1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psoriasis merupakan penyakit kulit yang penyebabnya sampai saat ini masih belum diketahui. Penyakit ini tidak mengancam jiwa, namun lesi kulit yang terjadi menimbulkan masalah kosmetik dan psikologis sehingga mempengaruhi kualitas hidup penderitanya. Perjalanan penyakit yang bersifat kronis residif serta pengobatan yang belum memuaskan menyebabkan perawatan psoriasis membutuhkan waktu lama serta biaya yang cukup mahal. Prevalensi psoriasis pada populasi di seluruh dunia diperkirakan berkisar antara 2%-4,8% (Alwasiti dkk., 2011; Ni dan Chiu, 2014). Di Indonesia belum ada data pasti mengenai jumlah penderita psoriasis. Data epidemiologi psoriasis dari sepuluh rumah sakit di Indonesia pada tahun 1996 hingga 1998 menunjukan angka prevalensi yang bervariasi yaitu sebesar 0,59% hingga 0,92% (Lestari, 2009). Penelitian di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) H. Adam Malik Medan pada periode Januari hingga Desember 2010, dari total 3.230 orang yang berobat ke Poliklinik Kulit dan Kelamin, 34 pasien (1,05%) diantaranya merupakan pasien psoriasis (Pane, 2013). Di poliklinik Penyakit Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah, Denpasar pada Januari hingga Desember 2014 didapatkan insiden psoriasis sebesar dari 0,51%. Psoriasis memiliki berbagai macam varian klinis (Gudjonsson dkk., 2012). Varian atau bentuk klinis psoriasis yang paling sering adalah psoriasis vulgaris yaitu sekitar 80% dari keseluruhan bentuk psoriasis. Psoriasis vulgaris ditandai dengan
2 plak eritema berbatas tegas yang ditutupi skuama berwarna putih tebal. Lesi kulit psoriasis memiliki distribusi yang simetris pada area kulit kepala, siku, lutut, dan area lumbosakral (Monteleone dkk., 2011; Langley dkk., 2012; Gudjonsson dkk., 2012). Derajat keparahan psoriasis dinilai dengan menghitung psoriasis area and severity index (PASI). Psoriasis area and severity index merupakan metode yang dikembangkan oleh Fredriksson dan Pettersson pada tahun 1978, digunakan untuk mengevaluasi hasil terapi psoriasis (Louden dkk., 2004). Metode ini membagi area tubuh menjadi empat bagian, antara lain; kepala, ekstrimitas atas, badan dan ekstrimitas bawah. Luas permukaan tubuh yang terlibat dinilai dengan metode rule of nine. Penilaian terhadap tingkat keparahan plak psoriasis berdasarkan tiga kriteria, yaitu; eritema, ketebalan lesi dan skuama (Louden dkk., 2004; Langley dkk., 2004). Berdasarkan hasil perhitungan PASI maka derajat keparahan psoriasis dibagi menjadi tiga yaitu derajat ringan, sedang dan berat (Mohamad, 2013). Peran sitokin serta beberapa sel imun seperti keratinosit dan leukosit telah banyak dibuktikan pada patogenesis psoriasis (Coimbra dkk., 2012). Studi yang berkembang saat ini menunjukan adanya peran stres oksidatif dan jalur tranduksi sinyal pada patogenesis psoriasis (Alwasiti dkk., 2011). Jalur tranduksi sinyal oleh nuclear factor кb (NF-кB) merupakan faktor transkripsi terbukti terlibat dalam perkembangan psoriasis (Zhou dkk., 2009). Faktor transkripsi ini diaktifkan oleh ROS dan sitokin, seperti: tumor necrosis factor-α (TNF-α) dan interleukin-1 (IL-1) yang menginduksi proses inflamasi, proliferasi sel dan apoptosis (Zhou dkk., 2009 dan Prasad, 2014). Nuclear factor кb pada sel keratinosit, monosit dan makrofag mengekspresikan gen yang mengkode sitokin proinflamasi seperti TNF-α, IL-1β dan IL-8 yang berperan dalam patogenesis psoriasis. Aktivitas NF-кB dapat dihambat
3 oleh seng (Zn) melalui aktivasi protein A2 yang memediasi jalur sinyal tumor necrosis factor (TNF) receptor associated factor (TRAF) dan peroxisome proliferator activated receptor (PPAR) sehingga sitokin-sitokin proinflamasi yang berperan dalam patogensis psoriasis tidak dihasilkan (Prasad, 2007). Seng sebagai trace element terlibat dalam berbagai proses seluler, berfungsi menjaga integritas membran sel dengan menurunkan pembentukan radikal bebas dan mencegah peroksidasi lipid. Seng juga berfungsi sebagai kofaktor dari metalloenzymes serta terlibat dalam sintesis protein, penyembuhan luka, pembentukan melanin dan diferensiasi keratinosit (Lee dkk., 1999; Dadras dkk. 2012; Jebory, 2012; Mohamad, 2013). Proses diferensiasi keratinosit diperankan oleh gen seng finger protein 750 (ZnF750) yang mengkode faktor transkripsi seng finger atau protein seng finger. Mutasi pada ZnF750 diduga sebagai penyebab psoriasis (Birnbaum dkk. 2011; Cohen dkk. 2012). Gen ini terletak pada kromosom 17q25 di lokus PSORS2 (Birnbaum dkk. 2011). Beberapa penelitian menunjukan adanya peran genetik seperti gen PSORS 1 pada gen kromosom 6p21, gen PSORS 2 pada kromosom 17 pada psoriasis (Lestari, 2009). Defisiensi Zn diduga sebagai penyebab psoriasis. Kadar Zn yang rendah menyebabkan terjadinya penurunan aktivitas SOD sehingga memicu stres oksidatif akibat peningkatan kadar ROS, hal ini yang diduga sebagai penyebab terjadinya psoriasis (Mohamad, 2013). Rendahnya kadar Zn plasma pada psoriasis juga diduga akibat hilangnya Zn bersamaan dengan skuama yang terlepas dari lesi psoriasis (Alwasiti dkk. 2011; Payasvi dkk. 2013; Mohamad, 2013). Status Zn dapat ditentukan dengan menggunakan beberapa parameter, seperti: konsentrasi Zn dalam darah, rambut, kuku, urin, studi isotop dan pengukuran enzim
4 yang mengandung Zn (Hidayat, 1999; Seo dkk., 2014). Konsentrasi Zn dalam darah adalah parameter yang paling sering digunakan untuk menentukan status Zn seseorang karena mudah dilakukan dan cukup akurat (Hidayat, 1999; Afridi dkk., 2011). Beberapa penelitian yang mencari hubungan kadar Zn dalam darah dengan psoriasis memberikan hasil yang bervariasi (Dadras dkk. 2012). Penelitian mengenai peran trace elements pada psoriasis ringan dan berat oleh mohamad menunjukan adanya penurunan kadar Zn dalam serum pada kelompok psoriasis dibandingankan kelompok orang yang sehat (Mohamad, 2013). Hasil penelitian tersebut didukung oleh studi yang dilakukan sebelumnya oleh Alwasiti dkk. (2011), Al-Jebory (2012) dan Payasvi dkk. (2012) terjadi penurunan kadar Zn dalam serum yang signifikan pada kelompok psoriasis vulgaris dibandingkan kontrol yang sehat. Dadras dan Ala mendapatkan hasil penelitian yang berbeda, tidak didapatkan perbedaan yang signifikan antara kadar Zn plasma pada pasien psoriasis dibandingkan dan kelompok orang sehat (Dadras dkk, 2011; Ala dkk, 2013). Berdasarkan data yang telah dipaparkan tersebut, didapatkan bahwa korelasi antara kadar seng dengan derajat keparahan psoriasis masih kontroversi. Perbedaan hasil penelitian tersebut yang mendasari untuk dilakukan penelitian untuk mengetahui korelasi antara kadar seng dengan derajat keparahan psoriasis.
5 1.2 Rumusan Masalah 1. Apakah terdapat perbedaan kadar seng plasma antara subyek psoriasis vulgaris dan bukan psoriasis vulgaris? 2. Apakah kadar seng plasma berkorelasi negatif dengan derajat keparahan psoriasis vulgaris? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum Mengetahui korelasi negatif antara kadar seng plasma dengan derajat keparahan pada subyek psoriasis vulgaris. 1.3.2 Tujuan khusus 1. Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan kadar seng plasma antara subyek psoriasis vulgaris dan bukan psoriasis vulgaris. 2. Untuk mengetahui apakah terdapat korelasi negatif antara kadar seng plasma dengan derajat keparahan psoriasis vulgaris. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat teoritis Memberikan tambahan ilmu pengetahuan mengenai peran seng pada patogenesis psoriasis yang ditandai dengan adanya perbedaan kadar seng plasma antara penderita psoriasis vulgaris dengan bukan psoriasis vulgaris.
6 1.4.2 Manfaat praktis Pemeriksaan kadar seng plasma dapat digunakan sebagai pemeriksaan tambahan dalam menilai derajat keparahan psoriasis vulgaris.