Attacus atlas SKRIPSI

dokumen-dokumen yang mirip
TINJAUAN PUSTAKA. Siklus Hidup dan Morfologi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 5. Kandang Pemeliharaan Ulat Sutera Liar A. atlas di Komplek Kandang C

BAB IV. Selama proses habituasi dan domestikasi Attacus atlas (F1-F2) dengan pemberian dua

PENGAMATAN KELUARNYA NGENGAT Attacus atlas BERDASARKAN BOBOT KOKON PADA BERBAGAI KONDISI LINGKUNGAN

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Hewan Percobaan Bahan dan Peralatan

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

TINJAUAN PUSTAKA Ulat Sutra ( Bombyx mori L. Ras Ulat Sutera

PEMBAHASAN. Tabel 11 Hubungan jenis murbei dengan persentase filamen Jenis Murbei

HASIL DAN PEMBAHASAN

PRODUKTIVITAS DAN DAYA TETAS TELUR ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) ASAL PURWAKARTA PADA BERBAGAI JENIS KANDANG PENGAWINAN

Morfometri Kokon Attacus atlas Hasil Pemeliharaan di Laboratorium. Cocoon Morphometry Attacus atlas has Grown in the Laboratory

HAMA Cricula trifenestrata PADA JAMBU METE DAN TEKNIK PENGENDALIANNYA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERFORMA REPRODUKSI IMAGO JANTAN ULAT SUTERA LIAR Attacus atlas L. (Lepidoptera: Saturniidae) WINDY ALVIANTI

Parameter yang Diamati:

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. Ulat Sutera (Bombyx mori L.)

BAB I PENDAHULUAN. benua Asia hingga mencapai benua Eropa melalui Jalur Sutera. Para ilmuwan mulai

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and

MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Materi Ulat Sutera Bahan-Bahan Alat

Karakteristik Kulit Kokon Segar Ulat Sutera Liar (Attacus atlas) dari Perkebunan Teh di Daerah Purwakarta

KARAKTERISTIK KOKON ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) HASIL PENGOKONAN DI LABORATORIUM LAPANG FAKULTAS PETERNAKAN IPB

BAB VII PEMBAHASAN UMUM. Dari rangkaian penelitian yang dilakukan, nampak bahwa ulat sutera liar Attacus

PRODUKTIVITAS ULAT TEPUNG (Tenebrio molitor L.) PADA FASE LARVA DENGAN MEDIA MENGANDUNG ONGGOK SKRIPSI ACHMAD RIZAL

Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA

ABSTRACT. Keywords: Graphium agamemnon, Graphium doson, Mechelia champaca, Annona muricata, life cycle, food consumption.

KARAKTERISTIK KULIT KOKON SEGAR ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) DARI PERKEBUNAN TEH DI DAERAH PURWAKARTA SKRIPSI ARYOKO BASKORO

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Kajian Pengaruh Bobot Kokon Induk Terhadap Kualitas Telur Persilangan Ulat Sutera (Bombyx mori L.) Ras Jepang Dengan Ras Cina

HUBUNGAN ANTARA LAMA PENYIMPANAN DENGAN PENYUSUTAN BOBOT, HAUGH UNIT, DAYA DAN KESTABILAN BUIH PUTIH TELUR AYAM RAS PADA SUHU RUANG SKRIPSI SAMSUDIN

TINJAUAN PUSTAKA Biologi Attacus atlas

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Persiapan tanaman uji, tanaman G. pictum (kiri) dan tanaman A. gangetica (kanan)

PENGARUH JENIS KEMASAN DAN LAMA PENYIMPANAN TERHADAP SERANGAN SERANGGA DAN SIFAT FISIK RANSUM BROILER STARTER BERBENTUK CRUMBLE

MATERI DAN METODE. Prosedur

Ulat Sutera Liar (Attacus atlas)

TINJAUAN PUSTAKA. energi pada kumunitasnya. Kedua, predator telah berulang-ulang dipilih sebagai

PEMBAHASAN Siklus Hidup C. trifenestrata Studi Perkembangan Embrio C. trifenestrata

BAB III METODE PENELITIAN

Lincah Andadari 1 dan Sri Sunarti 2

Preservasi Imago Jantan Ulat Sutera Liar Attacus Atlas (Lepidoptera: Saturniidae)

Status Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) Sebagai Hama

PENGARUH PEMUPUKAN TERHADAP PRODUKSI DAUN MURBEI (Kanva-2) DAN KUALITAS KOKON ULAT SUTERA (Bombyx mori L.) HENDRA EKO SUTEJA

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian

RINGKASAN. Pembimbing Utama : Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc. Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Muhammad Ridla, M.Agr.

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun

TINJAUAN PUSTAKA. Telur berwarna putih, berbentuk bulat panjang, dan diletakkan

untuk meneliti tingkat predasi cecopet terhadap larva dan imago Semoga penelitian ini nantinya dapat bermanfaat bagi pihak pihak yang

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Pengadaan dan Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti

PRODUKTIVITAS ULAT SUTERA (Bombyx mori L) BS-09 SOPPENG DAN CANDIROTO DENGAN JENIS DAUN MURBEI BERBEDA YUNINDA ESTETIKA

TINJAUAN PUSTAKA. Morfologi

Oleh : Lincah Andadari

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), klasifikasi S. inferens adalah sebagai berikut:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo

Metamorfosis Kecoa. 1. Stadium Telur. 2. Stadium Nimfa

II. TINJAUAN PUSTAKA

Jurnal Sainsmat, Maret 2012, Halaman 1-12 Vol. I, No. 1 ISSN

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH INDEKS BENTUK TELUR TERHADAP DAYA TETAS DAN MORTALITAS ITIK MAGELANG DI SATUAN KERJA ITIK BANYUBIRU SKRIPSI. Oleh MUHAMMAD AULIA RAHMAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae)

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae)

HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

KADAR KOLESTEROL SERUM DARAH AYAM PETELUR YANG DIBERI AIR REBUSAN DAUN SIRIH SKRIPSI TEFI HARUMAN HANAFIAH

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), Setothosea asigna di klasifikasikan sebagai

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo saccharipaghus Bojer (Lepidoptera: Pyralidae) mengkilap. Telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam sebelum

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi hama penggerek batang berkilat menurut Soma and Ganeshan

KARAKTERISTIK UKURAN TUBUH KERBAU RAWA DI KECAMATAN CIBADAK DAN SAJIRA KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN SKRIPSI SAROJI

HASIL DAN PEMBAHASAN. Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus

PENGARUH PEMBERIAN PAKAN MURBEI HIBRID TERHADAP PRODUKTIVITAS DAN KUALITAS KOKON

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : Setelah telur diletakkan di dalam bekas gerekan, lalu ditutupi dengan suatu zat

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Biologi Sitophilus oryzae L. (Coleoptera: Curculionidae)

PENGARUH PAKAN DAN BAHAN PELURUH SERISIN TERHADAP FILAMEN TERURAI KOKON ULAT SUTERA EMAS Cricula trifenestrata Helf. TERRY M.

ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO

PENDAHULUAN. salah satunya pemenuhan gizi yang berasal dari protein hewani. Terlepas dari

PENAMPILAN ANAK ITIK YANG DIPELIHARA BERDASARKAN KELOMPOK BOBOT TETAS KECIL, BESAR DAN CAMPURAN SKRIPSI KOMARUDIN

TINJAUAN PUSTAKA. antara telur dan tertutup dengan selaput. Telur mempunyai ukuran

ASPEK BIOLOGIS ULATSUTERA (Bombyx mori L.) DARI DUA SUMBER BIBIT DI SULAWESI SELATAN

KARAKTERISTIK FILAMEN SUTERA (Attacus atlas) PADA USIA KOKON YANG BERBEDA SKRIPSI YULIANA FAJAR

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

KUALITAS KIMIA DAGING DADA AYAM BROILER YANG PAKANNYA DITAMBAHKAN CAMPURAN MINYAK IKAN KAYA ASAM LEMAK OMEGA-3 SKRIPSI DANNI HARJANTO

TINJAUAN PUSTAKA. miring. Sycanus betina meletakkan tiga kelompok telur selama masa hidupnya.

PENGARUH PEMBERIAN TEPUNG DAUN KATUK (Sauropus androgynus (L.) Merr.) DALAM RANSUM TERHADAP KUALITAS TELUR ITIK LOKAL SKRIPSI LILI SURYANINGSIH

I PENDAHULUAN. tidak dapat terbang tinggi, ukuran relatif kecil berkaki pendek.

TINJAUAN PUSTAKA. berkelompok (Gambar 1). Kebanyakan telur ditemukan di bawah permukaan daun,

TUNGAU PADA TANAMAN STROBERI. Oleh: NURFITRI YULIANAH A

PELUANG AGROBISNIS SUTERA ALAM

EFEK PEMOTONGAN DAN PEMUPUKAN TERHADAP PRODUKSI DAN KUALITAS Borreria alata (Aubl.) SEBAGAI HIJAUAN MAKANAN TERNAK KUALITAS TINGGI

EVALUASI PERTUMBUHAN JANGKRIK KALUNG (Gryllus bimaculatus) YANG DIBERI PAKAN DENGAN CAMPURAN DEDAK HALUS SKRIPSI AMELIA L. R.

Gambar 1. Gejala serangan penggerek batang padi pada stadium vegetatif (sundep)

SKRIPSI RIZMA HAYANI DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013

L. (LEPIDOPTERA: SATURNIIDAE) DENGAN PAKAN DAUN KALIKI

MATERI DAN METODE. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Januari-Februari 2014 di

Transkripsi:

PENGARUH PENYIMPANAN DAN HARI OVIPOSISI TERHADAP WAKTU PENETASAN DAN DAYAA TETAS TELUR Attacus atlas SKRIPSI ANGGISTHIA DEWI DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIANN BOGOR 2010

RINGKASAN ANGGISTHIA DEWI. D14054143. 2010. Pengaruh Penyimpanan dan Hari Oviposisi terhadap Waktu Penetasan dan Daya Tetas Telur Attacus atlas. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Dr. Ir. Asnath M. Fuah, MS Pembimbing Anggota : Ir. Hotnida C. H. Siregar, MSi Attacus atlas merupakan salah satu jenis ulat sutera liar yang menghasilkan benang sutera dengan ciri khas yang berbeda dengan ulat sutera lainnya, antara lain serat yang dihasilkan memiliki warna yang unik dan alamiah dengan warna dasar coklat tua, coklat putih atau coklat kehitaman. Kenyataannya, A. atlas belum banyak dimanfaatkan sebagai satwa penghasil sutera walaupun memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan. Potensi pengembangannya perlu didukung oleh banyak faktor termasuk lingkungan dan genetika. Dari segi budidaya, kapasitas reproduksi memegang peranan penting dalam menentukan siklus hidup yang keberlanjutan dari satwa ini. Daya tetas A. atlas merupakan unsur penting yang menentukan produktivitasnya karena satwa ini mampu berkembangbiak dengan baik apabila dibudidayakan pada kondisi yang sesuai habitatnya, antara lain faktor cahaya. Metode penetasan yang biasa diterapkan pada ulat sutera Bombyx mori adalah dengan cara menyimpan telur pada kondisi gelap di hari ke tujuh untuk menyeragamkan waktu penetasan. Metode tersebut dicoba pada A. atlas yakni melakukan penyimpanan telur pada hari ke tujuh, untuk mengetahui waktu penetasan dan daya tetas telur pada hari oviposisi ke-1, 2 dan 3. Ngengat berasal dari kokon yang diperoleh dari perkebunan teh di daerah Purwakarta. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap pola faktorial 2x3, faktor pertama adalah penyimpanan (terang dan gelap) dan faktor kedua adalah hari oviposisi telur (hari ke-1, ke-2 dan ke-3). Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu penetasan dan daya tetas tidak dipengaruhi oleh kondisi penyimpanan (terang dan gelap) dan hari oviposisi. Rataan waktu penetasan dan daya tetas pada penyimpanan terang dan gelap berturut-turut 9,18 hari dan 88,69%, namun daya tetas pada penyimpanan terang relatif lebih seragam (9,41%) dibandingkan pada penyimpanan gelap (13,29%). Proses perkembangan embrio telah selesai pada hari ke tujuh, sehingga dapat disarankan waktu penyimpanan telur dapat dilakukan dalam waktu yang lebih awal sebelum proses organogenesis selesai untuk meningkatkan keseragaman waktu penetasan telur dan menghasilkan daya tetas yang tinggi. Kata-kata kunci : Attacus atlas, telur, waktu penetasan, daya tetas

ABSTRACT Effect of Storage and Oviposition Day on Hatching Time and Hatchability of Attacus atlas Egg s Dewi, A., A. M. Fuah, and H. C. H. Siregar Wild silkworm (Attacus atlas) is one of the species which could produce silk with specific characteristic s as compared to that of other species, and have opportunity to be developed in Indonesia. One of the important factors in silkworm cultivation is to hatch the egg s under appropriate condition hatching the egg s in light and dark condition, which was adopted from the method used for Bombyx mori, might prodive important information on the domestic species. The aim of this study were to evaluate the effect of storage conditions (light and dark) on incubation time and egg hatchability of A. atlas. The experiment used 2x3 Factorial Design with 5 replication s. The first factor was storage condition (light and dark), the second factor was egg s oviposition day (1 st, 2 nd and 3 rd day). The observed variables were hatching time, egg hatchability and mortality of larvae. The average of hatching time and egg hatchability were 9,18 day s and egg hatchability of 88,69% respectively. Both variables were not effected by storage and oviposition day. It is suggested that storage treatment would be best done before the 7 th day in order to improve time efficiency and similarity of hatching. Keyword : Attacus atlas, egg, time incubation, hatchability

PENGARUH PENYIMPANAN DAN HARI OVIPOSISI TERHADAP WAKTU PENETASAN DAN DAYA TETAS TELUR Attacus atlas ANGGISTHIA DEWI D14054143 Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

Judul Skripsi : Pengaruh Penyimpanan dan Hari Oviposisi terhadap Waktu Penetasan dan Daya Tetas Telur Ulat Sutera Attacus atlas Nama Mahasiswa : Anggisthia Dewi Nomor Registrasi Pokok : D14054143 Menyetujui, Pembimbing Utama Pembimbing Anggota Dr. Ir. Asnath M. Fuah, MS Ir. Hotnida C. H. Siregar, M. Si NIP. 19541015 197903 2 001 NIP. 19620617 199003 2 001 Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M. Agr. Sc NIP. 19591212 198603 1 004 Tanggal Ujian : 08 Februari 2010 Tanggal Kelulusan :

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 22 Maret 1986 di Serang, Banten, sebagai putri pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Solihin dan Ena M. Penulis menyelesaikan Sekolah Dasar Negeri 4 Cileunyi, Bandung pada 1992-1998, Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Cileunyi, Bandung pada 1998-2001 dan melanjutkan ke Sekolah Menengah Umum (SMU) Negeri 1 Rancaekek pada 2001-2004. Penulis kemudian masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada tahun 2005 dan terdaftar sebagai mahasiswa Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006. Selama menempuh pendidikan di Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Penulis aktif dalam lembaga kemahasiswaan seperti FAMM Al-An aam sebagai anggota serta Himpunan Profesi Mahasiswa Produksi Peternakan (HIMAPROTER), Fakultas Peternakan IPB sebagai anggota. Penulis juga berkesempatan mendapat pendanaan pada Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang penelitian bersama tim yang diselenggarakan DIKTI pada tahun 2008 dengan judul karya tulis Peningkatan Nilai Gizi dan Cita Rasa Mie Basah dengan Penambahan Tepung Tulang Daging Leher Ayam Pedaging.

KATA PENGANTAR Bismillaahirrahmaanirrahiim Assalamua laikum Wr.Wb. Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT atas karunia dan limpahan rahmat-nya Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Pengaruh Penyimpanan dan Hari Oviposisi terhadap Waktu Penetasan dan Daya Tetas Telur Attacus atlas. Shalawat beriring salam senantiasa tercurah kepada Baginda Rasulullah SAW, beserta para keluarga, sahabat, dan seluruh umat manusia yang senantiasa istiqomah dijalan-nya. Attacus atlas merupakan salah satu komoditi yang belum banyak dikembangkan sebagai satwa yang memiliki prospek bisnis. Hingga saat ini, satwa ini masih tersedia di alam dan dianggap sebagai hama tanaman (terutama teh) oleh masyarakat. Keunggulan A. atlas adalah mampu menghasilkan serat sutera yang memiliki warna yang khas dan ekslusif, hal ini mendorong Penulis untuk melakukan upaya budidaya. Potensi pengembangan A. atlas perlu didukung oleh faktor yang menentukan kemampuan dan siklus hidup yang tidak terputus dari telur-larvangengat. Salah satu keberhasilan dalam pembudidayaan satwa ini adalah penetasan telur. Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, untuk itu Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak, agar skripsi ini bermanfaat dan dapat digunakan sebagai bahan tafakur atas ciptaan Allah SWT. Wa alaikum salam Wr.Wb Bogor, Februari 2010 Penulis

DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN... i ABSTRACT... ii LEMBAR PERNYATAAN... iii LEMBAR PENGESAHAN... iv RIWAYAT HIDUP... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... xi PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Perumusan Masalah... 2 Tujuan dan Manfaat... 2 TINJAUAN PUSTAKA... 4 Taksonomi Ulat Sutera Liar (Attacus atlas)... Siklus Hidup... Morfologi Ulat Sutera Liar (Attacus atlas)... Telur... Larva... Kokon dan Pupa... Imago... Penetasan Telur... Reproduksi Ulat Sutera... METODE... Lokasi dan Waktu... Materi dan Alat... Prosedur... Rancangan Percobaan... Peubah yang Diamati... HASIL DAN PEMBAHASAN... Kondisi Kandang Penelitian... Waktu Penetasan... Daya Tetas... 4 4 6 6 7 7 8 9 9 11 11 11 12 13 14 15 15 15 18

KESIMPULAN DAN SARAN... Kesimpulan... Saran... UCAPAN TERIMA KASIH... DAFTAR PUSTAKA... LAMPIRAN... 22 22 22 23 24 25

DAFTAR TABEL Nomor. 1. Rataan dan Simpangan Baku Suhu dan Kelembaban pada Kandang Pengawinan dan Penetasan Telur... 2. Rataan Waktu Penetasan dan Nilai Koefisien Keragaman pada Penyimpanan dan Hari Oviposisi yang Berbeda... 3. Rataan Persentase Daya Tetas pada Penyimpanan dan Hari Oviposisi yang Berbeda... Halaman 15 16 18

DAFTAR GAMBAR Nomor 1. Siklus Hidup Attacus atlas dari Telur sampai Imago... 2. Kokon (a), Imago (b), Telur (c), Larva instar 1 (d) dan Larva instar 6 dari A. atlas (e)... 3. Diagram Alir Prosedur Penelitian... 4. Penetasan Telur A. atlas... Halaman 6 11 13 20

DAFTAR LAMPIRAN Nomor 1. Analisis Ragam Waktu Penetasan Telur... 2. Analisis Ragam Daya Tetas Telur... 3. Nilai Korelasi Waktu Penetasan Telur terhadap Hari Oviposisi dan Daya Tetas Telur... 4. Nilai Korelasi Daya Tetas Telur terhadap Hari Oviposisi dan Waktu Penetasan... Halaman 26 26 26 26

PENDAHULUAN Latar Belakang Attacus atlas merupakan salah satu jenis satwa yang berpotensi untuk dikembangkan dengan produksi utama adalah kokon sebagai bahan dasar penghasil benang (kain) sutera. Sutera yang dihasilkan A. atlas memiliki warna coklat keemasan sehingga tidak perlu dilakukan proses pewarnaan, berbeda dengan sutera Bombyx mori yang berwarna dasar putih. Benang yang dihasilkan A. atlas memiliki panjang yang dapat mencapai 2.500 meter/kokon, hal ini karena ukuran tubuh dan bobot badan A. atlas 20 kali lebih besar dibandingkan jenis B. mori yang menghasilkan benang dengan panjang 1,125 meter/kokon (Awan, 2007 dan Atmosoedarjo et al., 2000). Keistimewaan lainnya adalah bibit A. atlas dapat di budidayakan untuk menghasilkan bibit sendiri karena kokon dipanen setelah ngengat keluar. Permintaan pasar dunia untuk kokon dan benang sutera mentah A. atlas cukup besar, negara konsumen terbesar adalah Cina yang membutuhkan 447.261 ton, Jepang membutuhkan 34.780 ton, Eropa membutuhkan 13.342 ton, India 12.694 ton, Madagaskar 40 ton, Nepal 2 ton setiap tahunnya (ISA, 2000). Namun, saat ini hanya 10% saja yang dapat memenuhi kebutuhan (Awan, 2007). Besarnya peluang pasar dan banyaknya lokasi yang cocok untuk kegiatan persuteraan di Indonesia, maka diharapkan usaha ini dapat berkembang serta dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Daerah Garut, Jawa Barat merupakan salah satu tempat yang menghasilkan benang sutera dan produk kerajinan tangan berbahan dasar sutera. Bahan baku kokonnya diperoleh dari tanaman sirsak, namun larva A. atlas dianggap hama tanaman. Selain sirsak, larva A. atlas dapat menyerang bermacam-macam tanaman, diantaranya kina, teh, dadap, mangga, jeruk, jambu, dan lain-lain. Pengambilan kokon yang berasal dari alam dapat menyebabkan ketersediaan bibit A. atlas berkurang dan tingkat keberhasilannya sangat rendah yaitu hanya sekitar 10% dapat mencapai tahap kokon. Hal ini kemungkinan disebabkan lingkungan yang tidak terkontrol seperti hujan, angin, panas, serangga predator dan faktor-faktor lainnya. Pemeliharaan di dalam kandang merupakan upaya untuk menekan faktor-faktor yang

tidak dapat dikendalikan pada pemeliharaan di alam sehingga keberhasilan produksi dan pembentukkan kokon menjadi lebih baik. Perkebunan teh di Purwakarta merupakan salah satu tempat yang memiliki populasi A. atlas yang cukup banyak. Walaupun populasinya banyak, lingkungan sangat berpengaruh terhadap daya hidup dan produktivitas dari A. atlas, misalnya kondisi pemeliharaan yang sesuai habitatnya, salah satu faktornya adalah cahaya. Penyimpanan terang berpengaruh pada voltinisme dari tahap pembentukan kaki sampai tahap pigmentasi kepala dan penyimpanan penggelapan dimaksudkan untuk memperlambat waktu penetasan, sehingga telur dapat menetas secara seragam. Pengembangbiakan A. atlas perlu didukung oleh potensi dan kapasitas reproduksi yang baik, salah satu kriteria yang penting adalah daya tetas. Salah satu teknik penetasan telur B. mori untuk penyerempakan penetasan adalah melalui penyimpanan telur dalam kondisi gelap. Penyerempakkan waktu penetasan telur mengakibatkan pertumbuhan larva dan pergantian instar akan seragam, serta dapat mengefisiensikan tenaga kerja dan waktu dalam pembudidayaan. Perumusan Masalah Attacus atlas saat ini masih tersedia di alam, namun ketersediaannya mengalami kendala karena kokon dari alam tidak tersedia sepanjang tahun. Untuk mendapatkan ketersediaan telur, produksi kokon yang cukup serta produksi benang yang tinggi dan berkualitas, perlu diupayakan agar siklus hidup yang tidak terputus dari telur-larva-ngengat. Pemeliharaan di dalam ruangan diharapkan mampu mendukung siklus hidup dari A. atlas agar tidak terputus sehingga dapat memenuhi kebutuhan kokon tanpa harus tergantung dari alam, dan juga mengurangi gangguan parasit sehingga produksi suteranya dapat ditingkatkan. Menurut Atmosoedarjo et al. (2000), salah satu proses inkubasi telur B. mori adalah dengan metode penggelapan (dengan menggunakan kain hitam) yang dilakukan dua hari sebelum telur menetas. Metode ini dapat menghasilkan telur menetas secara merata dan seragam. Metode penyimpanan telur (terang dan gelap) mungkin dapat diterapkan pada A. atlas untuk mengevaluasi sejauh mana keberhasilan dari aplikasi tersebut. 2

Tujuan dan Manfaat Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh penyimpanan pada kondisi ruang telur terang dan gelap pada hari oviposisi 1, 2 dan 3 terhadap waktu penetasan, daya tetas telur A. atlas. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada peternak atau praktisi yang berkecimpung dengan A. atlas tentang penetasan telur A. atlas pada kondisi ruang penyimpanan terang dan gelap. 3

TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi Ulat Sutera Liar (Attacus atlas) Attacus atlas merupakan salah satu serangga penghasil bahan sutera yang dapat dimanfaatkan untuk industri pertekstilan sebagaimana anggota genus lainnya. Hewan ini berukuran besar dan banyak ditemukan di wilayah Asia Tenggara, Asia bagian Selatan dan Asia Timur (Peigler, 1989). Karakteristik yang dimilikinya antara lain, memiliki warna sayap cokelat kelabu dengan panjang pada jantan 13 15 cm dan pada betina 18 20 cm. Kepompong berwarna cokelat kelabu, panjang 8 9 cm serta lebarnya 3 4 cm (Kalshoven, 1981). Hewan ini termasuk hewan polivoltin artinya dapat hidup sepanjang tahun. Klasifikasi A. atlas menurut Peigler (1989), yaitu sebagai berikut: Filum : Arthropoda Kelas : Insecta Ordo : Lepidoptera Famili : Saturniidae Genus : Attacus Spesies : Attacus atlas Menurut Kalshoven (1981) larva A. atlas (Lepidoptera: Saturnidae) merupakan ulat pemakan daun seperti sirsak (Annona muricata L), jeruk (Citrus sinensis L), dadap (Erytrina vagiegata L), alpukat (Persea Americana Mill), teh (Camellia sinensis), cengkeh (Syzygium aromaticum), mangga (Mangifera indica L) dan tanaman dikotil lainnya. Siklus Hidup Ulat sutera mengalami metamorfosa sempurna yaitu dimulai dari telur, ulat (larva), kepompong (pupa), dan ngengat (Samsijah dan Andadari, 1992). Menurut Awan (2007), waktu yang diperlukan mulai dari peletakan telur pertama sampai imago bertelur kembali adalah selama 64-88 hari dengan pemberian pakan daun sirsak. Stadium larva berlangsung dalam enam instar. Larva A. atlas merupakan serangga yang aktif bergerak, berlangsung selama periode makan hingga pada saat molting (pergantian kulit). Mulyani (2008) menyatakan bahwa menjelang ganti kulit, ulat menghentikan keaktifan dengan posisi istirahat (berbentuk C atau J). Moltinisme 4

dipengaruhi oleh nutrisi, apabila kondisi pakan kurang baik pada stadia larva, dapat mengakibatkan frekuensi pergantian kulit bertambah (Atmosoedarjo et al., 2000). Dalam daur hidup A. atlas, periode terlama adalah stadia larva (34-47 hari). Menurut Awan (2007), instar pertama berlangsung 4-5 hari, instar kedua selama 4-5 hari, instar ketiga sampai keempat selama 4-5 hari, instar kelima selama 6-8 hari dan instar keenam berlangsung 8-10 hari dengan temperatur lingkungan pada masa inkubasi telur adalah 22-24 0 C, untuk ulat kecil (instar 1-3) dan ulat besar (instar 4-6) pada kisaran suhu ruang 24-29 0 C. Instar pertama dengan ciri-ciri yaitu kepala berwarna hitam dan tubuhnya berwarna kuning pucat dan larva instar kedua berwarna kehijauan ditutupi tepung berwarna putih, bagian kepala berwarna coklat gelap. Memasuki instar ketiga, tubuh berwarna hijau dan ditutupi tepung berwarna putih, dan pada saat larva memasuki instar keempat dengan kepala berwarna kehijauan cerah. Larva instar kelima memiliki ciri-ciri kepala berkilauan dan berwarna hijau kekuningan terang. Ciri larva instar kelima relatif sama dengan larva instar enam. Instar keenam memiliki waktu yang lebih lama karena pada instar keenam adalah tahapan larva akan berubah menjadi pupa dan akan mengokon. Warna kehijauan ditutupi tepung putih, bagian punggung terdapat tonjolan putih, segmen badan agak panjang (Awan, 2007; Mulyani, 2008). Pupa dengan tipe obstek, berada dalam kokon berwarna coklat (Borror et al., 1969). Jumlah pakan yang dapat dimakan oleh A. atlas cukup banyak yaitu 129,01 gram daun sirsak/larva selama satu siklus hidup; 137,97 daun teh/larva/siklus hidup. Pemeliharaan larva sebanyak 20.000 ekor memerlukan 2.580.200 gram (2.580,2 kg) daun dalam satu siklus hidup atau setara dengan 25.802.000 helai daun untuk sirsak (1 kg daun sirsak setara dengan 1.000.000 helai daun). Pada daun teh membutuhkan 2.759.400 gram daun (2.759,4 kg) daun setara dengan 22.075.200 helai daun. Daya dukung pohon sirsak untuk memenuhi kebutuhan 20.000 ekor larva sejumlah 852 pohon (1 pohon sirsak berumur 4 tahun jumlah 3000 helai daun), pohon teh sejumlah 736 pohon (1 pohon teh jumlah 3000 helai daun) (Awan, 2007). Siklus hidup ulat sutera A. atlas dari telur sampai imago yang diberi pakan daun sirsak dapat dilihat pada Gambar 1. 5

Gambar 1. Siklus Hidup Attacus atlas dari Telur Sampai Imago (Sumber: Awan, 2007) 6

Morfologi Sesuai dengan siklus hidupnya, ulat sutera memiliki beberapa tahapan perkembangan berdasarkan perubahan morfologi yang di alami, yaitu telur, larva, pupa, kokon, dan imago. Masing-masing tahap memiliki karakteristik yang berbeda sebagai berikut: Telur; ciri morfologi telur A. atlas secara umum adalah berbentuk oval agak gepeng dengan ukuran panjang 2,5-2,7 mm, lebar 2,1-2,3 mm dan tinggi 2,1 mm dengan dasar putih kehijauan (Peigler, 1989). Telur yang baru keluar dari imago betina biasanya dilindungi oleh suatu cairan berwarna kemerahan hingga coklat. Telur ulat sutera mempunyai zat perekat yang hanya terdapat pada bagian bawah ketika deposisi dan melekat pada kertas telur, cairan ini berfungsi untuk meletakan telur pada substrat (JOCV, 1975). Induk biasanya meletakkan telurnya di daun, ranting wadah pemeliharaan, dan tempat yang cocok (Awan, 2008). Perilaku imago betina dalam meletakkan telur-telurnya yaitu dengan meletakkan secara berkelompok atau secara terpisah. Telur-telur yang berkelompok jumlahnya bervariasi, jumlah telur dalam satu kelompok mencapai lebih dari 10 butir. Jumlah telur yang dihasilkan berbeda-beda tergantung dari hari oviposisinya dengan jumlah telur terbanyak dihasilkan pada hari oviposisi pertama dan kedua, dengan masa inkubasi telur antara 8-13 hari (Mulyani, 2008; Adria dan Idris, 2007). Hasil penelitian Desiana (2008) memperlihatkan bahwa daya tetas pada hari oviposisi pertama dan kedua adalah 41,69% dan 10,98% dengan persentase waktu penetasan pada hari kedelapan dan kesembilan sebesar 41,97% dan 10,42%. Larva; stadium larva memiliki enam tahapan instar, dengan setiap instar ciri, ukuran dan perilaku berbeda sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan larva. Pergantian kulit (molting) adalah tanda pergantian masa instar. Pergantian masa instar ditandai dengan pergantian kulit pada larva, demikian selanjutnya hingga instar keenam (Awan, 2007). Pergantian kulit dilakukan pada saat pertumbuhan larva telah mencapai maksimal yang ditandai dengan larva tidak aktif makan dan lebih banyak diam. Pergantian kulit terjadi pada seluruh lapisan kutikula dinding tubuh, kepala, lapisan-lapisan kutikula trachea, usus depan dan usus belakang yang dilakukan dalam bentuk potongan-potongan melalui anusnya (Borror et al., 1992). 7

Pupa dan Kokon; tanda-tanda larva akan mengokon adalah mengeluarkan feses yang lunak dan urin. Sebelum membuat serat-serat kokon, larva akan mengeluarkan sejenis lendir serta tubuhnya berwarna hijau tua hingga hijau bersemu hitam (Mulyani, 2008). Larva mulai mengeluarkan cairan sutera yang diletakkan pada wadah pemeliharaan atau pada daun yang akan digunakan untuk meletakkan kokon. serat-serat yang terbentuk ini berfungsi untuk menguatkan daun agar tidak jatuh ketika daun sudah tua dan mengering. Setelah menguat agar tidak mudah jatuh, larva akan meneruskan pembuatan kokon pada daun tersebut (Awan, 2007). Fase pengokonan adalah fase perubahan bentuk dari larva menjadi pupa sebelum berubah menjadi imago. Selama fase ini larva akan membentuk suatu bangunan yang berfungsi untuk membungkus dirinya agar terhindar dari gangguan musuh. Jadi, kokon adalah cairan yang dikeluarkan oleh kelenjar sutera dan setelah kering akan menjadi serat-serat (Samsijah dan Andadari, 1995). Kokon berfungsi untuk menjaga agar kondisi luar pupa tetap sesuai dan menjaga dari pengaruh lingkungan yang buruk yang akan mengganggu perkembangan pupa. Kokon yang terbentuk sempurna berbentuk elips, ujungnya membulat dan pada ujung anteriornya terdapat celah. Kokon berwarna coklat keemasan, kokon yang baru terbentuk masih agak lemah dan agak basah, oleh pengaruh sinar matahari, gerakan angin, lama kelamaanakan lebih kuat dan lebih kering (Awan, 2007). Warna kokon bervariasi dari orange hingga coklat tua, tetapi biasanya berwarna coklat muda, tekstur permukaan kesat dan terkadang mengkerut (Peigler, 1989). Stadium pupa merupakan bagian yang paling penting dalam perkembangan metamorfosis dari larva menjadi imago, yakni terjadi organogenesis yaitu pembentukan organ-organ imago antara lain pembentukan sayap, kaki, kepala dan struktur reproduksi. Oleh karena itu stadium pupa perlu diperhatikan agar tidak terganggu proses organogenesis berlangsung sempurna. Apabila dalam proses ini terjadi gangguan atau pengaruh lingkungan, maka akan menyebabkan kegagalan pembentukan organ dan kemungkinan besar menyebabkan kematian (Awan, 2007). Imago (ngengat); keluar melalui lubang di ujung anterior kokon yang telah terbentuk saat pembuatan kokon. Imago yang baru keluar dari kokon biasanya masih basah oleh suatu cairan yang berwarna putih keruh, sayap belum terbentuk sempurna. Imago yang baru keluar ini akan segera mencari ranting, atau dahan dan akan 8

mengambil posisi menggantung dengan abdomen berada di bawah, sehingga mudah mengembangkan sayapnya. Setelah beberapa saat sayapnya akan mulai mengembang (Awan,2007). Sayap yang baru mengembang ini kondisinya masih lemah dan belum dapat digunakan untuk terbang. Imago betina memiliki panjang antena 17-21 mm dan lebar 3 mm, sedangkan ngengat jantan memiliki panjang antena 23-30 mm, lebar 10-13 mm (Peigler, 1989). Antena berfungsi untuk mendeteksi feromon seks yang dikeluarkan oleh betina (Mulyani, 2008). Imago jantan mendeteksi adanya feromon dengan antena yang panjang dan melebar akan segera mencari dan mendatangi imago betina. Perkawinan akan berlangsung selama sehari penuh dari dinihari hingga menjelang malam hari. Beberapa jam setelah melakukan perkawinan, imago betina akan segera bertelur. Imago betina akan meletakkan telurnya berjajar di bawah daun dan kadang-kadang ada yang di ranting, wadah pemeliharaan dan tempat lain yang dianggap cocok. Ngengat betina mampu menghasilkan telur sebanyak 100-360 butir (Awan, 2007). Penetasan Telur Dalam industri persuteraan, perkembangbiakan dan kesuburan hewan betina adalah dua faktor penentu karena keduanya berkorelasi secara langsung terhadap produksi sutera menentukan jumlah keturunan yang ada serta produksi bahan dasar yang lebih banyak apabila keberhasilan hidup saat mencapai kokon tinggi (Faruki, 2005). Menurut Peigler (1989), ngengat A. atlas memiliki perkembangbiakan yang tinggi. Samsijah dan Andadari (1992) menyatakan inkubasi adalah masa perawatan telur ulat sutera sampai menetas. Tujuan dari penetasan adalah agar telur ulat sutera dapat menetas dengan baik dan merata. Persentase penetasan telur ulat sutera menghasilkan daya tetas diatas 90%. penetasan pada telur B. mori dapat dilakukan dengan pemberian cahaya dan penggelapan. Atmosoedarjo et al., (2000) menyatakan bahwa cahaya akan berpengaruh kepada voltinisme dari tahap pembentukkan kaki sampai tahap pigmentasi kepala. Penggelapan telur B. mori dilakukan pada dua hari sebelum telur menetas. Sunanto (1997) melaporkan bahwa penggelapan secara total pada kotak penetasan dengan dibungkus kain hitam. Tujuan pembungkusan kotak penetasan ini adalah agar telur dapat menetas secara serentak sehingga ukuran besar ulat-ulat itu seragam. 9

Reproduksi Ulat Sutera Menurut Awan (2007), masa bertelur berkisar antara 2 sampai 10 hari, sementara Desiana (2008) melaporkan 2 sampai 5 hari. Betina A. atlas mampu memproduksi 326 462 telur dalam 5 hari (Yusuf, 2009). Jumlah telur yang dihasilkan berbeda-beda tergantung dari oviposisinya dengan jumlah telur terbanyak dari oviposisi pertama dan kedua. Desiana (2008) melaporkan bahwa persentase penetasan paling tinggi ditunjukkan pada hari oviposisi pertama dan kedua sebesar 41,69% dan 10,98%. Yusuf (2009) menyatakan embrio A. atlas telah mencapai tahap organogenesis pada hari ke-5 dan organogenesis dilanjutkan sampai hari ke-7 sehingga telur akan menetas pada 8-13 hari (Mulyani, 2008; Adria dan Idris, 2007). Persentase telur yang menetas mencapai nilai tertinggi pada telur yang dioviposisikan di hari pertama dan menurun sejalan bertambahnya hari oviposisi. Menurut Rianto (2010), semakin bertambahnya hari oviposisi maka jumlah sperma yang tersedia pada ngengat betina semakin sedikit. 10

METODE Lokasi dan Waktu Penelitian tentang waktu penetasan dan daya tetas telur Attacus atlas dilaksanakan dari bulan Mei sampai Oktober 2009, dengan tahapan sebagai berikut: April sampai Mei merupakan tahapan persiapan, bulan Mei sampai Juli tahap pengumpulan data dan bulan juli sampai Desember 2009 untuk pengolahan data dan penyusunan skripsi. Penelitian ini bertempat di Laboratorium Lapang Blok C Non- Ruminansia dan Satwa Harapan (NRSH) Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Materi dan Alat Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah 750 butir telur yang dihasilkan oleh ngengat A. atlas hasil pengokonan dari kokon yang diperoleh dari perkebunan teh di daerah Purwakarta. Alat-alat yang digunakan adalah kandang kasa berukuran 40 x 40 x 40 cm, cawan petri, kotak plastik, kain hitam, termohigrometer, hand counter, kamera digital, tisu, dan alat tulis. (a) (b) (c) (d) (e) Gambar 2. Kokon (a), Imago (b), Telur (c), Larva Instar 1 (d) dan Larva Instar 6 dari A. atlas (e) (foto koleksi pribadi)

Prosedur Ngengat jantan dan betina yang sayapnya telah berkembang dengan sempurna dimasukkan ke kandang kasa berukuran 40 x 40 x 40 cm dengan rasio 2 jantan : 1 betina per kandang. Hal ini dilakukan karena betina memilih jantan dalam melakukan perkawinan. Setelah kawin ngengat betina akan menghasilkan telur. Telur pada hari oviposisi 1, 2, dan 3 digunakan sebagai materi dalam penelitiaan, hal ini dilakukan karena dimungkinkan telur dihasilkan cukup banyak dan banyak juga telur yang menetas pada hari oviposisi tersebut. Telur pada hari oviposisi pertama diambil dari tiap kandang kawin lalu diinkubasikan ke dalam 10 cawan petri. Jumlah telur dalam setiap cawan petri adalah telur. Perlakuan penyimpanan (terang dan gelap) dilakukan pada hari ke tujuh yaitu lima cawan petri diberi perlakuan terang dan lima cawan petri lainnya diberi perlakuan gelap dengan cara membungkus cawan petri dengan kain hitam, namun udara masih dapat masuk ke dalam kain sehingga sirkulasi udara di dalam cawan masih dapat berganti dengan udara di sekitarnya. Metode penyimpanan (terang dan gelap) pada hari ke tujuh didasarkan pada manajemen yang telah pada penetasan telur B. mori. Telur yang menetas dicatat jumlah dan tanggal menetasnya. Telur pada hari oviposisi ke-2 dan ke-3 juga mendapatkan perlakuan penyimpanan yang sama dengan telur pada oviposisi ke-1. Perlakuan kondisi gelap dilakukan mulai dari telur diletakkan hingga telur menetas. Suhu dan kelembaban ruangan sekitar kandang dicatat setiap hari pada pagi, siang dan sore hari selama penelitian. Namun, disarankan pada penyimpanan kondisi gelap dapat diketahui suhu dan kelembaban sehingga dapat diketahui perbedaan suhu di dalam kain dengan suhu di sekitar kandang. Diagram alur prosedur penelitian dapat dilihat pada Gambar 3. 12

Ngengat dikawinkan dengan rasio 2 jantan : 1 betina Telur hari oviposisi I Telur hari oviposisi II Telur hari oviposisi III Terang Gelap Terang Gelap Terang Gelap n1 n2 Ulangan N1 n3 n4 n5 Gambar 3. Diagram Alur Penelitian Rancangan Percobaan Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial 2x3 dengan 5 kali ulangan dari jumlah telur per ulangan =. Secara keseluruhan jumlah telur yang digunakan 750 butir. Faktor pertama adalah penyimpanan dengan 2 taraf yakni kondisi terang dan gelap. Faktor kedua adalah hari oviposisi yang terdiri dari tiga oviposisi yaitu hari pertama (H1), hari kedua (H2) dan hari oviposisi ketiga (H3). 13

Model matematik yang digunakan berdasarkan Steel and Torrie (1995) : Yijk = µ + Ci + Pj + CPij + ijk Keterangan : Yijk = Nilai pengamatan pada ulangan ke-k dari penyimpanan (terang dan gelap) ke-i dan waktu oviposisi ke-j µ Ci = = Nilai tengah umum Pengaruh penyimpanan (terang dan gelap) pada taraf ke-i (i= 2; (1) gelap, (2) terang). Pj = Pengaruh faktor waktu oviposisi telur pada taraf ke-j (j= 3; (1) Hari oviposisi I/H1, Hari oviposisi II/H2, Hari oviposisi III/H3) CPij = Pengaruh interaksi antara penyimpanan (terang atau gelap) ke-i dan hari oviposisi ke-j ijk = Galat percobaan pada ulangan ke-k dari penyimpanan (terang atau gelap) ke-i dan waktu oviposisi ke j. Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis ragam (ANOVA) dengan tingkat kepercayaan P = 95%, menggunakan program Minitab 14. Peubah yang Diamati Waktu Penetasan Telur (hari), yaitu lamanya telur menetas dihitung dari waktu pada saat induk meletakkan telur (oviposisi) hingga telur menetas. Daya tetas, yaitu persentase telur yang menetas dari 25 telur yang di inkubasi Daya tetas (%) X 100% 14

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Kandang Penelitian Rataan suhu dan kelembaban kandang selama perkawinan ngengat dan penetasan telur pada pagi, siang dan sore hari disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Rataan dan Simpangan Baku Suhu dan Kelembaban pada Kandang Pengawinan dan Penetasan Telur Waktu Perkawinan Ngengat Penetasan Telur Suhu ( 0 C) RH (%) Suhu ( 0 C) RH (%) Pagi 22,29+1, 45 81,58+5,04 22,44+1,43 78,24+6,19 Siang 27,80+1,25 53,65+7,62 27,43+1,76 54,18+6,84 Sore 25,58+1,62 75,68+5,38 25,31+1,31 74,10+6,23 Rataan 25,26+1,44 70,31+6,01 25,06+1,50 68,84+6,42 Keterangan: Rh: Kelembaban Tabel 1 memperlihatkan suhu dan kelembaban lingkungan yang berfluktuatif. Pada siang hari suhunya tinggi dengan kelembaban yang rendah yaitu 27,80 0 C dan 53,65% pada periode pengawinan ngengat serta 27,43 0 C dan 54,18% pada periode penetasan telur. Menurut Awan (2007), suhu yang ideal untuk perkawinan ngengat A. atlas adalah 26-29 0 C dan untuk penetasan telur 22-24 0 C dengan kelembaban ideal berkisar antara 68-70%. Rataan suhu dan kelembaban lingkungan kandang selama penelitian masih dalam kisaran suhu dan kelembaban optimal sehingga dapat ditoleransi oleh ngengat dan telur. Penyiraman lantai kandang bagian bawah rak tempat penyimpanan telur dilakukan untuk mempertahankan lingkungan kandang sehingga kelembaban dapat terjaga dengan baik dan dapat mengurangi kegagalan penetasan telur. Waktu Penetasan Tabel 2 memperlihatkan waktu penetasan berkisar antara 8,9-9,5 hari. Menurut Untari (2004), penetasan yang serempak akan menghasilkan proses budidaya ulat sutera menjadi lebih cepat dan selanjutnya dapat meningkatkan produksi serat sutera yang dihasilkan. Endrawati (2004) melaporkan bahwa keseragaman waktu penetasan menentukan efisiensi tenaga kerja dan produksi. Atmosoedarjo et al. (2000) menyatakan bahwa penyerempakan waktu penetasan

pada ulat sutera B. mori dilakukan dengan menginkubasikan telur pada ruang gelap (black box). Penyimpanan terang dan gelap memiliki peran yang penting terhadap proses pembentukkan embrio. Atmosoedarjo et al. (2000) menyatakan bahwa inkubasi telur pada penyimpanan terang berpengaruh terhadap voltinisme dari tahap pembentukan kaki sampai tahap pigmentasi kepala. Sedangkan penyimpanan gelap menurut Katsumata (1964) berperan untuk memperlambat waktu penetasan dan meningkatkan keseragaman penetasan telur. Wibowo (2004) menyatakan aktivitas syaraf di dalam telur serangga juga memberikan respon terhadap cahaya melalui pelepasan hormon, yaitu hormon ekdison dan hormon juvenil. Menurut Wigglesworth (1979), hormon ekdison berperan dalam metamorfosis embrio dan dapat menyebabkan pengelupasan kulit telur pada serangga, sedangkan hormon juvenil mengontrol proses pendewasan dan berperan juga dalam memperpendek waktu penetasan telur serangga. Sehingga diduga kedua hormon ini juga berperan terhadap penetasan telur A. atlas yang disimpan pada kondisi terang maupun gelap. Tabel 2. Rataan Waktu Penetasan dan Nilai Koefisien Keragaman pada Penyimpanan dan Hari Oviposisi yang Berbeda Oviposisi (hari) Rataan Penyimpanan H1 H2 H3 Rataan KK(%) Rataan KK(%) Rataan KK(%) Rataan KK(%) Terang 9,2 6,20 9,2 4,86 8,9 7,32 9,1 6,13 Gelap 9,3 6,13 9,5 6,45 9,0 7,86 9,26 6,81 Rataan 9,25 6,16 9,35 6,46 8,95 7,59 9,18 6,47 Keterangan = KK = Koefisien Keragaman R 2 = 11,72% Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa waktu penetasan tidak dipengaruhi (P>0,05) oleh kondisi penyimpanan terang maupun gelap dan hari oviposisi. Artinya, penetasan telur dapat dilakukan pada kondisi terang maupun gelap dengan rataan umum waktu penetasan 9,18 hari (lihat Tabel 2). Waktu penetasan ini lebih lama dari hasil penelitian Desiana (2008) yang memiliki waktu penetasan 8 hari dengan suhu dan kelembaban 27-29,5 0 C dan 54-79%. Pada tingkat kelembaban yang sama, perbedaan waktu penetasan mungkin dipengaruhi oleh perbedaan suhu, yakni pengaruh suhu yang tinggi, dapat mempercepat waktu penetasan. Menurut Herbert et al. (1982), kombinasi suhu dan fotoperiode memberikan pengaruh yang 16

penting terhadap lama stadia telur dan Wigglesworth (1979) juga menyatakan bahwa perkembangan embrio Saturniidae lambat pada suhu yang rendah. Variasi waktu penetasan pada penelitian ini (9,18 hari) dengan hasil yang diperoleh Awan (2007), yakni 10-12 hari, lebih dipengaruhi oleh perbedaan suhu. Menurut Wigglesworth (1979), beberapa spesies pada suhu rendah mengalami perkembangan yang tertahan. Penetasan telur pada B. mori dengan metode black box yang membutuhkan masa inkubasi 9-12 hari (Tazima, 1975). Waktu penetasan pada B. mori ini lebih lama A. atlas yaitu sekitar 8 hari (Desiana, 2008 dan Yusuf, 2009). Waktu penetasan A. atlas terjadi pada hari ke-8 sampai hari ke-12 setelah peletakan telur. Perbedaan waktu penetasan ini mungkin dipengaruhi oleh perbedaan kecepatan dalam proses pembentukan embrio setiap individu. Proses perkembangan embrio menurut Yusuf (2009), telah sempurna pada hari ke 6-7, namun embrio ulat belum mampu untuk membuka cangkang telur. Hal ini dapat menerangkan bahwa metode penggelapan pada hari ketujuh tidak efektif terhadap penetasan telur A. atlas karena embrio sudah terbentuk sempurna di hari tersebut. Agar penyerempakkan penetasan efektif, penyimpanan telur dalam kondisi gelap sebaiknya pada waktu yang lebih awal dari hari ketujuh masa inkubasi. Perlu penelitian lanjutan untuk mendapatkan waktu perlakuan gelap yang lebih tepat. Koefisien determinasi (R 2 ) pada waktu penetasan telur penyimpanan terang dan gelap cukup rendah yaitu 11,72%. Berarti hanya 11,72% dari peubah waktu penetasan yang diamati dipengaruhi faktor penyimpanan dan hari oviposisi sedangkan 88,28% dipengaruhi oleh faktor yang tidak diamati dalam penelitian, misalnya faktor lingkungan dan faktor genetik. Koefisien determinasi (R 2 ) dan koefisien keragaman (KK) yang rendah menunjukkan bahwa faktor genetik cukup besar pengaruhnya terhadap waktu penetasan. Hubungan (korelasi) antara waktu penetasan dengan kondisi penyimpanan (terang maupun gelap) (r = 0,146) dan hari oviposisi (r = -0,215) sangat rendah sehingga kondisi penyimpanan maupun hari oviposisi tidak dapat dipakai untuk menduga waktu penetasan telur. 17

Daya Tetas Keseragaman dan tingginya persentase penetasan telur merupakan hal yang sangat utama dan sering dijadikan tolak ukur terhadap kualitas bibit ulat sutera. Rataan daya tetas telur dengan penyimpanan (terang maupun gelap) dan hari oviposisi yang berbeda, berkisar 84,00-94,40% seperti yang tampak pada Tabel 3. Tabel 3. Rataan Persentase Daya Tetas pada Penyimpanan dan Hari Oviposisi yang Berbeda Hari Oviposisi Penyimpanan H1 H2 H3 Rataan KK Rataan KK Rataan KK Rataan KK ---------------------------------(%)---------------------------------- Terang 94,40 5,68 92,00 8,13 84,96 14,42 90,45 9,41 Gelap 84,00 17,50 92,67 6,67 84,11 15,70 86,93 13,29 Rataan 89,20 11,90 92,33 7,40 84,53 15,06 88,69 11,35 Keterangan : KK = Koefisien Keragaman (%) R 2 = 17.97% Hasil sidik ragam memperlihatkan bahwa daya tetas tidak dipengaruhi oleh penyimpanan (terang dan gelap) maupun hari oviposisi (P>0,05) dengan rataan umum pada penelitian ini 88,69%. Sunanto (1997) menyatakan bahwa daya tetas telur B. mori lebih dari 90%. Tabel 3 memperlihatkan daya tetas telur yang dioviposisikan di hari kedua dan disimpan pada kondisi terang maupun gelap memiliki nilai yang sama dengan hasil penelitian Sunanto yaitu 92,33%. Dalam tatalaksana penetasan telur dikehendaki penetasan yang serentak karena dapat mengefisiensikan tenaga kerja dan peralatan. Dalam penelitian ini daya tetas telur pada penyimpanan terang lebih seragam dibandingkan pada penyimpanan gelap yang diindikasikan oleh nilai KK yang lebih rendah yaitu 9,41% dibanding 13,29%. Penetasan yang seragam dalam penelitian ini terdapat pada kondisi penyimpanan terang, hasil ini berbeda dari B. mori yang menghasilkan penetasan yang seragam pada kondisi gelap (Atmosoedarjo et al., 2000). Perbedaan ini terjadi karena waktu penggelapan pada B. mori dilakukan pada saat yang tepat yaitu sebelum proses organogenesis selesai, sedangkan dalam penelitian ini perlakuan kondisi gelap diterapkan pada hari ketujuh dimana proses organogenesis telah selesai (Yusuf, 2009). Berarti telur pada penyimpanan gelap di hari ketujuh tidak efektif terhadap penetasan telur. 18

Koefisien determinasi (R 2 ) pada penelitian ini rendah yaitu 17,97%. Berarti hanya 17,97% dari daya tetas dipengaruhi faktor penyimpanan dan hari oviposisi, sedangkan 82,03% dipengaruhi oleh faktor yang tidak diamati dalam penelitian, misalnya faktor lingkungan dan faktor genetik. Kelembaban yang berfluktuatif (54,18%-78,24%), terutama kelembaban yang rendah pada siang hari (54,18%) menyebabkan telur menjadi mengempis dan kemungkinan terjadi dehidrasi pada telur. Penguapan pada cairan telur dapat menyebabkan proses embriogenesis terganggu sehingga penetasan telur tidak terjadi (Desiana, 2008). Dalam penelitian ini, hubungan antara daya tetas telur dengan kondisi penyimpanan (terang maupun gelap) (r = -0.170) dan hari oviposisi (r = -0,183) sangat rendah sehingga kondisi penyimpanan maupun hari oviposisi tidak dapat dipakai untuk menduga daya tetas telur. Pada umumnya, larva yang baru menetas mencerna sebagian atau seluruh kulit telurnya sehingga kebutuhan makan pertama kali dipenuhi dari tepung yang terdapat dalam kulit telurnya (Awan, 2007). Larva baru menetas dalam penelitian ini diberi pakan daun sirsak segar yang tidak terlalu tua dan tidak terlalu muda, agar larva dapat mencerna makanan. Larva instar pertama memiliki ciri-ciri yaitu kepala berwarna hitam dan tubuhnya berwarna kulit pucat. Gambar 4. Larva yang baru menetas Keberhasilan hidup larva instar pertama yang dipelihara di dalam kandang sangat rendah, larva pada hari pertama terlihat sehat namun pada keesokkan harinya larva diserang oleh predator, yakni semut dan cicak. Predator-predator ini memakan larva kecil (instar pertama) yang tidak dapat menghindar karena ukuran tubuhnya yang masih kecil. Lingkungan penetasan dalam penelitian ini, terutama kelembaban turut menetukan daya hidup larva A. atlas. Atmosoedarjo et al. (2000) menyatakan kelembaban pada penetasan telur dan pemeliharaan larva kecil pada B. mori 90%, sedangkan Awan (2007) menyatakan kelembaban yang ideal untuk larva kecil 19

80-95%. Selama penelitian, kelembaban harian dalam kandang bervariasi (Tabel 1) yaitu 54-78%. Kondisi lingkungan harus stabil agar ulat sutera dapat hidup normal (Krishnaswami, 1973). Kondisi yang kering pada siang hari (Rh 54%) juga menjadi penyebab kematian larva kecil pada penelitian ini. Terlihat dari kondisi larva yang mengering dengan warna coklat gelap. 20

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Penyimpanan telur pada hari oviposisi 1, 2 dan 3 pada kondisi penyimpanan terang dan gelap tidak berpengaruh terhadap waktu penetasan (9,18 hari) dan daya tetas telur A. atlas (88,69%). Penetasan yang seragam terjadi pada penyimpanan terang dengan koefisien keragaman 9,41%. Saran Disarankan penyimpanan telur dapat dilakukan pada waktu yang lebih awal sebelum proses organogenesis selesai (sebelum hari ketujuh) untuk keseragaman waktu penetasan.

UCAPAN TERIMA KASIH Segala puji kepada Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat Iman dan nikmat Islam, Sholawat serta Salam semoga tetap tercurah kepada suri tauladan ummat Rasulullah Muhammad SAW, beserta para keluarga dan sahabatnya. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibunda tercinta Ena M dan Ayahanda Solihin atas motivasi, kasih sayang, doa dan pengorbanannya, Semoga Allah SWT membalas segalanya dengan balasan yang lebih baik dan mengangkat Ibunda dan Ayahanda ketempat tertinggi disisi Allah SWT. Adikku Romi R. F dan Ilham W. M yang selalu memberi keceriaan, motivasi dan kasih sayang, Raihlah cita-cita kalian dengan semangat, do a dan kerja keras. Terima kasih juga kepada seluruh anggota keluarga besar yang telah memberikan do a dan motivasi kepada Penulis. Kepada Eko Firman P, S. Si beserta keluarga yang selalu memberi semangat, do a, perhatian dan kasih sayang kepada Penulis. Terima kasih kepada pembimbing skripsi Dr. Ir. Asnath M. Fuah, M. S dan Ir. Hotnida C. H. Siregar, M. Si yang telah membimbing penulis dengan penuh motivasi, petunjuk, dan kesabaran dari awal hingga akhir. Terima kasih juga kepada Ir. Afton Attabani, M. Si selaku pembimbing akademik yang juga telah memberikan bimbingan akademiknya. Kepada Maria Ulfah, S.Pt. M.Sc. Agr dan Dr. Ir. Yuli Retnani, M. Sc selaku dosen penguji sidang yang telah memberikan saran dan kritik. Terima kasih pula kepada seluruh Dosen serta staf pengajar Fakultas Peternakan yang telah banyak memberikan ilmu dan pengalaman selama Penulis menyelesaikan pendidikan. Ucapan terima kasih Penulis sampaikan juga pada rekan seperjuangan Ninu, Ferry, Fitri dan Erly atas semangat dan bantuannya. Serta seluruh sahabat (Mutia F, Dianti, Nolis, Tia, dan Ade I. S. H) yang memberikan motivasi, do a dan bantuan kepada Penulis. Terima kasih kepada rekan-rekan Betwoven, IPTP 42 yang tak dapat disebutkan satu-persatu serta kepada M. T. Grandisa, S. Pt, Ikhsan A serta atas segala bantuan, semangat dan kerjasamanya, semoga kita tetap menjaga silaturahmi sampai tua nanti, rekan-rekan seperjuangan di Ikhlas (Tika dan Sarah) terima kasih atas dukungan, keceriaan dan rasa kebersamaannya. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Penulis

DAFTAR PUSTAKA Adria dan H. Idris. 1997. Aspek biologi hama daun Attacus atlas pada tanaman ylang-ylang. Jurnal Penelitian Tanaman Industri. Vol. III (2). Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Bogor. Atmosoedarjo, H., J. Kartasubrata, M. Kaomini, W. Saleh dan W. Moerdoko. 2000. Sutera Alam Indonesia. Yayasan Sarana Wana Jaya, Jakarta. Awan, A. 2007. Domestikasi ulat sutera liar Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae) dalam usaha meningkatkan persuteraan nasional. Disertasi. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Borror, D. J., C. A. Triplehorn, N. F. Jhonson. 1992. Pengenalan Pelajaran Serangga Terjemahan: S. Partosoedjono dan M. D. Brotowidjoyo. Edisi ke-6. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Chapman, R.F. 1971. The Insect. The English University Press Ltd. London. Desiana. R.R. 2008. Produktivitas dan daya tetas telur ulat sutera liar (Attacus atlas) asal purwakarta pada berbagai jenis kandang pengawinan. Skripsi. Jurusan Teknologi Produksi Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ekastuti, D. R. 1992. Pengaruh kadar pakan terhadap katabolisme nutrien pertumbuhan dan kinerja produksi ulat sutera (Bombyx mori L.) pada larva instar IV dan V. Disertasi. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Endrawati, Y. C. 2004. Kualitas telur persilangan ulat sutera (Bombyx mori, L) ras Jepang dan Cina berdasarkan bobot kokon induk. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Faruki, S. I. 2005. Effect of pyridoxine on the reproduction of the mulberry silkworm, Bombyx mori L. (Lepidoptera: Bombycidae). ISJ. 2: 28-31 Jakaria, S.S. Mansjoer, A. Saefuddin, dan M. Kaomini. 2001. Analisis interaksi genotipe-lingkungan pada beberapa sifat kuantitatif ulat sutera (Bombyx mori L.). Media Peternakan 24(2): 24 29.. 1975. Textbook of Tropical Sericulture. Japan Overseas Cooperation Volunteers. Hiroo. Sibuya-ku, Tokyo. Japan. Kalshoven, L. G. E. 1981. The Pest Crop in Indonesia. Reviced and Translated by P. A. Van Der Laan. PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta. Katsumata, F. 1964. Petunjuk Sederhana bagi Pemeliharaan Ulat Sutera, Tokyo. Krishnaswami, S. 1973. Manual on Sericulture, Vol 2. Silkworm Rearing. Food and Agricultural Organization of the United Nation, Rome pp. 131. Mulyani, N. 2008. Biologi Attacus atlas L. (Lepidoptera: Saturniidae) dengan pakan daun kaliki (Ricinus communis L.) dan jarak pagar (Jatropha curcas L.) di laboratorium. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Peigler, R. S. 1989. A Revision of Indo Australian Genus Attacus. The Lepidoptera Research Foundation Inc., Beverly Hills, California. Rianto, F. 2010. Performa reproduksi imago Attacus atlas L yang berasal dari perkebunan teh Purwakarta. Skripsi. Jurusan Teknologi Produksi Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Samsijah, dan L. Andadari. 1992. Petunjuk teknis budidaya ulat sutera (Bombyx mori L.) informasi teknis Nomor 25. Departemen Kehutanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan. Bogor. Samsijah dan L. Andadari, 1995. Petunjuk teknis budidaya ulat sutera (Bombyx mori L.). Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, Bogor. Steel, R. G. D., dan J. H. Torrie. 1995. Prinsip dan prosedur statistika: Suatu Pendekatan Biometrik. Terjemahan: Bambang Sumantri. Edisi Kedua. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Sunanto, H. 1997. Budidaya Murbei dan Usaha Persuteraan Alam. Kanisius, Jakarta. Tanaka. 1975. Text Book of Tropical Sericulture. Japan Overseas Cooperation Volunteer, Tokyo. Tazima, Y. 1978. Silkworm: an Important Laboratory Tool. Tokyo. Untari, G. 2004. Daya tetas telur ulat sutera (Bombyx mori L.). Skripsi. Jurusan Ilmu Produksi Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Wibowo, I. H., Okid, P. A., dan Agung B. 2004. Pengaruh suhu dan fotoperiode terhadap lama stadia telur ulat sutera emas (Cricula trifenestrata Helf.). BioSMART 6 (1): 71-74. Wigglessworth, V. B. 1972. The Priciples of Insect Physiology. Chapman and Hall, London. Yusuf, Y. 2009. Embryonic development of Attacus atlas L. (Lepidoptera: Saturniidae). Skripsi. Jurusan Biologi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. 24

LAMPIRAN

Lampiran 1. Analisis Ragam Waktu Penetasan SK Db JK KT F P Penyimpanan 1 0,2083 0,2083 0,58 0,453 Hari oviposisi 2 0,8667 0,4333 1,21 0,316 Penyimpanan* Hari oviposisi 2 0,0667 0,0333 0,09 0,911 Galat 24 8,6000 0,3583 Total 29 9,7417 R 2 = 11,72% KK = 6,47% Lampiran 2. Analisis Ragam Daya Tetas Telur SK Db JK KT F P Penyimpanan 1 93,3 93,3 0,84 0,367 Hari oviposisi 2 307,9 153,9 1,39 0,268 Penyimpanan* Hari oviposisi 2 180,0 90,0 0,81 0,455 Galat 24 2653,4 110,6 Total 29 3234,6 R 2 = 17,97% KK = 11,35 Keterangan: SK: Sumber Keragaman JK: Jumlah Kuadrat KT: Kuadrat Tengah Lampiran 3. Nilai Korelasi Waktu Penetasan Terhadap Penyimpanan (terang maupun gelap) dan Hari Oviposisi Waktu penetasan Hari oviposis -0,215 0,254 Penyimpanan (terang maupun gelap) 0,146 0,441 Cell Contents: Pearson correlation P-Value Lampiran 4. Nilai Korelasi Daya Tetas Terhadap Penyimpanan dan Hari Oviposisi Daya Tetas Penyimpanan (terang maupun gelap) -0,170 0,370 Hari oviposisi -0,183 0,332 Cell Contents: Pearson correlation P-Value 26

20