BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otonomi daerah menjadikan daerah memiliki kewenangan tersendiri dalam mengatur dan melaksanakan anggaran sesuai dengan prioritas yang telah ditetapkan. Kepala daerah terpilih bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menyusun anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) sebagai dasar untuk menjalankan pembangunan di daerah. Masyarakat yang turut menikmati hasil pembangunan sekaligus akan memberikan penilaian tentang kinerja kepala daerah beserta wakil rakyat di kursi dewan. Masalah yang sudah umum dalam setiap daerah adalah menentukan komposisi belanja daerah (Halim, 2014: 8). Setiap daerah dituntut bijak dalam menetapkan besaran belanja sehingga proporsi belanja untuk bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan belanja lainnya dapat benar-benar bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan umum, sebagaimana diamanatkan dalam Undang- Undang Dasar 1945. Setelah itu, penyerapan anggaran atas belanja yang telah ditetapkan akan menjadi masalah di kemudian hari. Otonomi daerah juga melahirkan adanya penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah (pilkada) yang digelar setiap lima tahun. Pilkada ini diselenggaran dengan dana yang tidak sedikit dan dirasakan oleh beberapa kalangan dapat membebani keuangan daerah. Namun demikian, sampai saat ini belum ada evaluasi yang mendalam tentang efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pilkada di Indonesia (Ritonga dan Alam, 2010). 1
Pada tahun ini akan digelar pilkada serentak pada 9 Desember 2015 (gelombang pertama) dengan diikuti 269 daerah. Sisanya sebanyak 273 daerah akan melaksanakan pada gelombang kedua. Jika melihat pada anggaran penyelenggaraan pilkada, untuk gelombang pertama saja terjadi pembengkakan dana dari Rp4 triliun menjadi Rp7,1 triliun atau naik sebesar 77,5 persen (Kedaulatan Rakyat, 16 Juni 2015). Pembengkakan dana ini merupakan suatu ironi mengingat tujuan awal penyelenggaraan pilkada serentak adalah untuk efisiensi anggaran. Sewaktu pilkada digelar, banyak sekali isu tentang politik uang (money politic). Hal ini untuk menarik simpati masyarakat agar perolehan suara semakin besar sehingga peluang untuk menjadi kepala daerah semakin tinggi. Ketika terpilih, kepala daerah memiliki kewenangkan dalam mengajukan besaran anggaran untuk kemudian diusulkan dan dibahas bersama dengan DPRD. Kewenangan ini memberikan kesempatan kepada kepala daerah untuk menetapkan pos-pos tertentu untuk kepentingannya (Media Indonesia, 13 April 2015). Apalagi jika kepala daerah tersebut berencana untuk kembali mengikuti pilkada periode berikutnya (incumbent). Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah menetapkan besaran belanja hibah, bantuan sosial, dan bantuan keuangan. Ketiga belanja tersebut dirasa mampu menarik simpati dan perhatian masyarakat untuk memilih kepala daerah yang ingin mengajukan kembali pada periode kedua. Pada kenyataannya, belanja hibah, bantuan sosial, dan bantuan keuangan termasuk dalam kelompok belanja tidak langsung. Ini artinya ketiga belanja tersebut dianggarkan tanpa adanya indikator input dan output yang terukur. 2
Dengan tidak adanya indikator ini, sebenarnya belanja ini tidak harus menjadi prioritas utama dalam pembangunan. Ketika pos belanja hibah, bantuan sosial, dan bantuan keuangan dimanfaatkan oleh kepala daerah incumbent, tentu saja ada perubahan di pos belanja yang lain. Pos belanja lain tersebut bisa saja berupa belanja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja modal, dan lainnya. Belanja modal yang disebut sebagai belanja yang menyangkut kehidupan masyarakat secara luas dapat menjadi perhatian apakah turut berubah sebagai akibat perubahan proporsi belanja hibah, bantuan sosial, dan bantuan keuangan tersebut. Taqiyyuddin (2014) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa belanja modal berpengaruh besar terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Tengah. Belanja yang berpengaruh paling signifikan adalah belanja infrastruktur dan belanja kesehatan. Begitu juga Astuti (2014) dalam penelitiannya juga menyebutkan adanya pengaruh signifikan pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Tanzi dan Davoodi (2002 dalam Hidayat, 2014: 5) menyatakan ada perilaku oportunistik politisi dalam pembuatan keputusan investasi publik. Para politisi membuat keputusan-keputusan terkait dengan (1) besaran anggaran investasi publik, (2) komposisi anggaran investasi publik tersebut, (3) pemilihan proyek-proyek khusus dan lokasinya, dan (4) besaran rancangan setiap proyek investasi publik. Hal serupa juga disampaikan oleh Lalvani (1999 dalam Hidayat, 2014: 6), yang mengatakan bahwa sebelum dilaksanakan pemilu rawan terjadi tindakan oportunis yang dilakukan oleh kepala daerah untuk melakukan politisasi 3
anggaran. Hasil penelitiannya menujukkan terjadi peningkatan belanja modal sebelum dilaksanakan pemilu. Hal tersebut dilakukan guna mendapatkan suara pada pilkada. Di Indonesia banyak daerah (provinsi/kabupaten/kota) dengan kepala daerah menjabat dua kali berturut-turut. Di Pulau Jawa saja sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2014 terdapat 31 kepala daerah (bupati/walikota) yang menjabat dua periode. Jumlah tersebut cukup banyak mengingat terdapat 119 daerah, artinya sebanyak 26 persen daerah di Pulau Jawa mengalami 2 periode kepemimpinan kepala daerah yang sama. Pada akhir jabatan periode pertama kepala daerah sering bersafari ke daerah sambil membagikan hibah atau bantuan sosial kepada kelompok masyarakat tertentu. Hal tersebut bisa dipersepsikan bermacam-macam oleh daerah penerima bantuan. Mulai dari kepedulian sang kepala daerah, perhatian terhadap pembangunan daerah setempat, sampai simpati pemerintah kepada warganya. Tidak jarang, warga dengan sepenuh hati mendukung pencalonan sang kepala daerah untuk periode berikutnya sebagai bentuk balas budi. Pulau Jawa selain sebagai pulau terpadat penduduknya, juga pulau dengan belanja hibah, bantuan sosial, dan bantuan keuangan terbesar. Perkembangan belanja tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.1. 4
45.000.000 40.000.000 35.000.000 30.000.000 25.000.000 20.000.000 15.000.000 10.000.000 5.000.000-2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Sumatera Jawa Bali - Nusa Tenggara Kalimantan Sulawesi Maluku - Papua Gambar 1.1 Perkembangan Belanja Hibah, Bantuan Sosial, dan Bantuan Keuangan di Indonesia berdasarkan Kelompok Wilayah Tahun 2007 2014 (dalam jutaan Rp) Sumber: Dirjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan RI (data diolah) Gambar 1.1 menunjukkan bahwa seluruh wilayah mengalami peningkatan belanja hibah, bantuan sosial, dan bantuan keuangan dari tahun 2007 sampai dengan 2014. Kurva untuk Wilayah Bali-Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku-Papua terlihat landai. Ini artinya terdapat peningkatan belanja, namun tidak besar. Kenaikan paling besar tampak pada Pulau Jawa dengan melihat derajat kemiringan kurvanya. Perkembangan belanja tersebut di atas menjadi pertimbangan utama penulis dalam menjadikan Pulau Jawa sebagai objek penelitian. Dengan nominal belanja yang semakin meningkat pesat, ditambah dukungan jumlah penduduk yang padat, tentu akan menjadi menarik untuk diteliti mengenai perubahan belanja hibah, bantuan sosial, dan bantuan keuangan menjelang dilaksakan pilkada. Selain ketiga belanja tersebut, belanja modal juga dapat diteliti perubahannya untuk lingkup waktu yang sama. 5
1.2 Keaslian Penelitian Beberapa penelitian telah dilakukan terhadap belanja hibah, bantuan sosial, dan bantuan keuangan dengan daerah, lingkup waktu, dan objek penelitian yang berbeda. Ritonga dan Alam (2010) dalam Simposium Nasional Akuntansi XIII tahun 2010 meneliti tentang porsi belanja hibah dan bantuan sosial terhadap belanja daerah pada daerah incumbent dan nonincumbent pada tahun 2009 dan 2010. Tahun 2009 merupakan tahun sebelum pilkada dan tahun 2010 merupakan tahun pelaksanaan pilkada. Hidayat (2014) meneliti rasio alokasi belanja antara daerah incumbent dengan daerah nonincumbent sebelum dan pada saat pilkada di Indonesia. Rasio belanja yang menjadi variabel penelitian adalah belanja hibah, belanja bantuan sosial, dan belanja modal terhadap belanja daerah. Lingkup waktunya pada tahun 2012 dan 2013, dengan 2012 sebagai tahun sebelum pilkada, dan 2013 sebagai tahun pelaksanaan pilkada. Kesamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah pada penggunaan variabel rasio belanja hibah, bantuan sosial dan bantuan keuangan, dan belanja modal terhadap belanja daerah. Selain itu, penelitian ini juga menganalisis pada tingkat daerah (provinsi/kabupaten/kota). Perbedaan yang tampak jelas dengan penelitian sebelumnya adalah tentang lingkup waktu penelitian. Jika penelitian sebelumnya berfokus pada dua tahun saja, yaitu tahun sebelum pilkada dan tahun waktu pelaksanaan pilkada, penelitian ini menggunakan lingkup waktu selama kepemimpinan kepala daerah dua 6
periode. Kepala daerah dimaksud adalah yang menjabat selama dua periode secara penuh, yaitu masa jabatan selama sepuluh tahun. 1.3 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah perbedaan alokasi/proporsi belanja hibah, bantuan sosial, dan bantuan keuangan serta belanja modal terhadap belanja daerah selama dua periode kepemimpinan kepala daerah. Objek dalam penelitian ini adalah daerah (provinsi/kabupaten/kota) di Pulau Jawa. 1.4 Pertanyaan Penelitian Dari rumusan masalah di atas, terdapat beberapa pertanyaan yang akan dianalisis dalam penelitian ini sebagai berikut. 1. Apakah terdapat perbedaan rasio alokasi belanja hibah, bantuan sosial, dan bantuan keuangan terhadap belanja daerah antara tahun sebelum dan tahun waktu pilkada? 2. Apakah terdapat perbedaan rasio alokasi belanja hibah, bantuan sosial, dan bantuan keuangan terhadap belanja daerah antara tahun waktu pilkada dan tahun setelah pilkada? 3. Apakah terdapat perbedaan rasio alokasi belanja hibah, bantuan sosial, dan bantuan keuangan terhadap belanja daerah antara periode pertama dan periode kedua selama dua periode kepemimpinan kepala daerah? 7
4. Apakah terdapat perbedaan rasio alokasi belanja modal terhadap belanja daerah antara tahun sebelum dan tahun waktu pilkada? 5. Apakah terdapat perbedaan rasio alokasi belanja modal terhadap belanja daerah antara tahun waktu pilkada dan tahun setelah pilkada? 6. Apakah terdapat perbedaan rasio alokasi belanja modal terhadap belanja daerah antara periode pertama dan periode kedua selama dua periode kepemimpinan kepala daerah? 1.5 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah dan pertanyaan permasalahan di atas, tujuan penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut. 1. Menganalisis perbedaan rasio belanja hibah, bantuan sosial, dan belanja keuangan terhadap belanja daerah antara tahun sebelum dan pada waktu pilkada. 2. Menganalisis perbedaan rasio belanja hibah, bantuan sosial, dan belanja keuangan terhadap belanja daerah antara tahun waktu pilkada dan setelah pilkada. 3. Menganalisis perbedaan alokasi belanja hibah, bantuan sosial, dan belanja keuangan terhadap belanja daerah antara periode pertama dan periode kedua selama kepemimpinan kepala daerah dua periode. 4. Menganalisis perbedaan rasio belanja modal terhadap belanja daerah antara tahun sebelum dan pada waktu pilkada. 8
5. Menganalisis perbedaan rasio belanja modal terhadap belanja daerah antara tahun waktu pilkada dan setelah pilkada. 6. Menganalisis perbedaan alokasi belanja modal terhadap belanja daerah antara periode pertama dan periode kedua selama kepemimpinan kepala daerah dua periode. 1.6 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut. 1. Sebagai bahan pertimbangan bagi para pemangku kepentingan (eksekutif dan legislatif) terkait dengan penganggaran belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja bantuan keuangan, dan belanja modal. 2. Sebagai tambahan informasi bagi penelitian selanjutnya, terutama pada topik penelitian yang sama. 1.7 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penelitian ini terbagi dalam lima bab. Bab I Pendahuluan berisi latar belakang, keaslian penelitian, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II Landasan Teori/Kajian Pustaka berisi teori, kajian terhadap penelitian terdahulu, dan kerangka penelitian. Bab III Metode Penelitian, terdiri atas desain penelitian, metode pengumpulan data, definisi operasional, dan metode analisis data. Bab IV Analisis yang di dalamnya terdapat deskripsi data 9
dan pembahasan. Bab V Simpulan dan Saran, dijabarkan menjadi simpulan, implikasi, keterbatasan, saran. 10