BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki keanekaragaman hayati sangat melimpah. Salah satu dari keanekaragaman hayati di Indonesia adalah kerbau. Terdapat dua jenis kerbau yaitu kerbau liar atau African Buffalo (Syncerus) dan kerbau hasil domestikasi yaitu Asian Buffalo (bubalus). Kerbau Asia terdiri dari kerbau liar dan kerbau domestik (Bubalus bubalis). Kerbau domestik terbagi lagi menjadi dua jenis yaitu kerbau lumpur (swamp buffalo) dan kerbau sungai (river buffalo) (Sitompul, 2009). Menurut Sitorus dan Anggraeni (2008) dua bangsa kerbau lokal yang ada di Indonesia yaitu kerbau lumpur (swamp buffalo) dengan populasi 95% dan kerbau sungai (river buffalo) dengan populasi 5%. Populasi kerbau di Indonesia berdasakan Statistik Peternakan pada tahun 2008 adalah sekitar 1,9 juta ekor tersebar diseluruh provinsi. Populasi kerbau tertinggi sampai terendah dijumpai pada beberapa provinsi antara lain: NAD (280.662 ekor), Sumatera Barat (196.854 ekor), NTB (161.450 ekor), Sumatera Utara (155.341 ekor), Banten (153.004 ekor), NTT (148.772 ekor), Jawa Barat (145.847 ekor) Sedangkan jumlah kerbau berdasarkan hasil pengambilan data sapi potong, sapi perah, dan kerbau pada tahun 2011 dan sensus pertanian 2013 menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Bali disajikan dalam tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Populasi Sapi dan Kerbau di Bali. (Sumber katalog BPS. 5106002.51 Badan Pusat Statistik Prov. Bali, 2013). Kode Kab/Kota Kab/Kota Pengambilan data Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau (ekor) (1) (2) (3) 01 Jembrana 56.130 02 Tabanan 67.412 03 Badung 48.051 04 Gianyar 47.282 05 Klungkung 46.636 06 Bangli 94.203 07 Karang Asem 135.561 08 Buleleng 136.337 71 Denpasar 8.181 Total Bali 639.793 Pada umumnya kerbau di Indonesia merupakan hewan ternak yang dikelola, dikembangkan serta dipelihara sebagai hewan penghasil bahan pangan. Peranan ternak kerbau cukup signifikan dalam menunjang program swasembada daging sapi nasional (termasuk kerbau) pada tahun 2014 (Mufiidah et al., 2013). Selain itu, kerbau dapat digunakan manusia untuk membantu kerja dalam kegiatan pertanian. Misalnya kerbau digunakan untuk membajak sawah, serta mengangkut barang atau hasil panen. Kerbau memiliki manfaat lain selain sebagai penghasil daging serta membantu kerja manusia dalam kegiatan pertanian, yakni kerbau banyak digunakan dalam aktivitas budaya. Kerbau digunakan sebagai sarana dalam upacara adat dan keagamaan. Selain itu, kerbau dapat digunakan sebagai tabungan yang dapat
diuangkan. Kerbau dapat menjadi prestise masyarakat terhadap kepemilikan jumlah kerbau yang dapat langsung mengangkat status sosial pemiliknya. Misalnya di Toraja Utara yang merupakan salah satu daerah yang menjadikan kerbau sebagai hewan kurban dalam acara-acara ritual, sekaligus sebagai tingkat ukuran status sosial seseorang dalam setiap pelaksanaan suatu upacara adat pemakaman (Yani, 2012). Di Bali, tepatnya di Kabupaten Jembrana, terdapat tradisi yang menggunakan kerbau lumpur sebagai sarana. Pemanfaatan kerbau lumpur tersebut digunakan dalam aktivitas sosial budaya yang disebut makepung. Makepung merupakan tradisi yang menggunakan kerbau dalam pacuan. Tradisi makepung secara singkat berawal dari kegiatan petani pada saat membajak lahan basah dengan menggunakan bajak tradisional untuk pengolahan sawah sebelum menanam benih padi. Kerbau menarik cikar secara berpasangan kemudian diadu lari cepat dengan pasangan-pasangan kerbau yang lain (Sumadi et al., 2006). Berdasarkan hasil survei, pelaksanaan makepung terbagi menjadi 2 wilayah (blok) yaitu Regu Ijo Gading Barat (hijau), Regu Ijo Gading Timur (merah) dan makepung ini biasanya dilaksanakan pada musim kemarau, tepatnya pada bulan Agustus sampai Oktober. Kerbau lumpur yang secara umum digunakan sebagai ternak pekerja harus mampu beradaptasi dengan lingkungannya demi menampilkan kemampuan fisik yang prima. Untuk pengembangan potensi ini, diperlukan upaya peningkatan mutu kerbau lumpur baik secara kualitas maupun kuantitas. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan pengamatan karakteristik morfometrik tubuh, identifikasi fenotipik kualitatif,
kuantitatif subpopulasi kerbau lumpur dari suatu lokasi, sehingga akan bermanfaat untuk meningkatkan mutu genetiknya (Kampas, 2008). Hingga saat ini belum ditemukan adanya data spesifik terhadap kerbau lumpur di Kabupaten Jembrana yang digunakan dalam makepung baik pengamatan kerbau lumpur secara morfometrik, maupun identifikasi kerbau lumpur secara fenotipik kualitatif. Berdasarkan survei, masyarakat memiliki kriteria tertentu terhadap kerbau yang diikutsertakan dalam makepung. Menurut I Putu Ardiasa (komunikasi pribadi) salah seorang joki kerbau lumpur makepung mengatakan bahwa terdapat mitos yang beredar di kalangan masyarakat yaitu letak pusaran (useran, unyeng unyeng) dan arah pusaran pada tubuh kerbau lumpur dapat berpengaruh akan juara atau tidaknya kerbau lumpur tersebut. Selain itu, warna kulit kerbau lumpur juga mempengaruhi dalam kualitas kerbau lumpur berlari. Narasumber mengatakan bahwa kerbau lumpur dengan warna abu-abu gelap lebih enerjik (rengas) dan lebih cepat berlari dibandingkan kerbau lumpur merah muda (albino) (mise). Berdasarkan survei tersebut, maka dilaksanakan penelitian terhadap keragaman fenotipik kualitatif berupa keragaman letak pusaran dan arah pusaran, serta keragaman warna kulit tubuh untuk memperoleh data spesifik terhadap kerbau lumpur yang digunakan dalam makepung. Sehingga dengan adanya hasil penelitian ilmiah kali ini dapat dijadikan bahan acuan maupun referensi untuk penelitian kerbau lumpur makepung berikutnya. 1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut: a. Adakah keragaman warna kulit tubuh pada populasi kerbau lumpur yang digunakan dalam makepung di Kabupaten Jembrana Bali (Regu Ijo Gading Barat dan Regu Ijo Gading Timur) b. Adakah keragaman letak pusaran dan arah pusaran pada populasi kerbau lumpur yang digunakan dalam makepung di Kabupaten Jembrana Bali (Regu Ijo Gading Barat dan Regu Ijo Gading Timur)? c. Adakah perbedaan profil fenotipik kualitatif pada kerbau lumpur untuk makepung di Regu Ijo Gading Barat dan Regu Ijo Gading Timur Kabupaten Jembrana Bali 1.3 Tujuan Penelitian a. Mengetahui perbandingan warna kulit tubuh kerbau lumpur pada populasi kerbau lumpur makepung yang terdapat di Regu Ijo Gading Barat dan Regu Ijo Gading Timur Kabupaten Jembrana Bali b. Mengetahui adanya keragaman letak pusaran dan arah pusaran setiap individu pada populasi kerbau lumpur di Regu Ijo Gading Barat dan Regu Ijo Gading Timur Kabupaten Jembrana Bali c. Mengetahui perbedaan profil fenotipik kualitatif kerbau lumpur di Regu Ijo Gading Barat dan Regu Ijo Gading Timur Kabupaten Jembrana Bali
1.4 Manfaat Penelitian a. Tersedianya informasi mengenai keragaman letak pusaran serta warna kulit pada kerbau lumpur yang digunakan untuk makepung di Kabupaten Jembrana, tepatnya di Regu Ijo Gading Barat dan Regu Ijo Gading Timur b. Dapat digunakan sebagai acuan dalam mempelajari kerbau lumpur yang digunakan untuk makepung 1.5 Kerangka Konsep Hasinah dan Handiwirawan (2006) menyatakan bahwa keragaman pada kerbau dapat dilihat dari ciri-ciri fenotipe, produksi dan genotipe. Keragaman fenotipik kualitatif merupakan parameter yang dapat diamati atau terlihat secara langsung seperti tinggi, berat, warna dan pola warna tubuh, pertumbuhan tanduk, pusaran dan sebagainya. Keragaman fenotipik kualitatif menunjukkan perbedaan penampilan atau ukuran diantara individu dalam suatu populasi untuk sifat tertentu. Menurut Hardjosubroto dan Astuti (1993), keragaman fenotipik kualitatif yang dimiliki setiap individu dikontrol oleh banyak pasangan gen yang aksinya bersifat aditif dan sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Menurut Sarbaini (2004) penanda fenotipik merupakan penciri yang ditentukan atas dasar ciri-ciri fenotipe yang dapat diamati atau dilihat secara langsung, seperti ukuran-ukuran permukaan tubuh, bobot badan, warna dan pola warna bulu tubuh, bentuk dan perkembangan tanduk dan sebagainya. Terdapat dua faktor yaitu faktor dalam (genetik) dan faktor luar (lingkungan)
yang dapat menentukan penampilan suatu individu. Faktor genetik ditentukan oleh susunan gen dan kromosom yang dimiliki oleh ternak. Pengaruh faktor genetik bersifat baka (tidak akan berubah selama hidupnya, selama tidak terjadi mutasi dari gen yang menyusunnya). Sedangkan pengaruh lingkungan bersifat tidak baka (tidak tetap) dan tidak dapat diwariskan kepada keturunannya dan tergantung pada kapan dan dimana individu tersebut berada (Agustiani, 2009). Selama kehidupan suatu individu, sifat turunan akan terus berinteraksi dengan lingkungan dan interaksi ini akan menentukan rupa atau bentuk individu tersebut pada waktu tertentu dan perkembangannya pada waktu mendatang (Kampas, 2008). Warna kulit tubuh adalah salah satu sifat fenotipik kualitatif yang biasa digunakan sebagai kriteria dalam seleksi dari pemilihan kerbau lumpur. Warna kulit merupakan manifestasi antara satu atau beberapa pasang gen (Dudi et al., 2011). Selain warna kulit tubuh, letak pusaran juga menentukan dalam kriteria pemilihan kerbau lumpur yang digunakan dalam makepung. Letak pusaran yang mempunyai nilai sosial tinggi yaitu delapan titik pusar (4 pasang yaitu kiri dan kanan) terdapat di bagian hidung, telinga, pundak, dan pinggul (Dudi et al., 2011). Jumlah pusaran (useran, unyeng-unyeng) maupun letak pusaran merupakan sifat fenotipik kualitatif yang berkarakter pada kerbau. Kerbau lumpur memiliki keragaman untuk letaknya diseluruh tubuh namun jumlahnya spesifik untuk setiap individu. Jumlah pusaran umumnya berpasangan di setiap letaknya. Menurut Pradita (2013) letak pusaran berada pada bagian wajah, pundak kiri-kanan dan pinggul kiri-kanan. Sehingga secara garis besar pemilihan dari kerbau lumpur selain dipengaruhi oleh
faktor lingkungan juga dipegaruhi oleh preferensi pemilik terhadap kriteria kerbau lumpur. Berikut ini dijelaskan dalam kerangka konsep. Faktor Luar Lingkungan Preferensi Pemilik Keragaman Fenotipik Kualitatif Kerbau Lumpur Makepung Jembrana Faktor Dalam Genetik Keragaman Pusaran (useran, unyeng unyeng) Letak/ Lokasi pusaran Arah pusaran Keragaman Warna Kulit Tubuh Gambar 1. Kerangka Konsep Keragaman Fenotipik Kualitatif Kerbau Lumpur