BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Kualitas Kata kualitas memilki banyak definisi yang berbeda dan bervariasi dari yang konvensional sampai yang lebih strategis (Gasperz, 2001). Definisi konvensional dari kualitas biasanya menggambarkan karakteristik langsung dari suatu produk seperti: performansi (performance), keandalan (reliability), mudah dalam penggunaan (ease of use), estetika (esthetics) dan sebagainya. Sedangkan menurut definisi yang strategik menyatakan bahwa: kualitas adalah segala sesuatu yang mampu memenuhi keinginan atau kebutuhan pelanggan (meeting the needs of customers). Keistimewaan atau keunggulan produk dapat diukur melalui tingkat kepuasan pelanggan. Keistimewaan suatu produk dapat dibagi ke dalam dua bagian, yaitu: keistimewaan langsung dan keistimewaan atraktif. Keistimewaan langsung berkaitan dengan kepuasan pelanggan yang diperolah secara langsung dengan mengkonsumsi produk yang memiliki karakteristik unggul seperti produk tanpa cacat, keandalan (reliability), dan lain-lain. Sedangkan keistimewaan atraktif berkaitan dengan kepuasan pelanggan yang diperoleh secara tidak langsung dengan mengkonsumsi produk itu. Keistimewaan atraktif sering memberikan kepuasan yang lebih besar pada pelanggan dibandingkan keistimewaan langsung. Beberapa keistimewaan 6
7 atraktif, misalnya: Bank yang buka pada hari minggu, pelayanan 24 jam tanpa tambahan biaya, pembelian produk melalui telpon dan penyerahan di rumah, dan sebagainya. Keistimewaan atraktif dapat meningkatkan kepuasan pelanggan secara cepat meskipun untuk itu membutuhkan inovasi dan pengembangan secara terusmenerus. 2.2 Konsep Manajemen Kualitas Menurut Gaspersz (2001, p.5), manajemen kualitas terpadu didefinisikan sebagai suatu cara meningkatkan performansi secara terus-menerus (continous performance improvement) pada setiap level operasi atau proses, dalam setiap area fungsional dari suatu organisasi, dengan menggunakan semua sumber daya manusia dan modal yang tersedia. Juran sangat terkenal dengan konsep trilogy kualitas yaitu : perencanaan kualitas (quality planning), pengendalian kualitas (qualitas planning), dan perbaikan atau peningkatan kualitas (quality improvement)(gyrna, 2001, p.11).
8 Gambar 2.1 Juran Trilogy Diagram (Gyrna, 2001, p.1) Proses-proses yang ada di dalam konsep Juran tersebut diuraikan dalam Tabel 2.1. Tabel 2.1 Proses-proses dalam manajemen kualitas menurut Diagram Trilogi Juran (Gyrna, 2001, p.11)
9 2.3 Six Sigma 2.3.1 Sejarah Six Sigma Pada permulaan tahun 1980-an, Motorola, Inc secara terus menerus dikalahkan di pasar yang kompetitif yang pada akhirnya mereka kehilangan marketnya karena perbedaan kualitas dibandingkan dengan perusahaan Jepang saat itu (Pyzdek, 2002). Saat perusahaan Jepang mengambil-alih perusahaan Motorola yang memproduksi pesawat televisi di Amerika Serikat, mereka dengan cepat menerapkan perubahan yang drastis dalam menjalankan perusahaan. Di bawah manajemen Jepang, perusahaan segera memproduksi televisi dengan jumlah kerusakan satu dibanding dua puluh yang mereka pernah produksi di bawah manajemen Motorola. Pada tahun 1981, Motorola menghadapi tantangan tersebut dengan mengevaluasi kualitasnya hingga 5 kali dalam 5 tahun namun tetap saja tidak berhasil. Kemudian Motorola dengan Bob Galvin sebagai CEO-nya memutuskan untuk menekuni kualitas dengan serius dengan mengembangkan suatu proses yang konsisten berdasarkan pendekatan statistik. Akhirnya pada tahun 1986, Bill Smith, seorang ahli dan senior engineer di Divisi Komunikasi Motorola yang juga seorang ahli statistik, menyimpulkan bahwa bila suatu produk cacat dan diperbaiki pada waktu produksi maka cacat-cacat lain mungkin akan terabaikan (Brue, 2002). Dengan kata lain, rata-rata kegagalan proses jauh lebih tinggi ketimbang yang ditunjukkan oleh tes-tes akhir produk. Maksudnya?
10 Bila produk dirakit secara sama sekali bebas cacat, mungkin produk itu kelak tidak akan mengecewakan pelanggan. Dari sinilah Six Sigma bertolak, Dr. Mikel J. Harry, pendiri Motorola Six Sigma Research Institute, selanjutnya memperhalus metodologinya, bukan saja untuk menghapus pemborosan tetapi juga mengubahnya menjadi pertumbuhan. Kemudian ide tersebut diajukan kepada CEO Motorola yaitu Bob Galvin, yang kemudian ide tersebut dijadikan sebagai pedoman/acuan untuk menyelesaikan permasalahan kualitas yang ada di Motorola pada saat itu. Six Sigma dijadikan sebagai strategi utama Motorola untuk dapat menghasilkan produk-produk yang sesuai/cocok dengan keinginan konsumen. Pendekatan yang biasa digunakan oleh Motorola adalah (measure, analyze, improve, dan control). Lalu di tahun 1987, Motorola berhasil menerapkannya sebagai kunci sukses. Sebagai hasilnya pada tahun 1988 Motorola memenangkan penghargaan paling bergengsi dalam bidang kualitas yaitu The Malcolm Baldrige National Quality Award (MBNQA). Tahun 1990, Motorola bersama dengan beberapa perusahaan seperti IBM, texas instruments dan Xerox membuat konsep Black Belts (BBs), yang dijadikan sebagai ahli (expert) dalam mempergunakan metode statistik. Lalu, Allied Signal (sekarang Honeywell International Inc.) dan General Electric Co. berhasil menggunakan dan mempopulerkan metodologi Six Sigma Motorola tersebut.
11 2.3.2 Pengertian Six Sigma Salah satu upaya perusahaan untuk memiliki keunggulan bersaing adalah dengan membangun keunggulan bersaing terhadap proses bisnisnya. Six Sigma merupakan salah satu konsep atau metode untuk dapat membangun keunggulan bersaing melalui peningkatan proses bisnis dengan mengurangi atau menghilangkan penyimpangan terhadap proses bisnis yang ada. Konsep Six Sigma diperkenalkan oleh Mikel harry dan Richard Shroeder dalam bukunya yang berjudul Six Sigma The Breakthrough Management Strategy Revolutionizing The World s Top Corporation. Six Sigma dapat didefinisikan sebagai suatu proses bisnis yang memungkinkan perusahaan untuk meningkatkan kinerjanya dengan merancang dan memantau aktifitas harian bisnis dalam mencapai kepuasan pelanggan (Mikel Harry, 2001, p.vii). Six Sigma juga didefinisikan sebagai suatu sistem yang komprehensif dan fleksibel untuk mencapai, memberi dukungan dan memaksimalkan proses usaha, yang berfokus pada pemahaman akan kebutuhan pelanggan dengan menggunakan fakta, data serta terus menerus memperhatikan pengaturan, perbaikan dan mengkaji ulang proses usaha. Six Sigma dilakukan dengan menghilangkan atau mengurangi kesalahan atau penyimpangan dalam proses bisnis sehingga hanya terdapat sekitar 3.4 ketidaksesuaian atau penyimpangan di dalam 1.000.000 unit atau peluang (Defect per Million Opportunities). Tujuan dari Six Sigma ini tidak hanya mencapai level Sigma tertentu saja tetapi lebih pada peningkatan kemampulabaan perusahaan. Six Sigma
12 akan berupaya untuk memperhatikan kesesuaian antar kinerja produk atau jasa yang dihasilkan dengan kebutuhan pelanggan. Menurut Pearce dan Robinson (Pearce, 2003, p.330), Six Sigma merupakan suatu pendekatan dengan ketepatan dan kemampuan analisis yang tinggi terhadap kualitas dan peningkatan yang terus-menerus dengan tujuan untuk meningkatkan keuntungan melalui pengurangan kerusakan (defect), peningkatan hasil, peningkatan kepuasan konsumen dan kinerja terbaik (best in class). Konsep Six Sigma tidak terlepas dari konsep tentang kualitas atau mutu. Beberapa konsep tentang mutu adalah : (Dirgantoro, 2002, p.180) 1. Memenuhi kepuasan pelanggan (J.M. Juran) 2. Kesesuaian dengan kebutuhan (Philip Corsby) 3. Perkiraan tingkat keseragaman dan ketergantungan pada harga yang rendah dan sesuai dengan pasar (W. Edwards Deming) Beberapa prinsip dalam konsep Six Sigma ini adalah (Pande, 2000, p.15) : 1. Fokus pada pelanggan. Sikap yang menempatkan kebutuhan pelanggan sebagai prioritas utama. Sistem dan strategi bisnis harus memperhatikan suara dari pelanggan. 2. Manajemen berdasarkan fakta dan data. Sistem pengukuran yang efektif yang dapat mengukur keluaran, proses dan masukkan dari waktu ke waktu. 3. Fokus pada proses dan perbaikan.
13 Proses di dalam Six Sigma akan didokumentasikan, dikomunikasikan dan diukur berdasarkan kondisi yang ada. Proses tersebut akan diperbaiki atau dapat pula didisain ulang agar dapat tetap sesuai dengan kebutuhan pelanggan dan bisnis. 4. Manajemen yang proaktif. Kebiasaan dan praktek untuk mengantisipasi masalah dan perubahan dengan menggunakan fakta dan data yang ada untuk mencapai sasaran yang ada. 5. Kolaborasi yang kuat dan luas. Kerjasama antara internal perusahaan atau organisasi dengan pelanggan, pemasok dan partner yang ada pada rantai nilai bisnis. 6. Usaha pada kesempurnaan namun terdapat toleransi untuk kegagalan. Memberikan kebebasan setiap orang di dalam organisasi untuk melakukan percobaan dari suatu pendekatan yang baru, manajemen resiko, belajar dari kesalahan dan akhirnya mencapai hasil kinerja yang tingga yang berhubungan dengan kepuasan pelanggan. 2.3.3 Metodologi Six Sigma Untuk melakukan peningkatan terus-menerus menuju target Six Sigma dibutuhkan suatu pendekatan yang sistematis, berdasarkan ilmu pengetahuan dan fakta (systematic, scientific, and fact based) dengan menggunakan peralatan,
14 pelatihan dan pengukuran sehingga ekspektasi dan kebutuhan pelanggan dapat terpenuhi (Simon, 2003). Salah satu pendekatan yang biasa digunakan dalam Six Sigma, yaitu DMAIC. Metodologi DMAIC digunakan pada saat sudah terdapat produk atau proses di perusahaan namun belum dapat mencapai spesifikasi yang ditentukan oleh pelanggan. DMAIC merupakan sebuah proses untuk peningkatan yang dilakukan secara terus menerus, bersifat sistematis, ilmiah dan berdasarkan pada kenyataan yang ada. DMAIC meliputi langka-langkah yang perlu dilakukan secara berurutan, yang masing-masing langkah/tahapan amat penting guna mencapai hasil yang diinginkan. Dan juga DMAIC baisa disebut sebagai metodologi Six Sigma yang dijadikan sebagai metode penyelesaian masalah atau kunci pemecahan masalah. Agar dapat lebih memahami proses DMAIC secara umum dapat diuraikan seperti di bawah ini, yaitu: Define, menentukan tujuan proyek dan ekspektasi pelanggan. Measure, mengukur proses untuk dapat menentukan kinerja sekarang atau sebelum mengalami perbaikan. Analyze, menganalisa dan menentukan akar permasalahan dari suatu cacat atau kegagalan. Improve, memperbaiki proses menghilangkan atau mengurangi jumlah cacat/kegagalan. Control, mengawasi kinerja proses yang akan datang setelah mengalami perbaikan.
15 Pada dasarnya ada tiga strategi dalam penerapan Six Sigma (Pande, 2000, p.31) : 1. Peningkatan Proses (Process Improvement) Strategi untuk mencari dan memperbaiki akar penyebab timbulnya masalah. Sinonim dari strategi tersebut adalah perbaikan secara terus menerus (Continous Improvement). 2. Disain/Disain Ulang Proses (Process Design/Redesign) Membuat rancangan baru dari suatu proses yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan dengan validasi data dan percobaan. 3. Proses Manajemen (Management Process) Perubahan fokus dari pandangan dan pengarahan dari fungsi menjadi pengertian dan fasilitasi dari proses yang memberikan nilai bagi pelanggan. Ketiga strategi Six Sigma tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.2 Gambar 2.2 Strategi Six Sigma
16 2.3.4 Analytical Tools Untuk Six Sigma Menurut Chase, Aquilano, dan Jacobs (Chase, 2001, p.272), terdapat beberapa analytical tools untuk Six Sigma: 1. Process Flowchart, merupakan gambar yang menjelaskan langkahlangkah utama, cabang-cabang, dan hasil terakhir dari suatu proses. Gambar 2.3 Process Flowchart (Chase, 2001, p.272) 2. Pareto Analysis, merupakan pendekatan yang terkoordinasi untuk mengidentifikasi, penyusunan dan pekerjaan untuk secara permanen menghilangkan defect. Berfokus pada sumber-sumber kegagalan yang penting, 80/20 rule: 80% masalah disebabkan oleh 20% kasus.
17 Gambar 2.4 Pareto Analysis ( Chase, 2001 ) 3. Run Chart, merupakan grafik yang bersifat sekuensial terhadap waktu yang menunjukkan gambaran nilai dari suatu karakteristik. Gambar 2.5 Run Chart (Chase, 2001) 4. Data Collection, selalu memiliki persetujuan dan alasan yang jelas mengenai data yang dikumpulkan. Mempersiapkan dari awalnya strategi untuk mengumpulkan dan menganalisa data. Pertanyaan yang mungkin diajukan untuk pengumpulan data: Mengapa?
18 Apa? Di mana? Berapa banyak? Kapan? Bagaimana? Berapa lama? 5. Histogram, merupakan suatu distribusi yang menunjukkan frekuensi kejadian antara data high range dan low range. Gambar 2.6 Histogram (Chase, 2001) 6. Scatter Diagram, dikenal juga sebagai diagram korelasi, merupakan grafik yang menggambarkan nilai dari suatu karakteristik dibandingkan dengan karakteristik lain.
19 Gambar 2.7 Scatter Diagram (Chase, 2001) 7. Check Sheet, merupakan metode yang terorganisir untuk merekam data, dapat digunakan untuk mengingat defect atau untuk meyakinkan bahwa data telah dikumpulkan dengan cara yang benar. Gambar 2.8 Check Sheet (Chase, 2001) 8. Cause and Effect atau Fishbone Diagram, merupakan alat yang menggunakan deskripsi grafis dari elemen proses untuk menganalisa sumber-sumber potensial dari variasi proses.
20 Gambar 2.9 Cause and Effect Diagram (Chase, 2001) 9. Control Charts, merupakan grafik yang bersifat sekuensial terhadap waktu, yang munjukkan nilai-nilai dari tatistic termasuk garis pusat dan satu atau lebih batasan kendali yang diperoleh secara tatistic. Gambar 2.10 Control Charts (Chase, 2001) Six Sigma dapat diterapkan di dalam berbagai proses atau bisnis baik di dalam proses atau bisnis jasa (services) maupun manufaktur (manufacturing). Hal ini disebabkan untuk kedua jenis proses atau bisnis tersebut tidak dapat dipisahkan, keduanya saling terkait satu sama lain. Keuntungan dari penerapan Six Sigma berbeda-beda untuk setiap perusahaan mulai dari adanya pengurangan biaya, perbaikan produktivitas, pertumbuhan pangsa pasar, pengurangan waktu siklus,
21 retensi pelanggan, pengurangan cacat, pengembangan produk sampai dengan perubahan budaya kerja. 2.3.5 Perbedaan antara Six Sigma dengan TQM Thomas Pyzdek, seorang konsultan implementasi Six Sigma dan penyusun buku "The Six Sigma Handbook", pada bulan Februari 2001, menjelaskan adanya perbedaan penting antara Six Sigma dan TQM yaitu, TQM hanya memberikan petunjuk secara umum (sesuai dengan istilah manajemen yg digunakan dalam TQM). Petunjuk untuk TQM begitu umumnya sehingga hanya seorang pemimpin bisnis yang berbakat yang mampu menterjemahkan TQM dalam operasional sehari-hari. Secara singkat, TQM hanya memberikan petunjuk filosofis tentang menjaga dan meningkatkan kualitas, tetapi sukar untuk membuktikan keberhasilan pencapaian peningkatan kualitas. Kemudian konsep Total Quality Control, di tahun 1950, menunjukkan bahwa kualitas produk bisa ditingkatkan dengan cara memperpanjang jangkauan standar kualitas ke arah hulu, yaitu di area engineering dan purchasing. Akan tetapi ada beberapa kelemahan yang muncul pada pelaksanaan Total Quality Control yaitu: 1. Terlalu fokus pada kualitas dan tidak memperhatikan isu bisnis yang kritikal lainnya
22 2. Implementasi Total Quality Control menciptakan pemahaman bahwa masalah kualitas adalah masalahnya departemen Quality Control, padahal masalah kualitas biasanya berasal dari ketidakmampuan departemen lain dalam perusahaan yg sama 3. Penekanan umumnya pada standar minimum kualitas produk, bukan pada bagaimana meningkatkan kinerja produk Six Sigma dalam pelaksanaannya menunjukkan hal-hal yang menjadi solusi permasalahan di atas: 1. Menggunakan isu biaya, cycle time dan isu bisnis lainnya sebagai bagian yang harus diperbaiki 2. Six Sigma tidak menggunakan ISO 9000 dan Malcolm Baldrige Criteria tetapi fokus pada penggunaan alat untuk mencapai hasil yang terukur 3. Six Sigma memadukan semua tujuan organisasi dalam satu kesatuan. Kualitas hanyalah salah satu tujuan, dan tidak berdiri sendiri atau lepas dari tujuan bisnis lainnya 4. Six Sigma menciptakan change agent yang bukan bekerja di Quality Department. Green Belt adalah para operator yang bekerja pada proyek Six Sigma sambil mengerjakan tugasnya.
23 2.4 Continuous Improvement It is impossible for organizations to survive without changing or improving. The organization s ability to survive in a highly competitive business world depends on how organization manages and adapts to demands of a changing environment. (Nicholas, 1998). Perubahan yang ada pada sebuah ruang lingkup bisnis dapat muncul dari berbagai macam sumber: pesaing menciptakan produk baru, pesaing menurunkan harga produk mereka dan pesaing menggunakan teknologi baru untuk meningkatkan kualitas produk mereka. Keinginan dari pelanggan selalu berubahubah. Maka dari itu, banyak perusahaan harus berkembang baik dari segi produk maupun jasa untuk memuaskan kebutuhan dari pelanggan. Continuous Improvement adalah sebuah usaha yang dilakukan terus-menerus untuk meningkatkan / memperbaiki produk, jasa maupun proses-proses yang ada pada perusahaan. Dan lebih terarah pada customer service, process improvement, higher product quality dan long term strategies (Summers, 2003). Pada Tabel 2.2 diperlihatkan perbedaan antara perusahaan yang mengaplikasikan teori Continuous Improvement dan perusahaan tradisional. Terdapat berbagai macam pendekatan yang mendukung teori Continuous Improvement.
24 Tabel 2.2 Continuous Improvement versus Traditional Orientation (Summers, 2003, p.17)