IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh penggunaan restraining box terhadap ph daging Hasil pengujian nilai ph dari daging yang berasal dari sapi dengan perlakuan restraining box, nilai ph rata-rata pada jam pertama postmortem adalah 6.31 + 0.04 dan mencapai nilai terendah pada jam ke-8 postmortem (rata-rata 5.58 + 0.03), sedangkan pada daging yang berasal dari sapi tanpa perlakuan restraining box, nilai ph rata-rata pada jam pertama yaitu 6.23 + 0.08 dan mencapai nilai terendah pada jam ke-8 postmortem (5.53 + 0.03). Nilai ph daging kedua perlakuan mengalami peningkatan kembali pada jam ke-10. Untuk daging yang berasal dari sapi dengan perlakuan restraining box ph mencapai nilai 5.69 + 0.03, meningkat sebesar 1.97 % dari jam ke-8. Sementara itu, daging yang berasal dari sapi tanpa perlakuan restraining box mencapai nilai 5.58 + 0.04, yang berarti mengalami kenaikan sebesar 0.85 % dari jam ke-8, seperti pada Tabel 1 dan Gambar 2. Tabel 1 Nilai rata-rata ph daging yang berasal dari sapi dengan perlakuan restraining box dan tanpa perlakuan restraining box Jam ke- Restraining box Non-Restraining box 1 6.31 + 0.04 tn 6.23 + 0.08 tn 6 5.70 + 0.03 tn 5.67 + 0.04 tn 8 5.58 + 0.03 tn 5.53 + 0.03 tn 10 5.69 + 0.03* 5.58 + 0.04* Ket : superscript (tn) yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0.05) superscript (*) yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) Sapi yang dipotong tanpa menggunakan restraining box pada umumnya akan mendapat perlakuan kasar pada saat dirobohkan sehingga sapi mengalami stres. Stres dapat memicu meningkatnya glikolisis yang akan menghasilkan asam laktat dan tertimbun pada otot (Lawrie 1979; Buckle et al. 1985). Pada keadaan yang tidak terkendali penimbunan asam laktat pada otot tidak dapat lagi dinetralisasi oleh sistem buffer otot, sehingga dapat menurunkan nilai ph otot
16 pada saat pemotongan dan akan berdampak semakin rendahnya nilai ph daging postmortem (Shorthose dan Whytes 1988). Pengamatan nilai ph antara daging dengan dan tanpa perlakuan restraining box pada jam pertama pengukuran postmortem menunjukkan bahwa nilai ph daging dari sapi tanpa perlakuan restraining box (6.23 + 0.08) lebih rendah daripada daging dari sapi dengan perlakuan restraining box (6.31 + 0.04), seperti pada Gambar 2. (mengapa?) Gambar 2 Penurunan nilai rata-rata ph postmortem pada daging yang berasal dari pemotongan dengan dan tanpa menggunakan restraining box. Berdasarkan data yang diperoleh, pola penurunan ph untuk kedua perlakuan seperti yang digambarkan di atas termasuk pola penurunan ph yang normal yaitu mencapai nilai 5.6 5.7 dalam waktu 6 8 jam setelah pemotongan (Forrest et al. 1975 dalam Brahmantiyo 1996). Nilai ph rata-rata pada daging yang dipotong tanpa menggunakan restraining box relatif lebih rendah dibandingkan dengan daging yang dipotong menggunakan restraining box, namun perbedaan nilai tersebut tidak berbeda nyata (p>0.05). Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor jumlah contoh yang diambil maupun faktor teknis di lapangan terkait dengan cara
17 penggunaan restraining box karena kurangnya kesadaran pekerja akan tujuan serta manfaat penggunaan restraining box. (? Factor apa saja) Kondisi stres tersebut mememicu terjadinya glikolisis anaerob. Penguraian glikogen ini sebagai respon positif dari faktor stres yang akan merangsang peningkatan sekresi hormon glukokortikoid (hormon kortisol) yang akan meningkatkan penggunaan glikogen otot dan memobilisasi asam lemak bebas sehingga terbentuk persediaan energi darurat. Keadaan ini sangat berdampak negatif terhadap persediaan glikogen otot postmortem dan mempercepat laju penurunan nilai ph postmortem (sumber pustaka) Pada jam ke-10 postmortem menunjukkan bahwa nilai ph rata-rata daging dari kedua perlakuan, baik pemotongan dengan menggunakan dan tanpa menggunakan restraining box, mengalami kenaikan (Tabel 1). Kenaikan nilai ph postmortem tersebut disebabkan oleh terhentinya pelepasan kreatin fosfat atau adanya perubahan sistem bufer dalam jaringan otot sehingga penurunan ph daging dihambat (Dogde dan Peters 1960). 4.2 Pengaruh Penggunaan Restraining box terhadap Daya Ikat Air Daging (Water Holding Capacity) (uji statistik utk pengambil keputusan (deskripsi data hasil didahulukan) Untuk mengetahui pengaruh penggunaan restraining box terhadap daya ikat air pada daging dilakukan dua jenis pengujian yaitu uji cooking loss dan drip loss. Hasil pengujian pada uji cooking loss menunjukkan bahwa nilai cooking loss daging dengan perlakuan restraining box nyata lebih rendah (p<0.05) daripada daging tanpa perlakuan restraining box, baik pada jam ke-6, ke-8, maupun jam ke-10 pengujian setelah pemotongan. Pada daging dengan perlakuan restraining box, nilai rata-rata cooking loss pada jam ke-6 adalah 41.61 + 0.24 dan mencapai nilai terendah pada jam ke-8 postmortem yaitu dengan rata-rata 40.98 + 0.27, kemudian rata-ratanya naik kembali pada jam ke-10 dengan nilai 41.54 + 0.36, sedangkan pada daging tanpa restraining box, nilai rata-rata cooking loss pada jam ke-6 adalah 43.68 + 0.38 dan mencapai nilai terendah pada jam ke-8 yaitu dengan rata-rata 42.95 + 0.49, kemudian rata-ratanya naik kembali pada jam ke-
18 10 dengan nilai 44.89 + 0.61. Perbandingan rata-rata cooking loss contoh daging yang dihasilkan melalui proses pemotongan dengan menggunakan restrainning box dan non-restraining box pada jam ke-6, ke-8 dan ke-10 proses pemasakan disajikan pada Tabel 2 dan Gambar 3. Tabel 2 Nilai rata-rata cooking loss daging hasil pemotongan dengan dan tanpa menggunakan restraining box Jam ke- Restraining box Non-Restraining box 6 41.61 + 0.24 * 43.68 + 0.38 * 8 40.98 + 0.27 * 42.95 + 0.49 * 10 41.54 + 0.36 * 44.89 + 0.61 * Ket : superscript (*) yang sama pada baris yang sama menunjukan perbedaan yang nyata (P<0.05) Gambar 3. Perbandingan cooking loss daging dari perlakuan penggunaan dengan dan tanpa restraining box Hasil penelitian pada uji drip loss menunjukkan bahwa daging hasil pemotongan dengan restraining box memilki nilai drip loss yang lebih rendah dibandingkan dengan daging tanpa restraining box baik pada jam ke-6, ke-8 maupun jam ke-10 pengujian setelah pemotongan. Nilai drip loss daging dengan
19 restraining box yang diuji pada jam ke-10 memiliki nilai yang nyata lebih rendah (p<0.05) daripada daging tanpa restraining box. Nilai rata-rata drip loss pada jam ke-6 adalah 6.39 + 0.60 dan mencapai nilai terendah pada jam ke-8 postmortem yaitu dengan rata-rata 5.89 + 0.51, kemudian rata-ratanya naik kembali pada jam ke-10 dengan nilai 6.62 + 0.35, sedangkan pada daging yang dipotong tanpa menggunakan restraining box, nilai rata-rata drip loss pada jam ke-6 adalah 6.67 + 0.50 dan mencapai nilai terendah pada jam ke-8 yaitu dengan rata-rata 5.89 + 0.51, kemudian rata-ratanya naik kembali pada jam ke-10 dengan nilai 7.30 + 0.52. Perbandingan rata-rata drip loss contoh yang dihasilkan melalui proses pemotongan dengan menggunakan restrainning box dan non restraining box pada jam ke-6, ke-8 dan ke-10 disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Nilai rata-rata drip loss daging hasil pemotongan dengan dan tanpa menggunakan restraining box Jam ke- Restraining box Non-Restraining box 6 6.39 + 0.60 tn 6.67 + 0.50 tn 8 5.89 + 0.51 tn 6.76 + 0.44 tn 10 6.62 + 0.35 * 7.30 + 0.52 * Ket : superscript (tn) pada baris yang sama yang sama pada baris yang sama menunjukan perbedaan yang tidak nyata (P>0.05) superscript (*) yang sama pada baris yang sama menunjukan perbedaan yang nyata (P<0.05) Dari hasil penelitian ini, penggunaan restraining box pada proses pemotongan mempengaruhi nilai cooking loss dan drip loss. Nilai keduanya menunjukkan nilai yang lebih rendah pada contoh daging dengan restraining box dibandingkan dengan yang tidak menggunakan restraining box. Hal tersebut berkaitan dengan faktor stres sebelum pemotongan. Pemotongan dengan restraining box akan memperkecil tingkat stres dibandingkan tanpa restraining box. Menurut Soeparno (1994), stres pada hewan sebelum pemotongan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kualitas daging. Sapi yang dipotong tanpa menggunakan restraining box akan mengalami stres karena sapi diperlakukan secara kasar dan melakukan gerak yang berlebihan. Stres pada
20 hewan akan meningkatkan mobilisasi energi tubuh yang dibutuhkan untuk aktivitas otot pada hewan hidup (Chambers dan Grandin 2001). Guyton (1994) menerangkan bahwa energi tersebut berasal dari proses glikolisis. Pada hewan hidup, proses glikolisis aerobik akan berlangsung selama pasokan oksigen masih ada. Lain halnya ketika hewan sudah mati, sirkulasi darah terhenti sehingga secara otomatis pasokan oksigen akan terhenti. Pada kondisi tersebut oksigen tidak tersedia atau insufisiensi sehingga terjadi glikolisis anaerobik. Menurut Voisinet et al. (1997), penanganan pemotongan sapi yang tidak benar akan menyebabkan berontak yang berlebihan sehingga mengakibatkan kondisi daging sapi yang berwarna gelap (dark-cutting beef). Soeparno (1994) menyatakan bahwa glikolisis anaerobik tergantung pada jumlah glikogen otot yang tersisa setelah dipakai sebagai sumber energi pada saat pemotongan. Pada kondisi stres glikogen otot banyak digunakan dalam proses glikolisis aerobik bahkan dalam kondisi hipoksia saat hewan masih hidup akan mengakibatkan terjadinya proses glikolisis anaerobik sehingga laju glikolisis anaerobik postmortem akan berlangsung lebih cepat. Peningkatan laju glikolisis menyebabkan cadangan glikogen otot menjadi cepat habis akibatnya penimbunan asam laktat akan berhenti sehingga penurunan ph akan semakin cepat (Pearson 1971; Lawrie 1979). Forrest et al. (1975) menerangkan bahwa laju penurunan ph yang cepat akan mengakibatkan daya ikat protein daging terhadap cairannya menjadi lebih rendah dan permukaan potongan daging menjadi basah karena keluarnya cairan ke permukaan potongan daging yang disebut drip. Penurunan ph yang cepat akan meningkatkan kontraksi aktomiosin dan menurunkan daya ikat air protein daging (Bendall 1960). Soeparno (1994) juga menerangkan bahwa penurunan ph akan menyebabkan denaturasi protein sehingga perpindahan air ke ruang ekstraseluler meningkat. Menurut Koohmaraie et al. (1991), penurunan ph postmortem akan mengakibatkan pembebasan dan aktivitas katepsin. Katepsin merupakan enzim lisosomal yang mampu memecah lebih lanjut myofibril otot pada ph rendah (Soeparno 1994).
21 Gambar 4 Perbandingan drip loss daging dari perlakuan penggunaan dengan dan tanpa restraining box Pada saat pemotongan, terhentinya pasokan oksigen menyebabkan respirasi terhenti, sehingga terjadi penurunan kadar ATP dan kreatin fosfat (Guyton 1994). Penurunan kadar ATP berkaitan dengan proses rigor mortis atau kekakuan otot setelah kematian. Pada awal rigor mortis biasanya diikuti dengan penurunan daya ikat air daging. Hal tersebut disebabkan oleh penurunan ph, konsekuensi dari protein otot pada titik isoelektriknya dan denaturasi protein (Lawrie 1979). Pada ph tiitik isoelektrik daging, keadaan protein-protein daging tidak bermuatan (jumlah muatan positif sama dengan jumlah muatan negatif) dan solubilitasnya minimal dengan nilai ph antara 5.4 5.5 (Lawrie 1979). Soeparno (1994) menerangkan bahwa penurunan kadar ATP berkaitan dengan hilangnya daya regang otot akibat pembentukan kompleks aktomiosin atau ikatan antarfilamen sehingga daya ikat air daging rendah. Pembentukan kompleks aktomiosin akibat kehabisan ATP akan tetap terjadi walaupun otot masih mempunyai ph yang tinggi (Soeparno 1994). Nilai cooking loss dan drip loss yang lebih rendah pada contoh daging dengan restraining box berarti bahwa daging memilki daya ikat air yang lebih tinggi dibandingkan dengan contoh daging tanpa restraining box. Lebih banyak
22 air yang terikat oleh daging semakin baik kualitasnya. Daya ikat air dapat dipengaruhi oleh ph dan rigormortis sehingga faktor penanganan sebelum pemotongan merupakan hal yang berpengaruh secara tidak langsung terhadap daya ikat air daging. Penanganan yang buruk sebelum pemotongan akan mengakibatkan stres sehingga cadangan glikogen otot akan berkurang. Dilihat dari segi ekonomi dan kesehatan masyarakat, penurunan daya ikat air pada daging dapat merugikan konsumen karena daging tersebut berat dan kandungan nutrisinya berkurang sehingga tanpa disadari kepuasan konsumen terhadap kualitas daging yang diharapkan tidak terpenuhi. 4.3 Pengaruh Penggunaan Restraining box terhadap Keempukan Daging (tendernes) Secara umum penggunaan restraining box dan non-restraining box di RPH terhadap tingkat keempukan daging sapi yang dihasilkan menunjukkan hasil yang berbeda. Nilai keempukan daging pada sapi yang difiksasi menggunakan restraining box memiliki rata-rata 2.98 ± 0.17, sedangkan pada daging sapi yang tidak difiksasi menggunakan restraining box memiliki rata-rata 3.65 ± 0.24. Seperti yang terlihat pada Tabel 4, nilai keempukan daging sapi yang dicerminkan oleh perubahan daya putus Warner Bratzler (WB) pada daging yang dihasilkan oleh RPH yang menggunakan restraining box (2.98 ± 0.84) lebih rendah dibandingkan dengan nilai rata-rata daya putus WB yang dipotong tanpa menggunakan restraining box (3.65 ± 1.21). Daya putus WB yang rendah dapat diartikan bahwa daging memiliki nilai keempukan yang tinggi dan sebaliknya daya putus WB yang tinggi dapat diartikan bahwa daging memiliki nilai keempukan yang rendah. Tabel 4 Perbedaan keempukan contoh daging dengan restraining box dan nonrestraining box (kg/cm 2 ) restraining box (kg/cm 2 ) non-restraining box (kg/cm 2 ) Keempukan 2.98 ± 0.17 * 3.65 ± 0.24 * Ket : superscript (*) yang sama pada baris yang sama menunjukan perbedaan yang nyata (P<0.05)
23 Daging sapi yang dihasilkan oleh RPH yang menggunakan restraining box memiliki nilai keempukan yang lebih tinggi. Hasil ini berbeda nyata (p<0.05) dengan daging sapi yang dihasilkan oleh RPH yang tidak menggunakan restraining box. Hal ini dapat dikarenakan sapi yang difiksasi dengan restraining box sebelum dipotong memiliki kemungkinan stres yang lebih kecil daripada sapi yang tidak difiksasi dengan restraining box. Sapi yang mengalami stres biasanya lebih banyak bergerak pada saat pemotongan. Banyaknya gerakan yang dilakukan oleh sapi dapat berpengaruh pada penurunan atau habisnya kadar glikogen otot. Pada saat yang bersamaan terjadi penurunan kadar ATP dan keratin fosfat akibat tidak tersedianya oksigen yang cukup. Hal ini dapat memicu terjadinya rigormortis otot dan berakibat pada kualitas keempukan daging sapi yang dihasilkan. Menurut Bate-Smith, Bendall (1960), rigormortis terjadi setelah cadangan energi otot menjadi habis atau otot sudah tidak lagi mampu mempergunakan cadangan energi. Rigormortis berkaitan dengan semakin habisnya ATP dari otot. Dengan tidak adanya ATP, filamen aktin dan filamen miosin saling menindih dan terkunci bersama-sama membentuk ikatan aktomiosin yang permanen. Penurunan kadar ATP ini juga mengakibatkan terjadinya penurunan daya regang otot dengan cepat. Hilangnya kemampuan daya regang otot dan pembentukan kompleks aktomiosin menyebabkan kekakuan pada otot. Kekakuan yang terjadi akan diikuti dengan pemendekan otot yang merupakan penyebab utama dari ketidakempukan daging. Penurunan nilai keempukan pada daging yang dihasilkan dari RPH yang tidak menggunakan restraining box juga dapat dipengaruhi oleh penurunan ph postmortem daging. Keadaan sapi yang mengalami stres sebelum pemotongan dapat memicu penurunan ph postmortem daging yang dihasilkan. Kontraksi otot yang dialami sapi sebelum pemotongan menyebabkan defisiensi glikogen otot yang dapat merangsang tubuh untuk melakukan proses glikolisis anaerob. Glikolisis anaerob menghasilkan asam laktat yang dapat terakumulasi di otot sehingga ph otot menjadi menurun (Lukman et al. 2007). Daya putus WB
24 mempunyai korelasi linear dengan ph. Sehingga dapat dikatakan, terjadinya penurunan ph pada umumnya dapat menurunkan keempukan daging. (why???) Besarnya nilai keempukan daging juga dipengaruhi oleh proses penyimpanan dan pemasakan daging. Penyimpanan daging dapat menyebabkan peningkatan keempukan daging yang diindikasikan dengan tidak terjadinya pemendekan otot selama rigormortis. Pemendekan otot memiliki hubungan yang erat dengan kealotan daging. Daging yang telah mengalami proses rigormortis kemudian disimpan dingin pada suhu yang sesuai tidak akan mengalami pemendekan otot. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penyimpanan daging (aging, refrigerasi) dapat meningkatkan nilai keempukan daging. Giles (1969) serta Hegarty dan Allen (1975) dalam Soeparno (1994) menyatakan bahwa daging sapi postrigor yang dimasak pada suhu lebih tinggi dari 60 o C akan mengalami kontraksi dan perubahan kualitas. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Soeparno et al. (1987) mengenai pengaruh pelayuan dan perebusan terhadap perubahan ph, retensi cairan, keempukan dan gizi daging sapi peranakan Friesien Holstein (PFH) jantan. Pada umumnya, suhu pemasakan untuk memperoleh tingkat keempukan daging yang maksimum, berbeda diantara otot dan ternak dan terutama berhubungan dengan jumlah serta kekuatan jaringan ikat (Lawrie 1979). Bahas restraining box dari aspek kesejahtera