III. METODOLOGI PENELITIAN

dokumen-dokumen yang mirip
V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KEMISKINAN

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN

DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL TERHADAP KINERJA SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI RIAU. The Impact of Fiscal Policy on Performance of Agriculture in Riau Province

IV. METODE PENELITIAN. Indonesia sehubungan dengan tujuan penelitian, yaitu menganalisis faktor-faktor

IV. METODOLOGI PENELITIAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

III. METODE PENELITIAN. berupa time series dari tahun 1995 sampai tahun Data time series

Executive Summary Model Makro APBN: Dampak Kebijakan APBN terhadap Beberapa Indikator utama Pembangunan

I. PENDAHULUAN. pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

VII. ANALISIS KEBIJAKAN

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu proses kemajuan dan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi sehingga dapat menggambarkan bagaimana kemajuan atau kemunduran yang

IV. METODE PENELITIAN

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian

ESTIMASI PARAMETER PADA SISTEM PERSAMAAN SIMULTAN DENGAN METODE LIMITED INFORMATION MAXIMUM LIKELIHOOD (LIML) SKRIPSI

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di

BAB I PENDAHULUAN. provinsi. Dalam provinsi itu dikembangkan kembali dalam kabupaten kota,

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi dalam lingkup negara secara spasial tidak selalu

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB III METODE FULL INFORMATION MAXIMUM LIKELIHOOD (FIML)

BAB I PENDAHULUAN. disertai dengan pembiayaan yang besarnya sesuai dengan beban kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. utama, yaitu fungsi alokasi yang meliputi: sumber-sumber ekonomi dalam bentuk

DAMPAK PENINGKATAN HARGA PUPUK UREA TERHADAP KERAGAAN PASAR TEMBAKAU BESUKI NA OOGST DI KABUPATEN JEMBER

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah

BAB I PENDAHULUAN. menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas

BAB I PENDAHULUAN. era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. miskin di dunia berjumlah 767 juta jiwa atau 10.70% dari jumlah penduduk dunia

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengukur keberhasilan pembangunan dan kemajuan perekonomian di

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Otonomi daerah atau sering disebut desentralisasi fiskal mengharuskan

I. PENDAHULUAN. adanya otonomi daerah maka masing-masing daerah yang terdapat di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan. PDB pada

BAB I PENDAHULUAN. mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. sejalan dengan dikeluarkannya Undang-undang No 22 Tahun 1999 dan

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi yang mensyaratkan perlunya pemberian otonomi seluas-luasnya

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang

I. PENDAHULUAN. pemerintahan termasuk kewenangan daerah. Salah satu bukti adalah Undang-undang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Siti Nurhayati Basuki, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada tahun 2000, Banten merupakan wilayah pemekaran dari Jawa

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan adalah usaha menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan juga merupakan ukuran

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULIAN. Dewasa ini, perhatian pemerintah terhadap masalah-masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan merupakan suatu proses yang berkesinambungan yang

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

BAB I PENDAHULUAN. dampak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sistem otonomi daerah

Daftar Isi. Daftar Isi... i Daftar Tabel... iii Daftar Gambar... vii 1. PENDAHULUAN...1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

Dept.Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan,FEM-IPB, 2)

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem

BAB 3 METODE PENELITIAN. 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif dengan menggunakan data panel (pool data).

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan seluruh bangsa tersebut. Hal ini di Indonesia yang salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen

I. PENDAHULUAN. dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu maka pelaksanaan otonomi daerah. pendapatan dan pembiayaan kebutuhan pembangunan di daerahnya.

BAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. implementasi kebijakan desentralisasi fiskal di Provinsi Sulawesi Barat. Bab ini

BAB I PENDAHULUAN. upaya yang berkesinambungan yang meliputi pembangunan masyarakat, bangsa,

VII. HASIL ESTIMASI MODEL DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL TERHADAP PEREKONOMIAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN. maupun di sektor swasta, hanya fungsinya berlainan (Soemitro, 1990).

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

IV. METODE PENELITIAN

Transkripsi:

III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Di dalam Undang Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dinyatakan bahwa prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi daerah seluas-luasnya, dalam arti bahwa daerah diberi kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintah di luar yang menjadi urusan Pemerintah Pusat yang ditetapkan dalam Undang Undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan, peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata, yakni suatu prinsip bahwa untuk penanganan urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Konsep otonomi yang diajukan memberikan keleluasaan yang sangat besar terutama kepada tingkat kabupaten/kota dalam menjalankan fungsi pelayanan kepada masyarakat daerah setempat. Undang Undang telah menggarisbawahi bahwa kabupaten/kota akan memiliki 11 fungsi pelayanan utama yang wajib

56 dilaksanakan di daerah, antara lain: pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, transportasi, dan lain-lain (LPEM, 2002). Kewenangan daerah dalam hal pelaksanaan tugas otonomi dan desentralisasi sangat luas, hal ini tercermin dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban yang diatur dalam mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dalam tinjauan ekonomi publik, APBD merupakan alat untuk menyelenggarakan aktivitas kepemerintahan dan pengadaan barang publik seperti jalan, jembatan, pertahanan dan keamanan, serta jasa-jasa pemerintahan lainnya. APBD merupakan belanja publik (public expenditure) yang berfungsi untuk mengatasi kegagalan pasar (market failure) dalam penyediaan barang dan jasa publik (Stiglitz, 2000). Dalam teori keuangan publik disebutkan bahwa fungsi pemerintah terdiri dari fungsi alokasi, stabilisasi dan distribusi. Berkaitan dengan fungsi alokasi, pemerintah ikut serta dalam perekonomian dengan melakukan alokasi anggaran yang tercermin dalam pengeluaran pemerintah. Berkaitan dengan penanggulangan kemiskinan, fungsi distribusi pemerintah sangat menentukan keberhasilan dari upaya tersebut yang tercermin dalam alokasi pengeluaran pemerintah. Di era desentralisasi, konsep pengembangan kapasitas daerah diwujudkan dengan kemandirian daerah dan pemberdayaan masyarakat melalui pengentasan kemiskinan. Seiring dengan hal itu peningkatan tanggung jawab pemerintah terhadap kebutuhan dan kondisi daerah sangat diperlukan untuk proses pengambilan keputusan guna mengurangi kemiskinan di daerah. Pelaksanaan program pengurangan kemiskinan dalam rangka pengembangan usaha ekonomi produktif penduduk miskin, penyediaan prasarana dasar perdesaan, serta

57 penyediaan pelayanan kebutuhan dasar dalam bidang kesehatan dan pendidikan, diharapkan berhasil menurunkan jumlah penduduk miskin secara signifikan. Desentralisasi lebih memberikan ruang (space) dan peluang bagi masyarakat di daerah untuk menyalurkan aspirasi pembangunan dalam rangka menanggulangi kemiskinan sesuai dengan kondisi obyektif dan kebutuhan daerahnya. Karena itu, untuk mempercepat penurunan jumlah penduduk miskin, diperlukan komitmen bersama dari semua stakeholders pembangunan, baik Pemerintah, Pemerintah Daerah, lembaga swadaya masyarakat (NGO), dunia usaha, maupun perguruan tinggi serta masyarakat untuk bersama-sama melakukan upaya penanggulangan kemiskinan. Kemiskinan yang terjadi di suatu wilayah mempunyai hubungan erat dengan kondisi wilayah dan pembangunan ekonominya. Ada wilayah yang mempunyai sumberdaya alam yang melimpah sehingga penduduk di sekitarnya dapat memperoleh peningkatan pendapatan dan kesejahteraaan. Sebaliknya, ada wilayah yang sedikit sumberdaya alamnya sehingga penduduknya kesulitan dalam meningkatkan kesejahteraannya. Tetapi kemiskinan bisa terjadi di wilayah yang mempunyai sumberdaya alam yang melimpah, hal ini menurut Utomo (1995) bisa terjadi karena: a. Sumberdaya alam di wilayah tersebut belum digunakan oleh penduduk setempat secara optimal. b. Penduduk setempat tidak mempunyai kemampuan yang cukup (keterampilan, modal, akses) untuk dapat mengolah sumberdaya alam untuk menghasilkan pendapatan dan meningkatkan kesejahteraannya.

58 c. Sumberdaya alam yang diolah di wilayah tersebut tidak dapat dinikmati oleh penduduk atau masyarakat setempat karena adanya kebocoran regional (regional leakages). Di sisi lain pembangunan wilayah dihadapkan pada tidak meratanya distribusi pendapatan dan ketimpangan pembangunan antardaerah. Wilayah yang berkembang bisa menjadi sangat berkembang dan maju, sedang berkembang dan bahkan tertinggal. Selain itu kesenjangan di dalam wilayah pun rentan sekali terjadi seperti antara kelompok lapisan masyarakat (aparat dan pengusaha) antara penduduk asli dengan pendatang dan penguasaan jabatan oleh etnis atau suku tertentu tidak hanya memperlebar kesenjangan tetapi akan menimbulkan konflik, yang telah banyak terjadi di berbagai daerah di tanah air. Penanganan kemiskinan di era otonomi daerah sangat tergantung dengan keberpihakan pemerintah daerah kepada masyarakat miskin. Dengan otonomi daerah seharusnya pemerintah semakin cepat dan tanggap terhadap permasalahan yang dihadapi masyarakatnya dan partisipasi masyarakat pun meningkat untuk melakukan pembelaan terhadap hajat hidupnya. Oleh sebab itu kemiskinan sebagai permasalahan besar baik nasional maupun lokal diharapkan menjadi perhatian lebih bagi pelaksana pemerintahan. Dengan program penanganan kemiskinan pemerintah pusat, prakarsa pemerintah daerah, prakarsa kelembagaan masyarakat yang diiringi dengan partisipasi masyarakat akan memperbaiki tingkat kesejahteraan dan pemerataan pendapatan dan studi ini menfokuskan pada efektifitas alokasi fiskal pemerintah terhadap pengurangan kemiskinan. Cukup banyak ukuran yang dipakai untuk menilai jumlah penduduk miskin. Salah satunya ukuran garis kemiskinan (poverty line), kemiskinan absolut

59 dan relatif. Ukuran-ukuran ini diperlukan untuk menetapkan sasaran-sasaran program pengentasan kemiskinan, membantu penduduk/daerah miskin atau program-program yang berupaya mengurangi kemiskinan agar tepat sasaran. OTONOMI DAERAH PENERIMAAN DAERAH PENERIMAAN ASLI DAERAH DANA PERIMBANGAN BAGI HASIL SDA LAIN-LAIN PENERIMAAN PENGELUARAN DAERAH PENGELUARAN PEMBANGUNAN PENGELUARAN RUTIN SEKT PERTANIAN NON PERTANIAN SEKT. INFRASTRUKTUR SEKT. SOSIAL & PELAYANAN UMUM PERBAIKAN MAKRO EKONOMI INVESTASI, PDRB, EKSPOR & IMPOR PEN INGKATAN AKTIVITAS EKONOMI, PENINGKATAN PENDAPATAN, PERLUASAN LAPANGAN KERJA & PENYERAPAN TENAGA KERJA PENURUNAN TINGKAT KEMISKINAN PERKOTAAN DAN PERDESAAN Ket : = hubungan rincian = hubungan kausalitas Gambar 2. Kerangka Pemikiran Analisis Dampak Otonomi Daerah terhadap Pengurangan Kemiskinan

60 3.2 Metode Penelitian 3.2.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Propinsi Riau yang meliputi 11 kabupaten/ kota mulai Juni 2005 sampai dengan Februari 2006. 3.2.2. Sumber Data Sumber data utama penelitian ini berasal dari Badan Pusat Statistik Pusat, Badan Statistik Provinsi Riau, Departemen Keuangan, Bapeda Provinsi Riau dan Dinas terkait. 3.2.3. Gambaran Kesejahteraan Daerah Sebagai langkah awal dalam melakukan analisis yang berhubungan dengan kemiskinan akan dilihat gambaran umum kondisi kesejahteraan daerah tingkat Provinsi. Gambaran umum terhadap kondisi daerah yang dimaksud meliputi kependudukan, kondisi sosial ekonomi, tingkat pendidikan, ketenagakerjaan, keuangan daerah, indeks kemiskinan. Indeks kemiskinan yang sering digunakan meliputi Headcount Index (HCI), Poverty Gap Index (PGI), dan Square Poverty Gap Index (SPGI). Penentuan nilai indeks-indeks ini didasarkan pada suatu garis kemiskinan tertentu. Perbedaan metode perhitungan garis kemiskinan dapat menyebabkan perbedaan pada nilai indeks kemiskinan. Saat ini di Indonesia selain BPS, metode perhitungan garis kemiskinan dilakukan pula oleh lembaga lain diantaranya Bank Dunia dan LPEM-UI. Namun demikian dalam penelitian ini akan digunakan garis kemiskinan BPS.

61 Pengukuran pembangunan manusia lainnya dapat diukur dengan indeks kemiskinan manusia (IKM). Indeks ini menggunakan indikator deprivasi yang paling mendasar yaitu berumur pendek, ketersediaan pendidikan, akses sumberdaya publik, dan sumberdaya privat. IKM menggunakan variabel persentase penduduk yang tidak mencapai usia 40 tahun, persentase penduduk dewasa yang buta huruf, dan deprivasi dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi secara keseluruhan baik yang bersifat publik atau bukan, yang diwakili oleh persentase penduduk yang tidak memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan dan air bersih, dan persentase anak berumur 5 tahun ke bawah dengan berat badan rendah atau kurang gizi. 3.2.4. Perumusan Model Ekonometrika Dalam analisis dampak otonomi daerah terhadap penanganan kemiskinan ini, lokasi penelitian yang digunakan mencakup Kabupaten/Kota di Provinsi Riau. Model ekonometrika dirumuskan berdasarkan fenomena desentralisasi fiskal dan berdasarkan teori-teori ekonomi makro, ekonomi regional, dan ekonomi publik. Model ini dibangun berdasarkan kerangka teori ekonomi dan kajian empiris yang relevan yang diharapkan mampu menunjukkan kinerja perekonomian daerah dan perubahan tingkat kemiskinan secara sederhana dan jelas. Alasan studi terfokus di daerah karena otonomi dengan desentralisasi fiskalnya akan mempengaruhi kinerja perekonomian daerah dan tingkat kemiskinan, di mana sebelumnya daerah tergantung pada pusat (sentralisasi fiskal) dan berubah dengan diserahkannya tanggung jawab pusat ke daerah untuk mengatur dan bertanggungjawab terhadap pemerintahan dan perekonomian.

62 Model ekonometrika yang baik yaitu memenuhi kriteria ekonomi yang menyangkut tanda, kriteria statistik yang menyangkut uji statistiknya, dan kriteria ekonometrika yang me nyangkut asumsi-asumsi ekonometrikanya (Koutsoyiannis, 1977). Dari ketiga kriteria tersebut kriteria ekonomi ditempatkan lebih penting dibandingkan kriteria lain untuk dievaluasi dalam penelitian ini. Artinya, apabila hasil estimasi dari model yang telah dibangun belum sesuai dengan kriteria ekonomi yang diharapkan, maka akan dilakukan respesifikasi dan reestimasi model. Agar model yang dibangun dapat menangkap fenomena otonomi daerah dan keterkaitannya dengan perbaikan tingkat kemiskinan dan pemerataan pendapatan di kabupaten dan kota di provinsi Riau, maka model disusun dalam sistem persamaan simultan makroekonomi daerah dengan panel data (pooled data) 9 kabupaten dan 2 kota dan time series tahun 1996-2004. Model dikelompokkan ke dalam empat blok yaitu: (1) blok penerimaan daerah, (2) blok pengeluaran daerah, (3) blok makro ekonomi daerah dan (4) blok tingkat kemiskinan. Model ini terdiri 28 persamaan dengan 18 persamaan struktural dan 10 persamaan identitas. 3.2.4.1. Blok Penerimaan Daerah Di sisi penerimaan keuangan daerah, dapat dilihat dari aspek pajak daerah, retribusi, laba BUMD, dana bagi hasil, sumbangan, dan bantuan pemerintah pusat ke daerah. Penerimaan pemerintah daerah merupakan identitas dari penerimaan asli daerah, sumbangan pemerintah pusat, dan pinjaman pembangunan. Penerimaan asli daerah merupakan jumlah dari PAD dan dana bagi hasil. Secara

63 umum penerimaan pajak daerah, retribusi, pajak yang dibagihasilkan diduga pengaruhi oleh nilai PDRB dan populasi. 3.2.4.1.1. Pajak Daerah TAXD = a 0 + a 1 *TEXP + a 2 KONM + a 3 *DDF + a 4 *LTAXD + u 1...(3) a 1, a 2, a 3 > 0 ; 0< a 4,< 1 3.2.4.1.2. Retribusi Daerah RETRD = b 0 + b 1 *PDRB + b 2 *TEXP + b 3 *DDF + u 2...(4) b 1,,b 2,, b 3 > 0 3.2.4.1.3. Pendapatan Asli Daerah PAD = TAXD + RETRD + LABUD...(5) 3.2.4.1.4. Dana Alokasi Umum DAU = c 0 + c 1 * TEXP + c 2 *AKED + c 3 * POP + c 4 *BHPJSDA + c 5 *DDF + u 3....(6) c 1,, c 3, c 5, >0 ; c 4, c 2 < 0 3.2.4.1.5. Penerimaan Bagi Hasil Pajak Daerah BHTAXD = d 0 + d 1 * PAD + d 2 * PESE + d 3 * DDF +u 4...(7) d 1, d 2, d 3 >0 3.2.4.1.6. Total Penerimaan Daerah TPED = PAD+DAU+DAK+BHTAXD+ BHPESDA +PELA + SAPBDTS... (8)

64 3.2.4.2. Blok Pengeluaran Daerah Pengeluaran atau belanja pemerintah kabupaten terdiri dari pengeluaran pembangunan dan pengeluaran rutin. Pengeluaran pembangunan disagregasi menjadi pengeluaran untuk sektor anggaran ekonomi, sosial, dan pelayanan umum. Selanjutnya untuk sektor anggaran ekonomi dibedakan menjadi sektor produksi pertanian, sektor produksi non pertanian, dan infrastruktur. Sedangkan pengeluaran rutin disagregasi menjadi pengeluaran untuk gaji pegawai dan bukan gaji. Secara umum, pengeluaran pemerintah diduga dipengaruhi oleh penerimaan asli daerah, jumlah sumbangan yang diterima, populasi, dan pendapatan regional. 3.2.4.2.1. Pengeluaran Rutin Gaji PERGA = e 0 + e 1 * PAD + e 2 *DAU+e 3 *DAK + e 4 *JPGO + e 5 * DDF +u 5... (9) e 1, e 2, e 3, e 4, e 5 > 0 3.2.4.2.2. Pengeluaran Rutin Non Gaji PERNGA = f 0 + f 1 * PAD + f 2 *SAPBDTS + f 3 * POP + f 4 * DDF+ u 6...(10) f 1, f 2, f 3, f 4 > 0 3.2.4.2.3. Pengeluaran Rutin Daerah PERDA = PERGA + PERNGA... (11) 3.2.4.2.4. Pengeluaran Sektor Pertanian PESPER = g 0 + g 1 * TPED + g 2 * PTKP + g 3 *DDF+ g 4 *LPESPER + u 7... (12) g 1, g 2, g 3 > 0 ; 0< g 4 < 1

65 3.2.4.2.5. Pengeluaran Sektor Non Pertanian PESNPER = h 0 + h 1 * TPED + h 2 * PTKNP + h 3 * PDGN + h 4 *DDF + u 8...(13) h 1, h 2, h 4 > 0 ; h 3 < 0 3.2.4.2.6. Pengeluaran Infrastruktur PEINF = i 0 + i 1 * TPED + i 2 * PDRB + i 3 * LWIL + u 9...(14) i 1,, i 2,, i 3 > 0 3.2.4.2.7. Pengeluaran Pelayanan Sosial PEPS0 = j 0 + j 1 * PAD + j 2 * JDEKE + j 3 *PDDK + j 4 *KSHT + j 5 *LPEPSO+ u 10.... (15) j 1, j 2,j 3, j 4, > 0 ; 1 > j 5 > 0 3.2.4.2.8. Pengeluaran Pelayanan Umum PEPUM = k 0 + k 1 *PAD + k 2 *SAPBDTS + k 3 *POP +k 4 * DDF + k 7 * LPEPUM + u 11 (16) k 1, k 2, k 3,k 4, k 5, k 6 >0 ; 0<k 7 <1 3.2.4.2.9. Pengeluaran Sektor-Sektor Ekonomi PESE = PESPER + PESNPER + PEINF...(17) 3.2.4.2.10. Pengeluaran Pelayanan Sosial-Umum PEPSU = PESPSO + PEPUM... (18) 3.2.4.2.11. Total Pengeluaran Pembangunan TEXP = PERDA + PESE + PEPSU...(19)

66 3.2.4.3. Blok Makro Ekonomi Daerah Blok makro ekonomi daerah menggambarkan PDRB pada sisi permintaan agregat yaitu pengeluaran pemerintah, investasi, ekspor, impor daerah dan produksi sektoral yaitu sektor pertanian/non pertanian daerah. 3.2.4.3.1. Investasi Daerah INVD = l 0 + l 1 UMR + l 2 *PAD + l 3 *RETRD + L 4 *DDF + u 12 (20) l 1, l 2, l 4 < 0; I 3, > 0 3.2.4.3.2. Ekspor Daerah EXPRD = m 0 + m 1 * PDRB + m 2 * EXR + m 3 * LEXPRD + u 13... (21) m 1, m 2, m 3 > 0 3.2.4.3.3. Impor Daerah IMPRD = n 0 + n 1 *PDRB + n 2 *EXPRD + n 3 *LIMPRD + u 14...(22) n 2, n 3 >0 ; n 1 < 0 3.2.4.3.4. Produk Domestik Regional Bruto PDRB = KONM + INVD + TEXP + EXPRD IMPRD... (23) 3.2.4.3.5. Produksi Sektor Pertanian PRSP = o 0 + o 1 * UPSP + o 2 * POP + o 3 * DDF + u 15... (24) o 1, o 2, o 3 > 0

67 3.2.4.3.6. Produksi Sektor Non Pertanian PRSNP = p 0 + p 1 * UPSNP + p 2 TPSEK + p 3 * DDF + u 16... (25) p 1, p 2, p 3 > 0 3.2.4.3.7. Total Produksi Sektoral TPSEK = PRSP + PRSNP...(26) 3.2.4.4. Blok Tingkat Kemiskinan Blok tingkat kemiskinan menggambarkan tingkat kemiskinan suatu daerah yang meliputi jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan, jumlah penduduk miskin perkotaan dan jumlah penduduk miskin di perdesaan. 3.2.4.4.1. Penduduk Miskin Perkotaan MISKT = q 0 + q 1 * DAU + q 2 *POP + q 3 *UPSP + q 4 *PEPSU + q 5 *PTKNP + q 6 *DDF + u 17...(27) q 1, q 3, q 5, q 6 < 0 ; q 2, q 4 > 0 3.2.4.4.2. Jumlah Penduduk Miskin Perdesaan MISDS = r 0 + r 1 * PESE + r 2 *BHPJSDA + r 3 *DAU + r 4 *POP + r 5 *PTKP + r 6 *DDF + u 18...(28) r 1, r 4 > 0 ; r 2,,r 3,r 5, r 6 > 0 3.2.4.4.3. Total Penduduk Miskin MISTOT = MISKT + MISDS......(29)

68 Keterangan : AKED BHPJSDA BHTAXD DAU DAK DDF = angkatan kerja (orang) = Bagi Hasil Pajak Sumberdaya Alam (juta Rp) = bagi hasil pajak (juta Rp) = dana alokasi umum (juta Rp) = dana alokasi khusus (juta Rp) = dummy desentralisasi fiskal Dimana bernilai 0 sebelum desentralisasi Bernilai 1 setelah desentralisasi diberlakukan EXPRD EXR INVD IMPRD JPGO JDEKE = ekspor daerah (juta Rp) = exchange rate (ribu Rp/US$) = investasi daerah (juta Rp) = impor daerah (juta Rp) = jumlah pegawai otonomi (orang) = jumlah desa dan kelurahan (buah) KPDK = kepadatan penduduk (orang/km 2 ) KSHT KONM = pengeluaran bidang Kesehatan (Juta Rp) = konsumsi masyarakat (juta Rp) LWIL = luas wilayah (Km 2 ) LPEPSO LABUD LTAXD LDAU LPESPER LPESNPER = lag pengeluaran pelayanan sosial (juta Rp) = laba badan usaha daerah (juta Rp) = lag pajak daerah (juta RP) = lag dana alokasi umum (juta Rp) = lag pengeluaran sektor pertanian (juta Rp) = lag pengeluaran sektor non pertanian (juta Rp)

69 LPEPUM LEXPRD LPRSNP MISKT MISDS MISTOT PDRB PAD POP PESE PELA PERGA PERNGA PTKP PTKNP PEINF PESPER PESNPER PERDA PEPSO PEPUM PDDK PESE PEPSU PRSP = lag pengeluaran pelayanan umum (juta Rp) = lag EXPRD (juta Rp) = lag produksi sektor non pertanian (juta Rp) = Jumlah penduduk miskin perkotaan (ribu jiwa) = Jumlah penduduk miskin perdesaan (ribu jiwa) = Total Penduduk Miskin (ribu jiwa) = produk domestik regional bruto (juta Rp) = pendapatan asli daerah (juta Rp) = jumlah penduduk (orang) = pengeluaran sektor ekonomi (juta Rp) = penerimaan lain-lain (juta Rp) = pengeluaran rutin gaji (juta Rp) = pengeluaran rutin non gaji (juta Rp) = penyerapan tenaga kerja pertanian (juta Rp) = penyerapan tenaga kerja non pertanian (juta Rp) = pengeluaran infrastruktur (juta Rp) = pengeluaran sektor pertanian (juta Rp) = pengeluaran sektor non pertanian (juta Rp) = pengeluaran rutin daerah (juta Rp) = pengeluaran pelayanan sosial (juta Rp) = pengeluaran pelayanan umum (juta Rp) = pengeluaran bidang pendidikan (juta Rp) = pengeluaran sektor ekonomi (juta Rp) = pengeluaran pelayanan sosial-umum (juta Rp) = produksi sektor pertanian (juta Rp)

70 PRSNP RETRD SAPBDTS = produksi sektor non pertanian (juta Rp) = retribusi daerah (juta Rp) = sisa anggaran tahun sebelumnya (juta Rp) SBK = Suku Bunga (%) TAXD TPED TEXP TAXD TPSEK UMR UPSP UPSNP = pajak daerah (juta Rp) = total pendapatan daerah (juta Rp) = total pengeluaran pembangunan (juta Rp) = pajak daerah (juta Rp) = Total pengeluaran sektoral (juta Rp) = upah minimum regional (Ribu Rp) = upah tenaga kerja pertanian (juta Rp) = Upah tenaga kerja non pertanian (juta Rp) 3.2.7 Prosedur Analisis 3.2.7.1 Identifikasi Model Indentifikasi model ditentukan atas dasar "order condition" sebagai syarat keharusan dan "rank condition" sebagai syarat kecukupan. Menurut Koutsoyiannis (1977), rumusan identifikasi model persamaan struktural berdasarkan order condition ditentukan oleh: (K-M) > (G- 1)... (30) dimana: K = Total peubah dalam model, yaitu peubah endogen dan peubah predetermined. M = Jumlah peubah endogen dan eksogen yang termasuk dalam satu persamaan tertentu dalam model, dan

71 G = Total persamaan dalam model, yaitu jumlah peubah endogen dalam model. Jika dalam suatu persamaan dalam model menunjukkan kondisi sebagai berikut. (K M) > (G -1) = maka persamaan dinyatakan teridentifikasi secara berlebih (overidentified) (K M ) = (G -1) = maka persamaan tersebut dinyatakan teridentifikasi secara tepat (exactly identified), dan (K M) < (G 1) = maka persamaan tersebut dinyatakan tidak teridentifikasi (unidentified). Hasil identifikasi untuk setiap persamaan struktural haruslah exactly identified atau overidentifled untuk dapat menduga parameter-parameternya. Kendati suatu persamaan memenuhi order condition, mungkin saja persamaan itu tidak teridentifikasi. Karena itu, dalam proses identifikasi diperlukan suatu syarat perlu sekaligus cukup. Hal itu dituangkan dalam rank condition untuk identifikasi yang menyatakan bahwa dalam suatu persamaan teridentifikasi jika dan hanya jika dimungkinkan untuk membentuk minimal satu determinan bukan nol pada order (G-1) dari parameter struktural peubah yang tidak termasuk dalam persamaan tersebut. Atau dengan kata lain kondisi rank ditentukan oleh determinan turunan persamaan struktural yang nilainya tidak sama dengan nol (Koutsoyiannis, 1977). Dalam penelitian ini, model yang telah dirumuskan terdiri dari 28 persamaan atau 28 peubah endogen ( G ), 26 peubah predetermined variable dan 23 peubah eksogen dan 7 lag endogenous variabel. Sehingga total peubah

72 dalam model (K) adalah 44 peubah, jumlah peubah dalam persamaan (M) paling banyak adalah 7 peubah. Berdasarkan kriteria order condition, maka setiap persamaan struktural yang ada dalam model adalah over identified. 3.2.7.2. Metode Pendugaan Model Dari hasil identifikasi model, maka model dinyatakan overidentified, dalam hal ini untuk pendugaan model dapat dilakukan dengan 2SLS (Two Stage Least Squares), 3SLS (Three Stage Least Squares), LIML (Limited Information Maximum Likelihood) atau FIML (Full Information Maximum Likehood). Pada penelitian ini, metode pendugaan model yang digunakan adalah 2SLS, dengan beberapa pertimbangan, yaitu penerapan 2SLS menghasilkan taksiran yang konsisten, lebih sederhana dan lebih mudah, sedangkan metode 3SLS dan FIML menggunakan informsi yang lebih banyak dan lebih sensitif terhadap kesalahan pengukuran maupun kesalahan spesifikasi model Untuk mengetahui dan menguji apakah peubah penjelas secara bersamasama berpengaruh nyata atau tidak terhadap peubah endogen, maka pada setiap persamaan digunakan uji statistik F, dan untuk menguji apakah masing-masing peubah penjelas berpengaruh nyata atau tidak terhadap peubah endogen, maka pada setiap persamaan digunakan uji statistik t atau dengan melihat nilai probabilitasnya.

73 3.2.7.3. Validasi Model Untuk mengetahui apakah model cukup valid untuk membuat suatu simulasi alternatif kebijakan atau non kebijakan dan peramalan, maka perlu dilakukan suatu validasi model, dengan tujuan untuk manganalisis sejauh mana model tersebut dapat mewakili dunia nyata. Dalam penelitian ini, kriteria statistik untuk validasi nilai pendugaan model ekonometrika yang digunakan adalah: Root Means Percent Square Error (RMSPE), Bias (UM) dan Theil s Inequality Coefficient (U) (Pindyck and Rubinfield, 1991). Statistik RMSPE digunakan untuk mengukur seberapa jauh nilai-nilai peubah endogen hasil pendugaan menyimpang dari alur nilai-nilai aktualnya dalam ukuran relatif (persen), atau seberapa dekat nilai dugaan itu mengikuti perkembangan nilai aktualnya. Nilai statistik U bermanfaat untuk mengetahui kemampuan model untuk analisis simulasi peramalan. Nilai koefisien Theil (U) berkisar antara 1 dan 0. Jika U = 0 maka pendugaan model sempurna. Jika U = 1 maka pendugaan model naif. Untuk melihat keeratan arah (slope) antara aktual dengan hasil yang disimulasi dilihat dari nilai koefisien determinasinya (R 2 ). Pada dasarnya makin kecil nilai RMSPE dan U-Theil's serta makin besar nilai R 2, maka pendugaan model semakin baik. 3.2.7.4. Simulasi Model Setelah model divalidasi dan memenuhi kriteria secara statistik, maka model tersebut dapat dijadikan sebagai model dasar simulasi. Simulasi dilakukan untuk mengetahui dampak kebijakan pemerintah baik di sektor penerimaan

74 maupun pengeluaran terhadap peubah-peubah endogen utamanya adalah untuk mengetahui dampaknya terhadap pengentasan kemiskinan. Analisis simulasi diterapkan untuk periode tahun 1996-2004. Karena mencakup periode yang sudah lampau, maka simulasi dinamakan simulasi historis. 3.2.7.5. Simulasi Kebijakan Simulasi model dilakukan untuk menganalisis dampak kebijakan desentralisasi fiskal terhadap peubah endogen. Variabel-variabel kebijakan desentralisasi fiskal yang dimaksud adalah dana alokasi umum (DAU), porsi bagi hasil pajak (BHPJSDA), Pendapatan Asli Daerah (PAD), pengeluaran pemerintah di bidang pendidikan dan kesehatan (PDDK & KSHT), pengeluaran pemerintah bidang pertanian (PESPER), dan pengeluaran untuk Infrastruktur. Simulasi antara lain bertujuan untuk: (1) melakukan pengujian dan evaluasi terhadap model, (2) mengevaluasi kebijakan pada masa yang lampau, dan (3) membuat peramalan pada masa yang akan datang. Simulasi yang dilakukan pada penelitian ini untuk mengevaluasi alternatif kebijakan melalui simulasi historis (ex-post simulation). Adapun skenario yang dilakukan antara lain : 1. Peningkatan Dana Alokasi Umum (DAU) 20 %. 2. Peningkatan Bagi Hasil Pajak Sumberdaya Alam (BHPJSDA) 10 %. 3. Peningkatan Penerimaan PAD sebesar 20 %. 4. Peningkatan pengeluaran Sektor pendidikan dan kesehatan sebesar 17 % dan Pengeluaran Sektor Pelayanan Umum sebesar 20 %.

75 5. Peningkatan pengeluaran dan Pengeluaran Infrastruktur sebesar 10 % dan pengeluaran Sektor Pertanian sebesar 20 %. 6. Peningkatan pengeluaran pembangunan dengan alokasi peningkatan pengeluaran Sektor Pendidikan dan Kesehatan 9 %, Sektor infrastruktur 4 %, Sektor Pelayanan Umum 10 % dan Sektor Pertanian 10 %.

PENERIMAAN DAERAH PENGELUARAN DAERAH BHTAXD TAXD RETRD PAD TEXP DAU AKED PERGA PERDA DAK JPGO SAPBDTS JDEKE LWIL PDDK PEPSO PEPUM LABUD POP DDF BHPESDA TPED PELA SABDTS PERNGA PESPER PTKP PTKNP PESNPER KSHT PDGN PINF PEPSU PESE PDRB INVD EXPRD UPSNP IMPRD UMR EXR MISKT MISDS SBK PRSP UPSP MISTOT UPSNP PRSNP MAKRO EKONOMI DAERAH TPSEK KONM PENDUDUK MISKIN Gambar 3. Hubungan antar Peubah dalam Penelitian Ket : = Hubungan struktural = Hubungan identitas = Variabel endogen = Variabel eksogen