HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
TINJAUAN PUSTAKA Konversi Otot Menjadi Daging

PENGGUNAAN RESTRAINING BOX DALAM PEMOTONGAN SAPI DI RPH DAN KARAKTERISTIK FISIK DAGING ARIF WICAKSONO

Nova Nurfauziawati Kelompok 11 A V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Daging merupakan makanan yang kaya akan protein, mineral, vitamin, lemak

HASIL DAN PEMBAHASAN

SIFAT-SIFAT FISIK DAN PARAMETER SPESIFIK KUALITAS DAGING

HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. alot (Chang et al., 2005). Daging itik mempunyai kandungan lemak dan protein lebih

PENDAHULUAN. Sebagian besar masyarakat Indonesia menyukai daging ayam karena. Sebagai sumber pangan, daging ayam mempunyai beberapa kelebihan lainnya

BAB I PENDAHULUAN. kecukupan gizi. Unsur gizi yang dibutuhkan manusia antara lain: protein, lemak,

BAB I PENDAHULUAN. semakin meningkat menuntut produksi lebih dan menjangkau banyak konsumen di. sehat, utuh dan halal saat dikonsumsi (Cicilia, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan tingkat kebutuhan gizi

KARAKTERISTIK DAN KOMPOSISI DAGING

KEEMPUKAN DAGING SAPI DAN PENGGUNAAN RESTRAINING BOX DI RUMAH PEMOTONGAN HEWAN DEASY HUTAMI PUTRI

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Brahman Cross Pertumbuhan Ternak

I PENDAHULUAN. dikonsumsi khususnya anak anak dalam periode pertumbuhan agar tumbuh

PENGARUH ENZIM PAPAIN TERHADAP MUTU DAGING KAMBING SELAMA PENYIMPANAN

HASlL DAN PEMBAHASAN. Hasil pengukuran secara obyektif untuk ph (derajat keasaman) dagingusie Reubohn dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. hewan (Animal Welfare) menjadi hal yang sangat penting karena tidak saja

KUALITAS FISIK DAGING SAPI DARI TEMPAT PEMOTONGAN HEWAN DI BANDAR LAMPUNG. Physical Quality of Beef from Slaughterhouses in Bandar Lampung

SIKAP KONSUMEN TERHADAP DAGING SAPI LOKAL DENGAN DAGING SAPI IMPOR

TINJAUAN PUSTAKA. Kerbau (Bubalus bubalis)

Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak, April 2017, Hal Vol. 12 No. 1 ISSN :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Daging sapi didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk

KUALITAS DAGING SAPI SEGAR DI PASAR TRADISIONAL KECAMATAN PONCOKUSUMO KABUPATEN MALANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk

DAYA IKAT AIR (DIA) Istilah lain: Pengertian: Kemampuan daging didalam mengikat air (air daging maupun air yang ditambahkan)

KUALITAS DAGING SAPI YANG DIPOTONG MENGGUNAKAN RESTRAINING BOX: DRIP LOSS DAN COOKING LOSS EVA FATIMAH

Kualitas Fisik Daging Sapi Peranakan Simmental dengan Perlakuan Stimulasi Listrik dan Lama Pelayuan yang Berbeda

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang yang lebih banyak sehingga ciri-ciri kambing ini lebih menyerupai

Karakteristik Fisik Daging Sapi Bali dan Wagyu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kemudian dikembangkan di penjuru dunia. Puyuh mulai dikenal dan diternakkan

Karakteristik mutu daging

Pengaruh Lama Penyimpanan dalam Lemari Es terhadap PH, Daya Ikat Air, dan Susut Masak Karkas Broiler yang Dikemas Plastik Polyethylen

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Produk daging yang dihasilkan dari kelinci ada dua macam yaitu fryer dan roaster. Kelinci

Mekanisme Kerja Otot

KUALITAS FISIK DAGING DARI PASAR TRADISIONAL DI BANDAR LAMPUNG. The Physical of Beef from Traditional Market in Bandar Lampung

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut para ahli dibidang pemasaran, seperti yang dikemukakan oleh Kotler

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi bali dikenal sebagai sapi lokal yang banyak dipelihara di Pulau Bali karena sangat

PERBAIKAN MANAJEMEN PEMOTONGAN TERNAK UNTUK MENGHASILKAN DAGING SAPI LOKAL BERKUALITAS IMPOR

HASIL DAN PEMBAHASAN

DAGING. Theresia Puspita Titis Sari Kusuma. There - 1

molekul kasein yang bermuatan berbeda. Kondisi ph yang asam menyebabkan kalsium dari kasein akan memisahkan diri sehingga terjadi muatan ion dalam sus

PERUBAHAN NILAI ph POSTMORTEM DAGING SAPI YANG DIPOTONG DENGAN MENGGUNAKAN RESTRAINING BOX ROHIMAN ALIYANA HERMANSYAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. Kerbau adalah hewan tergolong memamah biak subkeluarga bovinae dan

Kualitas Daging Sapi Wagyu dan Daging Sapi Bali yang Disimpan pada Suhu - 19 o c

KARYA ILMIAH. Oleh : Jajang Gumilar, SPt. MM. NIP

Kontraksi otot membutuhkan energi, dan otot disebut sebagai mesin. pengubah energi kimia menjadi kerja mekanis. sumber energi yang dapat

PENGARUH SUBSTITUSI DAGING SAPI DENGAN KULIT CAKAR AYAM TERHADAP DAYA IKAT AIR (DIA), RENDEMEN DAN KADAR ABU BAKSO SKRIPSI. Oleh:

KAJIAN KEPUSTAKAAN. dan Handiwirawan, 2006). Kerbau domestik (Bubalus bubalis) terdiri dari dua tipe

Pengaruh Jenis Otot dan Lama Penyimpanan terhadap Kualitas Daging Sapi

DAGING. Pengertian daging

KUALITAS FISIK (DAYA IKAT AIR, SUSUT MASAK, DAN KEEMPUKAN) DAGING PAHA AYAM SENTUL AKIBAT LAMA PEREBUSAN

PENGARUH LEVEL ASAP CAIR DAN JENIS OTOT TERHADAP NILAI DAYA IKAT AIR (DIA) DAN ph DAGING SAPI BALI YANG DITRANSPORTASIKAN SKRIPSI

PENGOLAHAN DAGING PENGEMPUKAN (TENDERISASI) Materi 7 TATAP MUKA KE-7 Semester Genap BAHAN KULIAH TEKNOLOGI HASIL TERNAK

KUALITAS FISIK DAGING LOIN SAPI BALI YANG DIPOTONG DI RUMAH POTONG HEWAN (RPH) MODEREN DAN TRADISIONAL

TINJAUAN PUSTAKA. kehidupan manusia. Selain penganekaragaman sumber pangan, daging dapat

Pengertian DAGING. sekumpulan otot yang melekat pada kerangka. Semua jaringan hewan dan produk olahannya yang sesuai dan digunakan sebagai makanan

TEKNOLOGI PENGOLAHAN HEWANI. ENDRIKA WIDYASTUTI, S.Pt, M.Sc, MP

SIFAT FISIK DAGING AYAM PETELUR AFKIR

EFEK LAMA STIMULASI LISTRIK DENGAN TEGANGAN BERBEDA TERHADAP KUALITAS FISIK DAGING AYAM PETELUR AFKIR. Oleh: Adnan Syam 1) dan La Ode Arsad Sani 1)

Mutiara Nugraheni

SIFAT FISIK DAGING SAPI, KERBAU DAN DOMBA PADA LAMA POSTMORTEM YANG BERBEDA SKRIPSI SARJITO

HASIL DAN PEMBAHASAN

SIFAT FISIK DAGING DADA AYAM BROILER PADA BERBAGAI LAMA POSTMORTEM DI SUHU RUANG SKRIPSI

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. konsumsi protein hewani, khususnya daging sapi meningkat juga.

TINJAUAN PUSTAKA. Kelinci

PENINGKATAN KWALITAS DAGING MELALUI PENERAPAN TEKNOLOGI STIMULASI LISTRIK. Oleh: Yetmaneli, Hilda Susanti Fak. Peternakan Universitas Andalas

TINJAUAN PUSTAKA. Landak Jawa (Hystrix javanica)

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Daging domba berdasarkan kualitas dapat dibedakan atas umur domba,

PENGARUH SUHU DAN LAMA PENGOVENAN TERHADAP KUALITAS FISIK DAN ORGANOLEPTIK DAGING AYAM KAMPUNG DENGAN PENAMBAHAN NANAS

Perubahan Sifat Fisik Daging Ayam Broiler Post Mortem Selama Penyimpanan Temperatur Ruang

TINJAUAN PUSTAKA Potensi Kelinci Sebagai Penghasil Daging Kelinci Rex

I. PENDAHULUAN. dan semua produk hasil pengolahan jaringan yang dapat dimakan dan tidak

PENGGUNAAN ENZIM PAPAIN SEBAGAI BAHAN TENDERIZER DAGING. Oleh : Tedi Akhdiat RINGKASAN

Jurnal Riset dan Inovasi Peternakan Vol 1(3):16-20, Desember 2017 e-issn:

N. Ulupi, Komariah, dan S. Utami Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor ABSTRAK

SIFAT FISIK DAGING KERBAU PADA UMUR DAN JENIS KELAMIN YANG BERBEDA SKRIPSI WENY ROSMAYA

Lilis Suryaningsih Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran ABSTRACT. Keywords : thawing, tenderness,water holding capacity,cooking loss

POPULASI MIKROBA DAN SIFAT FISIK DAGING SAPI BEKU SELAMA PENYIMPANAN

PENGARUH PENAMBAHAN AMPAS Virgin Cococnut Oil (VCO) DALAM RANSUM TERHADAP KUALITAS FISIK DAGING AYAM BROILER

BAB I PENDAHULUAN. wanita atau laki-laki sampai anak-anak, dewasa, dan orangtua bahwa dengan

Kualitas Daging Sapi Wagyu dan Daging Sapi Bali yang Disimpan pada Suhu 4 o C

Harryara Sitanggang

PENDAHULUAN. Daging ayam merupakan daging yang paling banyak dikonsumsi masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dengan tujuan untuk memperoleh prestasi optimal pada cabang-cabang olahraga.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Proses pemotongan/penyembelihan dapat mengakibatkan stres hewan,

Penentuan Waktu Rigor Mortis Ikan Nila Merah (Oreochromis Niloticus) Berdasarkan Pola Perubahan Derajat Keasaman

PENGGUNAAN STIMULASI LISTRIK PADA KAMBING LOKAL TERHADAP MUTU DAGING SELAMA PENYIMPANAN SUHU KAMAR

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. A. LatarBelakang Masalah. Lari jarak pendek (sprint) adalah lari yang menempuh jarak antara 100

KARAKTERISTIK KARKAS DAN KUALITAS DAGING SAPI PO YANG MENDAPAT PAKAN MENGANDUNG PROBIOTIK

Pengaruh lama istirahat terhadap karakteristik karkas dan kualitas fisik daging sapi Brahman Cross Steer

EFEK LAMA STIMULASI DAN TEGANGAN LISTRIK TERHADAP KOMPOSISI KIMIA, KUALITAS FISIK, DAN SENSORI DAGING AYAM PETELUR AFKIR

~Ir\"-r\ ) \~I~! 09!/

PENGARUH WAKTU PELAYUAN PADA SUHU 4 0 C SECARA VAKUM TERHADAP BEBERAPA SIFAT FISIK DAGING SAPI AUSTRALIAN COMMERCIAL CROSS BAGIAN PEREMPAT DEPAN

Transkripsi:

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh penggunaan restraining box terhadap ph daging Hasil pengujian nilai ph dari daging yang berasal dari sapi dengan perlakuan restraining box, nilai ph rata-rata pada jam pertama postmortem adalah 6.31 + 0.04 dan mencapai nilai terendah pada jam ke-8 postmortem (rata-rata 5.58 + 0.03), sedangkan pada daging yang berasal dari sapi tanpa perlakuan restraining box, nilai ph rata-rata pada jam pertama yaitu 6.23 + 0.08 dan mencapai nilai terendah pada jam ke-8 postmortem (5.53 + 0.03). Nilai ph daging kedua perlakuan mengalami peningkatan kembali pada jam ke-10. Untuk daging yang berasal dari sapi dengan perlakuan restraining box ph mencapai nilai 5.69 + 0.03, meningkat sebesar 1.97 % dari jam ke-8. Sementara itu, daging yang berasal dari sapi tanpa perlakuan restraining box mencapai nilai 5.58 + 0.04, yang berarti mengalami kenaikan sebesar 0.85 % dari jam ke-8, seperti pada Tabel 1 dan Gambar 2. Tabel 1 Nilai rata-rata ph daging yang berasal dari sapi dengan perlakuan restraining box dan tanpa perlakuan restraining box Jam ke- Restraining box Non-Restraining box 1 6.31 + 0.04 tn 6.23 + 0.08 tn 6 5.70 + 0.03 tn 5.67 + 0.04 tn 8 5.58 + 0.03 tn 5.53 + 0.03 tn 10 5.69 + 0.03* 5.58 + 0.04* Ket : superscript (tn) yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0.05) superscript (*) yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) Sapi yang dipotong tanpa menggunakan restraining box pada umumnya akan mendapat perlakuan kasar pada saat dirobohkan sehingga sapi mengalami stres. Stres dapat memicu meningkatnya glikolisis yang akan menghasilkan asam laktat dan tertimbun pada otot (Lawrie 1979; Buckle et al. 1985). Pada keadaan yang tidak terkendali penimbunan asam laktat pada otot tidak dapat lagi dinetralisasi oleh sistem buffer otot, sehingga dapat menurunkan nilai ph otot

16 pada saat pemotongan dan akan berdampak semakin rendahnya nilai ph daging postmortem (Shorthose dan Whytes 1988). Pengamatan nilai ph antara daging dengan dan tanpa perlakuan restraining box pada jam pertama pengukuran postmortem menunjukkan bahwa nilai ph daging dari sapi tanpa perlakuan restraining box (6.23 + 0.08) lebih rendah daripada daging dari sapi dengan perlakuan restraining box (6.31 + 0.04), seperti pada Gambar 2. (mengapa?) Gambar 2 Penurunan nilai rata-rata ph postmortem pada daging yang berasal dari pemotongan dengan dan tanpa menggunakan restraining box. Berdasarkan data yang diperoleh, pola penurunan ph untuk kedua perlakuan seperti yang digambarkan di atas termasuk pola penurunan ph yang normal yaitu mencapai nilai 5.6 5.7 dalam waktu 6 8 jam setelah pemotongan (Forrest et al. 1975 dalam Brahmantiyo 1996). Nilai ph rata-rata pada daging yang dipotong tanpa menggunakan restraining box relatif lebih rendah dibandingkan dengan daging yang dipotong menggunakan restraining box, namun perbedaan nilai tersebut tidak berbeda nyata (p>0.05). Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor jumlah contoh yang diambil maupun faktor teknis di lapangan terkait dengan cara

17 penggunaan restraining box karena kurangnya kesadaran pekerja akan tujuan serta manfaat penggunaan restraining box. (? Factor apa saja) Kondisi stres tersebut mememicu terjadinya glikolisis anaerob. Penguraian glikogen ini sebagai respon positif dari faktor stres yang akan merangsang peningkatan sekresi hormon glukokortikoid (hormon kortisol) yang akan meningkatkan penggunaan glikogen otot dan memobilisasi asam lemak bebas sehingga terbentuk persediaan energi darurat. Keadaan ini sangat berdampak negatif terhadap persediaan glikogen otot postmortem dan mempercepat laju penurunan nilai ph postmortem (sumber pustaka) Pada jam ke-10 postmortem menunjukkan bahwa nilai ph rata-rata daging dari kedua perlakuan, baik pemotongan dengan menggunakan dan tanpa menggunakan restraining box, mengalami kenaikan (Tabel 1). Kenaikan nilai ph postmortem tersebut disebabkan oleh terhentinya pelepasan kreatin fosfat atau adanya perubahan sistem bufer dalam jaringan otot sehingga penurunan ph daging dihambat (Dogde dan Peters 1960). 4.2 Pengaruh Penggunaan Restraining box terhadap Daya Ikat Air Daging (Water Holding Capacity) (uji statistik utk pengambil keputusan (deskripsi data hasil didahulukan) Untuk mengetahui pengaruh penggunaan restraining box terhadap daya ikat air pada daging dilakukan dua jenis pengujian yaitu uji cooking loss dan drip loss. Hasil pengujian pada uji cooking loss menunjukkan bahwa nilai cooking loss daging dengan perlakuan restraining box nyata lebih rendah (p<0.05) daripada daging tanpa perlakuan restraining box, baik pada jam ke-6, ke-8, maupun jam ke-10 pengujian setelah pemotongan. Pada daging dengan perlakuan restraining box, nilai rata-rata cooking loss pada jam ke-6 adalah 41.61 + 0.24 dan mencapai nilai terendah pada jam ke-8 postmortem yaitu dengan rata-rata 40.98 + 0.27, kemudian rata-ratanya naik kembali pada jam ke-10 dengan nilai 41.54 + 0.36, sedangkan pada daging tanpa restraining box, nilai rata-rata cooking loss pada jam ke-6 adalah 43.68 + 0.38 dan mencapai nilai terendah pada jam ke-8 yaitu dengan rata-rata 42.95 + 0.49, kemudian rata-ratanya naik kembali pada jam ke-

18 10 dengan nilai 44.89 + 0.61. Perbandingan rata-rata cooking loss contoh daging yang dihasilkan melalui proses pemotongan dengan menggunakan restrainning box dan non-restraining box pada jam ke-6, ke-8 dan ke-10 proses pemasakan disajikan pada Tabel 2 dan Gambar 3. Tabel 2 Nilai rata-rata cooking loss daging hasil pemotongan dengan dan tanpa menggunakan restraining box Jam ke- Restraining box Non-Restraining box 6 41.61 + 0.24 * 43.68 + 0.38 * 8 40.98 + 0.27 * 42.95 + 0.49 * 10 41.54 + 0.36 * 44.89 + 0.61 * Ket : superscript (*) yang sama pada baris yang sama menunjukan perbedaan yang nyata (P<0.05) Gambar 3. Perbandingan cooking loss daging dari perlakuan penggunaan dengan dan tanpa restraining box Hasil penelitian pada uji drip loss menunjukkan bahwa daging hasil pemotongan dengan restraining box memilki nilai drip loss yang lebih rendah dibandingkan dengan daging tanpa restraining box baik pada jam ke-6, ke-8 maupun jam ke-10 pengujian setelah pemotongan. Nilai drip loss daging dengan

19 restraining box yang diuji pada jam ke-10 memiliki nilai yang nyata lebih rendah (p<0.05) daripada daging tanpa restraining box. Nilai rata-rata drip loss pada jam ke-6 adalah 6.39 + 0.60 dan mencapai nilai terendah pada jam ke-8 postmortem yaitu dengan rata-rata 5.89 + 0.51, kemudian rata-ratanya naik kembali pada jam ke-10 dengan nilai 6.62 + 0.35, sedangkan pada daging yang dipotong tanpa menggunakan restraining box, nilai rata-rata drip loss pada jam ke-6 adalah 6.67 + 0.50 dan mencapai nilai terendah pada jam ke-8 yaitu dengan rata-rata 5.89 + 0.51, kemudian rata-ratanya naik kembali pada jam ke-10 dengan nilai 7.30 + 0.52. Perbandingan rata-rata drip loss contoh yang dihasilkan melalui proses pemotongan dengan menggunakan restrainning box dan non restraining box pada jam ke-6, ke-8 dan ke-10 disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Nilai rata-rata drip loss daging hasil pemotongan dengan dan tanpa menggunakan restraining box Jam ke- Restraining box Non-Restraining box 6 6.39 + 0.60 tn 6.67 + 0.50 tn 8 5.89 + 0.51 tn 6.76 + 0.44 tn 10 6.62 + 0.35 * 7.30 + 0.52 * Ket : superscript (tn) pada baris yang sama yang sama pada baris yang sama menunjukan perbedaan yang tidak nyata (P>0.05) superscript (*) yang sama pada baris yang sama menunjukan perbedaan yang nyata (P<0.05) Dari hasil penelitian ini, penggunaan restraining box pada proses pemotongan mempengaruhi nilai cooking loss dan drip loss. Nilai keduanya menunjukkan nilai yang lebih rendah pada contoh daging dengan restraining box dibandingkan dengan yang tidak menggunakan restraining box. Hal tersebut berkaitan dengan faktor stres sebelum pemotongan. Pemotongan dengan restraining box akan memperkecil tingkat stres dibandingkan tanpa restraining box. Menurut Soeparno (1994), stres pada hewan sebelum pemotongan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kualitas daging. Sapi yang dipotong tanpa menggunakan restraining box akan mengalami stres karena sapi diperlakukan secara kasar dan melakukan gerak yang berlebihan. Stres pada

20 hewan akan meningkatkan mobilisasi energi tubuh yang dibutuhkan untuk aktivitas otot pada hewan hidup (Chambers dan Grandin 2001). Guyton (1994) menerangkan bahwa energi tersebut berasal dari proses glikolisis. Pada hewan hidup, proses glikolisis aerobik akan berlangsung selama pasokan oksigen masih ada. Lain halnya ketika hewan sudah mati, sirkulasi darah terhenti sehingga secara otomatis pasokan oksigen akan terhenti. Pada kondisi tersebut oksigen tidak tersedia atau insufisiensi sehingga terjadi glikolisis anaerobik. Menurut Voisinet et al. (1997), penanganan pemotongan sapi yang tidak benar akan menyebabkan berontak yang berlebihan sehingga mengakibatkan kondisi daging sapi yang berwarna gelap (dark-cutting beef). Soeparno (1994) menyatakan bahwa glikolisis anaerobik tergantung pada jumlah glikogen otot yang tersisa setelah dipakai sebagai sumber energi pada saat pemotongan. Pada kondisi stres glikogen otot banyak digunakan dalam proses glikolisis aerobik bahkan dalam kondisi hipoksia saat hewan masih hidup akan mengakibatkan terjadinya proses glikolisis anaerobik sehingga laju glikolisis anaerobik postmortem akan berlangsung lebih cepat. Peningkatan laju glikolisis menyebabkan cadangan glikogen otot menjadi cepat habis akibatnya penimbunan asam laktat akan berhenti sehingga penurunan ph akan semakin cepat (Pearson 1971; Lawrie 1979). Forrest et al. (1975) menerangkan bahwa laju penurunan ph yang cepat akan mengakibatkan daya ikat protein daging terhadap cairannya menjadi lebih rendah dan permukaan potongan daging menjadi basah karena keluarnya cairan ke permukaan potongan daging yang disebut drip. Penurunan ph yang cepat akan meningkatkan kontraksi aktomiosin dan menurunkan daya ikat air protein daging (Bendall 1960). Soeparno (1994) juga menerangkan bahwa penurunan ph akan menyebabkan denaturasi protein sehingga perpindahan air ke ruang ekstraseluler meningkat. Menurut Koohmaraie et al. (1991), penurunan ph postmortem akan mengakibatkan pembebasan dan aktivitas katepsin. Katepsin merupakan enzim lisosomal yang mampu memecah lebih lanjut myofibril otot pada ph rendah (Soeparno 1994).

21 Gambar 4 Perbandingan drip loss daging dari perlakuan penggunaan dengan dan tanpa restraining box Pada saat pemotongan, terhentinya pasokan oksigen menyebabkan respirasi terhenti, sehingga terjadi penurunan kadar ATP dan kreatin fosfat (Guyton 1994). Penurunan kadar ATP berkaitan dengan proses rigor mortis atau kekakuan otot setelah kematian. Pada awal rigor mortis biasanya diikuti dengan penurunan daya ikat air daging. Hal tersebut disebabkan oleh penurunan ph, konsekuensi dari protein otot pada titik isoelektriknya dan denaturasi protein (Lawrie 1979). Pada ph tiitik isoelektrik daging, keadaan protein-protein daging tidak bermuatan (jumlah muatan positif sama dengan jumlah muatan negatif) dan solubilitasnya minimal dengan nilai ph antara 5.4 5.5 (Lawrie 1979). Soeparno (1994) menerangkan bahwa penurunan kadar ATP berkaitan dengan hilangnya daya regang otot akibat pembentukan kompleks aktomiosin atau ikatan antarfilamen sehingga daya ikat air daging rendah. Pembentukan kompleks aktomiosin akibat kehabisan ATP akan tetap terjadi walaupun otot masih mempunyai ph yang tinggi (Soeparno 1994). Nilai cooking loss dan drip loss yang lebih rendah pada contoh daging dengan restraining box berarti bahwa daging memilki daya ikat air yang lebih tinggi dibandingkan dengan contoh daging tanpa restraining box. Lebih banyak

22 air yang terikat oleh daging semakin baik kualitasnya. Daya ikat air dapat dipengaruhi oleh ph dan rigormortis sehingga faktor penanganan sebelum pemotongan merupakan hal yang berpengaruh secara tidak langsung terhadap daya ikat air daging. Penanganan yang buruk sebelum pemotongan akan mengakibatkan stres sehingga cadangan glikogen otot akan berkurang. Dilihat dari segi ekonomi dan kesehatan masyarakat, penurunan daya ikat air pada daging dapat merugikan konsumen karena daging tersebut berat dan kandungan nutrisinya berkurang sehingga tanpa disadari kepuasan konsumen terhadap kualitas daging yang diharapkan tidak terpenuhi. 4.3 Pengaruh Penggunaan Restraining box terhadap Keempukan Daging (tendernes) Secara umum penggunaan restraining box dan non-restraining box di RPH terhadap tingkat keempukan daging sapi yang dihasilkan menunjukkan hasil yang berbeda. Nilai keempukan daging pada sapi yang difiksasi menggunakan restraining box memiliki rata-rata 2.98 ± 0.17, sedangkan pada daging sapi yang tidak difiksasi menggunakan restraining box memiliki rata-rata 3.65 ± 0.24. Seperti yang terlihat pada Tabel 4, nilai keempukan daging sapi yang dicerminkan oleh perubahan daya putus Warner Bratzler (WB) pada daging yang dihasilkan oleh RPH yang menggunakan restraining box (2.98 ± 0.84) lebih rendah dibandingkan dengan nilai rata-rata daya putus WB yang dipotong tanpa menggunakan restraining box (3.65 ± 1.21). Daya putus WB yang rendah dapat diartikan bahwa daging memiliki nilai keempukan yang tinggi dan sebaliknya daya putus WB yang tinggi dapat diartikan bahwa daging memiliki nilai keempukan yang rendah. Tabel 4 Perbedaan keempukan contoh daging dengan restraining box dan nonrestraining box (kg/cm 2 ) restraining box (kg/cm 2 ) non-restraining box (kg/cm 2 ) Keempukan 2.98 ± 0.17 * 3.65 ± 0.24 * Ket : superscript (*) yang sama pada baris yang sama menunjukan perbedaan yang nyata (P<0.05)

23 Daging sapi yang dihasilkan oleh RPH yang menggunakan restraining box memiliki nilai keempukan yang lebih tinggi. Hasil ini berbeda nyata (p<0.05) dengan daging sapi yang dihasilkan oleh RPH yang tidak menggunakan restraining box. Hal ini dapat dikarenakan sapi yang difiksasi dengan restraining box sebelum dipotong memiliki kemungkinan stres yang lebih kecil daripada sapi yang tidak difiksasi dengan restraining box. Sapi yang mengalami stres biasanya lebih banyak bergerak pada saat pemotongan. Banyaknya gerakan yang dilakukan oleh sapi dapat berpengaruh pada penurunan atau habisnya kadar glikogen otot. Pada saat yang bersamaan terjadi penurunan kadar ATP dan keratin fosfat akibat tidak tersedianya oksigen yang cukup. Hal ini dapat memicu terjadinya rigormortis otot dan berakibat pada kualitas keempukan daging sapi yang dihasilkan. Menurut Bate-Smith, Bendall (1960), rigormortis terjadi setelah cadangan energi otot menjadi habis atau otot sudah tidak lagi mampu mempergunakan cadangan energi. Rigormortis berkaitan dengan semakin habisnya ATP dari otot. Dengan tidak adanya ATP, filamen aktin dan filamen miosin saling menindih dan terkunci bersama-sama membentuk ikatan aktomiosin yang permanen. Penurunan kadar ATP ini juga mengakibatkan terjadinya penurunan daya regang otot dengan cepat. Hilangnya kemampuan daya regang otot dan pembentukan kompleks aktomiosin menyebabkan kekakuan pada otot. Kekakuan yang terjadi akan diikuti dengan pemendekan otot yang merupakan penyebab utama dari ketidakempukan daging. Penurunan nilai keempukan pada daging yang dihasilkan dari RPH yang tidak menggunakan restraining box juga dapat dipengaruhi oleh penurunan ph postmortem daging. Keadaan sapi yang mengalami stres sebelum pemotongan dapat memicu penurunan ph postmortem daging yang dihasilkan. Kontraksi otot yang dialami sapi sebelum pemotongan menyebabkan defisiensi glikogen otot yang dapat merangsang tubuh untuk melakukan proses glikolisis anaerob. Glikolisis anaerob menghasilkan asam laktat yang dapat terakumulasi di otot sehingga ph otot menjadi menurun (Lukman et al. 2007). Daya putus WB

24 mempunyai korelasi linear dengan ph. Sehingga dapat dikatakan, terjadinya penurunan ph pada umumnya dapat menurunkan keempukan daging. (why???) Besarnya nilai keempukan daging juga dipengaruhi oleh proses penyimpanan dan pemasakan daging. Penyimpanan daging dapat menyebabkan peningkatan keempukan daging yang diindikasikan dengan tidak terjadinya pemendekan otot selama rigormortis. Pemendekan otot memiliki hubungan yang erat dengan kealotan daging. Daging yang telah mengalami proses rigormortis kemudian disimpan dingin pada suhu yang sesuai tidak akan mengalami pemendekan otot. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penyimpanan daging (aging, refrigerasi) dapat meningkatkan nilai keempukan daging. Giles (1969) serta Hegarty dan Allen (1975) dalam Soeparno (1994) menyatakan bahwa daging sapi postrigor yang dimasak pada suhu lebih tinggi dari 60 o C akan mengalami kontraksi dan perubahan kualitas. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Soeparno et al. (1987) mengenai pengaruh pelayuan dan perebusan terhadap perubahan ph, retensi cairan, keempukan dan gizi daging sapi peranakan Friesien Holstein (PFH) jantan. Pada umumnya, suhu pemasakan untuk memperoleh tingkat keempukan daging yang maksimum, berbeda diantara otot dan ternak dan terutama berhubungan dengan jumlah serta kekuatan jaringan ikat (Lawrie 1979). Bahas restraining box dari aspek kesejahtera