BAB I PENDAHULUAN. Pergerakan reformasi yang digalakkan oleh mahasiswa dan masyarakat

Transkripsi

1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pergerakan reformasi yang digalakkan oleh mahasiswa dan masyarakat secara bersama-sama pada tahun 1998 membawa perubahan yang sangat luar biasa dalam kehidupan berbangsa dan benegara di Indonesia. Perubahan itu juga berimplikasi pada perubahan sistem ketatanegaraan Indonesia, melalui perubahan struktur kelembagaan yang ada dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Perubahan struktur dalam sistem ketatanegaraan Indonesia menjadi bagian penting dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan di Indonesia. Perubahan struktur ketatanegaraan Indonesia itu tercermin dalam perubahan (amandemen ) Undang-Undang Dasar Tahun Salah satu perubahan mendasar dalam struktur ketatanegaraan Indonesia setelah amandemen adalah hilangnya hierarkhi kelembagaan negara. Pada masa Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen struktur hierarkhi kelembagaan negara terdiri atas lembaga tertinggi negara yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai pelaksana kedaulatan rakyat berdasarkan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dan lembaga tinggi negara lainnya yaitu Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Mahkamah Agung (MA), Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai lembaga tinggi negara. Struktur kelembagaan negara setelah perubahan (amandemen) Undang-Undang Dasar

2 2 Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI1945) terjadi perubahan yang cukup signifikan, yaitu dengan ditiadakannya lagi hierarkhi kelembagaan negara. Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR) tidak lagi menjadi lembaga pelaksana kedaulatan rakyat yang menempatkan Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara, tetapi menjadi sederajat dengan lembaga-lembaga negara lainnya. Hal ini disebabkan oleh karena pelaksanaan kedaulatan rakyat berdasarkan Pasal 1 ayat (2) UUDNRI1945 (amandemen) tidak lagi menjadi tugas dan tanggung jawab Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR), tetapi pelaksanaan kedaulatan rakyat itu pelaksanaanya dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Dasar itu sendiri. Untuk itu, dalam struktur kelembagaan negara Republik Indonesia tidak dikenal lagi lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara yang dibedakan secara vertikal-struktural, tetapi lembaga negara dibedakan secara horisontal-fungsional. 1 Dampak dari perubahan dalam struktur sistem ketatanegaraan Negara Republik Indonesia yang tidak lagi mengenal hierarkhi lembaga negara, menimbulkan konsekwensi perubahan pola kekuasaan dalam negara Republik Indonesia. Pada waktu berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum amandemen) menggunakan asas pembagian kekuasaan (distribution of power) melalui Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi 1 Moh.Mahfud. MD, 2011, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, hlm 53.

3 3 negara selaku pemegang kedaulatan rakyat. Sebaliknya berdasarkan UUDNRI1945 (amandemen) menggunakan pola pemisahan kekuasaan (separation of power) dan menerapkan check and balances antar lembaga negara. 2 Dengan tidak ada lagi lembaga negara yang secara vertikal-struktural mengawasi pelaksanaan kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia sebagai konsekwensi penerapan asas pemisahan kekuasaan (separation of power). Pelaksanaan kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan hanya dibatasi dan diatur sesuai dengan hukum khususnya peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai salah satu bentuk hukum tertulis. Hal ini sesuai dengan penerapan konsep negara hukum sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 1 ayat (2) UUDNRI1945 (amandemen) Indonesia adalah Negara Hukum. Konsep negara hukum yang dikemukakan oleh Julius Stahl dalam bukunya Miriam Budiardjo yang mengungkapkan unsur-unsur negara hukum yaitu : 1. Hak-hak asasi manusia; 2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu (di negara-negara Eropa Kontinental biasanya disebut trias politica); 3. Pemerintah berdasarkan peraturan-peraturan (wetmatigheid van bestuur); 4. Peradilan administrasi dalam perselisihan. 3 2 Pane Thorkis, Kemungkinan Peraturan Perundang-undangan Di Bawah Undang-Undang Sebagai Obyek Pengujian Mahkamah Konstitusi, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Tahun ke- 41, No.3, 2011 FHUI, Jakarta hlm Miriam Budiardjo, 1998, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 57.

4 4 Dengan demikian, maka peraturan perundang-undangan menjadi sesuatu hal yang sangat penting dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia sebagai sebuah Negara Hukum. Bahkan untuk menjamin agar setiap peraturan perundang-undangan yang dibuat dapat selaras dan sejalan dengan Undang-Undang Dasar. Dalam perubahan UUDNRI1945 (amandemen) yang dilakukan secara bertahap yaitu dari Tahun 1999 sampai dengan 2002, menambah tugas dan kewenangan baru yang diatur secara konstitusional yaitu berkaitan dengan tugas dan kewenangan untuk melaksanakan pengujian peraturan perundang-undangan. Kewenangan untuk melakukan pengujian peraturan perundang-undangan bertujuan untuk menjaga dan memastikan pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan yang dilaksanakan berdasar pada peraturan perundang-undangan sebagai dasar dalam melaksanakan aktivitas pemerintahan untuk selalu selaras dan sejalan dengan UUDNRI1945 (amandemen). Oleh karena itu, maka dalam UUDNRI1945 (amandemen), kewenangan dan tugas untuk melakukan pengujian peraturan perundangundangan dibebankan pada 2 (dua) lembaga negara. Dua Lembaga Negara itu yaitu Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang memiiki tugas dan kewenangan untuk melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang- Undang Dasar, 4 dan Mahkamah Agung untuk melakukan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang. 5 4 Pasal 24 C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

5 5 Dengan demikian maka pengujian peraturan perundang-undangan menjadi tugas dan tanggungjawab konstitusional yang wajib dilakukan berdasarkan Undang-Undang Dasar. Untuk memastikan setiap peraturan perundangundangan yang dibentuk dalam Negara Republik Indonesia selaras dan sejalan dengan Undang-Undang Dasar sebagai dasar pelaksanaan kedaulatan rakyat (Pasal 1 ayat (2) UUDNRI 1945). Peraturan Desa sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Badan Pemusyawaratan Desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya, 6 merupakan sarana sekaligus sebagai dasar bagi penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Pemerintahan Desa sebagai entitas pemerintahan yang paling bawah dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, berdasarkan Pasal 206 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memliki kewenangan mencakup : a) urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa; b) urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa; c) tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota; d) urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundangperundangan diserahkan kepada desa. Dalam rangka melaksanakan kewenangan dari Pemerintahan Desa itu, maka Pemerintah Desa sebagai penyelenggara Pemerintahan Desa bersama dengan Badan Pemusyawaratan Desa dapat membentuk Peraturan Desa 6 Pasal 7 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

6 6 sebagai dasar normatif dalam penyelenggaraan urusan desa. Peraturan Desa selain berfungsi sebagai dasar normatif dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa, juga berfungsi untuk menampung aspirasi dan kondisi masyarakat. Tetapi Peraturan Desa yang dibentuk, berdasarkan Pasal 55 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa ditegaskan bahwa materi muatan Peraturan Desa dilarang bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. Oleh karena itu, dalam pembentukan Peraturan Desa, materi muatan yang akan diatur dalam Peraturan Desa harus selaras dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang memiliki kedudukan hierarkhi yang lebih tinggi. Kedududukan hierarkhi Peraturan Desa Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yaitu : (1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut : a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang; c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah. (2) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi : a. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur; b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota;

7 7 c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya. Berdasarkan ketentuan itu, maka kedudukan Peraturan Desa dalam hierarkhi peraturan perundang-undangan dapat dianggap menjadi bagian dari Peraturan Daerah. Untuk itu, materi muatan yang hendak diatur dalam Peraturan Desa tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangundangan diatasnya, yaitu dengan Undang-Undang Dasar 1945, Undang- Undang, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Presiden. Pembentuk Peraturan Desa yaitu Pemerintah Desa (Kepala Desa dan perangkat desa) dan Badan Permusyawaratan Desa perlu memahami dan mengerti semua peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang memiliki keterkaitan dengan materi muatan yang akan diatur dalam Peraturan Desa tersebut. Sebagai langkah untuk menghindari terjadinya ketidakharmonisan dan pertentangan antara Peraturan Desa dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Akan tetapi, permasalahannya kapasitas dan kemampuan berdasarkan tingkat pendidikan Pemerintah Desa (kepala Desa dan perangkat desa) dan Badan Permusyawaratan Desa masih sangat rendah. Hal ini dapat diketahui dari rendahnya syarat pendidikan yang dipersyaratkan untuk menjadi perangkat desa. Syarat pendidikan yang paling tinggi adalah untuk menjadi Sekretaris Desa yaitu paling rendah berpendidikan setingkat SMU/SMA berdasarkan Pasal 25 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Sementara untuk Kepala Desa hanya dipersyaratkan

8 8 paling rendah berpendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama berdasarkan Pasal 44 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Bahkan untuk menjadi anggota Badan Permusyawaratan Desa tidak ada persyaratan tingkat pendidikan. Oleh karena itu, sangat mungkin Peraturan Desa yang dibuat oleh Pemerintah Desa (Kepala Desa dan Perangkat Desa) dan Badan Pemusyawaratan Desa tidak harmonis, tidak sesuai, atau bahkan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Contohnya Peraturan Desa Trimulyo, Kecamatan Jetis Kabupaten Bantul Yogyakarta tentang pemungutan biaya sertifikat tanah, yang sedang ditangani Kejaksaan Negeri Bantul berkaitan dengan kasus pemungutan biaya sertifikat tanah di Desa Trimulyo, Kecamatan Jetis Kabupaten Bantul Yogyakarta, dan beberapa desa lainnya yang sangat membebani masyarakat. 7 Walaupun saat ini di Indonesia memiliki lebih dari Desa yang tersebar di seluruh daerah Kabupaten/Kota di Indonesia. 8 Dari jumlah Desa itu berapa banyak Peraturan Desa yang dapat dilahirkan. Oleh karena itu proses pengujian Peraturan Desa menjadi suatu hal yang sangat penting dilakukan, untuk mengharmoniskan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum. Untuk menjamin dan memastikan pembentukan Peraturan Desa tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan kepentingan umum. 7 KoranHarian Tribun Jogja, tanggal 14 Juni 2013 hlm 1. 8 Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 18 Tahun 2013 tentang Kode dan Data Administrasi Pemerintahan.

9 9 Dalam rangka untuk melaksanakan pengujian terhadap Peraturan Desa muncul permasalahan, yaitu berkaitan dengan kedudukan Peraturan Desa dalam hierarkhi perturan perundang-undangan di Indonesia Pasca diberlakukannya Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tidak mengatur lagi secara tegas kedudukan Peraturan Desa dalam hierarkhi peraturan perundang-undangan. Hal ini dapat diketahui dalam pengaturan hierarkhi peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yaitu : 1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun ) Ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat. 3) Undang-Undang. 4) Peraturan Pemerintah. 5) Peraturan Presiden. 6) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Dengan dihilangkannya Peraturan Desa dalam hierarkhi peraturan perundang-undangan, maka hal ini akan menimbukan kesulitan dan permasalahan dalam menentukan kedudukan hierarkhi Peraturan Desa dalam hierarkhi peraturan perundang-undangan di Indonesia. Oleh karena sebenarnya hierarkhi peraturan perundang-undangan merupakan dasar dalam menentukan sistem pengujian peraturan perundang-undangan termasuk Peraturan Desa.

10 10 Melalui hierarkhi peraturan perundang-undangan dapat menjadi dasar dalam menentukan lembaga yang berwenang melakukan pengujian, dan dasar dalam menentukan jenis peraturan perundang-undangan sebagai batu uji yang dapat dijadikan bahan untuk melakukan pengujian terhadap Peraturan perundangundangan itu. Didasarkan pada permasalahan itu, maka melalui penelitian ini diharapkan dapat menjawab permasalahan berkaitan dengan kedudukan dan sistem pengujian Peraturan Desa di Indonesia. B. Perumusan Masalah. a. Bagaimana kedudukan Peraturan Desa dalam hierarkhi peraturan perundang-undangan di Indonesia? b. Bagaimana sistem pengujian Peraturan Desa dalam sistem hukum perundang-undangan di Indonesia? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan jawaban dari permasalahan yaitu 1) Untuk dapat mengetahui dimana kedudukan Peraturan Desa dalam hierarkhi peraturan perundang-undangan di Indonesia. 2) Untuk memahami sistem pengujian Peraturan Desa dalam sistem hukum perundang-undangan di Indonesia.

11 11 D. Manfaat Penelitian. Manfaat atau keuntungan yang didapatkan dari suatu penelitian. a. Manfaat teoritis, penelitian ini diharapkan dapat mendeskripsikan kedudukan dan sistem pengujian Peraturan Desa dalam sistem hukum perundang-undangan di Indonesia. b. Manfaat praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat membuka cakrawala pikir dan menjadi bahan sumbangan pemikiran dalam bidang hukum pengujian, khususnya berkaitan dengan hukum pengujian Peraturan Desa. E. Keaslian Penelitian Permasalahan tentang kedudukan dan sistem pengujian Peraturan Desa dalam sistem hukum perundang-undangan di Indonesia belum pernah dilakukan penelitian untuk mendapatkan gelar kesarjanaan oleh peneliti yang lain. Namun terdapat 2 (dua) penelitian yang memiliki kemiripan dengan penelitian ini, yaitu yang diteliti oleh Ibnu Sam Widodo yaitu Tesis dengan Judul Pengujian Materiil Peraturan Desa (Kajian Normatif - Yuridis Terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan) pada tahun Serta penelitian oleh Sugito yaitu Tesis dengan Judul Pembentukan dan Pengawasan Pelaksanaan Peraturan Desa Bendungan Nomor 06 Tahun 2009 tentang Pembentukan Badan Usaha Milik Desa Dalam Era Otonomi Daerah pada Tahun 2011.

12 12 Perbedaan antara kedua penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah pertama berkaitan dengan Undang-Undang yang menjadi pokok atau dasar permasalahan. Dalam Penelitian yang dilakukan oleh Ibnu Sam Widodo dan Sugito menggunakan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagai dasar untuk menentukan pengujian dan pengawasan Peraturan Desa, yang dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang secara tegas telah menentukan hiearkhi Peraturan Desa dalam hierarkhi peraturan perundang-undangan di Indonesia. Akan tetapi, dalam penelitian ini menggunakan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagai pengganti terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang dalam Pasal 7 ayat (1) menghilangkan Peraturan Desa dari hierarkhi peraturan perundang-undangan. Hal ini tentunya akan menimbulkan permasalahan berkaitan dengan kedudukan dan sistem pengujian terhadap Peraturan Desa. Perbedaan lainnya adalah dalam penelitian yang dilakukan oleh Ibnu Sam Widodo hanya menekankan pada pengujiaan materiil (judicial review) yang dilakukan oleh peradilan (mahkamah agung), sedangkan Sugito hanya mengupas mengenai pembentukan dan pengawasan pelaksanaan Peraturan Desa. Sementara dalam penelitian ini selain mengkaji dan meneliti tentang pengujiaan materril yang dilakukan oleh peradilan (mahkamah agung), juga

13 13 mencoba meneliti alternatif sistem pengujian lainnya yang dapat dilakukan oleh lembaga/institusi lainnya yaitu melalui pengujian politik (legislatif review) atau pengujian administrasi/eksekutif (administratiev /eksekutif review).