dengan perkembangan perekonomian negara dan global (Djumena, 2012). Hal ini juga disebabkan oleh penertiban berbagai peraturan dan perundang-undangan yang mendukung iklim investasi dan menciptakan kondisi bisnis dan jasa rumah sakit yang lebih baik (Dikamed, 2013). Terus meningkatnya pertumbuhan rumah sakit di Indonesia tidak terlepas dari peran serta pihak swasta. Adanya peran serta pihak swasta tersebut tidak hanya membantu pemerintah dalam pemberian pelayanan kesehatan terhadap masyarakat Indonesia secara menyeluruh, namun juga membantu menekan jumlah pasien Indonesia yang berobat ke luar negeri (Oktaveri, 2015). Dalam beberapa tahun terakhir terjadi peningkatan jumlah rumah sakit swasta di Indonesia, peningkatan yang terjadi berkisar 5% setiap tahunnya. Pada tahun 2015 peningkatan tersebut diprediksi akan mencapai 5-10%, pertumbuhan jumlah rumah sakit ini mayoritas terjadi hanya untuk kategori rumah sakit umum (Arief, 2014). Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, jumlah rumah sakit swasta yang terdaftar per 1 Januari 2014 adalah sebanyak 455 untuk rumah sakit umum dan 246 untuk rumah sakit khusus, rumah sakit umum swasta non profit sebanyak 531 dan rumah sakit khusus non profit berjumlah 202 (Arief, 2014). Jumlah rumah sakit yang terus mengalami pertumbuhan tersebut membuat persaingan antar rumah sakit dalam menarik calon pelanggan (pasien) semakin meningkat. Agar dapat menarik perhatian pasien, rumah sakit dituntut untuk senantiasa memperhatikan kepuasan pasien. Muniarti (2010) menyatakan bahwa kepuasan pasien adalah aset yang sangat berharga, apabila pasien merasa puas maka mereka akan terus
melakukan pemakaian terhadap jasa pilihannya dan merekomendasikan pilihannya tersebut kepada orang lain. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk menciptakan kepuasan pasien adalah penggunaan sistem yang dikenal dengan mutu pelayanan kesehatan. Mutu pelayanan kesehatan adalah pelayanan kesehatan yang dapat menghasilkan kepuasan pada setiap pengguna jasa pelayanan melalui penyelenggaraan yang sesuai dengan standar dan kode etik profesi (Azwar, 1996). Terwujudnya mutu pelayanan kesehatan tersebut tidak terlepas dari peran serta sumber daya manusia yang dimiliki organisasi rumah sakit. Dalam sebuah organisasi, terlebih organisasi jasa seperti rumah sakit, sumber daya manusia adalah kunci utama dalam pencapaian tujuan organisasi (Fatdina, 2009). Pendapat lain mengatakan bahwa aktor individu dan sistem yang digunakan suatu organisasi sangat berpengaruh pada kualitas pelayanan yang diberikan kepada masyarakat (Thoha, 2002). Peningkatan mutu pelayanan kesehatan secara berkelanjutan dapat dilakukan apabila pihak penyelenggara memperhatikan beberapa hal terkait dengan manajemen sumber daya manusia, seperti: visi manajemen dan komitmen, tanggung jawab, pengukuran umpan balik, pemecahan masalah dan proses perbaikan, komunikasi, pengembangan staf dan pelatihan, keterlibatan tim kesehatan, penghargaan dan pengakuan, keterlibatan dan pemberdayaan staf, serta pengingatan kembali dan pemberdayaan (Satrianegara, 2009). Satrianegara (2009) menjelaskan lebih lanjut bahwa komitmen dan internalisasi nilai serta tujuan organisasi diperlukan dari semua lapisan organisasi untuk mendapatkan kinerja yang maksimal. Karyawan yang berkomitmen terhadap organisasi dinilai memiliki kecenderungan yang besar untuk mempertahankan keanggotaannya di organisasi dan bekerja menuju pencapaian tujuan organisasi (Mowday, Porter, dan Steers, 1982). Organisasi tidak akan berhasil mencapai tujuan apabila sumber daya manusianya tidak memiliki komitmen terhadap organisasi (Handayani, 2013). Karyawan dengan komitmen organisasi yang rendah cenderung menunjukkan perilaku yang kurang
menguntungkan organisasi (Reichers, 1985). Penelitian-penelitian terdahulu menunjukkan bahwa karyawan dengan komitmen organisasi yang rendah memiliki tingkat ketidakhadiran yang tinggi dan berkecenderungan meninggalkan organisasi (Baron dan Greenberg, 1990; McShane dan Glinow, 2003; Luthans 2008). Selain itu, rendahnya komitmen organisasi berkaitan dengan kenaikan tingkat turnover (Luthans, 2008) dan keterlambatan (Angle dan Perry, 1981). Di lain pihak, beberapa pendapat menyatakan pentingnya komitmen bagi keberlangsungan organisasi. Reichers (1985) menyatakan bahwa komitmen merupakan sebuah konstruk yang menguntungkan bagi organisasi dalam rangka mencapai tujuan. Pendapat lain menganggap komitmen organisasi sebagai inti dari analisis manajemen sumber daya manusia, hal ini dilandaskan pada keterkaitan komitmen organisasi dengan produktivitas, perkembangan, kualitas, dan kinerja organisasi yang baik (Gupta, 2007). Di samping itu, terdapat berbagai bentuk komitmen organisasi di tempat kerja yang berpotensi dalam mempengaruhi kesejahteraan karyawan dan keefektifan organisasi (Meyer dan Herscovith, 2001). Karyawan yang berkomitmen terhadap organisasi menunjukkan kinerja yang optimal dengan mencurahkan perhatian, pikiran, tenaga, dan waktunya untuk pekerjaan sehingga hasil kinerja tersebut sesuai dengan harapan organisasi (Handayani, 2013). Komitmen organisasi didefinisikan sebagai kuatnya identifikasi dan keterlibatan karyawan dalam organisasi (Porter dkk, 1974). Melalui definisi tersebut, komitmen organisasi dapat dikategorikan ke dalam tiga faktor, yakni: a) penerimaan dan keyakinan yang kuat terhadap nilai dan tujuan organisasi, b) kesediaan untuk berusaha secara maksimal demi organisasi, c) keinginan untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi (Mowday, Porter, dan Steers, 1982). Berdasarkan konsep yang sama, Angle dan Perry (1981) membagi komitmen organisasi ke dalam dua kategori yakni value
commitment dan commitment to stay. Value commitment merupakan komitmen karyawan dalam mendukung pencapaian tujuan organisasi. Commitment to stay merupakan komitmen untuk mempertahankan keanggotaan di dalam organisasi. Karyawan yang berkomitmen terhadap organisasi cenderung memiliki karakteristikkarakteristik yang menguntungkan organisasi (Reichers, 1985). Tingkat komitmen organisasi yang tinggi juga dipercaya menyebabkan tingginya efektifitas organisasi (Lindawati, 2014). Penelitian-penelitian terdahulu menjelaskan bahwa komitmen organisasi memiliki korelasi positif dengan motivasi dan perilaku organizational citizenship yang tinggi (McShane dan Glinow, 2003), kinerja (Meyer dkk, 1989; Baron dan Greenberg, 1990; Luthans, 2008) dan usaha yang diberikan pada organisasi (Baron dan Greenberg, 1990). Dari hasil penelitian-penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa komitmen memberi dampak yang baik bagi keberlangsungan organisasi. Dalam organisasi rumah sakit, komitmen dapat berperan dalam pencapaian mutu pelayanan kesehatan yang baik (Satrianegara, 2009). Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tercatat memiliki 72 rumah sakit pada tahun 2014, dengan perincian 51 rumah sakit umum dan 21 rumah sakit khusus. Berdasarkan kategori rumah sakit publik, terdapat 12 rumah sakit umum yang dikelola pemerintah dan 25 rumah sakit umum yang dikelola pihak swasta. Sedangkan pada kategori rumah sakit privat, terdapat 14 rumah sakit umum yang dikelola oleh pihak swasta (Kementerian Kesehatan RI, 2014). Salah satu rumah sakit swasta yang telah berdiri selama puluhan tahun adalah RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Pada tahun 2009, RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta membuka cabang yang terletak di daerah Gamping dengan nama RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit 2. Peneliti melakukan wawancara singkat dengan beberapa karyawan di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit 2 guna melakukan preliminary study.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan salah satu karyawan yang merupakan anggota bagian kepegawaian, dapat diketahui bahwa permasalahan utama dalam bidang sumber daya manusia di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit 2 adalah tingkat turnover yang cukup tinggi. Kecenderungan untuk meninggalkan organisasi disebabkan oleh adanya kesempatan bekerja di organisasi lain yang dinilai lebih baik, hal ini sesuai dengan pernyataan yang diberikan karyawan tersebut, yaitu: Permasalahannya itu terletak pada karyawan-karyawan baru ya mbak, biasanya yang baru-baru ini masih sering membedakan, reward saya di rumah sakit ini apa ya. Nah biasanya membedakannya itu dengan PNS, sehingga dari situlah turnover keluar masuknya karyawan jadi tinggi. Selain itu, hadirnya rumah sakit-rumah sakit baru di Yogyakarta juga menjadi faktor pemicu keluarnya karyawan dari organisasi. Hal ini telah diantisipasi oleh pihak kepegawaian pada saat orientasi penerimaan karyawan dengan memberlakukan peraturan tertentu, sesuai dengan pernyataan yang diberikan karyawan bagian kepegawaian: Saya kalau ngisi orientasi awal penerimaan pegawai selalu saya tawarkan dulu, siapa-siapa yang sekiranya mau pindah ke rumah sakit lain. Karena kita tidak bisa membatasi karyawan untuk mencari tempat kerja yang lebih baik kan ya. Akan tetapi ada syaratnya, yakni harus resign dulu satu bulan sebelumnya. Kalau tidak keterima ya sudah, tidak bisa bekerja disini lagi, jadi harus resign dulu sebelumnya. Hal ini yang dilakukan untuk mencegah ya. Meskipun telah diberlakukan peraturan sedemikian rupa yang bertujuan untuk mencegah karyawan melepas status keanggotaannya di organisasi, masih terdapat beberapa karyawan yang melanggar peraturan tersebut untuk mengambil keuntungan pribadi. Hal tersebut sesuai dengan penyataan karyawan bagian kepegawaian: Biasanya saya juga cari-cari ini siapa yang daftar PNS gak ijin. Biasanya mereka begini untuk mencari keuntungan, jadi nanti kalau tidak diterima nanti kan tetap bisa bekerja disini. Perilaku keluar-masuknya karyawan tersebut memiliki dampak terhadap organisasi, yakni kebutuhan untuk mencari karyawan pengganti. Apabila seorang karyawan memutuskan untuk resign dalam waktu yang mendadak, pihak rumah sakit akan
mengalami kesusahan dalam mencari pengganti terlebih untuk bidang-bidang penunjang pelaksanaan pelayanan. Hal ini sesuai dengan pernyataan karyawan bagian kepegawaian: Dampaknya itu pencarian pengganti, kalau perawat tidak susah ya, tapi kalau bagian lain seperti lab, rekam medik, itu agak susah. Tidak hanya di rumah sakit ini saja, tapi semua sama. Sehingga tadi itu kita terapkan di kontrak, bahwa kalau mau pindah harus menyerahkan surat resign dulu satu bulan sebelumnya, ini untuk memberi rumah sakit waktu untuk mencari pengganti. Kalau tidak begitu, akan terjadi kesusahan bila kekurangan personel. Permasalahan lain yang muncul adalah ketidakhadiran dan keterlambatan. Terdapat beberapa karyawan yang menggunakan cara tertentu untuk mendapatkan surat keterangan sakit. Selain itu, ditemui karyawan-karyawan yang terlambat masuk kerja dan pulang lebih awal dari waktu yang seharusnya. Hal ini dapat menyebabkan adanya miskomunikasi, terutama pada perawat yang menerapkan sistem shift, sesuai dengan pernyataan karyawan bagian kepegawaian: Sebenernya kalau masalah izin itu adalah hak ya. Selama masih dalam batas maksimal ya tidak masalah. Akan tetapi kami kan bisa memonitor karyawan itu izin berapa kali dalam satu bulan, ada pegawai yang izinnya sakit melulu, lho kenapa, kita kan tidak bisa diamkan nih. Disini kita bisa cek ke rekam medik karyawan tersebut, apakah benar sudah periksa ke UGD dan ditangani dokter perusahaan. Karena ada perilaku yang begini, ada perawat yang dekat dengan dokter, saat pusing sedikit nih misalnya lalu minta surat keterangan sakit. Selain itu adalah keterlambatan, disini kami bisa monitor jam kedatangan dan kepergian karyawan. Ada yang datang terlambat, ada yang pulang duluan. Buat bangsal itu nanti kurang baik, karena ada shift dan informasi pasien sering berganti-ganti ya apabila disaat perubahan itu tidak hadir, ya bisa terjadi miskom. Selain itu, bagian kepegawaian mengalami sedikit hambatan dalam pengelolaan sistem sumber daya manusia di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Hal ini disebabkan oleh perbandingan jumlah anggota bagian kepegawaian dan jumlah karyawan di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta yang tidak seimbang. Bagian kepegawaian memiliki 4 anggota, sedangkan jumlah keseluruhan karyawan di kedua unit rumah sakit adalah 809 karyawan, sesuai dengan pernyataan yang dinyatakan karyawan bagian kepegawaian:
Selain itu yang menjadi masalah adalah manajemennya masih jadi satu, sedangkan karyawan di dua rumah sakit kan banyak sekali. Sebenarnya kalau bisa sih kami bisa. Tapi agak kewalahan juga karena kami disini hanya berempat. Berdasarkan pernyataan-pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat sejumlah karyawan di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta yang memutuskan meninggalkan organisasi karena adanya alternatif pekerjaan yang dinilai lebih baik. Dalam konteks ini, adanya sejumlah karyawan yang memilih untuk tidak melanjutkan keanggotaan di rumah sakit karena adanya kesempatan bekerja di organisasi lain mengindikasikan tingkat commitment to stay yang rendah pada karyawan-karyawan tersebut. Sehubungan dengan itu, komitmen organisasi menjadi konstruk yang esensial dan perlu mendapat perhatian lebih oleh pihak organisasi agar dapat menjalankan fungsi organisasi secara efektif. Terdapat beberapa upaya yang perlu dilakukan oleh organisasi untuk mewujudkan komitmen organisasi yang tinggi pada karyawannya, yakni dengan berkomitmen terhadap nilai-nilai kemanusiaan, memperjelas dan mengkomunikasikan visi dan misi organisasi, menjamin keadilan organisasi, menciptakan perasaan sebagai satu komunitas, dan mendukung perkembangan karyawan (Lindawati, 2014). Selain itu, beberapa faktor yang dapat mempengaruhi munculnya komitmen organisasi adalah kenyamanan kerja dalam aspek sosial dan lingkungan fisik, pemberian fasilitas, pengakuan organisasi terhadap peran karyawan, serta kesempatan untuk berkembang dan beraktualisasi diri. Dalam konteks ini, loyalitas karyawan tidak hanya bergantung pada gaji semata, namun juga dukungan organisasi dalam penyelesaian tugas dan apresiasi yang lebih sebagai penghargaan atas usaha yang telah diberikan kepada organisasi (Sulaeman, 2013). Di samping hal tersebut, jaminan keamanan dan fasilitas yang mendukung kegiatan kerja juga berperan dalam meningkatkan komitmen organisasi pada karyawan (Sulaeman, 2013).
Faktor-faktor di atas merujuk kepada perceived organizational support (POS). POS atau dukungan organisasi yang dirasakan karyawan adalah keyakinan yang dimiliki individu terkait dengan sejauh mana organisasi tempat ia bekerja menghargai usahanya dan peduli atas kesejahteraannya (Eisenberger dkk, 1986). Lok dan Crawford (dalam Jex dan Britt, 2008) melakukan penelitian mengenai komitmen organisasi pada perawat, hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa adanya dukungan dari organisasi dapat memprediksi tingkat komitmen afektif perawat, semakin besar dukungan yang dirasakan maka semakin tinggi komitmen afektifnya. Penelitian lain yang dilakukan oleh Tansky dan Cohen (2001) dengan subjek staf rumah sakit menunjukkan bahwa perceived organizational support berkorelasi positif dengan komitmen organisasi, hasil lain dalam penelitian ini menyatakan bahwa perceived organizational support dan komitmen organisasi berkorelasi secara signifikan dengan kepuasan terhadap program pengembangan karyawan. Peneliti melakukan wawancara singkat dengan salah satu karyawan yang pernah mendaftarkan diri untuk bekerja di organisasi lain, yakni karyawan X. Hasil wawancara tersebut mengungkap beberapa permasalahan yang terkait dengan perceived organizational support. Terdapat beberapa hal yang dirasa kurang yakni kurang dilibatkannya karyawan pelaksana dalam pembuatan kebijakan rumah sakit yang berhubungan dengan karyawan, minimnya informasi mengenai promosi jabatan karena pemilihan dilakukan oleh pihak manajemen, tidak adanya sistem evaluasi yang memungkinkan bawahan menilai atasan, dan rawannya miskomunikasi antar perawat karena adanya pergantian shift. Hal ini sesuai dengan pernyataan karyawan X sebagai berikut: Komunikasi sudah bagus, tapi sebaiknya ditingkatkan terutama saat rapat pegantian shift karena sering miskom, ada info yang sudah disampaikan saat shift ini tapi di shift berikutnya nanti ditanyakan kembali. Kalau info dan kebijakan disampaikan dengan baik pakai surat edaran, tapi kalau kebijakan begitu pembuatannya gak dilibatkan, karena memang dari manajemen. Kalau promosi juga saya kurang tau ya infonya, karena
biasanya sih tau-tau ditunjuk oleh manajemen. Bukan atasan yang merekomendasikan, gitu gak pernah, pasti dari manajemen. Berdasarkan uraian dan hasil penelitian awal di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat keterkaitan antara perceived organziational support dengan komitmen organisasi. Sehingga, rumusan masalah yang akan diajukan oleh peneliti adalah apakah terdapat hubungan antara perceived organizational support dengan komitmen organisasi karyawan RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit 2. B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara perceived organizational support dengan komitmen organisasi karyawan RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit 2. C. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan membawa berbagai manfaat, antara lain: 1. Manfaat teoritis Penelitian ini diharapkan mampu memberi manfaat dalam memperkaya kajian Ilmu Psikologi, khususnya bidang Psikologi Industri dan Organisasi mengenai hubungan antara perceived organizational support dengan komitmen organisasi. 2. Manfaat praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pengetahuan atau tambahan informasi bagi pihak rumah sakit mengenai keterkaitan antara perceived organizational support dengan komitmen organisasi karyawan. Tambahan informasi tersebut diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan pihak rumah sakit dalam pembuatan keputusan mengenai manajemen sumber daya manusia, sehingga dapat memberi dampak positif bagi rumah sakit.