BAB I PENDAHULUAN. kinerja kepala daerah beserta wakil rakyat di kursi dewan.

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. Alam, 2010), untuk penyelenggaraan pemilukada setidaknya menelan biaya

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi fiskal dan otonomi daerah telah membawa konsekuensi pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Setelah otonomi daerah digulirkan tahun 1999, pemerintah daerah mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintahan Daerah (sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

BAB I PENDAHULUAN. sentralisasi menjadi sistem desentralisasi merupakan konsekuensi logis dari

BAB I PENDAHULUAN. Daerah kabupaten dan kota berkedudukan sebagai daerah otonom yang

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya

BAB 1 PENDAHULUAN. Sejak dikeluarkannya Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. Berakhirnya masa orde baru merupakan awal mula demokrasi di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada era otonomi sekarang ini terjadi pergeseran wewenang dan tanggung

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia mendorong terciptanya. rangka bentuk tanggungjawab pemerintah kepada masyarakat.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL

BAB I PENDAHULUAN. Karena pembangunan daerah merupakan salah satu indikator atau penunjang dari

BAB I PENDAHULUAN. keuangan tahunan pemerintah daerah yang memuat program program yang

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara,

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENATAAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 32 tahun 2004 dan Undang-Undang No. 33 tahun 2004

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah

BAB I PENDAHULUAN. investasi dalam bidang pendidikan sebagai prioritas utama dan. pendidikan. Untuk mendasarinya, Undang-Undang Dasar 1945 di

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2014

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh

BUPATI BANGLI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGLI NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2012

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdasarkan Undang-Undang nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH, PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN DANA ALOKASI UMUM TERHADAP PENGALOKASIAN ANGGARAN BELANJA MODAL

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan keuangan daerah adalah seluruh kegiatan yang meliputi

V. GAMBARAN UMUM. Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS. menganalisis susunan kontraktual di antara dua atau lebih individu, kelompok,

PEMERINTAH ALOKASIKAN ANGGARAN DANA DESA TAHUN 2015 SEBESAR RP9,1 TRILIUN

BAB I PENDAHULUAN. sangat mendasar terhadap hubungan Pemerintah Daerah (eksekutif) dengan

KEMENTERIAN DALAM NEGERI

BANGKITNYA INDONESIA. Prioritas Kebijakan untuk Tahun 2010 dan Selanjutnya

KEBIJAKAN PENGANGGARAN DANA PERIMBANGAN DALAM APBD 2017 DAN ARAH PERUBAHANNYA

BAB I PENDAHULUAN. Tuntutan dan kebutuhan masyarakat Indonesia pada umumnya terhadap

BAB 1 PENDAHULUAN. Sebagai awal dalam rangkaian penelitian ini, pada bab I menjelaskan latar

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mengelola keuangannya sendiri. Adanya otonomi daerah menjadi jalan bagi

BAB 1 PENDAHULUAN. Kepmendagri memuat pedoman penyusunan rancangan APBD yang. dilaksanakan oleh Tim Anggaran Eksekutif bersama-sama Unit Organisasi

PERATURAN DAERAH PROPINSI SUMATERA UTARA NOMOR 9 TAHUN 2002 TENTANG BANTUAN KEUANGAN KEPADA PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah memisahkan

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2013

RINGKASAN PENERAPAN PENGANGGARAN PARTISIPATIF DI TINGKAT DESA

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan dalam bentuk( penerapan hukum dan undang-undang) di kawasan. dalam melakukan aktivitas yang berkaitan dengan publik.

JURNAL STIE SEMARANG, VOL 5, NO 1, Edisi Februari 2013 (ISSN : ) ANALISIS APBD TAHUN 2012 Adenk Sudarwanto Dosen Tetap STIE Semarang

GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 12 TAHUN 2017 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2018

BAB I PENDAHULUAN. Penyerapan anggaran menjadi topik menarik akhir-akhir ini. Fenomena APBN

GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2016

BAB VI PENUTUP. 1. Dari analisis pertumbuhan belanja daerah untuk tahun 2012, 2013, dan

BAB 1 PENDAHULUAN. pertahun. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 menggantikan Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi membawa banyak perubahan dalam kehidupan berbangsa dan

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN 2014 A PB D L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI APBD

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan desentraliasasi fiskal, Indonesia menganut sistem pemerintah

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan otonomi daerah merupakan salah satu agenda reformasi, bahkan

DAFTAR ISI DAFTAR ISI... 1 BAB I PENDAHULUAN... 2 BAB II RENCANA PERUBAHAN PENDAPATAN DAERAH TAHUN ANGGARAN

KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 041/P/2017 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Undang Nomor 33 Tahun 2004, menjadi titik awal dimulainya otonomi. dan Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak

2015 ANALISIS STRATEGI BIAYA PENGALOKASIAN BELANJA LANGSUNG PADA APBD PEMERINTAH DAERAH

- 1 - MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG PENATAAN DESA

PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang

GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2017

BAB I PENDAHULUAN. dalam mewujudkan aspirasi masyarakat dalam rangka meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan pemberian kewenangan secara luas, nyata, dan

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 33 tahun 2004

BAB II LANDASAN TEORI. perhatian tersendiri bagi sebuah organisasi sektor publik. Pendekatan-pendekatan

PEMERINTAH KABUPATEN BUOL

I. PENDAHULUAN. Pemilihan Umum (Pemilu) di Negara Indonesia merupakan sarana pelaksanaan

I. PENDAHULUAN. Implementasi desentralisasi fiskal yang efektif dimulai sejak Januari

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Tujuan utama dari

BAB I PENDAHULUAN. dan Wakil Bupati dan Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota. Bagi daerah yang

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2012

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB I PENDAHULUAN. mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam

INTEGRITAS PROFESIONALISME SINERGI PELAYANAN KESEMPURNAAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN DANA DESA; PENGALOKASIAN, PENYALURAN, MONITORING DAN PENGAWASAN

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBA TIMUR ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH KABUPATEN SUMBA TIMUR TAHUN ANGGARAN 2012

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN. penunjang dari terwujudnya pembangunan nasional. Sejak tanggal 1 Januari 2001

BAB I PENDAHULUAN. satu indikator baik buruknya tata kelola keuangan serta pelaporan keuangan

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 109 TAHUN 2003 TENTANG DANA ALOKASI UMUM DAERAH PROVINSI/KABUPATEN/KOTA TAHUN ANGGARAN 2004

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBA BARAT NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH KABUPATEN SUMBA BARAT TAHUN ANGGARAN 2007

PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH

BUPATI KLUNGKUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

-2- Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3455); 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Perbendaharaan Negara (Lembaga N

BAB 5 BAB V SIMPULAN DAN SARAN. sebelumnya, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

WALIKOTA KUPANG PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) merupakan instrumen penting dalam

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otonomi daerah menjadikan daerah memiliki kewenangan tersendiri dalam mengatur dan melaksanakan anggaran sesuai dengan prioritas yang telah ditetapkan. Kepala daerah terpilih bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menyusun anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) sebagai dasar untuk menjalankan pembangunan di daerah. Masyarakat yang turut menikmati hasil pembangunan sekaligus akan memberikan penilaian tentang kinerja kepala daerah beserta wakil rakyat di kursi dewan. Masalah yang sudah umum dalam setiap daerah adalah menentukan komposisi belanja daerah (Halim, 2014: 8). Setiap daerah dituntut bijak dalam menetapkan besaran belanja sehingga proporsi belanja untuk bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan belanja lainnya dapat benar-benar bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan umum, sebagaimana diamanatkan dalam Undang- Undang Dasar 1945. Setelah itu, penyerapan anggaran atas belanja yang telah ditetapkan akan menjadi masalah di kemudian hari. Otonomi daerah juga melahirkan adanya penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah (pilkada) yang digelar setiap lima tahun. Pilkada ini diselenggaran dengan dana yang tidak sedikit dan dirasakan oleh beberapa kalangan dapat membebani keuangan daerah. Namun demikian, sampai saat ini belum ada evaluasi yang mendalam tentang efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pilkada di Indonesia (Ritonga dan Alam, 2010). 1

Pada tahun ini akan digelar pilkada serentak pada 9 Desember 2015 (gelombang pertama) dengan diikuti 269 daerah. Sisanya sebanyak 273 daerah akan melaksanakan pada gelombang kedua. Jika melihat pada anggaran penyelenggaraan pilkada, untuk gelombang pertama saja terjadi pembengkakan dana dari Rp4 triliun menjadi Rp7,1 triliun atau naik sebesar 77,5 persen (Kedaulatan Rakyat, 16 Juni 2015). Pembengkakan dana ini merupakan suatu ironi mengingat tujuan awal penyelenggaraan pilkada serentak adalah untuk efisiensi anggaran. Sewaktu pilkada digelar, banyak sekali isu tentang politik uang (money politic). Hal ini untuk menarik simpati masyarakat agar perolehan suara semakin besar sehingga peluang untuk menjadi kepala daerah semakin tinggi. Ketika terpilih, kepala daerah memiliki kewenangkan dalam mengajukan besaran anggaran untuk kemudian diusulkan dan dibahas bersama dengan DPRD. Kewenangan ini memberikan kesempatan kepada kepala daerah untuk menetapkan pos-pos tertentu untuk kepentingannya (Media Indonesia, 13 April 2015). Apalagi jika kepala daerah tersebut berencana untuk kembali mengikuti pilkada periode berikutnya (incumbent). Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah menetapkan besaran belanja hibah, bantuan sosial, dan bantuan keuangan. Ketiga belanja tersebut dirasa mampu menarik simpati dan perhatian masyarakat untuk memilih kepala daerah yang ingin mengajukan kembali pada periode kedua. Pada kenyataannya, belanja hibah, bantuan sosial, dan bantuan keuangan termasuk dalam kelompok belanja tidak langsung. Ini artinya ketiga belanja tersebut dianggarkan tanpa adanya indikator input dan output yang terukur. 2

Dengan tidak adanya indikator ini, sebenarnya belanja ini tidak harus menjadi prioritas utama dalam pembangunan. Ketika pos belanja hibah, bantuan sosial, dan bantuan keuangan dimanfaatkan oleh kepala daerah incumbent, tentu saja ada perubahan di pos belanja yang lain. Pos belanja lain tersebut bisa saja berupa belanja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja modal, dan lainnya. Belanja modal yang disebut sebagai belanja yang menyangkut kehidupan masyarakat secara luas dapat menjadi perhatian apakah turut berubah sebagai akibat perubahan proporsi belanja hibah, bantuan sosial, dan bantuan keuangan tersebut. Taqiyyuddin (2014) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa belanja modal berpengaruh besar terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Tengah. Belanja yang berpengaruh paling signifikan adalah belanja infrastruktur dan belanja kesehatan. Begitu juga Astuti (2014) dalam penelitiannya juga menyebutkan adanya pengaruh signifikan pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Tanzi dan Davoodi (2002 dalam Hidayat, 2014: 5) menyatakan ada perilaku oportunistik politisi dalam pembuatan keputusan investasi publik. Para politisi membuat keputusan-keputusan terkait dengan (1) besaran anggaran investasi publik, (2) komposisi anggaran investasi publik tersebut, (3) pemilihan proyek-proyek khusus dan lokasinya, dan (4) besaran rancangan setiap proyek investasi publik. Hal serupa juga disampaikan oleh Lalvani (1999 dalam Hidayat, 2014: 6), yang mengatakan bahwa sebelum dilaksanakan pemilu rawan terjadi tindakan oportunis yang dilakukan oleh kepala daerah untuk melakukan politisasi 3

anggaran. Hasil penelitiannya menujukkan terjadi peningkatan belanja modal sebelum dilaksanakan pemilu. Hal tersebut dilakukan guna mendapatkan suara pada pilkada. Di Indonesia banyak daerah (provinsi/kabupaten/kota) dengan kepala daerah menjabat dua kali berturut-turut. Di Pulau Jawa saja sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2014 terdapat 31 kepala daerah (bupati/walikota) yang menjabat dua periode. Jumlah tersebut cukup banyak mengingat terdapat 119 daerah, artinya sebanyak 26 persen daerah di Pulau Jawa mengalami 2 periode kepemimpinan kepala daerah yang sama. Pada akhir jabatan periode pertama kepala daerah sering bersafari ke daerah sambil membagikan hibah atau bantuan sosial kepada kelompok masyarakat tertentu. Hal tersebut bisa dipersepsikan bermacam-macam oleh daerah penerima bantuan. Mulai dari kepedulian sang kepala daerah, perhatian terhadap pembangunan daerah setempat, sampai simpati pemerintah kepada warganya. Tidak jarang, warga dengan sepenuh hati mendukung pencalonan sang kepala daerah untuk periode berikutnya sebagai bentuk balas budi. Pulau Jawa selain sebagai pulau terpadat penduduknya, juga pulau dengan belanja hibah, bantuan sosial, dan bantuan keuangan terbesar. Perkembangan belanja tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.1. 4

45.000.000 40.000.000 35.000.000 30.000.000 25.000.000 20.000.000 15.000.000 10.000.000 5.000.000-2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Sumatera Jawa Bali - Nusa Tenggara Kalimantan Sulawesi Maluku - Papua Gambar 1.1 Perkembangan Belanja Hibah, Bantuan Sosial, dan Bantuan Keuangan di Indonesia berdasarkan Kelompok Wilayah Tahun 2007 2014 (dalam jutaan Rp) Sumber: Dirjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan RI (data diolah) Gambar 1.1 menunjukkan bahwa seluruh wilayah mengalami peningkatan belanja hibah, bantuan sosial, dan bantuan keuangan dari tahun 2007 sampai dengan 2014. Kurva untuk Wilayah Bali-Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku-Papua terlihat landai. Ini artinya terdapat peningkatan belanja, namun tidak besar. Kenaikan paling besar tampak pada Pulau Jawa dengan melihat derajat kemiringan kurvanya. Perkembangan belanja tersebut di atas menjadi pertimbangan utama penulis dalam menjadikan Pulau Jawa sebagai objek penelitian. Dengan nominal belanja yang semakin meningkat pesat, ditambah dukungan jumlah penduduk yang padat, tentu akan menjadi menarik untuk diteliti mengenai perubahan belanja hibah, bantuan sosial, dan bantuan keuangan menjelang dilaksakan pilkada. Selain ketiga belanja tersebut, belanja modal juga dapat diteliti perubahannya untuk lingkup waktu yang sama. 5

1.2 Keaslian Penelitian Beberapa penelitian telah dilakukan terhadap belanja hibah, bantuan sosial, dan bantuan keuangan dengan daerah, lingkup waktu, dan objek penelitian yang berbeda. Ritonga dan Alam (2010) dalam Simposium Nasional Akuntansi XIII tahun 2010 meneliti tentang porsi belanja hibah dan bantuan sosial terhadap belanja daerah pada daerah incumbent dan nonincumbent pada tahun 2009 dan 2010. Tahun 2009 merupakan tahun sebelum pilkada dan tahun 2010 merupakan tahun pelaksanaan pilkada. Hidayat (2014) meneliti rasio alokasi belanja antara daerah incumbent dengan daerah nonincumbent sebelum dan pada saat pilkada di Indonesia. Rasio belanja yang menjadi variabel penelitian adalah belanja hibah, belanja bantuan sosial, dan belanja modal terhadap belanja daerah. Lingkup waktunya pada tahun 2012 dan 2013, dengan 2012 sebagai tahun sebelum pilkada, dan 2013 sebagai tahun pelaksanaan pilkada. Kesamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah pada penggunaan variabel rasio belanja hibah, bantuan sosial dan bantuan keuangan, dan belanja modal terhadap belanja daerah. Selain itu, penelitian ini juga menganalisis pada tingkat daerah (provinsi/kabupaten/kota). Perbedaan yang tampak jelas dengan penelitian sebelumnya adalah tentang lingkup waktu penelitian. Jika penelitian sebelumnya berfokus pada dua tahun saja, yaitu tahun sebelum pilkada dan tahun waktu pelaksanaan pilkada, penelitian ini menggunakan lingkup waktu selama kepemimpinan kepala daerah dua 6

periode. Kepala daerah dimaksud adalah yang menjabat selama dua periode secara penuh, yaitu masa jabatan selama sepuluh tahun. 1.3 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah perbedaan alokasi/proporsi belanja hibah, bantuan sosial, dan bantuan keuangan serta belanja modal terhadap belanja daerah selama dua periode kepemimpinan kepala daerah. Objek dalam penelitian ini adalah daerah (provinsi/kabupaten/kota) di Pulau Jawa. 1.4 Pertanyaan Penelitian Dari rumusan masalah di atas, terdapat beberapa pertanyaan yang akan dianalisis dalam penelitian ini sebagai berikut. 1. Apakah terdapat perbedaan rasio alokasi belanja hibah, bantuan sosial, dan bantuan keuangan terhadap belanja daerah antara tahun sebelum dan tahun waktu pilkada? 2. Apakah terdapat perbedaan rasio alokasi belanja hibah, bantuan sosial, dan bantuan keuangan terhadap belanja daerah antara tahun waktu pilkada dan tahun setelah pilkada? 3. Apakah terdapat perbedaan rasio alokasi belanja hibah, bantuan sosial, dan bantuan keuangan terhadap belanja daerah antara periode pertama dan periode kedua selama dua periode kepemimpinan kepala daerah? 7

4. Apakah terdapat perbedaan rasio alokasi belanja modal terhadap belanja daerah antara tahun sebelum dan tahun waktu pilkada? 5. Apakah terdapat perbedaan rasio alokasi belanja modal terhadap belanja daerah antara tahun waktu pilkada dan tahun setelah pilkada? 6. Apakah terdapat perbedaan rasio alokasi belanja modal terhadap belanja daerah antara periode pertama dan periode kedua selama dua periode kepemimpinan kepala daerah? 1.5 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah dan pertanyaan permasalahan di atas, tujuan penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut. 1. Menganalisis perbedaan rasio belanja hibah, bantuan sosial, dan belanja keuangan terhadap belanja daerah antara tahun sebelum dan pada waktu pilkada. 2. Menganalisis perbedaan rasio belanja hibah, bantuan sosial, dan belanja keuangan terhadap belanja daerah antara tahun waktu pilkada dan setelah pilkada. 3. Menganalisis perbedaan alokasi belanja hibah, bantuan sosial, dan belanja keuangan terhadap belanja daerah antara periode pertama dan periode kedua selama kepemimpinan kepala daerah dua periode. 4. Menganalisis perbedaan rasio belanja modal terhadap belanja daerah antara tahun sebelum dan pada waktu pilkada. 8

5. Menganalisis perbedaan rasio belanja modal terhadap belanja daerah antara tahun waktu pilkada dan setelah pilkada. 6. Menganalisis perbedaan alokasi belanja modal terhadap belanja daerah antara periode pertama dan periode kedua selama kepemimpinan kepala daerah dua periode. 1.6 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut. 1. Sebagai bahan pertimbangan bagi para pemangku kepentingan (eksekutif dan legislatif) terkait dengan penganggaran belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja bantuan keuangan, dan belanja modal. 2. Sebagai tambahan informasi bagi penelitian selanjutnya, terutama pada topik penelitian yang sama. 1.7 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penelitian ini terbagi dalam lima bab. Bab I Pendahuluan berisi latar belakang, keaslian penelitian, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II Landasan Teori/Kajian Pustaka berisi teori, kajian terhadap penelitian terdahulu, dan kerangka penelitian. Bab III Metode Penelitian, terdiri atas desain penelitian, metode pengumpulan data, definisi operasional, dan metode analisis data. Bab IV Analisis yang di dalamnya terdapat deskripsi data 9

dan pembahasan. Bab V Simpulan dan Saran, dijabarkan menjadi simpulan, implikasi, keterbatasan, saran. 10