BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdasarkan Undang-Undang nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan Undang-Undang nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah Daerah diberi kewenangan untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan,pengawasan, pengendalian dan evaluasi. Selanjutnya, pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat secara adil, merata dan berkesinambungan. Kewajiban itu hanya bisa dipenuhi apabila pemerintah daerah yang dipimpin oleh kepala daerah terpilih mampu mengelola potensi daerahnya yang meliputi potensi sumber daya alam, potensi sumber daya manusia dan potensi sumber daya keuangan secara optimal. Di dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yang mengatur tentang masa jabatan kepala daerah di Indonesia, Kepala daerah dan wakil kepala daerah memegang jabatan selama 5 tahun terhitung sejak pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan. Oleh karena itu kebanyakan kepala daerah akan mencalonkan dirinya kembali pada akhir periode pertama. Seperti banyak diketahui kepala daerah incumbent memiliki kemungkinan terpilih kembali di pemilihan umum. Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) telah diselenggarakan sejak tahun 2005, yang dilaksanakan di 511 daerah tingkat Provinsi maupun Kabupaten dan Kota di Indonesia. Menurut Prasojo, E. (2009), mengatakan bahwa mahalnya 1

2 2 pemilukada di Indonesia karena merupakan pesta akbar dan harus dibiayai secara khusus, mulai dari pendaftaran, pengadaan barang dan jasa untuk pencoblosan, serta kampanye yang dilakukan partai politik dan calon kepala daerah. Dengan kata lain, pemilukada adalah proyek besar yang harus dibiayai dengan anggaran besar pula. Akibatnya, inefisiensi terjadi dalam paradigma proyek pemilukada. Beberapa kalangan berpendapat bahwa pemilukada langsung di beberapa daerah di Indonesia mengakibatkan pembengkakan beban keuangan bagi daerah. Kepala daerah yang mencalonkan kembali dirinya untuk periode kedua cenderung akan melakukan praktik korupsi dan suap. Incumbent akan melakukan perubahan komposisi anggaran untuk mempengaruhi pemilih (Drazen and Eslava,2010). Hal ini terlihat dari kebutuhan kepala daerah pada saat melakukan kampanye untuk dipilih kembali pada periode selanjutnya, sehingga kepala daerah akan mengambil berbagai macam belanja dan hibah dari pihak lain serta akan melakukan pembelian suara agar terpilih kembali (Matz and Eva, 1999). Sementara itu, menurut Ferraz and Finan (2007), mengatakan bahwa walikota dalam periode kedua lebih banyak melakukan praktik korupsi dibandingkan dengan walikota pada periode pertama. Hal ini dikarenakan walikota pada periode pertama masih memikirkan jangka waktu politik yang masih dimiliki yaitu apabila dipilih kembali, sedangkan pada walikota periode kedua akan lebih memikirkan bagaimana karir kedepannya setelah lengser. Fakta yang terjadi pada tanggal 2 Desember 2014, menjadi contoh bagi kita, saat Ketua DPRD aktif Kabupaten Bangkalan, K.H. Fuad Amin Imron ditetapkan sebagai tersangka dan ditangkap KPK terkait kasus suap jual beli gas alam untuk pembangkit listrik di Gresik dan

3 3 Gili Timur (Jawa Pos, 2 Desember 2014). Fuad adalah Ketua DPRD aktif yang sebelumnya telah 2 periode menjabat sebagai Bupati Bangkalan, sejak tahun 2003 sampai dengan tahun 2013, dan digantikan oleh putranya Makhmud Ibnu Fuad. Fenomena lain terjadi di kota Kediri pada sat pemilihan Walikota Kediri tahun 2014 yang lalu. Kepala Daerah terpilih yang dilantik pada tanggal 2 April 2014, Abdulah Abu Bakar mempunyai program alokasi anggaran sebesar 50 juta rupiah untuk tiap Rukun Tetangga, sedangkan jumlah Rukun Tetangga di kota Kediri sebanyak 1300 yang tersebar di 46 kelurahan. Hal ini memungkinkan calon kepala daerah untuk membuat program yang menarik bagi pemilih untuk berpihak kepada calon kepala daerah tanpa mempertimbangkan kaidah aturan dan pelaksanaannya. Keunggulan kekuasaan yang dimiliki incumbent memberikan keuntungan bagi incumbent dalam pengalokasian sumber daya. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, yang menyatakan bahwa kepala daerah selaku kepala pemerintah daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah mempunyai kewenangan, salah satunya adalah menetapkan kebijakan tentang pelaksanaan APBD. Dengan kekuasaan yang dimilikinya, incumbent berpeluang untuk memanfaatkan pos-pos belanja pada APBD untuk keuntungan pribadinya. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) mempunyai jangka waktu pelaksanaan selama satu tahun. Menurut Permendagri nomor 13 Tahun

4 yang dirubah terakhir dengan Permendagri nomor 21 Tahun 2011, APBD sudah harus disusun paling lambat bulan Desember tahun berjalan untuk pedoman pelaksanaan anggaran tahun berikutnya. Dengan demikian asumsi-asumsi yang digunakan dalam penyusunan APBD masih merupakan prediksi kondisi yang akan datang. Dalam pelaksanaan anggaran, pemerintah daerah terikat dengan batasan-batasan anggaran yang sudah dialokasikan dalam APBD. Namun demikian, fleksibilitas penggunaan anggaran masih diperlukan oleh aparat Pemda untuk merubah atau menggeser anggaran sehingga mampu menyesuaikan dengan kondisi yang sebenarnya. Pada prakteknya, perubahan anggaran selama tahun berjalan sudah menjadi hal umum yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah (Forrester and Mullins, 1992). Namun, perubahan anggaran ini sering kurang mendapat perhatian karena dalam tradisinya proses penyusunan anggaran adalah tahunan (Dougherty, Klase and Song, 2003). Di Indonesia, proses perubahan anggaran diperbolehkan dilakukan hanya sekali dalam setahun, yaitu pada saat pertengahan tahun. Perubahan yang boleh dilakukan sesuai yang diatur dalam Permendagri nomor 13 Tahun 2006, yaitu pertama, karena adanya perubahan Arah Kebijakan Umum APBD (KUA APBD) sehingga tidak bisa terpenuhinya atau terlampauinya target yang ditetapkan dalam APBD sebelum perubahan, yang kedua memanfaatkan Sisa Lebih Perhitungan Tahun yang Lalu (SilPA). Sektor publik, khususnya pemerintah, menganggap bahwa kinerja keuangan didasarkan pada penyerapan belanja (Lee and Plummer, 2007). Penyerapan belanja di pemerintah daerah merupakan kinerja, sehingga efektifitas atau

5 5 prosentase penyerapan belanja yang tinggi merupakan target kinerja yang baik bagi unit organisasi tersebut. Penyerapan di bawah alokasi anggaran belum tentu dianggap suatu efisiensi, apalagi kalau target keluaran tidak tercapai. Sebaliknya, apabila belanja diprediksi tidak cukup selama tahun anggaran berjalan dikarenakan ada perubahan target atau kebijakan, maka unit organisasi tersebut harus mengusulkan perubahan. Kebijakan yang dilakukan oleh kepala daerah incumbent dalam perubahan anggaran bisa dilakukan untuk memenuhi kebutuhan biaya pemilihan umum. Pada saat pemilihan, pendistribusian anggaran belanja pada pos-pos yang menguntungkan incumbent dengan meluncurkan program-program yang berorientasi pelayanan publik seperti infrastruktur, pelayanan kesehatan, dan pelayanan pendidikan dapat dilakukan agar pemilih tertarik untuk memilih incumbent (Drazen and Eslava, 2010). Untuk mengukur kinerja kepala daerah pada dua periode kepemimpinan maka perlu dilakukan analisis terhadap kinerja keuangan daerah incumbent pada periode pertama dan periode kedua. Analisis rasio keuangan daerah selanjutnya diharapkan dapat digunakan untuk menjadi tolok ukur dalam rangka mengukur sejauh mana aktivitas pemerintah daerah dalam membelanjakan pendapatan daerahnya, mengukur konstribusi masing-masing sumber pendapatan dalam pembentukan pendapatan daerah, melihat pertumbuhan/perkembangan perolehan pendapatan dan pengeluaran yang dilaksanakan selama periode waktu tertentu. Analisis terhadap kinerja keuangan dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai macam rasio, antara lain rasio pertumbuhan, rasio kemandirian, rasio

6 6 efisiensi, rasio efektivitas, rasio perputaran aset, ROA, rasio pengelolaan belanja dan current rasio (Halim, 2008; Cohen, 2008). B. Perumusan Masalah Saat-saat masa pemilihan kepala daerah, kepala daerah incumbent cenderung melakukan suap politik yaitu melakukan pembelian suara serta mengambil berbagai macam belanja dan hibah untuk menutupi pengeluaran kampanye yang sangat besar (Matz and Eva, 1999). Akan tetapi, pada saat periode kedua dimana kepala daerah tidak dapat dipilih kembali, kepala daerah akan cenderung melakukan korupsi guna mencari jaminan pada saat lengser (Ferraz and Finan, 2007). Untuk mengevaluasi perbedaan antara kinerja keuangan kepala daerah incumbent pada periode pertama dan periode kedua, maupun antara incumbent dan non incumbent, perlu dilakukan penelitian penggunaan anggaran dalam hal ini belanja modal, saat perencanaan anggaran dan revisi anggaran. Belanja modal bisa dilaksanakan dalam bentuk belanja program pelayanan publik dalam hal ini pemilih aktif, sehingga memberikan keuntungan kepada incumbent untuk bisa terpilih kembali. Sudah ada beberapa penelitian tentang perubahan anggaran tengah tahun, diantaranya tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan anggaran di kota-kota di Amerika (Forrester and Mulin, 1992) dan perubahan anggaran di beberapa kota di Italia (Annesi-Pessina, Sicilia and Steccolini, 2012). Sedangkan Dougherty, Klase and Song (2003) melakukan studi eksplorasi yang menganalisa

7 7 data empiris tentang frekuensi, besaran perubahan dan keberadaan perubahan anggaran di kota-kota kecil di West Virginia. Penelitian tentang perubahan anggaran di Indonesia belum pernah dilakukan. Fenomena perubahan anggaran daerah di Indonesia pernah ditulis oleh Syukriy Abdullah, seorang dosen Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala, Aceh, dalam blog pribadinya ( namun artikel atau jurnal yang meneliti tentang perubahan APBD belum pernah ada. Padahal, perubahan anggaran dalam tahun anggaran berjalan merupakan hal yang rutin dilakukan sebagaimana proses penyusunan anggaran tahunan. Dengan demikian, perubahan anggaran akan berdampak terhadap pencapaian target realisasi yang ditetapkan di awal penyusunan anggaran tahunan, baik itu target pendapatan maupun target realisasi belanja. Penggunaan analisis rasio laporan keuangan sebagai alat analisis keuangan secara luas telah banyak digunakan dan diterapkan pada lembaga perusahaan yang bersifat komersial, sedangkan pada lembaga publik, khususnya pemerintah daerah masih sangat terbatas. Padahal dari analisis rasio laporan keuangan pemerintah daerah dapat diketahui bagaimana kinerja pemerintah daerah yang bersangkutan dan juga dapat dijadikan sebagai acuan untuk lebih meningkatkan pendapatan daerah. Untuk dapat mengukur kinerja pemerintah, perlu diketahui indikatorindikator kinerja sebagai dasar penilaian kinerja, adanya indikator kinerja akan membantu pemerintahan dalam proses pengambilan keputusan anggaran dan dalam mengawasi kinerja anggaran pemerintah.

8 8 Dari penjelasan-penjelasan di atas, permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Apakah terdapat perbedaan alokasi belanja modal pada kepala daerah incumbent di sekitar waktu pelaksanaan pemilukada? 2. Apakah terdapat perbedaan revisi belanja total pada kepala daerah incumbent di sekitar waktu pelaksanaan pemilukada? 3. Apakah terdapat perbedaan alokasi belanja modal yang dipimpin oleh incumbent dengan daerah yang dipimpin non incumbent? 4. Apakah terdapat perbedaan revisi belanja total antara daerah yang dipimpin oleh incumbent dengan daerah yang dipimpin non incumbent? C. Tujuan Penelitian Dari perumusan masalah diatas, tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan perubahan anggaran di Jawa Timur dengan menyajikan penjelasan tentang: 1. Perbedaan alokasi belanja modal pada kepala daerah incumbent di sekitar pemilukada. 2. Perbedaan revisi belanja total pada kepala daerah incumbent di sekitar pemilukada. 3. Perbedaan alokasi belanja modal antara daerah yang dipimpin oleh incumbent dengan daerah yang dipimpin non incumbent. 4. Perbedaan revisi belanja total antara daerah yang dipimpin oleh incumbent dengan daerah yang dipimpin non incumbent.

9 9 Kementrian Dalam Negeri RI secara nasional menyoroti rendahnya alokasi belanja modal di Kota Kabupaten se-indonesia, namun melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Pedoman Penyusunan APBD yang diterbitkan setiap tahun, Mendagri merekomendasikan agar Pemerintah Daerah Kota dan Kabupaten tidak menganggarkan alokasi belanja modal pada P-APBD yang pelaksanaannya tidak cukup waktu untuk menyelesaikan pekerjaan, misalnya belanja modal bangunan fisik berupa gedung. Dengan memotret Anggaran dan Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (P-APBD) akan diperoleh informasi tentang kinerja keuangan daerah, baik daerah dipimpin oleh kepala daerah incumbent maupun non incumbent. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Pemda, memberikan gambaran tentang postur APBD dan perubahan untuk menjadi pertimbangan dalam penyusunan APBD di tahun berikutnya. 2. Bagi Masyarakat, untuk mengetahui dan ikut mengawasi kinerja Kepala Daerah dalam mengalokasikan anggaran belanjanya. 3. Bagi Akademisi, bisa menjadi referensi penelitian dalam Akuntansi Sektor Publik.