BAB II KEDUDUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KEDUDUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA"

Transkripsi

1 BAB II KEDUDUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA A. Sistem Ketatanegaraan Indonesia 1. Pengertian Menurut W.J.S. Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan sistem adalah (1) sekelompok bagian-bagian yang bekerja bersama-sama untuk melakukan suatu maksud, misalnya: sistem urat syaraf dalam tubuh, sistem pemerintahan; (2) sekelompok pendapat, peristiwa, kepercayaan dan sebagainya yang disusun dan diatur baik-baik, misalnya filsafat; (3) cara (metode) yang teratur untuk melakukan sesuatu, misalnya pengajaran bahasa. 1 Sedangkan ketatanegaraan adalah segala sesuatu mengenai tata negara seperti politik dan sebagainya. Sementara tata negara adalah segala sesuatu mengenai peraturan, susunan, dan bentuk pemerintahan negara. Jadi sistem ketatanegaraan adalah kumpulan komponen-komponen penyelenggara negara yang saling berhubungan, saling mempengaruhi dan saling terkait satu sama lain untuk mengatur atau mengendalikan persoalan bersama Lembaga-Lembaga Negara di Indonesia Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, landasan konstitusional yang dipakai adalah Undang-Undang Dasar (UUD) yang disahkan pada tahun Dikutip dari Sumbodo Tikok, Hukum Tata Negara, (Bandung: PT Eresco. 1988), hlm W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka. 1989), hlm

2 Dalam UUD 1945, terdapat enam badan penyelenggara negara, yaitu: Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Presiden, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Dewan Pertimbangan Agung (DPA), dan Mahkamah Agung (MA). Namun, setelah sekian lama UUD 1945 mengiringi kehidupan bangsa Indonesia, akhirnya Indonesia melalui MPR melakukan perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945 yang kemudian disebut UUD Negara Republik Indonesia (NRI) Tahun Dari amandemen pertama pada tahun 1999 hingga amandemen keempat pada tahun 2002, telah menghasilkan perubahan badan penyelenggara negara menjadi delapan, yaitu: MPR, DPR, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden, BPK, MA, Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY). Sedangkan keberadaan DPA dibubarkan sehingga MPR memerintahkan kepada Presiden dan DPR untuk mencabut UU No. 14 Tahun 1978 jo. UU No. 3 Tahun 1967 tentang DPA melalui Ketetapan MPR No. VI/MPR2002 tentang Rekomendasi atas Laporan Pelaksanaan Putusan MPR-RI oleh Presiden, DPA, DPR, BPK, dan MA pada Sidang Tahunan MPR-RI Tahun UUD 1945 tidak mengatakan secara eksplisit menganut doktrin trias politica, tetapi menganut trias politica dalam arti pembagian kekuasaan. Dengan meminjam teori Prof. Jennings, dapat disebut bahwa pemisahan kekuasaan dalam arti materil dalam arti pembagian itu dipertahankan dengan prinsipil dalam fungsi-fungsi kenegaraan yang secara karakteristik memperlihatkan adanya pemisahan kekuasaan itu kepada tiga bagian tidak dianut oleh UUD UUD 1945 hanya mengenal pemisahan kekuasaan itu tidak dipertahankannya secara prinsipil. Dengan kata lain, UUD 1945 hanya mengenal pembagian kekuasaan (distribution 16

3 of power) bukan pemisahan kekuasaan (separation of power). 3 Namun setelah dilakukan amandemen, maka dapat dikatakan bahwa dalam kaitannya dengan mekanisme hubungan antara lembaga tinggi negara di tingkat pusat, UUD 1945 telah resmi menganut kedua ajaran pemisahan kekuasaan dan ajaran pembagian kekuasaan sekaligus. Hal ini dikarenakan UUD 1945 masih mempertahankan keberadaan MPR sebagai ajaran pembagian kekuasaan. Sedangkan ajaran pemisahan kekuasaan dianut karena ketiga cabang kekuasaan, yaitu: legislatif, eksekutif, dan yudikatif telah dipisahkan secara tegas. 4 Untuk lebih jelasnya, berikut uraian tentang lembaga-lembaga negara tersebut di atas. (1) Majlis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Sebelum amandemen UUD 1945, MPR adalah merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia dan merupakan lembaga tertinggi negara. Namun setelah amandemen, kedudukan MPR menjadi sejajar dengan lembaga negara lainnya. Hal ini dapat dilihat dari bunyi Pasal 10 UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, bahwa: MPR merupakan lembaga permusyawaratan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara. Kewenangan dan kedudukan MPR pun sekarang telah mengalami banyak reduksi. MPR bukan lagi pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat, karena pasca amandemen, kedaulatan menjadi berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD (Pasal 7 ayat (2) UUD 1945) yang berarti tidak ada lagi 3 Ismail Suny, Pembagian Kekuasaan Negara, (Jakarta: Aksara Baru. 1985), hlm Jimly Asshiddiqie, Otonomi Daerah dan Parlemen di Daerah, makalah disampaikan dalam Lokakarya tentang Peraturan Daerah dan Budget Bagi Anggota DPRD se-propinsi (baru) Banten yang diselenggarakan oleh Institute for the Advancement of Strategies and Sciences (IASS), di Anyer, Banten, 2 Oktober

4 lembaga yang memonopoli kekuasaan negara. 5 Adapun dalam hal kewenangannya, pada Pasal 3 ayat (1) disebutkan bahwa: MPR berwenang mengubah dan menetapkan UUD. Dalam ayat (2) disebutkan bahwa: MPR melantik Presiden dan Wakil Presiden. Dan dalam ayat (3) disebutkan bahwa: MPR hanya dapat memberhentikan Presiden dan atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD. (2) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Berdasarkan Pasal 20 UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, DPR memiliki kedudukan yang sejajar dengan lembaga negara lainnya. Pasal tersebut berbunyi: DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara. Adapun kewenangan yang dimiliki DPR, disebutkan dalam Pasal 20 ayat (1) bahwa: DPR memegang kekuasaan membentuk UU. Dalam ayat (2) nya disebutkan bahwa: Setiap rancangan UU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Berdasarkan pasal ini, kekuasaan legislatif dapat dikatakan telah bergeser dari yang sebelumnya kepada Presiden menjadi kepada DPR. DPR pun memiliki fungsi legislasi anggaran dan fungsi pengawasan serta memiliki hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat (Pasal 20A ayat 1 dan 2 UUD 1945). (3) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 mengamanatkan bahwa susunan Negara Republik Indonesia atau negara yang berkedaulatan rakyat yang dalam 5 Fatkhurohman, Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti. 2004), hlm

5 pelaksanaannya menganut prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Untuk mewujudkan hal tersebut, salah satunya perlu dibentuk suatu lembaga perwakilan daerah yang mampu memperjuangkan aspirasi rakyat termasuk kepentingan daerah dalam rangka menegakkan nilai-nilai demokrasi, keadilan, dan kesejahteraan rakyat dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Setelah dilakukan amandemen UUD 1945, dibentuklah DPD. Dalam Pasal 32 UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, disebutkan bahwa: DPD terdiri atas wakil-wakil daerah provinsi yang dipilih melalui pemilu. Dalam Pasal 22C UUD 1945 ayat (2) disebutkan bahwa: Anggota DPD terdiri dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota DPD itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR. Sementara kedudukan DPD disebutkan dalam Pasal 40 UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, bahwa: DPD merupakan lembaga perwakilan daerah yang berkedudukan sebagai lembaga negara. Adapun kewenangannya disebutkan dalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945 bahwa: DPD dapat memajukan kepada DPR rancangan UU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Secara umum DPD mempunyai fungsi pengajuan usul, ikut dalam pembahasan dan memberikan pertimbangan yang berkaitan dengan bidang 19

6 legislasi tertentu dan pengawasan atas pelaksanaan UU tertentu (Pasal 41 UU No. 22 Tahun 2003). (4) Presiden Kekuasaan pemerintahan (eksekutif) di Indonesia menurut UUD 1945 dijalankan oleh Presiden yang dibantu oleh Wakil Presiden. Hal ini seperti disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi: Presiden RI memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD. Dalam ayat (2) nya disebutkan bahwa: Dalam melaksanakan kewajibannya, Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden. Sementara kewenangan Presiden disebutkan dalam Pasal 5 UUD 1945 ayat 1 dan 2, Ayat (1) berbunyi: Presiden berhak mengajukan RUU kepada DPR. Ayat (2) berbunyi: Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan UU sebagaimana mestinya. Rumusan pasal di atas, jelas berbeda dengan rumusan UUD sebelum amandemen. Sebelum amandemen, Presiden diberikan kekuasaan untuk membentuk UU. Namun, pasca amandemen terjadi pemisahan kekuasaan antara cabangcabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Mekanisme hubungan di antara cabang-cabang yang terpisah itu diatur menurut prinsip check and balances sehingga hubungan antar satu lembaga dengan lembaga lain dapat saling mengimbangi dalam kesetaraan dan kesedarajatan. Adapun dalam hal pemilihannya, Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Pasangan calon Presiden dan Wakilnya diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu. (Pasal 6A ayat 1 dan 2 UUD 1945). 20

7 (5) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) BPK merupakan lembaga yang memiliki wewenang untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara (Pasal 23E ayat (1) UUD Anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan diresmikan oleh Presiden (Pasal 23F ayat (1) UUD 1945). (6) Mahkamah Agung (MA) Mahkamah Agung merupakan salah satu lembaga negara di Indonesia yang termasuk dalam kekuasaan kehakiman/kekuasaan peradilan. Walaupun UUD 1945 jelas-jelas tidak menganut teori trias politica, akan tetapi pengaruh teori tersebut terutama dalam bidang kekuasaan kehakiman/peradilan dijumpai dalam UUD Pengaruh tersebut terlihat pada adanya kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka dari campur tangan pemerintah/pemegang kekuasaan eksekutif, 6 seperti tercantum dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dalam ayat (2) nya disebutkan bahwa: Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Adapun kewenangan Mahkamah Agung yaitu mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh UU (Pasal 24A UUD 1945). 6 Ibid., hlm

8 (7) Mahkamah Konstitusi (MK) Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman selain dari Mahkamah Agung seperti tercantum dalam Pasal 24 ayat (2) UUD Mahkamah Konstitusi dibentuk pasca amandemen UUD Keberadaannya telah sejalan dengan perubahan paradigma ketatanegaraan yang terjadi dalam perubahan UUD 1945 yaitu perubahan yang telah menggeser paradigma pembagian kekuasaan ke paradigma pemisahan kekuasaan secara jelas dan tegas. 7 Mengenai kewenangannya, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD; memutus pembubaran parpol; dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu. Mahkamah Konstitusi juga wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan Wakil Presiden menurut UUD 1945 (Pasal 24C ayat 1 dan 2 UUD 1945). (8) Komisi Yudisial (KY) Komisi Yudisial merupakan lembaga yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya (Pasal 2 UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial). Adapun kewenangannya seperti disebutkan dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluruhan martabat, serta perilaku hakim. 7 Sri Soemantri, Tentang Lembaga Negara menurut UUD 1945, (Bandung: PT Citra Aditya Sakti. 1993), hlm

9 Dalam ayat (2) nya disebutkan bahwa: Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela. Serta dalam ayat (3) nya disebutkan bahwa: Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR. B. Hubungan Mahkamah Konstitusi dengan Lembaga Lainnya di Indonesia 1. Hubungan Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung adalah sama-sama sebagai pelaku kekuasaan kehakiman di Indonesia. Hal ini telah ditentukan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kekuasaan kehakiman di Indonesia menganut sistem bifurkasi (bifurcation system) yaitu kekuasaan kehakiman terbagi dalam dua cabang yaitu cabang peradilan biasa (ordinary court) yang berpuncak pada Mahkamah Agung dan cabang peradilan konstitusi yang dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi. 8 Adapun hubungan antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi di antaranya dalam hal pengisian jabatan hakim konstitusi, hal mana Mahkamah 8 Fatkhurohman, op. cit., hlm

10 Agung berhak mengajukan 3 orang hakim konstitusi dari 9 orang hakim konstitusi yang nantinya ditetapkan oleh Presiden. Hal ini tercantum dalam Pasal 24C ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi: Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masingmasing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden. Selain itu, hubungan lembaga ini sudah dimulai sebelum Mahkamah Konstitusi terbentuk. Hal ini berdasarkan Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 yang menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi selambat-lambatnya dibentuk pada tanggal 17 Agustus Sebelum Mahkamah Konstitusi terbentuk, segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung. Adapun mengenai kewenangannya diatur pada Pasal 24 A ayat (1) UUD 1945, yaitu: Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang. Sementara kewenangan Mahkamah Konstitusi diatur pada Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, yaitu: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutuskan pembubaran partai politik, dan memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Dalam rangka menjalankan kewenangannya, dalam hal-hal tertentu, Mahkamah Konstitusi melakukan hubungan dengan Mahkamah Agung di antaranya ketika Mahkamah Konstitusi menangani judicial review, Mahkamah Konstitusi 24

11 harus memberitahukan kepada Mahkamah Agung adanya permohonan pengujian UU dalam jangka waktu paling lambat 7 hari kerja sejak permohonan dicatat dalam buku register perkara konstitusi (Pasal 53 UU No. 24 Tahun 2003). Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU yang sedang dilakukan oleh Mahkamah Agung pun wajib dihentikan apabila UU yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi (Pasal 55 UU No. 24 Tahun 2003). Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian UU terhadap UUD N RI 1945 disampaikan kepada DPR, DPD, Presiden dan Mahkamah Agung (Pasal 59 UU No. 24 Tahun 2003). Berdasarkan rumusan pasal-pasal di atas, terlihat jelas bahwa antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi merupakan dua lembaga negara yang sejajar dan kedua-duanya adalah pelaku kekuasaan kehakiman di Indonesia, namun berbeda dari segi yurisdiksi dan kompetensinya. Dilihat dari kewenangannya Mahkamah Konstitusi terkesan sedikit lebih tinggi dari Mahkamah Agung. Dapat dilihat pula bahwa adanya hubungan tata kerja lembaga negara antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Hal ini sebagai konsekuensi dari dua lembaga negara yang sama-sama berwenang melakukan judicial review terhadap peraturan perundang-undangan. 2. Hubungan Mahkamah Konstitusi dengan MPR MK dan MPR adalah merupakan lembaga negara yang setingkat. Lembaga yang satu tidak subordinat terhadap lembaga negara lainnya. Hal ini seiring dengan pergeseran paradigma ketatanegaraan Indonesia yang diarahkan untuk 25

12 mencegah terjadinya penumpukan kekuasaan di satu lembaga negara, maka kedudukan dan kewenangan MPR telah mengalami banyak reduksi. MPR memiliki kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) sampai dengan (3) UUD Ayat (1) menyatakan bahwa MPR berwenang mengubah dan menetapkan UUD. Ayat (2) menyatakan bahwa MPR melantik Presiden dan Wakil Presiden. Dan ayat (3) menyatakan bahwa MPR hanya dapat memberhentikan Presiden dan atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD. Dalam Pasal 10 UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, dinyatakan bahwa MPR merupakan lembaga permusyawaratan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara. Berdasarkan rumusan pasal di atas, terlihat jelas bahwa MPR dan Mahkamah Konstitusi sama-sama sebagai lembaga negara, maka dalam menjalankan tugas dan fungsinya, kedua lembaga tersebut melakukan hubungan dalam hal-hal tertentu. MPR atas usul DPR dapat memberhentikan Presiden dan atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden (Pasal 7A UUD 1945). Lembaga negara yang memiliki kewajiban untuk memeriksa, mengadili, dan memutus dugaan bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum sebagaimana dimaksud di atas adalah Mahkamah Konstitusi (Pasal 24C ayat (2) UUD 1945). Dalam hal penyelesaian sengketa hasil pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Mahkamah Konstitusi menyampaikan putusan hasil perhitungan suara 26

13 kepada MPR (Pasal 68 ayat (4) UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden). Dalam hal MPR menjadi para pihak dalam peradilan konstitusi, Mahkamah Konstitusi dapat memanggil dan mendengar keterangan MPR dalam persidangan. Hubungan antara Mahkamah Konstitusi dan MPR berdasarkan uraian di atas adalah hubungan tata kerja antar lembaga negara. Hal ini sebagai wujud dari kesetaraan kedudukan antara Mahkamah Konstitusi dan MPR. 3. Hubungan Mahkamah Konstitusi dengan Presiden Dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa Presiden RI memegang kekuasan pemerintahan menurut UUD. Sedangkan Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (2) UUD Ayat (2) pasal tersebut menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Berdasarkan rumusan pasal di atas dapat disimpulkan bahwa Presiden dan Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara yang memiliki kekuasaan yang berbeda namun berkedudukan sejajar. Adapun hubungan antara Mahkamah Konstitusi dan Presiden disebutkan dalam Pasal 24C ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Presiden berhak mengajukan 3 orang Hakim Konstitusi dari 9 orang Hakim Konstitusi dan Presiden berwenang menetapkan 9 orang Hakim Konstitusi tersebut. Presiden dan Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum 27

14 maupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 7A UUD 1945). Lembaga negara yang memiliki kewajiban untuk memeriksa, mengadili, dan memutus dugaan bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum sebagaimana dimaksud di atas adalah Mahkamah Konstitusi (Pasal 24C ayat (2) UUD 1945). MK berwenang melakukan judicial review terhadap UU yang notabene merupakan produk hukum yang dibuat oleh DPR bersama dengan Presiden (Pasal 24C ayat (1) UUD 1945). Mahkamah Konstitusi menyampaikan permohonan yang sudah dicatat dalam buku registrasi perkara konstitusi kepada DPR dan Presiden untuk diketahui, dalam jangka waktu paling lambat 7 hari kerja sejak permohonan dicatat dalam buku registrasi perkara konstitusi (Pasal 52 UU No. 24 Tahun 2003). Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan dan atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada MPR, DPR, DPD, dan atau Presiden (Pasal 54 UU No. 24 Tahun 2003). Mahkamah Konstitusi menyampaikan kepada DPR, DPD, Presiden, dan Mahkamah Agung terhadap putusan mengenai pengujian UU terhadap UUD 1945 (Pasal 59 UU No. 24 Tahun 2003). Dalam hal penyelesaian sengketa hasil pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Mahkamah Konstitusi menyampaikan putusan hasil perhitungan suara kepada MPR (Pasal 68 ayat (4) UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden). Hakim Konstitusi, ketua dan wakil ketua Mahkamah Konstitusi mengucapkan sumpah di hadapan Presiden (Pasal 21 UU No. 24 Tahun 2003). Pemberhentian Hakim Konstitusi ditetapkan dengan Keppres atas permintaan 28

15 Ketua Mahkamah Konstitusi (Pasal 23 ayat (4) UU No. 24 Tahun 2003). Dalam hal Presiden menjadi para pihak dalam peradilan konstitusi, Mahkamah Konstitusi dapat memanggil dan mendengar keterangan Presiden di persidangan. Berdasarkan rumusan pasal-pasal di atas dapat dilihat adanya hubungan tata kerja lembaga negara antara Mahkamah Konstitusi dan presiden dan hubungan protokoler dalam hal Hakim Konstitusi, Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi mengucap sumpah. 4. Hubungan Mahkamah Konstitusi dengan DPR MK dan DPR memiliki kedudukan yang sejajar sebagai lembaga negara. Hal ini seperti disebutkan dalam Pasal 24 UU No. 23 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Pasal tersebut menyatakan bahwa DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara. Dalam Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 disebutkan bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk UU. Berhubung dengan kewenangan DPR tersebut, maka hubungan tata kerja lembaga negara antara Mahkamah Konstitusi dan DPR, di antaranya yaitu bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang melakukan judicial review terhadap UU yang notabene merupakan produk hukum yang dibuat oleh DPR bersama Presiden (Pasal 24C ayat (1) UUD 1945). Mahkamah Konstitusi menyampaikan permohonan yang sudah dicatat dalam buku registrasi perkara konstitusi kepada DPR dan Presiden untuk diketahui, dalam jangka waktu paling lambat 7 hari kerja sejak permohonan dicatat dalam buku registrasi perkara konstitusi (Pasal 52 UU No. 24 Tahun 2003). Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan dan atau risalah rapat yang berkenaan 29

16 dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada MPR, DPR, DPD, dan atau Presiden (Pasal 54 UU No. 24 Tahun 2003). Mahkamah Konstitusi menyampaikan kepada DPR, DPD, Presiden, dan Mahkamah Agung terhadap putusan mengenai pengujian UU terhadap UUD 1945 (Pasal 59 UU No. 24 Tahun 2003). Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan atau Wakil Presiden UUD (Pasal 24C ayat (2) UUD 1945). DPR berhak mengajukan 3 orang Hakim Konstitusi dari 9 orang Hakim Konstitusi (Pasal 24C ayat (3) UUD 1945). Dalam hal DPR menjadi para pihak dalam perkara konstitusi, Mahkamah Konstitusi dapat memanggil dan mendengar keterangan DPR dalam persidangan. 5. Hubungan Mahkamah Konstitusi dengan DPD Dalam Pasal 40 UU No. 23 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD dinyatakan bahwa DPD merupakan lembaga perwakilan daerah yang berkedudukan sebagai lembaga negara. Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi dan DPD sama-sama lembaga negara yang memiliki kedudukan sederajat. Sedangkan hubungan antara Mahkamah Konstitusi dengan DPD dalam hal tata kerja antar lembaga yaitu di antaranya Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan dan atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada DPD (Pasal 54 UU No. 24 Tahun 2003). Mahkamah Konstitusi juga harus menyampaikan putusan mengenai pengujian UU terhadap UUD 1945 kepada DPD (Pasal 59 UU No. 24 Tahun 2003). Selain itu, dalam hal DPD menjadi para pihak dalam sengketa kewenangan lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Mahkamah 30

17 Konstitusi dapat memanggil dan mendengar keterangan DPD dalam persidangan (Pasal 41 ayat (2) dan (3) UU No. 24 Tahun 2003). 6. Hubungan Mahkamah Konstitusi dengan BPK BPK merupakan lembaga negara yang memiliki wewenang untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara seperti yang disebutkan dalam Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu BPK yang bebas dan mandiri. Sementara menurut Pasal 12 UU No. 24 Tahun 2003 dinyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi bertanggung jawab untuk mengatur organisasi, administrasi, personalia, dan keuangan sesuai dengan prinsip pemerintahan yang bersih. Dalam hal ini, BPK berwenang untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Mahkamah Konstitusi sesuai dengan prinsip pemerintahan yang bersih. Hubungan lain antara Mahkamah Konstitusi dengan BPK dalam tata kerja antar lembaga negara adalah dalam hal BPK menjadi para pihak dalam sengketa kewenangan lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi dapat memanggil dan mendengar keterangan BPK dalam persidangan. C. Tugas dan Wewenang Mahkamah Konstitusi Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD N RI Tahun 1945 menggariskan wewenang Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut: (1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang 31

18 terhadap Undang-Undang Dasar, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutuskan pembubaran partai politik, dan memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum. (2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) di atas berarti Mahkamah Konstitusi bersifat tunggal yang tidak mempunyai peradilan yang berada di bawahnya dan tidak merupakan bawahan dari lembaga lainnya. Hal ini berbeda dengan Mahkamah Agung yang mempunyai peradilan-peradilan di bawahnya dan merupakan puncak dari peradilan-peradilan di bawahnya. Dengan ketunggalannya, dapat dikatakan bahwa Mahkamah Konstitusi adalah sebuah forum khusus untuk melaksanakan kewenangannya. Secara umum kewenangan yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi yang telah tersebar di kurang lebih 78 negara dapat pula dibedakan menjadi dua, yaitu: 9 a. Kewenangan utama yang meliputi: (1) pengujian UU terhadap UUD; (ii) memutus keluhan konstitusi yang diajukan oleh rakyat terhadap penguasa (constitutional complain). UUD 1945 tidak memberikan kewenangan ini pada Mahkamah Konstitusi seperti Mahkamah Konstitusi di Austria, Itali, Jerman, dan lainnya. Tanpa diberi kewenangan tersebut, Mahkamah 9 Azhar, Peranan Mahkamah Konstitusi sebagai Penjaga UUD RI Tahun 1945 dalam Inovasi Vol. 5/XVII/Nov 2005, hlm

19 Konstitusi belum bisa melakukan perannya sebagai penjaga konstitusi secara tuntas dan menyeluruh; dan (iii) memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara. b. Kewenangan tambahan dapat bervariasi antara satu negara dengan negara lainnya. UUD 1945 memberikan kewenangan tersebut berupa: (i) pembubaran parpol; (ii) perselisihan hasil pemilu; dan (iii) pemberian putusan DPR atas dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan Wakil Presiden. Berikut kajian terhadap tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 1. Menguji Undang-Undang terhadap UUD (a) Pengertian Hak Menguji (Toetsingrecht) dan Judicial Review Toetsingrecht berasal dari bahasa Belanda yang berarti hak menguji. Sedangkan judicial review berarti peninjauan oleh lembaga pengadilan. Pada dasarnya kedua istilah tersebut mengundur arti yang sama, yaitu kewenangan untuk menguji atau meninjau. Perbedaannya adalah dalam istilah judicial review sudah secara spesifik ditentukan bahwa kewenangan tersebut dimiliki oleh pelaksana lembaga pengadilan yaitu hakim. 10 (1) Hak Menguji Kewenangan untuk menguji UU terhadap UUD, secara teoritik maupun dalam praktek dikenal ada dua macam, yaitu hak menguji formal (formele 10 Fatmawati, Hak Menguji (Toetsingrecht) yang Dimiliki Hakim dalam Sistem Hukum Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2005), hlm

20 toetsingrecht) dan hak menguji materil (materiele teotsingrecht). 11 Hak menguji formal adalah wewenang untuk menilai suatu produk legislatif seperti UU, misalnya terjelma melalui cara-cara sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku ataukah tidak. Biasanya terkait dengan soal prosedural atau berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang membuatnya. 12 Sementara hak menguji material adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan menilai apakah isi suatu peraturan perundang-undangan sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. 13 Berdasarkan arti dari hak menguji formal dan hak menguji material dapat disimpulkan sebagai berikut: 14 (i) Hak menguji merupakan kewenangan untuk menilai peraturan perundangundangan terhadap UUD (ii) Hak menguji terhadap peraturan perundang-undangan tidak hanya dimiliki oleh hakim, tapi juga oleh lembaga negara lain yang diberi kewenangan tersebut berdasarkan perpu. Selain hak menguji yang dimiliki hakim, juga terdapat hak menguji yang dimiliki legislatif dan hak menguji yang dimiliki eksekutif. (2) Judicial Review Terdapat banyak pendapat tentang pengertian judicial review. Salah satunya dalam Black s Law, judicial review diartikan sebagai power of court to 11 Sri Soemantri, Hak Uji Materil di Indonesia, (Bandung: Alumni. 1997), hlm Fatmawati, loc it. 13 Ibid., hlm. 6; Sri Soemantri, op. cit., hlm Fatmawati, op. cit., hlm

21 review decisions of another department or level of government. 15 Berdasarkan definisi dari judicial review, maka dapat disimpulkan bahwa judicial review merupakan kewenangan hakim pengadilan dalam kasus konkret di pengadilan. Pengertian lainnya adalah kewenangan hakim untuk menilai apakah legislative acts, executive acts, dan administrative action bertentangan atau tidak dengan UUD (tidak hanya menilai perpu). Definisi suatu istilah sangat bergantung kepada sistem hukum yang dianut oleh negara yang bersangkutan. Definisi judicial review di atas berada pada common law system dan definisi hak menguji (toetsingrecht) berada pada civil law. Dari kedua pengertian tersebut maka terlihat ada perbedaan di antara keduanya yaitu sebagai berikut: 16 (i) Hak menguji merupakan kewenangan untuk menilai peraturan perundangundangan terhadap UUD. Sedangkan judicial review tidak hanya menilai perpu tetapi administrative action terhadap UUD. (ii) Hak menguji terhadap perpu tidak hanya dimiliki oleh hakim tetapi juga oleh lembaga negara lainnya yang diberi kewenangan tersebut berdasarkan perpu. Sedangkan judicial review hanya merupakan kewenangan dari hakim pengadilan dalam kasus konkret di pengadilan. (b) Sejarah Diakuinya Hak Uji Materil di Indonesia Sebelum berlakunya UUD RI Tahun 1945, di Indonesia telah berlaku tiga UUD, yaitu UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, dan UUDS Dalam UUD 1945 sama sekali tidak ditemukan kewenangan hakim untuk melakukan hak menguji. 15 Ibid., hlm Ibid., hlm

22 UUDS 1950 juga tidak mencantumkan kewenangan hak menguji yang dimiliki hakim, bahkan dalam Pasal 95 ayat (2) UUDS 1950 diatur bahwa UU tidak dapat diganggu gugat. Hal tersebut berbeda dengan Konstitusi RIS 1949 dan UUD RI Tahun 1945 yang mengatur tentang kewenangan hakim untuk melakukan pengujian. Konstitusi RIS 1949 mengatur bahwa Mahkamah Agung hanya berhak menguji peraturan ketatanegaraan atau UU daerah bagian dan tidak berhak menguji UU federal karena UU federal tidak dapat diganggu gugat. Namun dalam UUD 1945 tidak ada larangan bagi hakim untuk menguji UU secara formal. 17 Sementara pembahasan tentang hak uji materil merupakan perdebatan yang menarik dalam sidang pembahasan tentang pembentukan UUD Indonesia. Hal mana Soepomo menolak dicantumkannya hak menguji materil dalam UUD dengan alasan: (1) UUD yang hendak dibentuk tidak mengenal teori trias politica. Sedangkan hak menguji materil hanya dijumpai dalam negara-negara yang menganut trias politica. (2) Para ahli hukum di Indonesia belum banyak, di samping itu, mereka sama sekali tidak mempunyai pengalaman dalam bidang hak menguji materil. Mengenai alasan Soepomo ini, Sri Soemantri berpendapat bahwa untuk alasan pertama, masalah hak menguji materil tidak secara langsung berhubungan dengan dianutnya teori trias politica, tetapi lebih terkait dengan masalah sistem dan kebutuhan. Buktinya, Amerika Serikat sebagai negara yang paling konsekuen menerapkan trias politica (walaupun digerogoti mekanisme check and balances) ternyata tidak sekaligus menganut judicial review. Judicial review yang dianut Amerika Serikat berkembang setelah terlebih dahulu mempraktekkan teori 17 Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara. 1986) 36

23 trias politica. Untuk alasan kedua, dewasa ini telah cukup banyak para ahli hukum yang kompeten dan berpengalaman di bidangnya. 18 Dalam perkembangan selanjutnya, UUD 1945 memang tidak mengatur mengenai judicial review tersebut sehingga menimbulkan penafsiran beragam. Sebagian ahli hukum mengatakan bahwa tidak diaturnya masalah tersebut oleh UUD 1945, tidak berarti para hakim tidak memiliki wewenang tersebut. Para hakim memiliki kewenangan tersebut secara otomatis sebagai konsekuensi logis dari kedudukan dan fungsi kekuasaan kehakiman yang diatur dalam UUD Kekuasan kehakiman merupakan pengawal konstitusi. Hal tersebut dijalankan dengan cara melakukan kontrol yudisial untuk menjamin terjaganya konstitusi. Keberadaan judicial review dalam sistem hukum Indonesia menurut pendapat di atas dan pendapat Sri Soemantri, juga terkait dengan masalah sistem dan kebutuhan. Terkait dengan masalah sistem, apabila judicial review hanya boleh dipraktekkan oleh negara yang menganut teori trias politica. Logikanya, UUD 1945 harus menyatakan haram terhadap judicial review karena Indonesia bukanlah negara yang menganut teori trias politica. Nyatanya, UUD 1945 tidak mengharamkan judicial review. Akan tetapi ada juga ahli hukum yang berpendapat bahwa kekuasaan kehakiman pada dasarnya tidak mempunyai wewenang untuk melakukan judicial review. Oleh karena hal ini tidak diatur dalam UUD Dengan demikian, jika ada kehendak untuk memberikan kewenangan judicial review kepada kekuasaan kehakiman, hal itu harus ditentukan secara jelas dalam UU. Pemikiran inilah yang 18 Sri Soemantri, op. cit., hlm Andrianto dan Trimedya Panjaitan (Ed), Reformasi Mahkamah Agung, (Jakarta: SPI & IRRI 1999), hlm

24 sepertinya dianut oleh para pembentuk UU No. 14 Tahun 1970 dan UU No. 14 Tahun 1985 yang memang tidak memberikan kewenangan kepada Mahkamah Agung untuk melakukan uji materil UU terhadap UUD. Rentetan perdebatan ini akhirnya sepakat diakhiri dengan lahirnya Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, secara tegas memberikan kewenangan hak uji materil tersebut kepada Mahkamah Konstitusi. 20 (c) Mahkamah Konstitusi sebagai Lembaga Negara yang Berwenang Melakukan Uji Materil Pemberian wewenang judicial review kepada Mahkamah Konstitusi dirasa sangat tepat, dengan alasan: 21 (1) Menurut paham konstitusionalisme di mana UUD adalah sebagai bentuk peraturan yang tertinggi, hakim harus memiliki wewenang untuk membatalkan setiap tindakan Presiden dan juga setiap UU yang bertentangan dengan UUD. (2) Judicial review merupakan proses judicialization of politic terhadap produk legislatif. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa UU merupakan produk politik yang sering kali lebih mengedepankan kepentingan politik suara mayoritas dan cenderung mengabaikan aspek kebenaran dalam proses pengambilan keputusan. Oleh karenanya, hal tersebut harus dikontrol. (3) Berdasarkan hasil amandemen UUD 1945, kehakiman di Indonesia menganut sistem bifurkasi. Hal mana kekuasaan kehakiman terbagi dalam 20 Fatkhurohman, op. cit. hlm Ibid., hlm

25 dua cabang, yaitu: cabang peradilan biasa yang berpuncak pada MA dan cabang peradilan konstitusi yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. (d) Kewenangan Judicial Review Mahkamah Terbatas Menguji UU Terhadap UUD. Mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi menguji UU terhadap UUD, hal ini telah diatur secara tegas dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undangundang terhadap Undang-Undang Dasar. Mengenai judicial review peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap peraturan di atasnya patut pula dikaji kembali, mengingat hingga saat ini kewenangan tersebut masih dimiliki oleh Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam Pasal 24A ayat (1) UUD Apakah tidak lebih baik jika kewenangan tersebut dialihkan ke Mahkamah Konstitusi. Oleh karena, jika tetap dipertahankan, berarti dalam sistem hukum Indonesia ada 2 lembaga negara yang berwenang melakukan judicial review terhadap peraturan perundang-undangan, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Mekanisme pengujian perundang-undangan dengan model tersebut oleh beberapa kalangan disinyalir akan menimbulkan beberapa persoalan. Pertama, tidak adanya integralitas visi dan konsepsi hukum atau peraturan perundangundangan yang hendak ditegakkan karena ada 2 lembaga negara yang berwenang untuk itu. Maka dapat dipastikan masing-masing lembaga memiliki tolak ukur yang berbeda tentang visi dan konsepsi hukum yang hendak ditegakkan. Kedua, 39

26 model pengujian tersebut dapat menimbulkan inkonsistensi putusan. Bagaimana jika suatu peraturan pemerintah tidak bertentangan dengan suatu UU oleh Mahkamah Agung, sementara Mahkamah Konstitusi menyatakan UU yang dijadikan payung peraturan pemerintah tersebut bertentangan dengan UUD. Hal ini sepertinya sudah disadari oleh pembentuk UU, terbukti dalam Pasal 55 UU No. 24 Tahun 2003 dinyatakan bahwa pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU yang sedang dilakukan oleh Mahkamah Agung pun wajib dihentikan apabila UU yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi. Pasal ini sudah bisa menjawab kekhawatiran sebagian kalangan tersebut. Oleh karena dalam hal ini Mahkamah Agung tidak hanya wajib menghentikan proses judicial review yang sedang dilakukannya, tetapi juga wajib mengikuti putusan yang dihasilkan oleh Mahkamah Konstitusi untuk dijadikan dasar dalam memutus judicial review yang sedang diprosesnya Memutus Sengketa Kewenangan Lembaga yang Kewenangannya Diberikan oleh Undang-Undang Lembaga negara dalam menjalankan fungsi-fungsinya, kerap kali melakukan kerja sama/hubungan. Hubungan tersebut memungkinkan konflik, yaitu manakala suatu lembaga negara yang merupakan bagian dari sistem pemerintahan bekerja tidak sebagaimana mestinya. Agar sistem itu tetap bekerja sesuai dengan 22 Ibid., hlm

27 yang dituju, konflik harus diselesaikan. 23 Lembaga yang memiliki kekuasaan untuk itu adalah lembaga peradilan. Di sinilah peran Mahkamah Konstitusi sangat diperlukan sebagai lembaga negara yang berwenang memutus sengketa dalam kerangka mekanisme check and balances. 24 Dalam Pasal 24C ayat (1) dinyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD. Menurut Pasal 61 UU Mahkamah Konstitusi dinyatakan bahwa pemohon dalam sengketa kewenangan lembaga negara adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 yang mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan. Namun terdapat pengecualian, dalam Pasal 65 ditegaskan bahwa Mahkamah Agung tidak dapat menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Berdasarkan rumusan pasal-pasal tersebut, jika dielaborasi, terdapat 3 syarat suatu sengketa kewenangan lembaga negara dapat menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi, yaitu: (i) merupakan sengketa kewenangan antar lembaga negara; (ii) kewenangan diberikan oleh UUD; dan (iii) lembaga negara tersebut memiliki kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan. 3. Memutus Pembubaran Partai Politik Salah satu wewenang Mahkamah Konstitusi menurut Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya 23 Hasan Zaini, Pengantar Hukum Tata Negara (Bandung: Alumni. 1985), hlm Fatkhurohman, op. cit., hlm

28 bersifat final untuk memutus pembubaran partai politik. Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok terorganisir yang anggotaanggotanya mempunyai orientasi nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan partai politik adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kekuasaan politik dengan cara yang konstitusional untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaannya. 25 Menurut Pasal 1 UU No. 31 Tahun 2002, partai politik adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga RI secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, bangsa, dan negara melalui pemilihan umum. Pembubaran partai politik pada dasarnya, apapun alasannya, bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM). Namun dalam prakteknya, pembubaran partai politik dapat dilakukan dengan alasan ideologi dan pelanggaran hukum. Alasan ideologi karena partai yang dibubarkan bertentangan dengan ideologi negara dan negara menyatakan ideologi tersebut tidak boleh dikembangkan. Sementara alasan pelanggaran hukum maksudnya adalah partai politik tersebut melakukan pelanggaran hukum yang mengancam pelanggarnya dengan sanksi pembubaran partai politik tersebut. 26 Berdasarkan uraian di atas dapat diinterpretasikan bahwa suatu partai politik dapat dibubarkan jika ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatan partai politik yang bersangkutan dianggap bertentangan dengan UUD Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2002), hlm Fatkhurohman, op. cit., hlm

29 4. Memutus Perselisihan Tentang Hasil Pemilu Kemungkinan terjadinya perselisihan tentang hasil pemilu sangat terbuka dalam setiap pelaksanaan pemilu di suatu negara. Oleh karenanya, pada setiap negara demokratis terdapat lembaga pengawas dan atau pemantau pemilu untuk memperkecil kecurangan atau pelanggaran dalam pelaksanaan pemilu. Di samping itu, lembaga peradilan yang berwenang memutus perselisihan hasil pemilu juga sangat penting. Lembaga peradilan di Indonesia yang berwenang memutus perselisihan hasil pemilu adalah Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD Persoalannya, apakah Mahkamah Konstitusi berwenang memutus semua perselisihan tentang hasil pemilu yang terjadi pada setiap tingkatan dan semua jenis pemilu. Menurut Pasal 74 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2003 dinyatakan bahwa permohonan hanya dapat diajukan terhadap penetapan hasil pemilu yang dilakukan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum yang mempengaruhi: (a) terpilihnya calon anggota DPD; (b) penentuan pasangan calon yang masuk pada putaran kedua pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta terpilihnya pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden; dan (c) perolehan kursi partai politik peserta pemilihan umum di suatu daerah pemilihan. Berdasarkan rumusan pasal di atas terlihat bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang memeriksa dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu pada semua tingkatan dan semua jenis pemilu. 43

30 5. Memutus Pendapat DPR Mengenai Dugaan Pelanggaran yang Dilakukan Oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden Menurut Pasal 24C ayat (2) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga melakukan pelanggaran hukum dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD. Mahkamah Agung dilibatkan dalam proses impeachment terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden, tidak terlepas dari pengalaman masa lalu dan merupakan konsekuensi logis dari perubahan sistem dan bangunan ketatanegaraan yang dikembangkan di Indonesia. Selain itu, Presiden dan/atau Wakil Presiden diberhentikan bukan karena alasan politik belaka, melainkan juga memiliki landasan dan pertimbangan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. 27 Dari UUD 1945 dapat dilihat bahwa rumusan yang mengatur masalah impeachment terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam UUD 1945 mengandung kerancuan konsepsional. Kerancuan ini berkisar pada masalah peran Mahkamah Konstitusi dalam proses impeachment tersebut. Berdasarkan Pasal 7B ayat (1) UUD 1945, kewajiban Mahkamah Konstitusi hanya memberikan pendapat hukum terhadap dugaan DPR mengenai pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden, serta terhadap dugaan DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Kewajiban ini menimbulkan kesan Mahkamah Konstitusi melakukan judicialitation of politic terhadap pendapat/dugaan DPR. 27 Ibid., hlm

31 Terlepas dari kerancuan tersebut, tanpa adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah terbukti melakukan pelanggaran hukum dan/atau terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, DPR tidak dapat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden tersebut kepada MPR. (Pasal 7B ayat (5) UUD 1945). Mengenai kekuatan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi. Oleh karena keterlibatan Mahkamah Konstitusi dalam proses impeachment ini hanya sebatas kewajiban, maka MPR secara yuridis tidak terikat dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Sepertinya, hal ini dikehendaki oleh pembentuk UUD demi menjaga kelangsungan supremasi DPR terhadap Presiden. Walaupun begitu, jika memang pada akhirnya terjadi kasus dan MPR tidak mengikuti putusan yang diambil oleh Mahkamah Konstitusi, sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada rakyat, sudah sepatutnya MPR memberikan alasan-alasan yang logis dan terperinci kepada rakyat, mengingat Presiden dan/atau Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. 28 D. Tugas dan Peran Mahkamah Konstitusi Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya bahwa Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara yang memiliki kedudukan yang sederajat dengan lembaga negara lainnya. Hal ini sesuai dengan amandemen UUD 1945 yang menganut paradigma pemisahan kekuasaan (pemisahan fungsi) yang di dalamnya terdapat mekanisme check and balances. Selain itu, Mahkamah Konstitusi merupakan 28 Ibid., hlm

32 salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (Pasal 24C ayat (1) UUD 1945). Berdasarkan hal tersebut maka fungsi yang semestinya dapat dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi adalah: Mahkamah Konstitusi berfungsi untuk melaksanakan kekuasaan peradilan dalam sistem konstitusi. Dalam hal ini, akan menemui banyak kendala. Dalam praktek ketatanegaraan yang ada, uji konstitusionalitas dapat diserahkan kepada peradilan biasa/peradilan yang khusus. Mahkamah Konstitusi merupakan peradilan yang khusus dalam sistem konstitusi. 2. Mahkamah Konstitusi berfungsi sebagai The Guardian of Constitution (penjaga konstitusi) agar konstitusi dilaksanakan secara konsekuen dan bertanggungjawab oleh setiap penyelenggara negara. Maka ditentukan lembaga yang mampu melakukan kontrol terhadap pelaksanaan kekuasaan negara yang ada. Untuk melakukan kontrol yudisial, Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga peradilan yang tepat. 3. Mahkamah Konstitusi berfungsi sebagai penafsir konstitusi. Sudah menjadi fungsi hakim untuk memutus, apakah hukum itu dalam kasus yang diperselisihkan. Konstitusi adalah bagian dari hukum dan karenanya menjadi bagian dari hakim. Dalam hal ini, jika hakim akan memutuskan apakah hukum itu, mereka mesti menentukan bukan hanya arti aturan hukum biasa, melainkan juga aturan hukum konstitusi. 29 Ibid., hlm

33 Sementara peran yang semestinya dapat diperankan oleh Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut: Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman dalam mendorong mekanisme check and balances dalam penyelenggaraan negara. Peran dalam mendorong mekanisme check and balances ini dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi melalui wewenangnya menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, dan dalam memutus pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 7A dan Pasal 7B UUD Mahkamah Konstitusi berperan untuk menjaga konstitusionalitas pelaksanaan kekuasaan negara. Peran menjaga konstitusionalitas pelaksanaan kekuasaan negara ini dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan seluruh kewenangan dan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD Mahkamah Konstitusi berperan dalam mewujudkan negara hukum kesejahteraan Indonesia. Peran ini merupakan konsekuensi dari kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman untuk bersama-sama dengan lembaga negara lainnya untuk secara sadar dan aktif membawa negara Indonesia ke tujuan negara dan cita-cita proklamasi sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945 melalui pelaksanaan kekuasaan kehakiman sebagaimana diamanatkan oleh UUD Ibid., hlm

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011: 34 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Judicial Review Kewenangan Judicial review diberikan kepada lembaga yudikatif sebagai kontrol bagi kekuasaan legislatif dan eksekutif yang berfungsi membuat UU. Sehubungan

Lebih terperinci

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Oleh: Dr. (HC) AM. Fatwa Wakil Ketua MPR RI Kekuasaan Penyelenggaraan Negara Dalam rangka pembahasan tentang organisisasi

Lebih terperinci

Hubungan Antar Lembaga Negara IRFAN SETIAWAN, S.IP, M.SI

Hubungan Antar Lembaga Negara IRFAN SETIAWAN, S.IP, M.SI Hubungan Antar Lembaga Negara IRFAN SETIAWAN, S.IP, M.SI Lembaga negara merupakan lembaga pemerintahan negara yang berkedudukan di pusat yang fungsi, tugas, dan kewenangannya diatur secara tegas dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah institusi yang berperan melakukan kegiatan pengujian konstitusional di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

BAB III GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN BAB III GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN A. Pembentukan Mahkamah Konstitusi Ketatanegaraan dan penyelenggaraan pemerintahan Indonesia mengalami perubahan cepat di era reformasi. Proses demokratisasi dilakukan

Lebih terperinci

SKRIPSI. Diajukan Guna Memenuhi Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : Nama : Adri Suwirman.

SKRIPSI. Diajukan Guna Memenuhi Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : Nama : Adri Suwirman. ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 006/PUU-IV TAHUN 2006 TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI SKRIPSI Diajukan Guna Memenuhi Sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehakiman diatur sangat terbatas dalam UUD Buku dalam pasal-pasal yang

BAB I PENDAHULUAN. kehakiman diatur sangat terbatas dalam UUD Buku dalam pasal-pasal yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi Nasional tahun 1998 telah membuka peluang perubahan mendasar atas Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang disakralkan oleh pemerintah

Lebih terperinci

Faridah T, S.Pd., M.Pd. NIP Widyaiswara LPMP Sulawesi Selatan

Faridah T, S.Pd., M.Pd. NIP Widyaiswara LPMP Sulawesi Selatan TRIAS POLITICA DI INDONESIA, ANTARA SEPARATION OF POWER DENGAN DISTRIBUTION OF POWER, MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945. Faridah T, S.Pd., M.Pd. NIP.19651216 198903

Lebih terperinci

Mengenal Mahkamah Agung Lebih Dalam

Mengenal Mahkamah Agung Lebih Dalam TUGAS AKHIR SEMESTER Mata Kuliah: Hukum tentang Lembaga Negara Dosen: Dr. Hernadi Affandi, S.H., LL.M Mengenal Mahkamah Agung Lebih Dalam Oleh: Nurul Hapsari Lubis 110110130307 Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN

BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN A. Komisi Yudisial Komisi Yudisial merupakan lembaga tinggi negara yang bersifat independen. Lembaga ini banyak berkaitan dengan struktur yudikatif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.4 Metode penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.4 Metode penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Dalam suatu negara harus memiliki hubungan antara lembaga negara yang satu dengan lembaga negara yang lainnya agar negara yang dipimpin dapat berjalan dengan baik.

Lebih terperinci

PERUBAHAN KETIGA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN

PERUBAHAN KETIGA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERUBAHAN KETIGA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945-77 - - 78 - MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERUBAHAN KETIGA

Lebih terperinci

keberadaan MK pd awalnya adalah untuk menjalankan judicial review itu sendiri dapat dipahami sebagai and balances antar cabang kekuasaan negara

keberadaan MK pd awalnya adalah untuk menjalankan judicial review itu sendiri dapat dipahami sebagai and balances antar cabang kekuasaan negara Gagasan Judicial Review Pembentukan MK tidak dapat dilepaskan dari perkembangan hukum & keratanegaraan tentang pengujian produk hukum oleh lembaga peradilan atau judicial review. keberadaan MK pd awalnya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

LEMBAGA LEMBAGA NEGARA. Republik Indonesia

LEMBAGA LEMBAGA NEGARA. Republik Indonesia LEMBAGA LEMBAGA NEGARA Republik Indonesia 1. Sumbernya a. Berdasarkan UUD (Constitutionally entrusted powers) b. Berdasarkan UU (Legislatively entrusted powers) 2. fungsinya a. lembaga yang utama atau

Lebih terperinci

POLITIK DAN STRATEGI (SISTEM KONSTITUSI)

POLITIK DAN STRATEGI (SISTEM KONSTITUSI) A. Pengertian Politik POLITIK DAN STRATEGI (SISTEM KONSTITUSI) Dalam bahasa Indonesia, politik dalam arti politics mempunyai makna kepentingan umum warga negara suatu bangsa. Politik merupakan rangkaian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MATERI AUDIENSI DAN DIALOG DENGAN FINALIS CERDAS CERMAT PANCASILA, UUD NEGARA RI TAHUN 1945, NKRI, BHINNEKA TUNGGAL IKA, DAN KETETAPAN MPR Dr. H. Marzuki Alie

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang

II. TINJAUAN PUSTAKA. kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang 12 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem Ketatanegaraan Indonesia Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUDNRI 1945) pada Pasal 1 Ayat (2) mengamanatkan bahwa kedaulatan

Lebih terperinci

JANGAN DIBACA! MATERI BERBAHAYA!

JANGAN DIBACA! MATERI BERBAHAYA! JANGAN DIBACA! MATERI BERBAHAYA! MATERI KHUSUS MENDALAM TATA NEGARA Sistem Pembagian Kekuasaan Negara Republik Indonesia Menurut Uud 1945 Sistem ketatanegaraan Republik Indonesia menurut UUD 1945, tidak

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

Info Lengkap di: buku-on-line.com 1 of 14

Info Lengkap di: buku-on-line.com 1 of 14 1 of 14 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI I. UMUM Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa kedaulatan berada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MAHKAMAH KONSTITUSI, MAHKAMAH AGUNG, PEMILIHAN KEPALA DAERAH

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MAHKAMAH KONSTITUSI, MAHKAMAH AGUNG, PEMILIHAN KEPALA DAERAH BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MAHKAMAH KONSTITUSI, MAHKAMAH AGUNG, PEMILIHAN KEPALA DAERAH 2.1. Tinjauan Umum Mengenai Mahkamah Konstitusi 2.1.1. Pengertian Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi merupakan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.98, 2003 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI (OBYEK PENELITIAN) hukum kenamaan asal Austria, Hans Kelsen ( ). Kelsen menyatakan

BAB II DESKRIPSI (OBYEK PENELITIAN) hukum kenamaan asal Austria, Hans Kelsen ( ). Kelsen menyatakan BAB II DESKRIPSI (OBYEK PENELITIAN) 2.1 Sejarah Singkat Organisasi Keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) baru diperkenalkan oleh pakar hukum kenamaan asal Austria, Hans Kelsen (1881-1973). Kelsen menyatakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern sekarang ini, hampir semua negara mengklaim menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern sekarang ini, hampir semua negara mengklaim menjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di zaman modern sekarang ini, hampir semua negara mengklaim menjadi penganut paham demokrasi. Seperti dapat diketahui dari penelitian Amos J. Peaslee pada tahun 1950,

Lebih terperinci

DR. R. HERLAMBANG P. WIRATRAMAN MAHKAMAH KONSTITUSI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA, 2015

DR. R. HERLAMBANG P. WIRATRAMAN MAHKAMAH KONSTITUSI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA, 2015 DR. R. HERLAMBANG P. WIRATRAMAN MAHKAMAH KONSTITUSI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA, 2015 POKOK BAHASAN Latar Belakang Kelahiran Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi dalam UUD 1945 Wewenang Mahkamah

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI. R. Herlambang Perdana Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 19 Juni 2008

MAHKAMAH KONSTITUSI. R. Herlambang Perdana Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 19 Juni 2008 MAHKAMAH KONSTITUSI R. Herlambang Perdana Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 19 Juni 2008 Pokok Bahasan Latar Belakang Kelahiran Mahkamah Konstitusi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

BAB II MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI BAGIAN DARI KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA. A. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Sebelum Perubahan UUD 1945

BAB II MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI BAGIAN DARI KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA. A. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Sebelum Perubahan UUD 1945 33 BAB II MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI BAGIAN DARI KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA A. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Sebelum Perubahan UUD 1945 Dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan, kekuasaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Bergulirnya reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 membawa dampak banyak perubahan di negeri ini, tidak terkecuali terhadap sistem dan praktik ketatanegaraan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 72/PUU-X/2012 Tentang Keberadaan Fraksi Dalam MPR, DPR, DPD dan DPRD

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 72/PUU-X/2012 Tentang Keberadaan Fraksi Dalam MPR, DPR, DPD dan DPRD RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 72/PUU-X/2012 Tentang Keberadaan Fraksi Dalam MPR, DPR, DPD dan DPRD I. PEMOHON Gerakan Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (GN-PK), dalam

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA (Kuliah ke 13) suranto@uny.ac.id 1 A. UUD adalah Hukum Dasar Tertulis Hukum dasar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (a) Hukum dasar tertulis yaitu UUD, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tinggi negara yang lain secara distributif (distribution of power atau

BAB I PENDAHULUAN. tinggi negara yang lain secara distributif (distribution of power atau 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Amandemen UUD 1945 membawa pengaruh yang sangat berarti bagi sistem ketatanegaraan Indonesia. Salah satunya adalah perubahan pelaksanaan kekuasaan negara.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). 1 Karena

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). 1 Karena BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) diberitakan kemungkinan bakal menjadi calon tunggal dalam pemilihan presiden tahun 2009. Kemungkinan calon tunggal dalam pilpres

Lebih terperinci

AMANDEMEN (amendment) artinya perubahan atau mengubah. to change the constitution Contitutional amendment To revise the constitution Constitutional

AMANDEMEN (amendment) artinya perubahan atau mengubah. to change the constitution Contitutional amendment To revise the constitution Constitutional Dewi Triwahyuni AMANDEMEN (amendment) artinya perubahan atau mengubah. to change the constitution Contitutional amendment To revise the constitution Constitutional revision To alter the constitution Constitutional

Lebih terperinci

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law Modul ke: 07 PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law Fakultas PSIKOLOGI Program Studi PSIKOLOGI Rizky Dwi Pradana, M.Si Sub Bahasan 1. Pengertian dan Definisi Konstitusi 2. Hakikat dan Fungsi

Lebih terperinci

PERUBAHAN KETIGA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERUBAHAN KETIGA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERUBAHAN KETIGA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA, Setelah mempelajari, menelaah, dan mempertimbangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum dikenal adanya kewenangan uji materiil (judicial review atau

BAB I PENDAHULUAN. hukum dikenal adanya kewenangan uji materiil (judicial review atau 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diskursus mengenai Mahkamah Konstitusi muncul saat dirasakan perlunya sebuah mekanisme demokratik, melalui sebuah lembaga baru yang berwenang untuk menafsirkan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

TUGAS KEWARGANEGARAAN LATIHAN 4

TUGAS KEWARGANEGARAAN LATIHAN 4 1 TUGAS KEWARGANEGARAAN LATIHAN 4 DISUSUN OLEH: NAMA NIM PRODI : IIN SATYA NASTITI : E1M013017 : PENDIDIKAN KIMIA (III-A) S-1 PENDIDIKAN KIMIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MATARAM

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

Tugas Lembaga PKN. Disusun oleh: Rafi A. Naufal R. Raden M. Adrian Y.

Tugas Lembaga PKN. Disusun oleh: Rafi A. Naufal R. Raden M. Adrian Y. Tugas Lembaga PKN Disusun oleh: Rafi A. Naufal R. Raden M. Adrian Y. Nilai Paraf A. Berilah tanda silang (X) pada huruf a, b, c atau d pada jawaban yang benar! 1. Salah satu contoh lembaga legislatif adalah.

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PENGAWASAN YANG DIMILIKI OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI LEMBAGA PENGAWAS UNDANG-UNDANG DI NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KARAKTERISTIK PENGAWASAN YANG DIMILIKI OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI LEMBAGA PENGAWAS UNDANG-UNDANG DI NEGARA REPUBLIK INDONESIA KARAKTERISTIK PENGAWASAN YANG DIMILIKI OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI LEMBAGA PENGAWAS UNDANG-UNDANG DI NEGARA REPUBLIK INDONESIA Oleh : Arfa i, S.H., M.H. [ ABSTRAK Undang-undang yang dibuat oleh Lembaga

Lebih terperinci

R U J U K A N UNDANG UNDANG DASAR 1945 DALAM PUTUSAN-PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

R U J U K A N UNDANG UNDANG DASAR 1945 DALAM PUTUSAN-PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI R U J U K A N UNDANG UNDANG DASAR 1945 DALAM PUTUSAN-PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Singkatan dalam Rujukan: PUTMK: Putusan Mahkamah Konstitusi HPMKRI 1A: Himpunan Putusan Mahkamah Konstitusi RI Jilid 1A

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

ara urut ut UUD 1945 Hasil Amandemen

ara urut ut UUD 1945 Hasil Amandemen V Lembaga-lemba a-lembaga a Negar ara Menur urut ut UUD 1945 Hasil Amandemen Gambar 5.1 Kegiatan DPR Sumber: www.dpr.go.id Kamu barangkali sering melihat kegiatan sebagaimana gambar di atas. Mungkin kamu

Lebih terperinci

LEMBAGA NEGARA DALAM PERSPEKTIF AMANDEMEN UUD 1945 H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI

LEMBAGA NEGARA DALAM PERSPEKTIF AMANDEMEN UUD 1945 H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI LEMBAGA NEGARA DALAM PERSPEKTIF AMANDEMEN UUD 1945 H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI LATAR BELAKANG MASALAH SEBELUM AMANDEMEN Substansial (regulasi) Struktural Cultural (KKN) Krisis Pemerintahan FAKTOR YANG

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH,

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.182, 2014 LEGISLATIF. MPR. DPR. DPD. DPRD. Kedudukan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

Tugas dan Wewenang serta Dasar Hukum Lembaga Negara

Tugas dan Wewenang serta Dasar Hukum Lembaga Negara Tugas dan Wewenang serta Dasar Hukum Lembaga Negara Bagan Lembaga Negara Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Tugas dan Wewenang MPR Berikut tugas dan wewenang dari Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN KEDUA Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN KEDUA Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN KEDUA Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang I. PEMOHON Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dalam hal ini diwakili oleh Irman Gurman,

Lebih terperinci

Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003

Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003 M a j a l a h H u k u m F o r u m A k a d e m i k a 45 Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003 Oleh: Ayu

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA

UNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA UNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS

Lebih terperinci

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENYELESAIKAN PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM MENURUT UU NO. 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENYELESAIKAN PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM MENURUT UU NO. 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENYELESAIKAN PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM MENURUT UU NO. 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI Oleh : Puspaningrum *) Abstract : The Constitutional Court

Lebih terperinci

CHECK AND BALANCES ANTAR LEMBAGA NEGARA DI DALAM SISTEM POLITIK INDONESIA. Montisa Mariana

CHECK AND BALANCES ANTAR LEMBAGA NEGARA DI DALAM SISTEM POLITIK INDONESIA. Montisa Mariana CHECK AND BALANCES ANTAR LEMBAGA NEGARA DI DALAM SISTEM POLITIK INDONESIA Montisa Mariana Fakultas Hukum, Universitas Swadaya Gunung Jati E-mail korespondensi: montisa.mariana@gmail.com Abstrak Sistem

Lebih terperinci

2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rak

2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rak TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI LEGISLATIF. MPR. DPR. DPD. DPRD. Kedudukan. Perubahan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 383) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan

Lebih terperinci

KEWEWENANGAN PRESIDEN DALAM BIDANG KEHAKIMAN SETELAH AMANDEMEN UUD 1945

KEWEWENANGAN PRESIDEN DALAM BIDANG KEHAKIMAN SETELAH AMANDEMEN UUD 1945 KEWEWENANGAN PRESIDEN DALAM BIDANG KEHAKIMAN SETELAH AMANDEMEN UUD 1945 Oleh : Masriyani ABSTRAK Sebelum amandemen UUD 1945 kewenangan Presiden selaku kepala Negara dan kepala pemerintahan Republik Indonesia

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2009 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERTANYAAN Bagaimanakan kasus Marbury vs Madison Apa alasan John Marshall membatalkan Judiciary Act. Bagaimana pemikiran Yamin tentang Yudisial Review

PERTANYAAN Bagaimanakan kasus Marbury vs Madison Apa alasan John Marshall membatalkan Judiciary Act. Bagaimana pemikiran Yamin tentang Yudisial Review MAHKAMAH KONSTITUSI DAN HUKUM ACARA PERADILAN KONSTITUSI PERTANYAAN Bagaimanakan kasus Marbury vs Madison Apa alasan John Marshall membatalkan Judiciary Act. Bagaimana pemikiran Yamin tentang Yudisial

Lebih terperinci

PERUBAHAN KETIGA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERUBAHAN KETIGA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERUBAHAN KETIGA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA Setelah mempelajari, menelaah, dan mempertimbangkan

Lebih terperinci

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH,

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONEIA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONEIA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONEIA 1 PERKEMBANGAN GAGASAN CONSTITUTIONAL REVIEW William Marbury mengajukan permohonan kepada MA agar memerintahkan James Madison selaku Secretary of State untuk mengeluarkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

-2- demokrasi serta menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat dan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Mesk

-2- demokrasi serta menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat dan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Mesk TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I LEGISLATIF. MPR. DPR. DPD. DPRD. Kedudukan. Perubahan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 29) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

DPD RI, BUBARKAN ATAU BENAHI?? Oleh: Moch Alfi Muzakki * Naskah diterima: 06 April 2016; disetujui: 15 April 2016

DPD RI, BUBARKAN ATAU BENAHI?? Oleh: Moch Alfi Muzakki * Naskah diterima: 06 April 2016; disetujui: 15 April 2016 DPD RI, BUBARKAN ATAU BENAHI?? Oleh: Moch Alfi Muzakki * Naskah diterima: 06 April 2016; disetujui: 15 April 2016 Dinamika perkembangan ketatanegaraan di Indonesia terusterjadi. Hal yang kembali mencuat

Lebih terperinci

KEWENANGAN MPR UNTUK MELAKUKAN PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR

KEWENANGAN MPR UNTUK MELAKUKAN PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR LAPORAN PENELITIAN MANDIRI KEWENANGAN MPR UNTUK MELAKUKAN PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR Oleh : COKORDA ISTRI ANOM PEMAYUN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 PENDAHULUAN Menurut Montesque

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN UU 4/2004, KEKUASAAN KEHAKIMAN *14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Konsep mengenai kedaulatan di dalam suatu negara, berkembang cukup

BAB I PENDAHULUAN. Konsep mengenai kedaulatan di dalam suatu negara, berkembang cukup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konsep mengenai kedaulatan di dalam suatu negara, berkembang cukup kompleks di seluruh dunia. Berbagai pandangan seperti kedaulatan Tuhan, kedaulatan negara, kedaulatan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI I. UMUM Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada mulanya terdapat tiga alternatif lembaga yang digagas untuk diberi kewenangan melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

REKONSTRUKSI KEDUDUKAN DAN HUBUNGAN ANTARA MAHKAMAH AGUNG, MAHKAMAH KONSTITUSI DAN KOMISI YUDISIAL DI INDONESIA. Oleh: Antikowati, S.H.,M.H.

REKONSTRUKSI KEDUDUKAN DAN HUBUNGAN ANTARA MAHKAMAH AGUNG, MAHKAMAH KONSTITUSI DAN KOMISI YUDISIAL DI INDONESIA. Oleh: Antikowati, S.H.,M.H. 1 REKONSTRUKSI KEDUDUKAN DAN HUBUNGAN ANTARA MAHKAMAH AGUNG, MAHKAMAH KONSTITUSI DAN KOMISI YUDISIAL DI INDONESIA Oleh: Antikowati, S.H.,M.H. 1 ABSTRAK Undang-Undang Dasar 1945 (pasca amandemen) tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang (UU) tehadap Undang-Undang Dasar (UUD). Kewenangan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang (UU) tehadap Undang-Undang Dasar (UUD). Kewenangan tersebut 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ada satu peristiwa penting dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, yakni Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) hasil Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1999 yang

Lebih terperinci

TAFSIR KONSTITUSI TERHADAP SISTEM PERADILAN DIINDONESIA* Oleh: Winarno Yudho

TAFSIR KONSTITUSI TERHADAP SISTEM PERADILAN DIINDONESIA* Oleh: Winarno Yudho TAFSIR KONSTITUSI TERHADAP SISTEM PERADILAN DIINDONESIA* Oleh: Winarno Yudho Tafsir adalah penjelasan atau keterangan, dengan demikian pembicaraan kita yang bertajuk "f afsir Konstitusi T erhadap Sistem

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

NOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

NOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id

Lebih terperinci

PERBAIKAN RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 26/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilihan Presiden & Wakil Presiden Calon Presiden Perseorangan

PERBAIKAN RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 26/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilihan Presiden & Wakil Presiden Calon Presiden Perseorangan PERBAIKAN RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 26/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilihan Presiden & Wakil Presiden Calon Presiden Perseorangan I. PEMOHON Sri Sudarjo, S.Pd, SH, selanjutnya disebut

Lebih terperinci

PROSPEK MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI PENGAWAL DAN PENAFSIR KONSTITUSI. Oleh: Achmad Edi Subiyanto, S. H., M. H.

PROSPEK MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI PENGAWAL DAN PENAFSIR KONSTITUSI. Oleh: Achmad Edi Subiyanto, S. H., M. H. PROSPEK MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI PENGAWAL DAN PENAFSIR KONSTITUSI Oleh: Achmad Edi Subiyanto, S. H., M. H. Pendahuluan Ada dua sejarah besar dalam judicial review di dunia. Pertama adalah sejarah judicial

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARAN RAKYAT,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA ------- RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARAN RAKYAT,

Lebih terperinci

BAB XIII AMANDEMEN UNDANG UNDANG DASAR 1945

BAB XIII AMANDEMEN UNDANG UNDANG DASAR 1945 BAB XIII AMANDEMEN UNDANG UNDANG DASAR 1945 A. SEJARAH PELAKSANAAN DAN AMANDEMEN UUD 1945 MPR hasil Pemilu 1999, mengakhiri masa tugasnya dengan mempersembahkan UUD 1945 Amandemen IV. Terhadap produk terakhir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diwujudkan dengan adanya pemilihan umum yang telah diselenggarakan pada

BAB I PENDAHULUAN. diwujudkan dengan adanya pemilihan umum yang telah diselenggarakan pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 pada Bab 1 pasal 1 dijelaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum dan negara

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2009 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

MPR Pasca Perubahan UUD NRI Tahun 1945 (Kedudukan MPR dalam Sistem Ketatanegaraan)

MPR Pasca Perubahan UUD NRI Tahun 1945 (Kedudukan MPR dalam Sistem Ketatanegaraan) JURNAL MAJELIS MPR Pasca Perubahan UUD NRI Tahun 1945 (Kedudukan MPR dalam Sistem Ketatanegaraan) Oleh: Dr. BRA. Mooryati Sudibyo Wakil Ketua MPR RI n Vol. 1 No.1. Agustus 2009 Pengantar Tepat pada ulang

Lebih terperinci

Oleh Eggy Dwikurniawan (Mahasiswa Hukum Universitas Pakuan)

Oleh Eggy Dwikurniawan (Mahasiswa Hukum Universitas Pakuan) PERKEMBANGAN PENGATURAN KOMISI YUDISIAL DALAM UNDANG UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL Oleh Eggy Dwikurniawan (Mahasiswa Hukum

Lebih terperinci

BAB III PERALIHAN KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG KEPADA MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA PEMILUKADA

BAB III PERALIHAN KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG KEPADA MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA PEMILUKADA BAB III PERALIHAN KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG KEPADA MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA PEMILUKADA A. Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilukada di Mahkamah Agung 1. Tugas dan Kewenangan Mahkamah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI. Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU

BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI. Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU 62 BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU 3.1. Kekuatan berlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Peraturan Perundang-undangan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang menjadi bagian dari proses peralihan Indonesia menuju cita demokrasi

BAB I PENDAHULUAN. yang menjadi bagian dari proses peralihan Indonesia menuju cita demokrasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa peralihan Indonesia menuju suatu cita demokrasi merupakan salah satu proses yang menjadi tahapan penting perkembangan Indonesia. Salah satu aspek yang menjadi bagian

Lebih terperinci