BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan otonomi daerah merupakan salah satu agenda reformasi, bahkan

Transkripsi

1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kebijakan otonomi daerah merupakan salah satu agenda reformasi, bahkan kebijakan tersebut menjadi agenda prioritas. Guna mewujudkan agenda tersebut, pemerintah telah membentuk sejumlah peraturan perundangan-undangan sejak tahun 1999, antara lain: Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Seiring dengan tuntutan daerah kedua undangundang tersebut kemudian disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 (Revisi menjadi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah) dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Implikasi dari pelaksanaan kebijakan otonomi daerah tersebut yaitu perubahan terhadap pengelolaan keuangan daerah. Melalui keberadaan dua undang-undang tersebut di atas, daerah mempunyai wewenang untuk mengatur anggaran keuangannya dengan tanpa adanya campur tangan dari pemerintah pusat. Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara juga mengatur tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disebut APBD. APBD merupakan wujud kristalisasi aspirasi daerah yang disusun secara terencana oleh pemerintah daerah setelah memperlihatkan aspirasi kebutuhan riil 1

2 2 masyarakat melalui DPRD yang berorientasi kepada kepentingan publik. APBD yang terdiri atas pendapatan, belanja, dan pembiayaan, harus dapat dikelola dan diimplementasikan secara efektif dan efisien. APBD dapat disusun dan dilaksanakan dengan baik dan benar maka diperlukan landasan administratif dalam pengelolaan keuangan daerah. Pengertian dari pengelolaan keuangan daerah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah. Peraturan tersebut juga mengatakan bahwa keuangan daerah harus dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggungjawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat. Sementara itu, Halim (2002:7) memberikan pengertian pengelolaan laporan keuangan daerah dengan lebih sederhana yaitu pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Berdasarkan definisi ini, pengelolaan laporan keuangan daerah pada dasarnya adalah aktifitas pengelolaan laporan keuangan oleh pemerintah daerah terkait dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Pemerintah daerah wajib menyampaikan pertanggungjawaban dalam penyelenggaran pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan didaerahnya. Oleh karena itu pemerintah daerah dalam hal ini kepala daerah wajib untuk membuat Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD). Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Pasal 31 Ayat (1) Gubernur/Bupati/Walikota 2

3 3 menyampaikan rancangan peraturan daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Kemudian, dalam pasal yang sama ayat (2) disebutkan bahwa laporan keuangan dimaksud setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi APBD, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan, yang dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah menyebutkan bahwa laporan keuangan terdiri dari: Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 ini telah diganti menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan dimana dalam peraturan ini mengatakan bahwa komponen laporan keuangan terdiri dari: Laporan Realisasi Anggaran, Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih, Neraca, Laporan Operasional, Laporan Arus Kas, Laporan Perubahan Ekuitas, dan Catatan atas Laporan Keuangan. Laporan Realisasi Anggaran (LRA) menggambarkan perbandingan antara anggaran dengan realisasinya, sehingga dalam Laporan Realisasi Anggaran terlihat sejauh mana target pemerintah daerah tersebut dapat terealisasi. Perbedaan antara anggaran yang telah ditetapkan dengan realisasinya akan terakumulasi dalam Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA). SiLPA menurut Permendagri Nomor 13 tahun 2006 adalah selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu 3

4 4 periode anggaran. SiLPA tahun anggaran sebelumnya mencakup pelampauan penerimaan pendapatan asli daerah (PAD), pelampauan penerimaan dana perimbangan, pelampauan penerimaan lain-lain pendapatan daerah yang sah, pelampauan penerimaan pembiayaan, penghematan belanja, kewajiban kepada pihak ketiga sampai dengan akhir tahun belum terselesaikan, dan sisa dana kegiatan lanjutan. Secara umum SiLPA dapat disebabkan oleh realisasi pendapatan yang melebihi anggaran yang telah ditetapkan dan realisasi belanja yang lebih kecil dari anggaran yang telah ditetapkan. Pelampauan target pendapatan dapat disebabkan beberapa hal, seperti PAD yang ditargetkan di bawah potensi riil, informasi tentang penerimaan daerah dari Pemerintah diperoleh setelah penetapan Perda APBD-P, dan diterimanya lain-lain pendapatan yang sah setelah APBD-P ditetapkan (Halim, 2007). Ketidaktercapaian target belanja bisa disebabkan karena efisiensi dalam pelaksanaan kegiatan (output kegiatan tercapai, tetapi anggarannya tidak terealisasi seluruhnya), kegiatan belum selesai (sehingga anggaran yang belum digunakan dimasukkan ke tahun anggaran berikutnya), dan kegiatan yang batal dilaksanakan. Hasil penelitian Bali dan Halim (2013) menemukan penyebab terjadinya SiLPA. Menurutnya, SiLPA disebabkan oleh tujuh faktor yang terkait dengan manajemen keuangan yaitu: 1) Faktor Manajemen Belanja Daerah; 2) Faktor Manajemen Aset Daerah; 3) Faktor Manajemen Pendapatan Daerah; 4) Faktor Reformasi Manajemen Keuangan Daerah; 5) Faktor Manajemen Kemitraan 4

5 5 Pemerintah Daerah; 6) Faktor Manajemen Kas dan Anggaran Kas; 7) Faktor Manajemen Utang dan Investasi Daerah. SiLPA tidak dapat dijadikan sebagai patokan dalam mengukur keberhasilan kinerja pemerintah daerah. Oleh karena itu diperlukannya analisis yang lebih mendalam mengenai (SiLPA) suatu daerah. Berdasarkan besarnya SiLPA yang dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten Bulungan, penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai komponen-komponen yang memberikan kontribusi meningkatnya SiLPA pada laporan keuangan Pemerintah Kabupaten Bulungan. Selama ini, pemerintah daerah belum melakukan analisis terhadap SiLPA sebagai metode untuk memperbaiki kinerja keuangan suatu daerah. Hal tersebut disebabkan antara lain karena dalam penilaian keberhasilan APBD sebagai penilaian pertanggungjawaban pengelolaan keuangan daerah lebih ditekankan pada pencapaian target, sehingga kurang memperhatikan bagaimana perubahan yang terjadi pada komposisi ataupun struktur APBD (Halim, 2007). Jika diperhatikan, laporan keuangan Pemerintah Kabupaten Bulungan dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir yakni Tahun Anggaran 2007 s.d menunjukkan terjadi SiLPA yang cenderung terus mengalami kenaikan. Kecenderungan peningkatan SiLPA dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir tersebut dilihat dari besaran jumlahnya cukup signifikan sebagaimana dapat dilihat dalam tabel berikut : 5

6 6 Tabel 1.1 Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) Tahun SiLPA Rasio Perubahan , ,32 20,87% ,95 24,31% ,19-5,70% ,41-1,51% ,72 28,70% ,69 49,03% Sumber: Diolah dari BPKAD Pemerintah Kabupaten Bulungan Jika ditampilkan kedalam gambar mengenai peningkatan SiLPA dari tahun ketahun dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir tersebut akan terlihat trend yang menunjukkan garis semakin naik, seperti yang ditunjukkan dalam gambar berikut; Sumber: Diolah dari BPKAD Pemerintah Kabupaten Bulungan Gambar 1.1 Peningkatan SiLPA Tahun 2007 s.d Rumusan Permasalahan Studi Kasus Berdasarkan sepengetahuan penulis selama bertugas di Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah, Pemerintah Kabupaten Bulungan belum melakukan analisis secara khusus mengenai peningkatan sisa lebih perhitungan anggaran 6

7 7 (SiLPA) dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir yakni Tahun Anggaran 2007 s.d Pertanyaan Penelitian Berdasarkan dari problem riset di atas, maka pertanyaan riset ini adalah: a. Bagaimana perubahan-perubahan yang terjadi atas komponen-komponen penyebab SiLPA dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir (2007 s.d 2013) dalam laporan keuangan Pemerintah Kabupaten Bulungan? b. Faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya SiLPA dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir (2007 s.d. 2013) dalam laporan keuangan Pemerintah Kabupaten Bulungan? 1.4.Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Mengetahui dan menganalisis perubahan-perubahan yang terjadi atas komponen-komponen penyebab SiLPA dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir (2007 s.d. 2013) dalam laporan keuangan Pemerintah Kabupaten Bulungan. b. Mengetahui dan mendeskripsikan faktor penyebab terjadinya SiLPA dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir (2007 s.d. 2013) dalam laporan keuangan Pemerintah Kabupaten Bulungan. 7

8 8 1.5.Motivasi Penelitian Motivasi peneliti melakukan penelitian ini yaitu: a. Bagi Peneliti, penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan dalam bidang keuangan daerah serta dapat meningkatkan kemampuan analisis tentang pengelolaan keuangan daerah. b. Sebagai wujud pengabdian kepada Pemerintah Kabupaten Bulungan c. Bagi keilmuan, mengaplikasikan pengetahuan yang telah diperoleh selama di perkuliahan khususnya dibidang Sektor Publik Kontribusi Penelitian Kontribusi riset ini diharapkan dapat : a. Bagi penulis, dapat memberikan pemahamaan yang lebih luas tentang pengelolaan keuangan daerah. b. Bagi Pemerintah Kabupaten Bulungan Kalimantan Utara, hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam meningkatkan penyerapan anggaran. c. Bagi pengambil kebijakan, sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan langkah-langkah atau kebijakan khususnya mengenai pengelolaan keuangan daerah. d. Bagi akademik, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam mengembangkan ilmu akuntansi sektor publik. 8

9 Proses Penelitian Secara garis besar tahapan-tahapan dalam penelitian adalah sebagai berikut (lihat gambar berikut). 2. Metode Penelitian Studi Kasus 3. Pondasi Teoretikal Penelitian Studi Kasus 4. Metode Penelitian Studi Kasus 1. Pertanyaan Penelitian Sumber: Pedoman Umum Penulisan Tesis (Program Maksi UGM 2015) Gambar 1.2 Alur proses penelitian 5. Temuan dan Analisis 1.8. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan ini terdiri dari: BAB I : Pendahuluan Bagian ini menguraikan tentang latar belakang, rumusan permasalahan, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, motivasi penelitian, kontribusi penelitian, dan proses penelitian. BAB II : Tinjauan Pustaka Bagian ini membahas teori yang melandasi penelitian ini dan penelitian terdahulu yang telah dilakukan. BAB III : Latar Belakang Kontekstual Bagian ini menguraikan mengenai gambaran umum obyek penelitian BAB IV : Rancangan Penelitian Studi Kasus 9

10 10 Bagian ini menguraikan metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini. BAB V : Pemaparan Temuan Bagian ini memaparkan temuan-temuan yang diperoleh selama pengumpulan data. BAB VI : Ringkasan dan Pembahasan Bagian ini memaparkan secara ringkas dan membahas mengenai temuan dalam investigasi. BAB VII : Simpulan dan Rekomendasi Bagian ini memaparkan mengenai simpulan, rekomendasi dan keterbatasan penelitian 10