BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN

dokumen-dokumen yang mirip
VII. PERSEPSI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI TERHADAP PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS)

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB V STRUKTUR AGRARIA DAN STATUS PENGUASAAN LAHAN

BAB IV KARAKTERISTIK RESPONDEN DAN SISTEM PERTANIAN

IX. KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI AKIBAT PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS)

BAB VII STRUKTUR AGRARIA DESA CIPEUTEUY

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang

IV. METODE PENELITIAN. Halimun Salak, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya

PENDAHULUAN. peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

VI. GARIS BESAR PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) DI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI

Bab III Studi Kasus III.1 Sekilas Tentang Ciptagelar III.1.1 Bentang Alam di Daerah Kasepuhan Ciptagelar

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB IV ANALISIS. 4.1 Penentuan Batas Wilayah Adat

BAB IX KESIMPULAN. bagaimana laki-laki dan perempuan diperlakukan dalam keluarga. Sistem nilai

BAB IV ANALISIS PENELITIAN

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB VI KELEMBAGAAN USAHA KAYU RAKYAT

BAB VI PERSEPSI MASYARAKAT SEKITAR HUTAN TERHADAP PHBM

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 5 ANALISIS KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. stabilitator lingkungan perkotaan. Kota Depok, Jawa Barat saat ini juga

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI

BAB IV DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu penggerak utama dari roda. perekonomian. Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian

VI. PERSEPSI TERHADAP PROGRAM PEMBAYARAN JASA LINGKUNGAN. 6.1 Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan

DAFTAR PUSTAKA. 4. Dale, P. F. dan Mclaughlin, J. D Land Administration. Oxford University Press. New York, USA

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang. Pertambahan penduduk merupakan faktor utama pendorong bagi upaya

FORMAT KASUS KOMPREHENSIF

BAB IV ANALISIS PENELITIAN

PEMERINTAH KABUPATEN CIANJUR KECAMATAN CIDAUN DESA NEGLASARI Jl. Negla No. Neglasari Cidaun 43275

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Bab V Analisis, Kesimpulan dan Saran

seperti Organisasi Pangan se-dunia (FAO) juga beberapa kali mengingatkan akan dilakukan pemerintah di sektor pangan terutama beras, seperti investasi

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan suaka alam sesuai Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 adalah sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Kondisi hutan di Indonesia saat ini dalam keadaan krisis. Banyak tumbuhan

BAB V POLA PENGUASAAN LAHAN DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGUASAAN LAHAN

BAB VI PERSEPSI TERHADAP LINGKUNGAN DAN KEMAMPUAN DIRI

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

BAB I PENDAHULUAN. telah berlangsung sebelum legalitas hukum formal ditetapkan oleh pemerintah.

BAB I PENDAHULUAN. yang ada di bumi saat ini, pasalnya dari hutan banyak manfaat yang dapat diambil

BAB I PENDAHULUAN. Cisolok Kabupaten Sukabumi Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu

V. GAMBARAN UMUM LOKASI DAN RESPONDEN

Model Desa Mandiri Energi Berbasis Mikrohidro di Sekitar Taman Nasional

PENDAHULUAN. hutan yang dialih-gunakan menjadi lahan usaha lain. Agroforestry adalah salah

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan,

BAB I PENDAHULUAN. Perum Perhutani adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diberi

BAB VII DAMPAK KONVERSI LAHAN TERHADAP KEBERLANJUTAN EKOLOGI

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN. wilayah kilometerpersegi. Wilayah ini berbatasan langsung dengan

BAB III PENENTUAN BATAS WILAYAH ADAT

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB VI KEADAAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DESA PANGRADIN. 6.1 Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Pangradin

BAB I PENDAHULUAN. Hutan bagi masyarakat bukanlah hal yang baru, terutama bagi masyarakat

HASIL KAJIAN DAN REKOMENDASI ASPEK BIOFISIK HUTAN KOTA LANSKAP PERKOTAAN

I.PENDAHULUAN Pada Pembangunan Jangka Panjang Kedua (PJP II) yang sedang berjalan,

V GAMBARAN UMUM LOKASI DAN KARAKTERISTIK PETANI

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000).

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER

BAB VI ANALISIS PERKEMBANGAN PRODUKSI KAYU PETANI HUTAN RAKYAT

RINGKASAN. sistem kekerabatan dan segala aspek yang berkenaan dengan relasi gender dalam. pemilikan dan penguasaan sumberdaya agraria.

kepemilikan lahan. Status lahan tidak jelas yang ditunjukkan oleh tidak adanya dokumen

I. PENDAHULUAN. utama perekonomian nasional. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bangsa Indonesia dikaruniai kekayaan alam, bumi, air, udara serta

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

atau erosi yang menyebabkan tanah menjadi kritis baik fisik

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumberdaya alam, termasuk di

V. GAMBARAN UMUM 5.1. Wilayah dan Topografi 5.2. Jumlah Kepala Keluarga (KK) Tani dan Status Penguasaan Lahan di Kelurahan Situmekar

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang harus dilindungi keberadaannya. Selain sebagai gudang penyimpan

RELASI GENDER DALAM PEMILIKAN DAN PENGUASAAN SUMBERDAYA AGRARIA

ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam melakukan kegiatan sehingga juga akan mempengaruhi banyaknya

BAB I PENDAHULUAN. daerah maupun nasional yang saat ini kondisinya sangat memperihatinkan, kerusakan

Deforestasi merupakan penghilangan dan penggundulan hutan yang tidak

PERAN SERTA MASYARAKAT DESA DALAM MENJAGA DAN MEMELIHARA HUTAN

POLA PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT PADA LAHAN KRITIS (Studi Kasus di Kecamatan Pitu Riawa Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan) Oleh : Nur Hayati

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan

BAB I PENDAHULUAN. tanah yang langka dan terbatas, dan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia. Luas daratan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh kesimpulan

III. KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. 4

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring

Transkripsi:

BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN 5.1 Aksesibilitas Masyarakat terhadap Hutan 5.1.1 Sebelum Penunjukan Areal Konservasi Keberadaan masyarakat Desa Cirompang dimulai dengan adanya pembukaan lahan pada Abad ke-17 dan secara turun-temurun mereka hidup di wilayah itu sehingga kemudian membentuk suatu pemukiman. Masyarakat di sana kemudian dikenal dengan masyarakat Kasepuhan yang dipimpin oleh seorang sesepuh atau yang biasa dipanggil Olot. Seperti halnya masyarakat Kasepuhan lainnya, mereka memiliki adat-istiadat yang masih terjaga hingga sekarang. Data yang didapatkan di lapangan (lihat di lampiran 4, aksesibilitas sebelum penunjukan areal konservasi), membuktikan semua responden sepakat bahwa sebelum adanya penunjukan areal konservasi, masyarakat masih dapat dengan leluasa memasuki hutan dan menjaga hutan dengan cara lokal (sesuai dengan adat-istiadat Kasepuhan). Masyarakat juga diperbolehkan mengambil hasil hutan tanpa merusaknya selain diberi akses dan kontrol terhadap hutan tersebut. Hutan di Desa Cirompang luasnya 53.742 hektar. Hutan inilah yang masih dijaga kelestariannya oleh masyarakat sebagai penyeimbang alam. Tahun 1978, muncul PT Perhutani Unit III Jawa Barat-Lebak sebagai pihak lain yang berbeda kepentingan dan diberi kepercayaan oleh Pemerintah untuk mengelola wilayah tersebut. Pada masa ini, tidak pernah terjadi benturan antara Perhutani dengan masyarakat karena masyarakat masih diperbolehkan memasuki hutan untuk

sekedar mencari buah-buahan atau kayu bakar namun dilarang untuk merusak hutan seperti menebang pohon secara besar-besaran. Hutan di Desa Cirompang masih terjaga kelestariannya karena tidak tersentuh oleh modal-modal asing seperti pemilik perkebunan atau tengkulatengkulak kayu sekalipun pada saat Perhutani berkuasa lahan tersebut difungsikan sebagai hutan produksi. Masyarakat diberi kepercayaan untuk menjaga hutan dengan jalan memberikan akses masyarakat ke dalam hutan sementara masyarakat menyadari sepenuhnya apabila hutan rusak, mereka yang pertama kali merasakan imbasnya. 5.1.2 Setelah Penunjukan Areal Konservasi Tahun 1992 terjadi alih fungsi kawasan dari hutan produksi menjadi hutan konservasi, pengelolaannya berada di bawah Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH). Muncul kekhawatiran di masyarakat, bukan hanya karena mereka tidak diperbolehkan lagi mengambil hasil hutan namun juga kekhawatiran akan kelestarian hutan yang mereka jaga. Tahun 2003 terjadi perluasan areal konservasi dari 40.000 hektar menjadi 113.357 hektar di bawah pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Kekurangan personil sangat terasa manakala hutan kemudian terancam oleh pihak asing yang ingin mengekploitasi hasil hutan. Masyarakat sebenarnya mengetahui hal itu, namun tidak bisa bertindak apa-apa mengingat mereka tidak memiliki payung hukum yang kuat atas lahan hutan tersebut. Data yang dikumpulkan (lihat lampiran 4, aksesibilitas setelah penunjukan areal konservasi) menggambarkan dengan jelas bahwa setelah adanya penunjukan 49

areal konservasi. Masyarakat tidak diperbolehkan lagi masuk ke hutan, walaupun ada sebagian yang memberi pernyataan bahwa akses ke dalam hutan masih ada karena kurangnya pengawasan dari pihak taman nasional. 5.2 Pengelolaan Hutan Lestari 5.2.1 Sebelum Penunjukan Areal Konservasi Hutan di Desa Cirompang pada masa penguasaan Perhutani dibiarkan tetap hijau atau digunakan sebagai hutan lindung sebagai penyeimbang alam. Pada masa itu, masyarakat hanya mengambil hasil hutan seperti buah-buahan dan kayu bakar tanpa menebang kayu secara besar-besaran karena mereka menyadari pentingnya keberadaan hutan. Untuk kebutuhan kayu gelondongan, mereka memenuhinya dengan jalan tebang tanam yang diaplikasikan pada lahan kehutanan yang menjadi lahan garapan mereka. Hutan Desa Cirompang tidak tersentuh oleh modal asing walaupun pada masa itu hutan difungsikan sebagai hutan produksi turut menyumbang kelestarian hutan Desa Cirompang. Perhutani mempercayakan keberadaan hutan di tangan masyarakat sehingga masyarakat dapat mengelola hutan dengan cara mereka sendiri walaupun tetap di bawah pengawasan Perhutani. Data dari lapangan menggambarkan bahwa sebelum penunjukan hutan Cirompang sebagai areal konservasi, kelestariannya jauh lebih terjaga. Ini dibuktikan dengan penjumlahan skor dari tiap pernyataan yang diberikan responden. Sekitar 93 persen jumlah skor dari tiap responden berada di atas ratarata dari jumlah tengah yang ditetapkan yaitu 80 (Lampiran 4, Pengelolaan hutan lestari sebelum penunjukan). 50

5.2.2 Setelah Penunjukan Areal Konservasi Tahun 1992 ketika pengelolaan hutan diserahkan dari Perhutani ke Taman Nasional Gunung Halimun dan terjadi alih fungsi hutan, masyarakat tidak mengetahui sepenuhnya atau terkesan sepihak walaupun ada beberapa warga yang ikut serta dalam pertemuan yang membahas tentang alih fungsi tersebut. Setelah adanya patok dari taman nasional, masyarakat tidak lagi memiliki akses terhadap hutan. Dengan pembatasan ini, pengelolaan hutan otomatis harus memenuhi aturan-aturan yang diberlakukan oleh taman nasional. Masyarakat tidak lagi memiliki akses terhadap hutan, namun mereka tetap berusaha menjaga keberadaan hutan dengan cara mereka sendiri. Masyarakat tetap menjaga keberadaan hulu cai (mata air) dengan jalan tidak menebang pohonpohon yang berada 50 meter di sekeliling mata air tersebut karena mereka menyadari alam yang memberi mereka kehidupan. Oleh karena itu keberadaannya harus tetap dijaga untuk kelangsungan hidup di masa depan. Mereka juga menanami sebagian besar lahan kehutanan yang telah mereka buka dengan kayukayuan dan buah-buahan walaupun ada sebagian yang telah dirubah menjadi pesawahan sehingga air dapat terserap dengan baik. Data yang terkumpul di lapangan menggambarkan bahwa pengelolaan hutan setelah adanya penunjukan areal konservasi mengalami penurunan yang cukup signifikan yang kemudian berpengaruh kepada kondisi alam di sekitarnya, seperti terjadinya banjir ketika hujan lebat ataupun debit air yang menurun drastis apabila musim kemarau berkepanjangan (Lampiran 4, Pengelolaan hutan lestari setelah penunjukan). 51

5.3 Hubungan antara Aksesibilitas dan Pengelolaan Hutan Lestari Hilangnya aksesibilitas masyarakat terhadap hutan karena adanya penunjukan dan pengalifungsian hutan sebagai lahan konservasi akan mengubah tata cara pengelolaan hutan yang awalnya dikelola dengan berdasarkan adat istiadat masyarakat setempat diganti dengan peraturan-peraturan taman nasional. Hal ini berdampak pada pengelolaan hutan karena dengan personil yang terbatas, sangat sulit bagi petugas taman nasional menjangkau dan mengawasi seluruh areal yang ada sehingga acapkali terjadi penebangan liar. Kejadian penebangan liar tidak saja merusak hutan namun juga menimbulkan saling curiga diantara stakeholders. Keresahan muncul di ranah masyarakat karena mereka dalam posisi yang tidak menguntungkan. Mereka khawatir jika pihak taman nasional menyalahkan mereka atas kerusakan tersebut namun di sisi lain, masyarakat juga curiga dengan keberadaan para pelaku penebangan liar tersebut yang selalu lolos dari pengawasan. 52

Tabel 7. Perbandingan Aksesibilitas dan Pengelolaan Hutan Lestari Periode Sebelum dan Sesudah Penunjukan Areal Konservasi Periode Aksesibilitas Pengelolaan Hutan Lestari Sebelum Penunjukan Areal Konservasi Masyarakat masih dapat dengan leluasa memasuki hutan dan menjaga hutan dengan cara lokal (sesuai dengan adat-istiadat Kasepuhan). Masyarakat juga diperbolehkan mengambil hasil hutan tanpa merusaknya selain diberi akses dan kontrol terhadap hutan tersebut. Hutan di Desa Cirompang sampai pada masa Perhutani dibiarkan tetap hijau atau digunakan sebagai hutan lindung sebagai penyeimbang alam. Masyarakat mengelola hutan dengan cara mereka. Setelah Penunjukan Areal Konservasi Masyarakat tidak diperbolehkan lagi masuk ke hutan, walaupun ada sebagian yang memberi pernyataan bahwa akses ke dalam hutan masih ada karena kurangnya pengawasan dari pihak taman nasional. Masyarakat tidak lagi memiliki akses terhadap hutan. Adanya penurunan kualitas hutan yang cukup signifikan yang kemudian berpengaruh kepada kondisi alam di sekitarnya, seperti terjadinya banjir ketika hujan lebat ataupun debit air yang menurun drastis apabila musim kemarau berkepanjangan 5.4 Luas Lahan Garapan Tahun 1700-an, merupakan awal keberadaan masyarakat Desa Cirompang. Pada saat itu, hutan masih merupakan open resources atau sumberdaya yang bisa dimanfaatkan oleh siapapun meski secara de jure keberadaannya tetap di tangan 53

Belanda. Leluhur masyarakat Cirompang membuka hutan untuk dijadikan pemukiman dan lahan garapan kemudian secara turun-temurun mereka mengelola sumberdaya yang ada di sana sehingga terbentuklah suatu perkampungan dan kemudian menjadi suatu desa. Tahun 1978 pemerintah memberikan kewenangan kepada PT Perhutani Unit III Jawa Barat-Banten untuk mengelola kawasan sebagai hutan produksi. Pada saat ini akses masyarakat mulai dibatasi walaupun masyarakat juga masih boleh menanami dengan prosedur yang telah ditentukan dan sistem bagi hasil dengan pembagian 50 persen untuk masyarakat dan 50 persen untuk Perhutani. Tahun 1992, Pemerintah melimpahkan kewenangan PT Perhutani Unit III Jawa Barat-Banten kepada Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) dan mengubah fungsi kawasan sebagai areal konservasi dan Desa Cirompang masuk ke dalamnya. Timbul keresahan di masyarakat, mereka merasa tidak lagi aman melakukan kegiatan bercocok tanam di lahan mereka yang telah di klaim oleh TNGH padahal lahan tersebut luasnya hampir setengah desa. Luas lahan garapan yang berada di kawasan konservasi seluas 307.909 hektar sedangkan luas lahan ber-sppt seluas 268.457 hektar dari keseluruhan desa yaitu 637.482 hektar. Hingga kini, penunjukkan tersebut belum disahkan sehingga masyarakat masih mempunyai kesempatan untuk mempertahankan lahan garapan yang sudah dibuka. 54

Tabel 8. Luas Lahan Garapan di Desa Cirompang Tahun 2009 Kategori Luas Lahan Frekuensi (orang) Persentase (%) < 0,5 hektar 11 36,7 0,5 1 hektar 13 43,3 > 1 hektar 6 20 Jumlah 30 100 Masyarakat Desa Cirompang umumnya memiliki tanah garapan yang tidak terlalu luas, rata-rata antara 0,5 1 hektar. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa responden umumnya memiliki luas lahan garapan 0,5 1 hektar. Hasil yang diperoleh dari lahan garapan tidak dijual namun digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Masyarakat menanam buah-buahan serta kayu-kayuan seperti durian, nangka, kopi, kayu sengon afrika, kayu kiamon, dan kayu albasia. Buah yang dihasilkan sebagian besar dikonsumsi sendiri oleh masyarakat sedangkan kayu digunakan sebagai kayu bakar dan bahan membangun rumah. Tabel 9. Luas Lahan SPPT di Desa Cirompang Tahun 2009 Kategori Luas Lahan Frekuensi (orang) Persentase (%) < 0,5 hektar 7 23,3 0,5 1 hektar 12 40 > 1 hektar 11 36,7 Jumlah 30 100 Umumnya masyarakat Cirompang memiliki lahan garapan yang luasnya setara dengan lahan SPPT yang dimiliki. Apabila penunjukan areal konservasi itu disahkan, masyarakat akan kehilangan setengah tanah yang mereka miliki untuk digarap saat ini. Umumnya lahan SPPT digunakan sebagai lahan persawahan sedangkan lahan garapan digunakan sebagai perkebunan. Walaupun ada beberapa 55

juga yang telah mengubah lahan garapan miliknya menjadi lahan persawahan. Lokasi lahan garapan yang dekat dengan hutan, harus tetap dijaga kualitasnya sebagai penyeimbang alam, mengingat kini masyarakat sudah tidak memiliki akses terhadap hutan. Tabel 10. Luas Lahan Keseluruhan di Desa Cirompang Tahun 2009 Kategori Luas Lahan Frekuensi (orang) Persentase (%) < 0,5 hektar 5 16,7 0,5 1 hektar 5 16,7 > 1 hektar 20 66,6 Jumlah 30 100 Umumnya masyarakat Desa Cirompang memiliki luas lahan digarap keseluruhan yang luas yaitu di atas satu hektar yang terdiri dari lahan SPPT dan lahan garapan kehutanan. Lahan tersebut dijadikan persawahan (terutama di lahan SPPT) dan perkebunan (terutama di lahan garapan). Lahan garapan yang meliputi hampir setengah Desa Cirompang sangat berarti bagi masyarakat, bukah hanya karena menyumbang dari segi ekonomi namun juga sebagai penopang keseimbangan ekosistem alam. 5.5 Pendapatan Petani Kebutuhan akan pangan di Desa Cirompang, hampir seluruhnya dipenuhi dari dalam desa. Untuk kebutuhan beras, mereka mengandalkan hasil dari lahan SPPT dan sebagian kecil lahan garapan yang telah diubah menjadi sawah. Sedangkan untuk lauk-pauk, mereka mengandalkan hasil lahan kehutanan yang berbentuk kebun atau huma dan tanaman yang ditanam di pekarangan rumah seperti singkong dan pepaya serta hasil dari kolam ikan. Sekitar 90 persen masyarakat Desa Cirompang memiliki pekerjaan utama bertani dan masing- 56

masing memiliki lumbung padi untuk menyimpang hasil pertanian tersebut sehingga tidak dijumpai adanya warung yang menjual beras ataupun berdagang nasi dan lauk pauk. Tabel 11. Pendapatan dari Lahan Garapan di Desa Cirompang Tahun 2009 Kategori Pendapatan Frekuensi (orang) Persentase (%) < 1 juta 23 76,7 1 juta 2,5 juta 4 13,3 > 2,5 juta 3 10 Jumlah 30 100 Data pada Tabel 11 menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki pendapatan dari lahan garapan sangat kecil, yaitu di bawah satu juta per tahun namun keberadaan lahan garapan bagi masyarakat sangat penting karena penghasilan dari lahan garapan digunakan untuk membeli kebutuhan-kebutuhan lain di luar kebutuhan sehari-hari, seperti pendidikan, hiburan, dan lain-lain. lamun lahan garapan mah baru bisa dipanen kayuna enam taun sekali. Paling menang lima sampai enam juta, jadi lamun dikira-kira setahun berarti menang sejutaan neng (Sarmin,32 thn) Uang dari nebang kayu ti lahan garapan biasana kanggo keperluan anak sekolah, nambahin uang kebutuhan sehari-hari atau disimpan buat kalau ada kebutuhan tibatiba. (Sarmin,32 thn) Tabel 12. Pendapatan dari Lahan SPPT di Desa Cirompang Tahun 2009 Kategori Pendapatan Frekuensi (orang) Persentase (%) < 1 juta 13 43,3 1 juta 2,5 juta 12 40 > 2,5 juta 5 16,7 Jumlah 30 100 57

Pendapatan dari lahan SPPT merupakan pendapatan utama bagi masyarakat yang pekerjaan utamanya adalah bertani. Sebenarnya hasil pertanian jarang sekali dijual oleh masyarakat namun dari hasil panen yang didapat, dapat dikira-kira berapa penghasilan yang mereka dapat dalam sekali panen. Untuk padi besar, biasa dihitung per pocong (sekepal orang dewasa) dengan harga jual sepuluh ribu rupiah per pocong sedangkan untuk padi besar, biasanya dijual per karung dengan harga dua ratus ribu per karung. Hasil pendapatan dari lahan sawah didapatkan dari konversi tersebut karena kebanyakan dari mereka tidak dapat memperkirakan berapa harga jual hasil panen tersebut apabila dijual kepada pihak lain. Gambar 13. Padi Besar yang Dipocong Umumnya masyarakat Desa Cirompang memiliki pendapatan keseluruhan sebesar lima juta sampai dengan sepuluh juta rupiah per tahun. Pendapatan ini diperoleh dari lahan SPPT, lahan garapan, dan non-pertanian. Bagi masyarakat yang pekerjaan utamanya bertani, sebagian besar mengandalkan lahan SPPT sebagai lahan utama sedangkan sebagian dari mereka mengandalkan hasil dari non-pertanian. Lahan garapan berkontribusi pada tersedianya cadangan penghasilan manakala petani harus memenuhi kebutuhan yang tidak terduga atau di luar kebutuhan seharj-hari. (Tabel 13). 58

Tabel 13. Pendapatan Keseluruhan Petani di Desa Cirompang Tahun 2009 Kategori Pendapatan Frekuensi (orang) Persentase (%) < 5 juta 11 36,7 5 juta 10 juta 13 43,3 > 10 juta 6 20 Jumlah 30 100 Pendapatan dari non-pertanian merupakan faktor yang perlu diperhitungkan. Setelah diamati, masyarakat yang memiliki penghasilan besar, rata-rata memiliki pekerjaan di luar pertanian, kebanyakan sebagai guru atau pegawai negeri sipil. Terlihat bahwa pendapatan dari non-pertanian menyumbang besar bagi kehidupan sebagian responden. Sedangkan yang memiliki pendapatan non-pertanian kecil biasanya berprofesi sebagai tukang ojek karena hanya sebagai pekerjaan sambilan di sela-sela bertani dan tidak dilakukan setiap hari (Tabel 14). Tabel 14. Pendapatan dari Non-Pertanian di Desa Cirompang Tahun 2009 Kategori Pendapatan Frekuensi (orang) Persentase (%) < 1 juta 3 12,5 1 juta 2,5 juta 8 33,3 > 2,5 juta 13 54,2 Jumlah 24 100 5.6 Hubungan antara Luas Lahan dan Pendapatan Petani Keterkaitan antara luas lahan keseluruhan dan pendapatan petani ditampilkan melalui tabulasi silang. Luas lahan keseluruhan sebagai variabel independen dan pendapatan keseluruhan sebagai variabel dependen. 59

Tabel 15. Tabulasi Silang Luas Lahan Keseluruhan dan Pendapatan Petani di Desa Cirompang Tahun 2009 Pendapatan Luas Lahan Keseluruhan (x) Jumlah Keseluruhan (y) < 0,5 hektar 0,5 1 hektar > 1 hektar Responden < 5 juta 4 1 6 11 5 juta 10 juta 0 3 10 13 > 10 juta 1 1 4 6 Jumlah 5 5 20 30 Responden Umumnya masyarakat Desa Cirompang memiliki lahan yang terbilang luas, yaitu di atas satu hektar sedangkan penghasilan yang didapat hanya berkisar antara lima juta sampai sepuluh juta. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa keduanya memang memiliki korelasi namun tidak kuat. Lemahnya hubungan kedua variabel tersebut disebabkan adanya faktor lain yang mempengaruhi pendapatan petani, seperti pendapatan non-pertanian yang jumlahnya bervariasi dari sangat kecil hingga terbilang besar. Pendapatan non-pertanian tersebut ada yang merupakan pekerjaan sambilan dikala tidak bertani, seperti ojek dan buruh bangunan atau pekerjaan yang ditekuni setiap hari seperti guru. Keterkaitan antara luas lahan garapan dan pendapatan petani ditampilkan melalui tabulasi silang. Luas lahan garapan sebagai variabel independen dan pendapatan keseluruhan sebagai variabel dependen. Berikut ini data yang menggambarkan kedua variabel tersebut: 60

Tabel 16. Tabulasi Silang Luas Lahan Garapan dan Pendapatan Petani di Desa Cirompang Tahun 2009 Pendapatan Luas Lahan Garapan (x) Jumlah Keseluruhan (y) < 0,5 hektar 0,5 1 hektar > 1 hektar Responden < 5 juta 4 6 1 11 5 juta 10 juta 6 3 4 13 > 10 juta 1 4 1 6 Jumlah 11 13 6 30 Responden Tabel di atas menggambarkan sebaran yang cukup normal namun tidak beraturan, artinya luas lahan garapan berkorelasi dengan pendapatan keseluruhan namun tidak cukup kuat. Lemahnya hubungan kedua variabel tersebut karena hasil dari lahan garapan terbilang sangat kecil apabila dikonversikan ke rupiah namun hasil dari kebun tersebut dapat dimanfaatkan masyarakat untuk kebutuhan sehari-hari seperti lauk pauk dan buah-buahan. Selain itu, adanya faktor pendapatan non-pertanian juga menjadi penyebab lemahnya hubungan antara luas lahan garapan dan pendapatan petani tersebut. 61