digilib.uns.ac.id BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Unsur Hara Makro Serasah Daun Bambu Analisis unsur hara makro pada kedua sampel menunjukkan bahwa rasio C/N pada serasah daun bambu cukup tinggi yaitu mencapai 35,82 dan 38,27 (Tabel 4). Bahan baku dengan rasio C/N tinggi akan sulit untuk terdekomposisi sehingga dibutuhkan bahan dan aktivator yang dapat menurunkan rasio C/N. Tabel 4. Kandungan Unsur Hara Makro pada Serasah Daun Bambu. Sampel Unsur Hara Makro C N-total P 2 O 5 K 2 O Organik Bahan Organik rasio C/N G. Atroviolacea 1,02% 0,75% 0,88% 39,04% 67,31% 38,27 G. Apus 1,40% 0,73% 0,93% 36,15% 62,33% 35,82 Cepat lambatnya penguraian dipengaruhi oleh senyawa yang terkandung dalam bahan organik tersebut. Kandungan unsur C dan N dalam bahan baku mempengaruhi kecepatan dekomposisi. Aktivitas mikroorganisme dibatasi oleh keterbatasan N protein untuk metabolisme. Apabila rasio C/N lebih dari 25, maka tingkat mineralisasi rendah, sumber N dalam tanah mengalami imobilisasi oleh mikroorganisme, dan fiksasi N hanya terjadi sementara. Apabila rasio C/N kurang dari 20, maka N mengalami proses mineralisasi dan mikroorganisme yang mati akan menjadi unsur lain yang sederhana (Sutanto, 2005). 25
digilib.uns.ac.id 26 B. Unsur Hara Makro Pupuk Kompos Unsur hara makro merupakan unsur hara yang terkandung di dalam pupuk kompos dengan jumlah yang besar. Kandungan unsur hara makro yang terdapat dalam pupuk kompos dari serasah daun bambu dan blotong dengan aktivator EM4 dan kotoran sapi yaitu memiliki C-organik yang tinggi yaitu berkisar 17% - 36%, N-total berkisar 2%, P 2 O 5 berkisar 1% dan K 2 O berkisar 0,6% - 1,8% (Tabel 5). Tabel 5. Kandungan Unsur Hara Makro Pupuk Kompos Perlakuan C-Org (%) BO (%) N-total (%) P 2 O 5 (%) K 2 O (%) Rasio C/N K. Air (%) I 17,74 30,59 2,50 1,74 0,61 7,09 26,22 II 27,79 47,91 2,73 1,95 1,88 10,18 24,44 III 20,91 36,06 2,66 1,73 1,10 7,86 23,95 IV 17,88 30,84 2,16 1,70 0,93 8,28 27,39 V 26,78 46,17 2,66 1,92 1,49 10,07 25,95 VI 36,49 62,91 2,43 1,56 1,12 15,02 23,23 VII 19,00-1,24 0,54 0,90 15,00 - Keterangan : I = (1 kg blotong : 1 kg kotoran sapi) II = (0,5 kg blotong : 0,5 kg serasah : 1 kg kotoran sapi) III = (1 kg serasah : 1 kg kotoran sapi) IV = (1 kg blotong : 50 ml EM4) V = (0,5 kg blotong : 0,5 kg serasah : 50 ml EM4) VI = (1 kg serasah : 50 ml EM4) VII = (2 kg Produk Paten) 1. C-Organik Kandungan unsur hara makro C-organik pada perlakuan I sampai V yaitu 17,74% sampai 27,79% (masuk batas min-max SNI 19-7030-2004). Kandungan C-organik perlakuan VI lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain yaitu 36,49% (di atas batas max SNI 19-7030-2004). Kandungan C-organik dari produk
digilib.uns.ac.id 27 paten yaitu 19% (Tabel 6). Kandungan C-organik terbaik dihasilkan dari perlakuan II yaitu 27,79% karena masuk batas min-max SNI 19-7030-2004 dan memiliki kandungan C-organik lebih tinggi dari produk paten. Tabel 6. Perbandingan C-Organik dengan SNI 19-7030-2004. Perlakuan C-Organik (%) Hasil Min Max Keterangan I 17,74 9,8 32 Masuk batas min-max II 27,79 9,8 32 Masuk batas min-max III 20,91 9,8 32 Masuk batas min-max IV 17,88 9,8 32 Masuk batas min-max V 26,78 9,8 32 Masuk batas min-max VI 36,49 9,8 32 Di atas batas max VII 19,00 9,8 32 Masuk batas nin-max Keterangan : I = (1 kg blotong : 1 kg kotoran sapi) II = (0,5 kg blotong : 0,5 kg serasah : 1 kg kotoran sapi) III = (1 kg serasah : 1 kg kotoran sapi) IV = (1 kg blotong : 50 ml EM4) V = (0,5 kg blotong : 0,5 kg serasah : 50 ml EM4) VI = (1 kg serasah : 50 ml EM4) VII = (2 kg Produk paten) Unsur C-organik merupaka sumber energi di dalam proses metabolisme dan perbanyakan sel oleh bakteri. Pemanfaatan unsur C-organik sebagai sumber energi bakteri akan menghasilkan buangan berupa asam organik dan alkohol (Citawaty, 2011). Perubahan C-organik disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme yang terdapat dalam kompos. Mikroorganisme ini akan mengkonsumsi bahan organik dari kompos sebagai sumber energi dalam penyusunan sel mikroorganisme yang dimana aktivitas ini akan melepaskan CO 2 dan H 2 O (Wahyono, 2003).
digilib.uns.ac.id 28 Tanaman dapat menyerap unsur hara melalui akar atau melalui daun. Unsur C dan O diambil tanaman dari udara sebagai CO 2 melaui stomata daun dalam proses fotosintesis. Unsur H diambil dari air tanah (H 2 O) oleh akar tanaman. Dalam jumlah sedikit air juga diserap tanaman melalui daun. Penelitian dengan unsur radioaktif menunjukkan bahwa hanya unsur H dari air yang digunakan tanaman, sedang oksigen dalam air tersebut dibebaskan sebagai gas (Yuwono, 2005). Karbon dipertukarkan antar tanah dan atmosfer melalui proses fotosintesis dan dekomposisi. Tanaman menyerap CO 2 dan menahan karbon pada saat yang bersamaan melepaskan oksigen melalui proses fotosintesis. Karbon yang ditahan oleh tanaman, kemudian dipindahkan ke tanah melalui akar selama proses penguraian residu tanaman. Selanjutnya, karbon ditahan di dalam tanah dalam bentuk residu tanaman yang secara perlahan menyatu ke dalam tanah melalui proses humifikasi dan penyatuan kedalam agregat tanah yang tidak segera diemisikan kembali. Dengan demikian, ada suatu siklus dinamis dalam penyerapan, pengendapan dan transformasi karbon antara udara dan tanah melalui tanaman (Herman, 2014). 2. Bahan Organik Kandungan bahan organik pada perlakuan I sampai V yaitu sekitar 30,59% - 47,91% (masuk batas min-max SNI 19-7030-2004). Kandungan bahan organik perlakuan VI lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain yaitu 62,91% (di atas batas max SNI 19-7030-2004). Kandungan bahan organik terbaik
digilib.uns.ac.id 29 dihasilkan dari perlakuan II yaitu 47,91% karena kandungan bahan organiknya tinggi dan masuk batas min-max SNI 19-7030-2004 (Tabel 7). Tabel 7. Perbandingan Bahan Organik dengan SNI 19-7030-2004 Perlakuan Bahan Organik (%) Hasil Min Max Keterangan I 30,59 27 58 Masuk batas min-max II 47,91 27 58 Masuk batas min-max III 36,06 27 58 Masuk batas min-max IV 30,84 27 58 Masuk batas min-max V 46,17 27 58 Masuk batas min-max VI 62,91 27 58 Di atas batas max Keterangan : I = (1 kg blotong : 1 kg kotoran sapi) II = (0,5 kg blotong : 0,5 kg serasah : 1 kg kotoran sapi) III = (1 kg serasah : 1 kg kotoran sapi) IV = (1 kg blotong : 50 ml EM4) V = (0,5 kg blotong : 0,5 kg serasah : 50 ml EM4) VI = (1 kg serasah : 50 ml EM4) Bahan orgnik di samping berpengaruh terhadap pasokan hara tanah juga tidak kalah pentingnya terhadap sifat fisik, biologi dan kimia tanah lainnya. Syarat tanah sebagai media tumbuh dibutuhkan kondisi fisik dan kimia yang baik. Keadaan fisik tanah yang baik apabila dapat menjamin pertumbuhan akar tanaman dan mampu sebagai tempat aerasi dan lengas tanah, yang semuanya berkaitan dengan peran bahan organik. Selama proses dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme akan menghasilkan humus dan hara (Gaur, 1980). Peran bahan organik terhadap ketersediaan hara dalam tanah tidak terlepas dengan proses mineralisasi yang merupakan tahap akhir dari proses perombakan bahan organik. Dalam proses mineralisasi akan dilepas mineralmineral hara tanaman dengan lengkap (N, P, K, Ca, Mg dan S, serta hara mikro)
digilib.uns.ac.id 30 dalam jumlah tidak tentu dan relatif kecil. Hara N, P dan S merupakan hara yang relatif lebih banyak untuk dilepas dan dapat digunakan tanaman (Fauzi, 2008). Bahan organik merupakan sumber energi bagi makro dan mikro-fauna tanah. Penambahan bahan organik dalam tanah akan menyebabkan aktivitas dan populasi mikrobiologi dalam tanah meningkat, terutama yang berkaitan dengan aktivitas dekomposisi dan mineralisasi bahan organik. Beberapa mikroorganisme yang beperan dalam dekomposisi bahan organik adalah fungi, bakteri dan aktinomisetes (Atmojo, 2003). 3. Nitrogen (N-total) Kandungan unsur hara makro N-total pada setiap perlakuan berkisar 2,16% sampai 2,73% (di atas batas min). Kandungan N-total yang dihasilkan dari semua perlakuan sudah memenuhi SNI 19-7030-2004. Kandungan N-total pada produk paten yaitu 1,24%. Bila dibandingkan dengan produk paten maka semua perlakuan memiliki kandungan N-total yang lebih tinggi. Kandungan N-total paling tinggi yaitu pada perlakuan II yaitu 2,73% (Tabel 8).
digilib.uns.ac.id 31 Tabel 8. Perbandingan N-total dengan SNI 19-7030-2004 Perlakuan N- total (%) Hasil Min Keterangan I 2,5 0,4 Di atas batas min II 2,73 0,4 Di atas batas min III 2,66 0,4 Di atas batas min IV 2,16 0,4 Di atas batas min V 2,66 0,4 Di atas batas min VI 2,43 0,4 Di atas batas min VII 1,24 0,4 Di atas batas min Keterangan : I = (1 kg blotong : 1 kg kotoran sapi) II = (0,5 kg blotong : 0,5 kg serasah : 1 kg kotoran sapi) III = (1 kg serasah : 1 kg kotoran sapi) IV = (1 kg blotong : 50 ml EM4) V = (0,5 kg blotong : 0,5 kg serasah : 50 ml EM4) VI = (1 kg serasah : 50 ml EM4) VII = (2 kg Produk paten) Nitrogen merupakan hara makro utama yang sangat penting untuk pertumbuhan tanaman. Nitrogen berperan penting dalam merangsang pertumbuhan vegetatif dari tanaman, membuat daun tanaman berwarna hijau gelap, selain itu N merupakan penyususn plasma sel dan berperan penting dalam pembentukan protein. Bila tanaman kekurangan unsur hara N menunjukkan gejala pada tanaman seperti pertumbuhan yang kerdil, pertumbuhan akar terhambat dan daun menjadi warna kuning pucat (Bachtiar, 2006). Unsur hara N dimulai dari fiksasi N 2 - atmosfir secara fisik/kimiawi yang menyuplai tanah bersama prepitasi (hujan), dan oleh mikrobia baik secara simbiotik maupun nonsimbiotik yang menyuplai tanah baik lewat tanaman inangnya menyuplai setelah mati. Sel-sel mati ini bersama dengan sisa-sisa tanaman/hewan akan menjadi bahan commit organik to user yang siap didekomposisikan dan
digilib.uns.ac.id 32 melalui serangkaian proses mineralisasi (aminisasi, amonifikasi dan nirifikasi) akan melepaskan N-mineral (NH + 4 dan NO - 3 ) yang kemudian diimmobilisasikan oleh tanaman atau mikrobia. Gas amoniak hasil proses aminisasi apabila tidak segera mengalami amonifikasi akan segera tervolatilisasi (menguap) keudara, - begitu pula dengan gas N 2 atmosfir. Nitrogen diserap oleh tanaman dalam bentuk NO - 3 atau NH + 4 dari tanah (Hapsari, 2013). 4. Fosfor (P 2 O 5 ) Kandungan unsur hara makro P 2 O 5 pada setiap perlakuan berkisar 1,56% - 1,95%. Kandungan P 2 O 5 yang dihasilkan dari semua perlakuan sudah memenuhi SNI 19-7030-2004. Kandungan P 2 O 5 pada produk paten yaitu 0,54%, sehingga kandungan P 2 O 5 hasil lebih tinggi dari produk paten. Kandungan P 2 O 5 terbaik yaitu 1,95% pada perlakuan II karena hasilnya paling tinggi dibanding dengan perlakuan lain (Tabel 9).
digilib.uns.ac.id 33 Tabel 9. Perbandingan P 2 O 5 dengan SNI 19-7030-2004 Perlakuan P 2 O 5 (%) Hasil Min Keterangan I 1,74 0,1 Di atas batas min II 1,95 0,1 Di atas batas min III 1,73 0,1 Di atas batas min IV 1,7 0,1 Di atas batas min V 1,92 0,1 Di atas batas min VI 1,56 0,1 Di atas batas min VII 0,54 0,1 Di atas batas min Keterangan : I = (1 kg blotong : 1 kg kotoran sapi) II = (0,5 kg blotong : 0,5 kg serasah : 1 kg kotoran sapi) III = (1 kg serasah : 1 kg kotoran sapi) IV = (1 kg blotong : 50 ml EM4) V = (0,5 kg blotong : 0,5 kg serasah : 50 ml EM4) VI = (1 kg serasah : 50 ml EM4) VII = (2 kg Produk Paten) Fosfor termasuk unsur hara makro yang sangat penting untuk pertumbuhan tanaman. Tanaman menyerap P dari tanah dalam bentuk ion fosfat, terutama H 2 PO 4 - dan HPO 4 2- yang terdapat dalam larutan tanah. Disamping ion tersebut, tanaman dapat menyerap P dalam bentuk asam nukleat, fitin dan fosfohumat. Fosfor yang terkandung dalam pupuk organik berperan bagi tanaman dalam proses respirasi dan fotosintesis, penyusunan asam nukleat, pembentukan bibit tanaman dan penghasil buah. Selain itu, fosfor juga mampu merangsang perkembangan akar sehingga tanaman tahan terhadap kekeringan dan mempercepat masa panen (Elfiati, 2005). 5. Kalium (K 2 O) Kandungan unsur hara makro K 2 O pada setiap perlakuan berkisar 0,61% - 1,88%. Kandungan K 2 O pada perlakuan commit to I user sampai VI di atas batas min SNI 19-
digilib.uns.ac.id 34 7030-2004 yaitu 0,20%. Sedangkan kandungan K 2 O pada produk paten yaitu 0,9%. Kandungan K 2 O pada perlakuan I kurang dari kandungan K 2 O produk paten. Kandungan K 2 O terbaik pada perlakuan II yaitu 1,88 % (Tabel 10). Tabel 10. Perbandingan K 2 O dengan SNI 19-7030-2004 Perlakuan K 2 O (%) Hasil Min Keterangan I 0,61 0,2 Di atas batas min II 1,88 0,2 Di atas batas min III 1,1 0,2 Di atas batas min IV 0,93 0,2 Di atas batas min V 1,49 0,2 Di atas batas min VI 1,12 0,2 Di atas batas min VII 0,90 0,2 Di atas batas min Keterangan : I = (1 kg blotong : 1 kg kotoran sapi) II = (0,5 kg blotong : 0,5 kg serasah : 1 kg kotoran sapi) III = (1 kg serasah : 1 kg kotoran sapi) IV = (1 kg blotong : 50 ml EM4) V = (0,5 kg blotong : 0,5 kg serasah : 50 ml EM4) VI = (1 kg serasah : 50 ml EM4) VII = (2 kg Produk Paten) Kalium adalah unsur hara makro yang banyak dibutuhkan oleh tanaman, dan diserap tanaman dalam bentuk ion K +. Kalium tergolong unsur yang mobile dalam tanaman baik dalam sel, jaringan maupun xylem dan floem. Kalium banyak terdapat dalam sitoplasma. Peran kalium dalam mengatur turgor sel berkaitan dengan konsentrasi kalium dalam vakuola. Kalium dalam sitoplasma dan kloroplas diperlukan untuk menetralkan larutan sehingga mempunyai ph 7-8 (Rahman, 2008).
digilib.uns.ac.id 35 Sumber utama kalium di dalam tanah berasal dari pelapukan mineralmineral. Didalam tubuh tanaman kalium bukanlah sebagai penyususn jaringan tanaman, tetapi lebih banyak berperan dalam proses metabolisme tanaman seperti mengaktifkan kerja enzim, membuka dan menutup stomata, transportasi hasilhasil fotosintesis (karbohidrat), meningkatkan daya tahan tanaman terhadap kekeringan dan penyakit tanaman. Kalium yang ada di dalam tubuh tanaman ialah sebagai garam anorganik. Kalium mempunyai peranan sebagai katalisator yaitu sebagai penyusun dan pembongkar karbohidrat, terutama di dalam pengubahan protein dan asam-asam amino. Bila tanaman kekurangan kalium maka terjadi akumulasi karbohidrat, menurunnya kadar pati dan akumulasi senyawa nitrogen sehingga tanaman mudah roboh. Turgor tanaman berkurang sel menjadi lemah, daun tanaman menjadi kering, ujung daun berwarna coklat (nekrosis) (Triwahyudi, 2012). 6. Rasio C/N Rasio C/N pada kompos yang dihasilkan berkisar 7,09-15,02. Standar rasio C/N yang di tetapkan SNI 19-7030-2004 adalah 10-20, namun yang memenuhi standar dalam penelitian ini hanya pada perlakuan II, V dan VI. Berdasarkan rasio C/N tersebut maka perlakuan II, V dan VI yang sudah memenuhi SNI 19-7030-2004 (Tabel 11).
digilib.uns.ac.id 36 Tabel 11. Perbandingan C/N Rasio dengan SNI 19-7030-2004 Perlakuan Rasio C/N Hasil Min Max Keterangan I 7,09 10 20 Di bawah batas min II 10,18 10 20 Masuk batas min-max III 7,86 10 20 Di bawah batas min IV 8,28 10 20 Di bawah batas min V 10,07 10 20 Masuk batas min-max VI 15,02 10 20 Masuk batas min-max VII 15,00 10 20 Masuk batas min-max Keterangan : I = (1 kg blotong : 1 kg kotoran sapi) II = (0,5 kg blotong : 0,5 kg serasah : 1 kg kotoran sapi) III = (1 kg serasah : 1 kg kotoran sapi) IV = (1 kg blotong : 50 ml EM4) V = (0,5 kg blotong : 0,5 kg serasah : 50 ml EM4) VI = (1 kg serasah : 50 ml EM4) VII = (2 kg Produk Paten) Selama proses pengomposan terjadi pelapukan bahan organik, CO 2 banyak di bebaskan, sedangkan N tidak, sehingga rasio C/N menjadi turun. Proses ini berlangsung terus sehingga terbentuk humus. Proses penguraian bahan organik sehingga terbentuk humus disebut humifikasi. Penurunan nilai rasio C/N pada masing-masing kompos ini disebabkan karena terjadinya penurunan jumlah karbon yang dipakai sebagai sumber energi mikroba untuk menguraikan atau mendekomposisi material organik. Rasio C/N yang terkandung di dalam kompos menggambarkan tingkat kematangan dari kompos tersebut, semakin tinggi rasio C/N berarti kompos belum terurai dengan sempurna atau dengan kata lain belum matang. Sebaliknya, jika rasio C/N rendah maka kompos terlalu matang (Surtinah, 2013).
digilib.uns.ac.id 37 7. Kadar Air Kadar air perlakuan I sampai VI berkisar 23,23% - 27,39%. Batas max kadar air adalah 50%. Kadar air tertinggi pada perlakuan IV, sedangkan kadar air terendah pada perlakuan VI. Kadar air dari semua perlakuan sudah memenuhi SNI 19-7030-2004 (di bawah batas max) (Tabel 12). Tabel 12. Perbandingan Kadar Air dengan SNI 19-7030-2004 Perlakuan Kadar Air (%) Keterangan Hasil Max I 26,22 50 Di bawah batas max II 24,44 50 Di bawah batas max III 23,95 50 Di bawah batas max IV 27,39 50 Di bawah batas max V 25,95 50 Di bawah batas max VI 23,23 50 Di bawah batas max Keterangan : I = (1 kg blotong : 1 kg kotoran sapi) II = (0,5 kg blotong : 0,5 kg serasah : 1 kg kotoran sapi) III = (1 kg serasah : 1 kg kotoran sapi) IV = (1 kg blotong : 50 ml EM4) V = (0,5 kg blotong : 0,5 kg serasah : 50 ml EM4) VI = (1 kg serasah : 50 ml EM4) Menurut Widarti et al., (2015), Kelembaban memegang peranan yang sangat penting dalam proses metabolisme mikroba dan secara tidak langsung berpengaruh pada suplai oksigen. jika kelembaban terlalu rendah, efisiensi degradasi akan menurun karena kurangnya air untuk melarutkan bahan organik yang akan didegradasi oleh mikroorganisma sebagai sumber energinya.
digilib.uns.ac.id 38 C. Parameter Lingkungan 1. Suhu Pengomposan Pada awal pengomposan (hari ke-7) suhu kompos mencapai 27 C. Pada hari ke-14 sampai hari ke-21 suhu pengomposan berkisar 29-30 C. Pada hari ke- 28 sampai hari ke-42 adalah tahap pendinginan dan pematangan kompos. Suhu yang dicapai pada tahap ini yaitu 27 C dan tetap stabil pada suhu tersebut (Gambar 2). Berdasarkan anava (Lampiran 1) tidak ada beda nyata suhu antar perlakuan. Perubahan suhu setiap minggunya dikarenakan adanya aktivitas mikroorganisme yang menghasilkan panas untuk melakukan metabolisme. Suhu ( C) 30,5 30 29,5 29 28,5 28 27,5 27 26,5 26 25,5 0 7 14 21 28 35 42 Waktu (Hari) Gambar 2. Suhu selama proses pengomposan serasah dan blotong perbandingan I (1 kg blotong : 1 kg kotoran sapi) II (0,5 kg blotong : 0,5 kg serasah : 1 kg kotoran sapi) III (1 kg serasah : 1 kg kotoran sapi) IV (1 kg blotong : 50 ml EM4) V (0,5 kg blotong : 0,5 kg serasah : 50 ml EM4) VI (1 kg serasah : 50 ml EM4). Menurut Mirwan (2012), suhu dalam proses pengomposan sebaiknya mencapai 60-70 C selama 24 jam commit agar bibit to user gulma maupun bakteri patogen dalam I II III IV V VI
digilib.uns.ac.id 39 bahan kompos mati. Menurut Widawati (2005), mikroba yang bekerja pada suhu 10-45 C yaitu mikroba mesofilik. Mikroba ini bertugas memperkecil ukuran partikel bahan organik sehingga luas permukaan bahan menjadi kecil dan mempercepat proses pengomposan. Suhu puncak dalam pengomposan yaitu 45-60 C dengan mikroba termofilik yang berkembang pesat dalam tumpukan bahan kompos. Mikroba ini bertugas mengkonsumsi karbohidrat dan protein sehingga bahan baku kompos dapat terdegradasi dengan cepat dan suhu dapat mencapai puncak. 2. Kelembaban Kompos Kelembaban pupuk kompos yang dihasilkan mengalami penurunan pada setiap minggunya yaitu mulai dari minggu pertama (hari ke-7) kelembaban mencapai 60-80% dan mulai turun pada setiap minggunya sehingga mencapai stabil pada kelembaban 40% yaitu pada hari ke-28 sampai hari ke-42 (Gambar 3). Berdasarkan anava (Lampiran 2) tidak ada beda nyata kelembaban antar perlakuan.
digilib.uns.ac.id 40 90 Kelembaban (%) 80 70 60 50 40 I II III IV V VI 30 0 7 14 21 28 35 42 Waktu (Hari) Gambar 3. Kelembaban selama proses pengomposan serasah dan blotong perbandingan I (1 kg blotong : 1 kg kotoran sapi) II (0,5 kg blotong : 0,5 kg serasah : 1 kg kotoran sapi) III (1 kg serasah : 1 kg kotoran sapi) IV (1 kg blotong : 50 ml EM4) V (0,5 kg blotong : 0,5 kg serasah : 50 ml EM4) VI (1 kg serasah : 50 ml EM4). Menurut Isroi (2008), pembalikan kompos bertujuan untuk membuang panas yang berlebihan dan memasukkan udara segar ke dalam tumpukan bahan. Pembalikan kompos juga dapat meratakan proses pelapukan di setiap bagian tumpukan dan meratakan pemberian air, serta membantu penghancuran bahan menjadi partikel kecil-kecil. Menurut Widarti et al., (2015), penurunan kelembaban disebabkan karena aktivitas mikroorganisme yang menggunakan air untuk proses kelangsungan hidupnya guna melakukan proses dekomposisi. Kelembaban 40 60% adalah kisaran optimum untuk metabolisme mikroba. Apabila kelembaban di bawah 40%, aktivitas mikroba akan mengalami penurunan dan akan lebih rendah lagi pada kelembaban 15%. Apabila kelembaban lebih dari 60% hara akan tercuci akibatnya aktivitas mikroorganisme akan menurun dan akan terjadi fermentasi anaerobik yang menimbulkan bau tidak sedap.
digilib.uns.ac.id 41 3. ph Kompos Tingkat keasaman pada proses pengomposan merupakan faktor penting karena perubahan ph ini menunjukkan adanya aktivitas mikroorganisme dalam mendegradasi bahan organik. Pada awal pengomposan nilai ph 7, pada hari ke-7 ph masing-masing perlakuan mengalami kenaikan. ph pupuk kompos mengalami penurunan setelah hari ke-14 hingga akhir pengomposan yaitu pada rata-rata ph netral (Gambar 4). Berdasarkan anava (Lampiran 3) tidak ada beda nyata ph antar perlakuan. ph 7,7 7,6 7,5 7,4 7,3 7,2 7,1 7 6,9 6,8 0 7 14 21 28 35 42 Waktu (Hari) Gambar 4. ph selama proses pengomposan serasah dan blotong perbandingan I (1 kg blotong : 1 kg kotoran sapi) II (0,5 kg blotong : 0,5 kg serasah : 1 kg kotoran sapi) III (1 kg serasah : 1 kg kotoran sapi) IV (1 kg blotong : 50 ml EM4) V (0,5 kg blotong : 0,5 kg serasah : 50 ml EM4) VI (1 kg serasah : 50 ml EM4). Menurut penelitian Maradhy (2009), ph optimum untuk proses pengomposan berkisar antara 6,5 sampai 7,5. Selama tahap awal proses dekomposisi, akan terbentuk asam asam organik. Kondisi asam akan mendorong I II III IV V VI
digilib.uns.ac.id 42 pertumbuhan jamur dan akan mendekomposisi lignin dan selulosa yang terkandung di dalam serasah yang akan menjadi pupuk kompos. 4. Warna Pupuk Kompos Warna kompos untuk semua perlakuan di awal dekomposisi rata-rata menunjukkan perubahan dari warna coklat menjadi coklat kehitaman. Perlakuan I, II, IV dan V mengalami perubahan warna yang lebih hitam dibandingkan dengan perlakuan III dan VI yang mengalami perubahan warna kecoklatan dan bahan pembentuknya masih sedikit kelihatan. Perlakuan I, II, IV dan V menunjukkan ciri fisik kompos yang baik, dimana warna nya coklat kehitaman, agak lembab dan bahan pembentuknya sudah tidak tampak (Gambar 5). perlakuan I perlakuan II perlakuan III perlakuan IV perlakuan V perlakuan VI Gambar 5. Penampakan warna pada pupuk kompos serasah dan blotong perbandingan I (1 kg blotong : 1 kg kotoran sapi) II (0,5 kg blotong : 0,5 kg serasah : 1 kg kotoran sapi) III (1 kg serasah : 1 kg kotoran sapi) IV (1 kg blotong : 50 ml EM4) V (0,5 kg blotong : 0,5 kg serasah : 50 ml EM4) VI (1 kg serasah : 50 ml EM4).
digilib.uns.ac.id 43 Perubahan warna kompos dari coklat menjadi coklat kehitaman menunjukkan adanya bakteri dan jamur yang melakukan aktivitas dekomposisi, sehingga mampu mengubah warna kompos. Perubahan warna tersebut disebabkan oleh hilangnya nitrogen yang diakibatkan karena proses dekomposisi yang terjadi di dalam pengomposan. Panas yang dihasilkan mampu memecah ikatan lignin sehingga nitrogen menjadi berkurang sehingga warna berubah menjadi coklat dan pengomposan menuju ke fase pematangan. Selama proses pengomposan akan terjadi penguraian bahan organik oleh aktivitas mikroba, yaitu mikroba akan mengambil air, oksigen dan nutrisi dari bahan organik yang kemudian akan mengalami penguraian dan membebaskan CO 2 dan O 2 Gaur (1986).