187 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Ada peluang yuridis perubahan non-formal konstitusi dalam hal bentuk negara bentuk negara kesatuan Indonesia. Ditemukan 7 peluang yuridis terjadinya perubahan non-formal konstitusi mengenai bentuk negara kesatuan Indonesia, yaitu: a. Inkonsistensi pengaturan bentuk negara dalam sistem konstitusi Indonesia b. Dinamika pengaturan otonomi dan pemerintahan daerah dalam bentuk negara kesatuan pasca amandemen UUD 1945 c. Implikasi kewenangan legislasi eksekutif dan legislatif terhadap bentuk negara d. Implikasi ajudikasi dalam kewenangan judicial review oleh kekuasaan Yudikatif (Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung) e. Implikasi adanya hierarki perundang-undangan di Indonesia f. Konsep desentralisasi asimetris Indonesia pasca amandemen. g. Kemunculan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pasca amandemen, menuju parlemen bikameral. Inkonsistensi pengaturan mengenai bentuk negara kesatuan Indonesia dapat terlihat saat terjadi pertentangan dalam sistem konstitusi, dimana Pasal 1 ayat (1) UUD NRI 1945 membuka awal konstitusi, dengan menjalankan
188 fungsi deklaratorik, kemudian ditutup dengan Pasal 37 ayat (5) UUD NRI 1945 yang menjalankan fungsi regulatory, yang keduanya sama-sama mendeklarasikan dan menjamin akan eksistensi dan konsistensi bentuk negara kesatuan Indonesia, namun pada BAB VI UUD NRI 1945 yang terdiri dari pasal 18, 18A, dan 18B justru seakan kontra produktif dengan semangat negara kesatuan yang tercermin pada pasal 1 dan pasal 37. Pertentangan dalam sistem konstitusi ini menjadi masalah serius dalam sistem hukum yang ada, mengingat dalam konsep supremasi hukum, pada negara hukum modern, konstitusi menempati pucuk daripada hukum itu sendiri, dimana konstitusi adalah supreme law of the land. Permasalahan dapat terjadi dimana produkproduk hukum (undang-undang beserta peraturan dibawahnya) yang lahir daripada sumber hukum tertinggi konstitusi ini adalah produk hukum yang lahir dari suatu sistem konstitusi yang bermasalah. Hal ini tentunya dapat dilihat sebagai awal terciptanya peluang yuridis terjadinya perubahan bentuk negara secara non-formal. Melalui pendekatan konseptual, permasalahan dalam sistem konstitusi ini kemudian membuka ruang perubahan non-formal konstitusi, khususnya metode legislasi saat kemudian pemerintah (eksekutif dan legislatif) menurunkan ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal UUD NRI 1945 ini menjadi suatu peraturan hukum organik. Lebih lanjut, terkait dinamika mengenai pengaturan otonomi dan pemerintahan daerah, dapat ditemukan saat pengaturan mengenai pemerintahanan daerah terus berubah-ubah dan mencari bentuknya. Dinamika ini semakin tercermin ketika disandingkan dengan teori bentuk negara. Saat
189 bentuk negara hanya di dikotomikan kedalam bentuk federal dan kesatuan, dalam hal pelaksanaan otonomi daerah, pengaturan pemerintahan daerah di Indonesia ditemukan mengalami pergeseran beberapa kali, yang mana sempat menarik bandul ke arah kutub federal dan juga sempat menarik bandul ke arah kesatuan. Terkait kewenangan legislasi oleh eksekutif dan legislatif dalam hubungan dengan bentuk negara dapat dilihat sebagai suatu peluang yuridis, yaitu saat terjadi interplay antara lembaga legislasi. Dalam hal ini, interplay yang terjadi antara eksekutif dan legislatif dalam rangkaian proses legislasi dapat mengubah konstitusi secara non-formal melalui interpretasi konstitusi pada saat eksekutif bersama legislatif mengajukan dan membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) untuk mendapatkan persetujuan bersama, sampai pada pengesahan RUU menjadi UU oleh eksekutif, khususnya dalam kaitan UU yang berhubungan langsung dengan bentuk negara, seperti perundangundangan mengenai Pemerintahan Daerah, Perundang-undangan mengenai Otonomi Khusus, Perundang-undangan mengenai Perimbangan Keuangan, maupun berbagai peraturan daerah mengenai kewenangan daerah dalam menjalankan otonomi daerah sebagai delegasi dari undang-undang pemerintahan daerah, dan lain sebagainya. Dalam hal ini berbagai produk hukum yang lahir dari kewenangan legislasi ini jelas berkaitan langsung dengan bentuk negara, karena merupakan konsekuensi hukum dari pilihan terhadap bentuk negara, dalam hal ini Indonesia sebagai negara kesatuan.
190 Selanjutnya, peluang yuridis dalam ajudikasi sebagai konsekuensi kewenangan judicial review oleh kekuasaan yudikatif melalui Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung terjadi saat berbagai pengaturan dalam seluruh undang-undang yang menjalankan amanat konstitusi guna pengaturan lebih lanjut mengenai pemerintahan daerah, kemudian dapat saja mengalami judicial review, dimana didalamnya terbuka peluang terjadinya ajudikasi sehingga menyebabkan perubahan non-formal bentuk negara kesatuan. Peluang yuridis ini menjadi menguat ketika Bab VI UUD NRI 1945 tentang Pemerintahan Daerah memang memberikan delegasi pengaturan lebih lanjut mengenai pemerintah daerah kepada peraturan perundang-undangan. Pendelegasian ini terlihat jelas dalam Pasal 18 ayat (1), Pasal 18 ayat (5), Pasal 18 ayat (6), Pasal 18 ayat (7), Pasal 18A ayat (2), Pasal 18B ayat (1), dan Pasal 18B ayat (2) Bab VI tentang Pemerintahan Daerah UUD NRI 1945. Penerapan hierarki hukum di Indonesia diklasifikasikan sebagai suatu peluang yuridis perubahan non-formal konstitusi mengenai bentuk negara kesatuan saat penerapan hierarki hukum di Indonesia yang bertingkat-tingkat (stufentheorie) justru membuka ruang yuridis perubahan non-formal konstitusi melalui metode legislasi saat terjadi pembentukan peraturanperaturan hukum dibawah konstitusi diberbagai tingkatan sesuai dengan hierarki yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Saat lahir berbagai macam produk hukum (konsekuensi hierarki hukum) hasil turunan dari konstitusi mengenai pemerintahan daerah misalkan, yang dalam proses legislasinya
191 justru sudah tidak sesuai dengan ciri bentuk negara kesatuan, maka secara tak langsung dapat terjadi perubahan bentuk negara secara non-formal, dimana penerapan hierarki hukum di Indonesia menjadi suatu peluang yuridis pelaksanaan perubahan-perubahan non-formal tersebut. Sinkronisasi vertikal tentulah bukanlah pekerjaan yang mudah. Seluruh peraturan dibawah undangundang dituntut untuk sesuai dengan konstitusi sebagai supreme law of the land. Konsekuensi daripada penerapan hierarki hukum inilah yang kembali membuka ruang besar terjadinya perubahan non-formal konstitusi saat terjadi pembuatan undang-undang atau peraturan dibawah undang-undang. Konsepsi desentralisasi asimetris di Indonesia sebagai salah satu peluang yuridis, saat terjadi penerapan atau diakuinya suatu daerah dengan otonomi khusus sehingga berimplikasi secara nasional sebagai suatu desentralisasi yang tidak simetris (asimetris), yang akhirnya dapat menstimulasi atau menjadi faktor penyebab munculnya keinginan untuk merubah negara secara non-formal. Dalam kerangka negara kesatuan yang mengenal desentralisasi, suatu previlege dengan alasan apapun itu (pertimbangan politik, ekonomi, dan lain sebagainya) tidak dapat menjadi alasan pembenaran adanya suatu bentuk desentralisasi yang tidak sama (asimetris). Keberadaan jaminan konstitusional dalam Pasal 18B ayat (1) UUD NRI 1945 yang memang terkesan asimetris, perlu diberikan parameter jelas. Ditemukan dalam Otonomi khusus (Aceh) sebagai konsekuensi desentralisasi asimetris, suatu pengaturan (Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh) yang bermuatan konstitusi, yang
192 cenderung sudah overlapping dengan konstitusi UUD NRI 1945, dimana seharusnya dalam negara kesatuan yang hanya mengenal satu konstitusi saja. Kelahiran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pada UUD NRI 1945 merupakan suatu peluang yuridis saat semangat positif peningkatan check and balances justru mengarahkan parlemen Indonesia pada parlemen bikameral yang sangat akrab dan identik dengan negara federal. Selain itu ditemukan bahwa fenomena pembatasan kewenangan DPD hari ini adalah bukti bahwa DPD lahir dari kesepakatan dilematis politik hukum konstitusi saat itu (periode amandemen UUD 1945 1999-2002) yang mendesak desentralisasi sebesar-besarnya sebagai konsekuensi kegagalan dan trauma sentralisasi dalam rezim Soeharto, sambil disisi lain secara bersamaan ingin terus mempertahankan semangat negara kesatuan Indonesia. Semangat positif sistem bikameral mengenai peningkatan kualitas check and balances terus dibayang-bayangi dilema terhadap bentuk negara kesatuan Indonesia. Dengan kata lain kelahiran DPD dan wacana menuju parlemen bikameral murni dengan adanya penguatan kewenangan DPD merupakan suatu peluang yuridis perubahan non-formal konstitusi mengenai bentuk negara kesatuan. 2. Faktor yang dapat menyebabkan perubahan non-formal bentuk negara kesatuan Indonesia adalah rigidity (tingkat kekakuan) dari Pasal 37 ayat (5) UUD NRI 1945 dan redaksional Pasal 37 ayat (1) UUD NRI dalam hubungannya dengan objek perubahan Pembukaan UUD.
193 Ditemukan dalam penelitian hukum ini, bahwa Pasal 37 ayat (5) UUD NRI 1945 yang menyatakan khusus tentang bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan memberikan suatu konsekuensi hukum dimana tidak adanya koridor hukum perubahan bentuk negara sehingga berkonsekuensi ditempuhnya jalur diluar hukum, yang dapat dipahami sebagai suatu stimulus (faktor penyebab) terbukanya ruang-ruang yang sifatnya non-formal. Saat ruang-ruang formal tidak dapat membuka diri terhadap berbagai desakan-desakan mengenai bentuk negara, mau tak mau, cepat atau lambat, ruang-ruang non-formal akan terbuka dengan sendirinya. dalam hal ini, penelitian ini menekankan pada konsekuensi yang lahir akibat dimuat dan diberlakukannya pasal 37 ayat (5) sebagai bagian daripada UUD NRI 1945 sehingga dapat dilihat sebagai peluang atau stimulus perubahan non-formal bentuk negara kesatuan Indonesia. Selanjutnya, terkait faktor redaksional Pasal 37 ayat (1) UUD NRI dalam hubungannya dengan objek perubahan Pembukaan UUD, dalam penelitian ini ditemukan bahwa maksud perumusan pasal 37 ayat (1) adalah bahwa perubahan hanya bisa dilakukan atas pasal-pasal. Dalam hal ini, asumsi yang dinyatakan dalam perumusan pasal ini bahwa Pembukaan UUD bukanlah bagian dari pasal-pasal yang dimaksudkan dalam Pasal 37 ayat (1), dan bahwa Pembukan UUD menempati posisi yang amat tinggi dan tidak merupakan objek perubahan sama sekali, sehingga memang tidak dapat diubah. Namun disisi lain, dalam penelitian ini ditemukan juga secara konseptual bahwa sesungguhnya Pembukaan UUD (yang didalamnya
194 mengatur tentang bentuk negara kesatuan) adalah bagian daripada konstitusi sebagai suatu staatsverfassung, sehingga juga seharusnya tidak luput daripada objek perubahan ketika dikaitkan dengan teori hierarki hukum Hans Kelsen maupun Hans Nawiasky. Pertentangan yang tersisa mengenai redaksional Pasal 37 ayat (1), serta hubungan erat objek perubahan konstitusi (Pembukaan UUD) dengan bentuk negara kesatuan ini, kemudian perlu dilihat sebagai suatu faktor yang dapat menyebabkan atau menstimulasi perubahan bentuk negara melalui cara non-formal. Faktor redaksional ini menjadi stimulasi atau trigger perubahan non-formal bentul negara saat, ketika sama halnya dengan pasal 37 ayat (5) yang memberikan pembatasan secara eksplisit terhadap perubahan bentuk negara, sehingga tidak memberikan ruang formal (jalur hukum) bagi suatu perubahan bentuk negara, dan justru malah membuka banyak ruang non-formal, demikian pula pasal 37 ayat 1 yang menutup ruang pada perubahan Pembukaan UUD justru sudah menjadi faktor penyebab dilakukannya perubahan dengan cara non-formal. B. Saran 1. Dengan skenario apapun, baik mempertahankan NKRI ataupun perwujudan demokrasi dalam rangka mencari the living constitution, MPR harus segera mengamandemen UUD NRI 1945, khususnya redaksional Pasal 37 ayat (5) terkait penutupan ruang perubahan bentuk negara kesatuan. Agenda amandemen harus mengarahkan ruang perubahan bentuk negara tetap terbuka, sehingga terfasilitasi secara
195 hukum. Biarkan masyarakat melalui representasinya di MPR (DPR dan DPD), menentukan bentuk negara sesuai dinamika dalam masyarakat. 2. Dengan skenario negara hukum, hingga berkonsekuensi dari supremasi hukum dan kepastian hukum, maka MPR harus segera mengamandemen norma-norma yang kontradiktif dalam sistem UUD NRI 1945 yang justru memberikan multi tafsir terhadap wajah dari bentuk negara yang dianut Indonesia, seperti pada Pasal 1 ayat (1), Pasal 25, Pasal 37 ayat (5) dengan semangat negara kesatuan, yang kontradiktif dengan Pasal 18 yang sangat berwatakkan federalistik. Dalam politik hukum konstitusi kedepan MPR harus siap tidak moderat supaya tidak terjadi kontradiktif dalam sistem konstitusi, demi kepastian dan supremasi hukum sebagai suatu negara hukum. 3. Perubahan non-formal hampir merupakan keniscayaan, namun bisa diminimalisir. Cabang kekuasaan legislatif bersama eksekutif harus menjalankan peran legislasi dengan profesional, taat hukum (konstitusi), dan konsisten sehingga tercipta produk hukum (perundang-undangan organik khususnya) yang konstitusional dan tidak multitafsir. 4. Cabang kekuasaan Yudikatif dalam hal ini Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung harus memiliki parameter baku dan detail, tidak menggunakan standar ganda, dan parameter jelas dalam menafsirkan konstitusi (constitutional review) atau pengujian peraturan perundangundangan (judicial review) agar tercipta preseden-preseden yang konsisten dan sungguh-sungguh konstitusional.
196 5. Diinisiasi oleh pemerintah Pusat, lalu kemudian diikuti Pemerintah Daerah, harus segera diadakan suatu perbaikan sistem hierarki hukum nasional di Indonesia, dengan melakukan harmonisasi hukum, dilanjutkan dengan penyederhanaan tahapan-tahapan birokrasi hukum yang ada. Otomatis hal ini juga menuntut profesionalitas, produktivitas, komitmen dan ketekunan dari akademisi dan politisi sebagai mitra kerja dalam legal drafting, sehingga tercipta peraturan-peraturan yang harmonis, visioner, tidak overlapping. 6. Dalam konteks hukum positif yang berlaku sekarang, seluruh anggota DPR dan DPD yang kemudian menjelma dalam MPR sebagai lembaga representasi kedaulatan rakyat, yang berwenang menjalankan politik hukum konstitusi, harus mengubah logika dan paradigma dalam mempertahankan negara kesatuan Republik Indonesia. Setiap konsep, termasuk konsep negara kesatuan Indonesia harusnya bukanlah suatu konsep yang takut diuji dan di challenge oleh arus perkembangan masyarakat maupun global. Paradigma defensive hanya justru akan lebih membuka dan menstimulasi ruang perubahan non-formal terhadap bentuk negara kesatuan yang malah akan menjadi parasit dan bom waktu bagi ketatanegaraan negara Indonesia.