BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

dokumen-dokumen yang mirip
Lampiran 1 Form Kuesioner Pakar I

SEMINAR NASIONAL NOVEMBER MANAJEMEN KLAIM PROYEK KONSTRUKSI Construction Claim Management

BAB 1 PENDAHULUAN. Untuk melaksanakan pembangunan konstruksi memerlukan kontraktor yang

BAB I PENDAHULUAN. Project life cycle. Construction. Tender Document. Product

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, pada umumnya sistem kontrak konstruksi yang paling banyak

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pendahuluan Universitas Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III MANAJEMEN DAN ORGANISASI PROYEK

BAB 1 PENDAHULUAN. Pengelolaan risiko..., Mohamad Taufik H.A., FT UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Negara berkembang seperti Indonesia sedang melakukan pembangunan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

1 Universitas Indonesia

Gambar 1.2 View Design Hotel Travello Bandung Proses Pengadaan Proyek Jenis Lelang Proyek Proyek pembangunan Hotel Travello Bandung, o

AKOMODASI RESIKO DALAM PROPOSAL TENDER

BAB III SISTEM ORGANISASI DAN MANAJEMEN PROYEK

BID EVALUATION SYSTEM

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Pengelolaan risiko..., Budi Suanda, FT UI, 2008

BAB 5 TEMUAN DAN PEMBAHASAN

BENTUK-BENTUK KONTRAK KONSTRUKSI (RINGKASAN) Oleh: Ir. H. Nazarkhan Yasin

DOKUMEN-DOKUMEN PROYEK KONTRAK

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pada beberapa area. Konstruksi dapat juga didefinisikan sebagai susunan (mode,

PERMASALAHAN KLAIM PADA PROYEK PLN

LAMPIRAN 1 KUESIONER

BAB V ANALISIS SISTEM MANAJEMEN MUTU

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENGADAAN BARANG/JASA (PROCUREMENT)

BAB I PENDAHULUAN. Dalam upaya mendapatkan pekerjaan ( proyek ) pada sector jasa konstruksi hampir

BAB IV PEMBAHASAN. Gambaran Umum Proses Kontrak Konstruksi. Proyek-proyek yang dikerjakan oleh perusahaan (PT. IKPT) bermacam-macam,

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. untuk proses penelitian dalam membandingkan kontrak lump sump fixed price

BAB II TINJAUAN UMUM PROYEK. didasarkan pada karakteristik dan kondisi proyek itu sendiri. Ditinjau dari sudut

SEMINAR NASIONAL 2014 MANAJEMEN KLAIM PROYEK KONSTRUKSI 6 NOVEMBER 2014

SURVEI MENGENAI BIAYA OVERHEAD SERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

Laporan Tugas Akhir Rekayasa Nilai Pembangunan RS Mitra Husada Slawi 29

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia sektor jasa konstruksi selama ini sudah terbukti sebagai salah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam memenuhi kebutuhan listrik nasional, penyediaan tenaga listrik di

BAB 1 PENDAHULUAN. Identifikasi faktor-faktor..., Mohammad Mufti, FT UI, 2008

KONTRAK KERJA KONSTRUKSI

BAB I PENDAHULUAN. proses tersebut terdapat tahapan pelaksanaan pekerjaan yang melibatkan sejumlah

Bab I. Pendahuluan 1 BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan semakin pesatnya era globalisasi yang ditandai dengan dimulainya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Teknologi Konstruksi (Construction Technology) yaitu mempelajari metode

Kontraktor. Konsultan Pengawas. Konsultan Perencana

BAB III. SISTEM ORGANISASI dan MANAJEMEN PROYEK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

SLK (STANDAR LATIH KOMPETENSI)

BAB III SISTEM ORGANISASI DAN MANAJEMEN PROYEK. proyek atau pekerjaan dan memberikannya kepada pihak lain yang mampu

BAB I PENDAHULUAN. estimasi terhadap biaya proyek adalah biaya peralatan dan juga material.

ESTIMASI BIAYA PROYEK KONSTRUKSI

Faktor-faktor Penentu dalam Pemilihan Jenis Kontrak Untuk Proyek Pembangunan Gedung Pertokoan. M. Ikhsan Setiawan, ST, MT

3.2 Struktur Organisasi Laporan Kerja Praktik Struktur organisasi adalah suatu kerangka kerja yang mengatur pola hubungan kerja antar orang atau badan

BAB VI KEMAJUAN PEKERJAAN DAN PENGENDALIAN PROYEK

KLAIM KONSTRUKSI (STUDI KASUS: PEKERJAAN PENGADAAN GEDUNG KESEHATAN PADA BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT SURAKARTA) Herman Susila.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Memiliki tujuan yang khusus, produk akhir atau hasil kerja akhir. ditentukan atau mempunyai jangka waktu tertentu

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah salah satu negara di dunia yang sedang berkembang.

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan yang berkecimpung dalam bidang EPC (Engineering

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Gane, V (2004) dalam tulisannya Parametrik Design a Paradigm

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PT. PRATAMA SAVINDO OETAMA COST CONSULTANT / QUANTITY SURVEYOR

PENGELOLAAN KEWAJIBAN KONTINJENSI TAHUN ANGGARAN 2011

BAB III SISTEM ORGANISASI DAN MANAJEMEN PROYEK

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Dari hasil evaluasi penerapan manajemen pengendalian proyek South

BAB III MANAGEMENT DAN ORGANISASI PROYEK

BAB III SISTEM ORGANISASI DAN MANAJEMEN PROYEK. proyek dengan tujuan mengatur tahap tahap pelaksanaan

BAB III SISTEM ORGANISASI DAN MANAJEMEN PROYEK. sitematis. Dapat diartikan juga sebagai wadah dalam kegiatan sekelompok

KRITERIA KEBERHASILAN SUATU PROYEK

STUDI ANALISIS PERUBAHAN PEKERJAAN DALAM PROYEK KONSTRUKSI

\\ \upi\Direktori\E - FPTK\JUR. PEND.TEKNIK SIPIL\ ROCHANY NATAWIDJANA\25 FILE UNTUK UPI\BID PRICE.

BAB III. SISTEM ORGANISASI dan MANAJEMEN PROYEK

BAB II PROFIL PERUSAHAAN

Pemanfaatan Dukungan Pemerintah terhadap PLN dalam Penyediaan Pasokan Listrik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. bakar batubara untuk pemanas agregat adalah AMP yang umumnya menggunakan

BOLEHKAH MENGGUNAKAN KONTRAK HARGA SATUAN UNTUK PENGADAAN PEKERJAAN KONSTRUKSI

BAB III SISTEM ORGANISASI DAN MANAJEMEN PROYEK. digunakan dalam pelaksanaan pembangunan proyek, oleh karena itu dibutuhkan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. sebelumnya diyakini relatif akan mampu bertahan dari dampak krisis keuangan dan

BAB III SISTEM MANAJEMEN DAN ORGANISASI PROYEK

BAB II STUDI PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERBANDINGAN METODE SIMPLE ALTERNATIVES KONTRAK HARGA PASTI DAN METODE MULTIPLE ALTERNATIVES KONTRAK HARGA POKOK

STRATEGI PENANGANAN RISIKO PADA PROYEK KONSTRUKSI DI KOTA JAYAPURA (STUDI KASUS PROYEK JALAN)


EVALUASI ALUR KERJA DAN KOORDINASI FASE TENDER PADA PERUSAHAAN KONTRAKTOR DI SURABAYA (STUDI KASUS PADA PT. X SURABAYA)

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat modern saat ini tidak bisa dilepaskan dari energi listrik.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Perumusan Masalah

DAFTAR PUSTAKA. 3. Diphohusodo, Istimawan., (1996), Manajemen Proyek Konstruksi, Jilid 1 & 2, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, Indonesia.

SEMINAR NASIONAL 2014 MANAJEMEN KLAIM PROYEK KONSTRUKSI 6 NOVEMBER 2014

BAB III METODE PENELITIAN

MASA DEPAN INDUSTRI EPC ; TANTANGAN BUMN EPC (2017)

DAFTAR PUSTAKA. Abdulrasyid,Priyatna Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta : PT.

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. permintaan dan kebutuhan dari pemilik proyek, yang tidak lepas dari

PRIYANTO D

BAB I PENDAHULUAN. sering terjadi dalam pelaksanaan proyek konstruksi gedung maupun sipil. penyempurnaan design yang sudah ada di dalam sebuah kontrak

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Materi Paparan Menteri ESDM Strategi dan Implementasi Program MW: Progres dan Tantangannya

BAB I PENDAHULUAN. peluang memperoleh keuntungan dan resiko menderita kerugian, baik secara

BAB I PENDAHULUAN. Di era globalisasi saat ini, persaingan bisnis semakin ketat menuntut setiap

Kita awali dulu dengan kepanjangannya, EPC adalah singkatan dari istilah Engineering- Procurement-Construction.

PERBANDINGAN PERHITUNGAN RENCANA ANGGARAN BIAYA LANJUTAN PEMBANGUNAN GEDUNG KULIAH FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

KEBIJAKAN PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK DAN PEMANFAATAN ENERGI

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Percepatan pembangunan infrastruktur di Indonesia, khususnya pembangkit listrik nasional adalah suatu kebutuhan yang mendesak karena telah di ambang krisis. Dari data Lin Che Wei, Reza B. Zahar (2006) yang ada, untuk tahun 2005 pembangkit listrik yang terpasang sekitar 25.000 MW, dimana 78 persen atau 19.500 MW berada di Jawa dan Bali dan sisanya sekitar 5.700 MW tersebar di daerah-daerah luar Jawa dan Bali. Untuk memenuhi kebutuhan listrik tersebut, rencana pemerintah membangun tambahan pembangkit listrik tahap pertama sebanyak 10.000 MW. Dari kapasitas yang terpasang, 30 persen pembangkit tersebut menggunakan BBM. Pemerintah mengambil keputusan tidak menaikkan tarif dasar listrik, meskipun biaya pengadaan listrik tersebut cukup tinggi. Langkah penghematan tersebut diputuskan dengan membangun pembangkit listrik dengan biaya yang rendah, dengan merubah bahan bakar yang digunakan dari bahan bakar minyak menjadi bahan bakar batubara. Dengan adanya perubahan BBM menjadi batubara tersebut, pemerintah bisa menghemat biaya, yaitu dari kebutuhan sekitar Rp. 50.3 Triliun pertahun untuk biaya BBM, menjadi hanya Rp. 9 Triliun berarti ada penghematan sebesar Rp. 41 Triliun. Penghematan tersebut bisa digunakan untuk membangun pembangkit listrik dengan bahan bakar batu bara dengan kapasitas 5.000 MW dengan sistem Engineering, Procurement and Construction (EPC) dengan biaya kurang lebih 800.000 dollar AS per MW. Sebagai tindakan konkret dari semua rencana tersebut, pemerintah melakukan rencana crash program 10.000 MW untuk mengatasi dua permasalahan yaitu kebutuhan akan pasokan listrik dan penyediaan listrik yang relatif lebih murah. Ada empat hal yang menjadi kunci utama keberhasilan proyek listrik murah ini, yaitu: a. Kesediaan konsorsium Cina untuk membangun pembangkit dengan harga indikatif sebesar 700.000 dollar AS per MW (5.6 miliar dollar AS untuk 8,000 MW) 1

2 b. Konsorsium Cina sanggup membangun dengan jangka waktu 30 bulan untuk pembangkit 300 MW dan 36 bulan untuk pembangkit 600 MW. c. Konsorsium Cina menyatakan bersedia bekerja sama dengan kontraktor nasional Indonesia. d. Pendanaan dalam bentuk kredit ekspor yang kompetitif dari Pemerintah Cina. Dari keempat hal tersebut di atas Pemerintah melalui perwakilannya PLN mempunyai alternatif untuk menentukan pilihan terbaik dari aspek kapasitas dan kemampuan masing-masing konsorsium, kesiapan dan kesanggupan pendanaan, kesanggupan untuk memenuhi target waktu serta dukungan Pemerintah Cina atas pelaksanaan pendanaan proyek pembangkit tersebut (Lin Che Wei, Reza B. Zahar, 2006) [1]. Beberapa Proyek EPC yang dimenangkan oleh konsorsium Cina tersebut ditenderkan lagi dengan menggunakan sistem kontrak lump sum untuk mencari mitra lokal dalam pelaksanaaan konstruksinya. Pada saat proses tender, konsorsium yang bertindak sebagai Client hanya memberikan data yang sangat terbatas, yang meliputi basic design, Bill of quantity yang kurang lengkap, serta spesifikasi teknis serta scope pekerjaan yang tidak jelas, sehingga terdapat kekurangan informasi dalam memberikan harga penawaran. Dengan desain awal ini, biaya dihitung berdasarkan informasi yang ada. Sehingga sering terjadi kesalahan karena informasi yang diperoleh sangat terbatas. Dengan adanya desain yang tidak pasti berisiko buat penyedia jasa pada saat memberikan penawaran harga. Di bawah ketidakpastian serta informasi yang sangat terbatas (undefinitive design) baik mengenai gambar, spesifikasi, scope pekerjaan serta data pendukung lainnya, semua stakeholder proyek berusaha untuk menghindari risiko yang mereka tanggung (Arye Sadeh, Dov Dvir, Aaron Shenhar, 2000). Terdapat dua hal yang berlawanan dimana kontrak lump sum adalah suatu kontrak dengan nilai yang tetap berdasarkan lingkup kerja dan tanggung jawab yang telah ditetapkan dalam kontrak, termasuk gambar pelaksanaan, spesifikasi teknis dan sebagainya. Dalam kontrak jenis ini lingkup kerja dari kontraktor sudah sangat jelas sehingga semua risiko Client akan menjadi tanggung jawab dari pihak kontraktor (Muhamad Abduh, Reini D. Wirahadikusumah, 2005) [2]. Sedangkan untuk tender yang dilakukan oleh konsorsium Cina tersebut, tidak terdapat kejelasan

3 baik mengenai tanggung jawab dalam kontrak, gambar dan spesifikasi yang akan menjadi acuan dalam pelaksanaan pekerjaan. Oleh sebab adanya kontradiksi dari kedua hal tersebut, maka risiko yang timbul pada saat pengambilan keputusan sangat besar, sehingga diperlukan keahlian dari semua pihak mulai dari team estimator sampai tingkat manajemen. Oleh sebab itu maka perlu adanya proses yang baik dalam awal penghitungan proposal penawaran dengan memperhitungkan semua faktor yang ada dalam dokumen tender. Estimator harus menguasai jenis pekerjaan sebelum melakukan perhitungan untuk menghindari kesalahan dalam penyampaian proposal tender kepada Client proyek, termasuk memperhitungkan adanya sistem kontrak yang akan dilaksanakan pada masa pelaksanaan konstruksi maupun batasan-batasan lain yang ada dalam dokumen tender. Menurut Nazarkhan Yasin (2003), menyebutkan bahwa kontrak fixed price atau lump sum masih bisa berubah jika adanya perubahan pekerjaan. Kontraktor bisa mengajukan klaim atas perubahan yang wajar jika biaya bertambah karena adanya perubahan dalam kontrak, atau karena tindakan dari Client atau wakilnya. Pada teori yang lain menyebutkan bahwa kontrak kerja lump sum merupakan kontrak jasa atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam jangka waktu tertentu dengan jumlah harga yang pasti dan tetap serta risiko yang mungkin terjadi dalam proses penyelesaian pekerjaan yang sepenuhnya ditanggung kontraktor sepanjang gambar dan spesifikasi tidak berubah. Dari dua definisi tersebut menyebutkan bahwa kontrak fixed price atau lump sum masih ada kemungkinan berubah dengan mengukur kembali volume pekerjaan aslinya. Untuk kontrak fixed price atau lump sum kesalahan sebagian orang adalah karena kata-kata fixed sehingga mereka beranggapan bahwa kontrak tersebut tidak bisa berubah [3]. 1.2 Perumusan Masalah Di dalam Industri konstruksi, posisi dari kontraktor biasanya selalu lemah terhadap posisi Client. Kontraktor harus selalu mematuhi semua konsep/draft kontrak yang diberikan oleh Client (Nazarkhan Yasin, 2003). Oleh sebab itu

4 posisi kontraktor harus benar-benar menguasai semua dokumen penawaran pada saat mengajukan proposal penawarannya [4]. 1.2.1 Deskripsi Permasalahan Adanya keterbatasan informasi yang diperoleh kontraktor mengenai desain proyek yang dilakukan oleh Perusahaan Cina pada saat tender, mengakibatkan kurang akuratnya nilai yang diperoleh pada saat perhitungan penawaran. Di lain pihak, Client/konsorsium Cina menghendaki kontrak sistem lump sum karena untuk mengurangi risiko yang ada pada Client/konsorsium. Dua hal yang sangat berlawanan tersebut memberikan risiko yang cukup besar pada saat pelaksanaan konstruksi. Penulis mengambil contoh pada Perusahaan PT. Y dengan Proyek X dimana kontraknya adalah Lump sum. Di dalam pelaksanaannya terdapat pekerjaan yang tidak sesuai dengan informasi atau asumsi-asumsi pada saat tender. Contoh pekerjaan pembesian, di dalam Bill of Quantity (BoQ) tender, volume dalam BoQ hanya merupakan nilai dari besarnya pekerjaan beton saja, tanpa menyebutkan besarnya kandungan besi dalam setiap m 3 beton. Oleh sebab itu pada saat proses perhitungan, estimator hanya memberikan perhitungan berdasarkan perkiraan saja. Sebagai contoh untuk pekerjaan pondasi Chimney, asumsi pada saat tender, volume pembesiannya adalah 66.4 kg/m 3, aktual pada saat konstruksi sesuai dengan gambar pelaksanaan adalah 103.9 kg/m 3. Perubahan nilai ini tentunya juga berpengaruh terhadap harga per m3 beton yang ditawarkan kepada pihak Client/konsorsium Cina. Tidak adanya klausal dalam kontrak yang menyebutkan batasan maksimal pihak kontraktor boleh mengajukan pekerjaan tambah, menjadikan posisi kontraktor semakin lemah. Penulis ambil salah satu contoh dalam difinisi dalam kontrak PT. Y yang menyebabkan posisi penyedia jasa/kontraktor lemah adalah sebagai berikut: The lump sum price shall be deemed as a price to complete the work scope which is decided by both parties. This price should not be adjustable in future, no matter any modification arises from the quantity or the quality, once the both parties signed on it. Terjemahan bebas penulis dari pasal tersebut di atas adalah:

5 Harga lump sum dianggap sebagai suatu harga untuk menyelesaikan suatu pekerjaan sampai dengan selesai yang telah disetujui oleh kedua belah pihak. Harga tersebut tidak akan berubah pada waktu yang akan datang, tidak peduli adanya modifikasi yang timbul karena kuantitas maupun kualitas, ketika kedua belah pihak telah menandatanganinya. Tapi di pasal yang lain menyebutkan: The work is finalized based on the requirement of EPC Contract and basic design, criteria, drawings and specifications. In case the basic design is changed after approval by the owner, that work shall not be applicable. Terjemahan bebas dari pasal tersebut di atas adalah: Pekerjaan difinalisasi berdasarkan persyaratan dalam kontrak EPC dan basic design, kriteria, gambar dan spesifikasi. Jika basic design berubah setelah persetujuan dari owner, maka pekerjaan tersebut tidak bisa dipakai. Sebenarnya jika melihat kedua pasal tersebut, penyedia jasa/ kontraktor sudah bisa membatasi, jika ada perubahan dalam basic design, maka pekerjaan tersebut secara otomatis menjadi pekerjaan tambah bagi penyedia jasa/kontraktor. Tetapi aktual pelaksanaan di lapangan hal tersebut menjadi sangat sulit karena tidak adanya pasal khusus yang menyebutkan pekerjaan tambah atau variation order. Jika penulis bandingkan dalam kontrak FIDIC untuk konstruksi (1999), dalam pasal 12.3 yang menyebutkan bahwa tarif atau harga baru harus disesuaikan untuk item pekerjaan jika (p.82-85) [5]: a. Kwantitas pekerjaan yang dihitung berubah lebih dari 10% dari volume yang ada dalam BoQ. b. Perubahan dalam kwantitas pekerjaan dikalikan dengan tarif yang telah ditetapkan melebihi dari 0.01% dari jumlah kontrak. c. Perubahan dalam kwantitas secara langsung merubah biaya per unit kwantitas lebih dari 1%. Sedangkan masih berdasarkan kontrak FIDIC untuk konstruksi (1999) pasal 13.1 menyebutkan bahwa variasi pekerjaan termasuk sebagai berikut: a. Perubahan terhadap kwantitas dari setiap pekerjaan yang termasuk dalam kontrak.

6 b. Perubahan terhadap kualitas dan karakteristik yang lain dari setiap item pekerjaan. c. Perubahan terhadap level, posisi dan/atau dimensi dari setiap pekerjaan. d. Penghilangan dari setiap pekerjaan kecuali jika hal itu disebabkan oleh pihak lain. e. Pekerjaan tambah yang lain, Plant, material atau jasa yang digunakan untuk pekerjaan permanen, termasuk diantaranya tes pada penyelesaian pekerjaan, boreholes dan pengetesan yang lain dan pekerjaan penyelidikan, atau f. Perubahan terhadap urutan dan waktu pelaksanaan pekerjaan. Dari definisi yang ada dalam kontrak PT. Y dan kontrak FIDIC untuk konstruksi, ada sedikit perbedaan karena tidak adanya pasal yang jelas mengenai pekerjaan tambah, maka menyebabkan pelaksanaan di Lapangan menjadi susah dalam mengajukan harga pekerjaan tambah tersebut. Hal tersebut yang menjadi salah satu dasar bagi penulis untuk melakukan penelitian ini yang nantinya akan sangat bermanfaat bagi pelaksanaan proyek 10.000 MW tahap 2. 1.2.2 Signifikansi Masalah Dari adanya faktor ketidak pastian desain tersebut di atas, maka timbul permasalahan perbedaan persepsi yang di sampaikan oleh kontraktor dalam proses pelaksanaannya. Desain yang dilaksanakan pada saat konstruksi tidak sama dengan data basic design saat proses tender. Sesuai dengan tabel dari Wideman R.W (1992) dalam Project and Program Risk Management : A Guide to Managing Project Risk and Opportunities, Kontraktor mempunyai risiko sampai dengan 100% terhadap penerapan kontrak lump sum dengan adanya ketidakpastian desain yang dilaksanakan [6]. Sebagai contoh pada Perusahaan PT. Y dengan proyek X terdapat beberapa pekerjaan yang berbeda pada saat tender dan aktual gambar pelaksanaan bisa dilihat dalam tabel 1.1. di bawah. Kontraktor menanggung risiko dari semua perbedaan data dan spesifikasi saat tender dan saat kontrak dilaksanakan.

7 Tabel 1.1 Tabel Perbandingan Spesifikasi dan Pengaruhnya No Item Saat Tender Saat Konstruksi % terhadap budget 1 Penggunaan Polypropelene pada beton Tidak pakai Polypropelene Pakai Polypropelene 1.07 % 2 Hardcore Tidak ada Gravel tebal 20 cm 100 % 3 Backfilling Soil Backfilling Detritus Soil (Campuran antara tanah 70% dan 30% gravel) 417.06 % Sumber : Hasil Olahan 1.2.3 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan yang muncul dalam proses pelaksanaan proyek seperti tersebut di atas, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Apa saja peristiwa risiko yang berpengaruh terhadap penentuan pengambilan keputusan kontrak lump sum pada proyek undefinitive design. b. Bagaimana dampak peristiwa risiko yang dominan tersebut pada kontrak lump sum dengan proyek undefinitive design. 1.3 Tujuan Penelitian Yang menjadi tujuan dari peneliti dalam penulisan ini adalah: a. Untuk mencari peristiwa risiko terbesar dalam penentuan pengambilan keputusan pemakain kontrak lump sum pada proyek undefinitive design. b. Untuk mencari dampak peristiwa risiko yang dominan pada kontrak lump sum dengan proyek undefinitive design ditinjau dari prosentase nilai profit. 1.4 Batasan Penelitian Dalam melakukan pengamatan dan penelitian ini, batasan penelitian yang penulis lakukan adalah sebagai berikut: a. Merupakan pengkajian kinerja biaya pada kontrak lump sum akibat adanya desain proyek yang belum jelas pada saat proses penawaran.

8 b. Kinerja biaya yang ditinjau dari sudut pandang kontraktor. c. Proyek PLTU yang dipakai untuk studi kasus adalah proyek di PT. Y untuk kontrak lump sum. d. Proyek yang dilihat pada PT. Y dengan Client dari Cina. 1.5 Manfaat Penelitian Sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian, penulis berharap agar hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan serta memberikan kontribusi di antaranya: a. Memberikan informasi risiko-risiko yang timbul pada proyek kontrak lump sum dengan undefinitive design. b. Membantu Proyek Manajer Kontraktor dalam mengidentifikasi risiko-risiko yang terjadi pada saat proses penawaran untuk kontrak lump sum. c. Membantu Manajemen perusahaan untuk mengetahui faktor-faktor resiko yang akan timbul dalam pengambilan keputusan pada saat penentuan jenis kontrak lump sum. d. Membantu Perusahaan untuk bisa lebih jelas dalam menentukan jenis kontrak yang akan diterapkan. e. Menambah kemampuan penulis dalam menganalisa harga dalam penwaran proyek, dengan mengetahui risiko-risiko baik kelebihan dan kekurangan yang terjadi khususnya pada kontrak lump sum. f. Menambah serta memberikan pengetahuan terhadap kontrak manajemen dalam lingkungan pendidikan khususnya pada. g. Sebagai bahan tambahan informasi bagi penelitian lebih lanjut. 1.6 Keaslian Penelitian Penelitian yang relevan dengan judul dari penulis adalah : a. Daniel Rianto (2006), Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja biaya material konstruksi dengan kontrak Lump sum. Penelitian ini membahas tentang kecenderungan faktor dan risiko yang memberikan kontribusi terhadap kenaikan biaya material. Hasil yang didapat adalah faktor yang mempunyai pengaruh terbesar dalam biaya material.

9 b. Riwardy DH (2004), Identifikasi Sumber-Sumber Resiko yang Berpengaruh terhadap Cost Over run pada Proyek Konstruksi dengan Jenis Kontrak Lump sum dan Langkah-langkah Ansipasinya. Penelitian ini mengidentifikasikan risiko-risiko yang berpengaruh terhadap cost over run pada proyek konstruksi dengan jenis kontrak lump sum, serta mengetahui langkah-langkah antisipasi terhadap sumber resiko pada proyek konstruksi dengan jenis kontrak lump sum. c. Muhammad Sofyan (2003), Pengaruh Resiko pada Kontrak Kerja Konstruksi Terhadap Pekerjaan Konstruksi. Penelitian ini adalah mengidentifikasi dan mengevaluasi risiko-risiko yang terdapat pada kontrak kerja konstruksi pada PT. Jasamarga dan untuk mengetahui besar biaya risiko yang dialokasikan oleh kontraktor sebagai akibat dari risiko tersebut, serta pengaruhnya pada biaya konstruksi, data yang dibandingkan adalah melihat risiko pada kontrak lump sum dan unit price. d. Diah Pitaloka (2001), Pemodelan Simulasi Risiko Terhadap Biaya Kontrak Lump Sum pada Proyek Konstruksi di Wilayah Jabotabek. Penelitian ini untuk mengetahui risiko-risiko yang umum terjadi pada proyek konstruksi yang menggunakan jenis kontrak lump sum serta mereduksinya dalam rangka meningkatkan kualitas kontrak lump sum ditinjau dari kinerja biaya. e. Budi Suanda (2008), Pengelolaan Risiko Kontrak Terhadap Kinerja Biaya pada Proyek Konstruksi (Studi Kasus PT. PP). Penelitian ini untuk mengidentifikasi risiko kontrak yang paling menentukan yang dapat mempengaruhi kinerja biaya, serta untuk mengetahui tingkat & perbedaan risiko kontrak dengan pengguna jasa pemerintah, swasta non developer, swasta developer, juga untuk mengetahui tindakan risiko terhadap faktor risiko kontrak yang dapat mempengaruhi kinerja biaya. Terdapat perbedaan penelitian ini dengan hasil dari penelitian sebelumnya yaitu peneliti bermaksud untuk mencari tingkat risiko terhadap pengambilan keputusan atas penggunaan kontrak lump sum dengan proyek undefinitive design.