BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif observasional. Data berupa data primer yang diperoleh melalui kuesioner dan wawancara bulan Januari 2013. Subjek penelitian adalah 4 puskesmas Rawat Inap Surakarta yaitu puskesmas Banyuanyar, Puskesmas Gajahan, Puskesmas Pajang, dan Puskesmas Sibela. Puskesmas rawat inap adalah puskesmas dengan pelayanan 24 jam, untuk itu harus selalu mempertahankan kualitas pelayanan terhadap masyarakat, termasuk dalam hal penyimpanan obat agar berada di tempat yang aman dari gangguan fisik yang dapat merusak mutu obat. A. Gambaran Tenaga Kefarmasian di Puskesmas Rawat Inap Surakarta Menurut PP No. 51 tahun 2009 tentang Tenaga Kefarmasian, Tenaga Kefarmasian adalah tenaga yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian (Anonim, 2009 b ). Kegiatan pelayanan kefarmasian harus dilaksanakan oleh tenaga yang berwenang di dalamnya, agar standar pelayanan kefarmasian dapat terlaksana dengan baik. Puskesmas merupakan salah satu fasilitas kesehatan oleh karena itu standar pelayanan kefarmasian harus diterapkan untuk melindungi pasien, menjaga mutu dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Dalam hal pelayanan obat di puskesmas, tenaga kefarmasian yang ada sangatlah bervariatif antara puskesmas satu dengan yang lain. Hal ini terkait dengan cakupan wilayah kerjanya, karena puskesmas merupakan UPTD (Unit Pelaksana Teknis Daerah) yang ketenagakerjanya diatur oleh Dinas Kesehatan 25
26 Kota Surakarta. Gambaran tenaga kefarmasian di 4 Puskesmas Rawat Inap Kota Surakarta dapat dilihat pada tabel I. Tabel I. Tenaga kefarmasian di Puskesmas Rawat Inap Kota Surakarta No. Puskesmas Pengelola Obat Apoteker TTK 1. Banyuanyar 1 2 2. Gajahan - 3 3. Pajang 1 4 4. Sibela 1 4 Total 3 13 Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang Tenaga Kesehatan, sumber daya manusia untuk melakukan pekerjaan kefarmasian di puskesmas adalah Apoteker sedangkan Tenaga Teknis Kefarmasian hendaknya membantu pekerjaan Apoteker dalam melaksanakan pelayanan kefarmasian. Dari keempat puskesmas, hanya puskesmas Gajahan yang tidak mempunyai Apoteker. Puskesmas Gajahan baru mempunyai pelayanan rawat inap pada April 2010, sedangkan pada saat pembagian tugas untuk Apoteker dari Dinas Kesehatan terkait, Apoteker tersebut ditugaskan pada puskesmas lain. Seorang petugas yang berwenang dalam proses penyimpanan obat harus terlatih, bertanggung jawab dan mengerti sifat penting dari perbekalan farmasi. Untuk itu latar belakang pendidikan seorang penanggung jawab gudang adalah minimal Tenaga Teknis Kefarmasian, dengan tujuan memberikan mutu pelayanan yang baik. Ketidaksesuaian kualifikasi pendidikan dengan jenis pelayanan atau tugas, menghasilkan kinerja yang kurang optimal, seperti adanya kasus ketidaksesuaian antara pencatatan dengan kenyataan yang ada.
27 Berdasarkan hasil wawancara dengan petugas kefarmasian yang ada di puskesmas induk, jumlah tenaga kefarmasian saat ini masih belum cukup memenuhi untuk dapat mencakup semua sub unit pelayanan kefarmasian di puskesmas. Beberapa puskesmas tidak menempatkan tenaga kefarmasian pada pelayanan rawat inap, karena kurangnya sumber daya manusia. Namun ada pula yang menempatkan tenaga farmasi untuk dapat memberikan pelayanan yang optimal di setiap sub unit yang ada pada puskesmas tersebut. Pembagian tugas pada Puskesmas Gajahan yang memiliki 3 orang Tenaga Teknis Kefarmasian dalam pelayanan obat yaitu 1 orang TTK di puskesmas induk, 1 orang TTK di puskesmas pembantu dan 1 orang TTK bertanggung jawab atas puskesmas keliling. Puskesmas pembantu buka setiap hari kerja dan selama itu TTK yang bertanggung jawab harus berada di sub unit tersebut, sedangkan untuk puskesmas keliling mempunyai jadwal tugas pada hari senin sampai kamis. Semua petugas yang bertanggung jawab pada sub unit, setiap harinya memberikan laporan ke puskesmas induk. Jadwal kerja tenaga kefarmasian di Puskesmas Gajahan terbagi menjadi 2 shift yaitu shift pagi pukul 07.00-14.00 WIB dan sore pukul 14.00-17.00 WIB. Pelayanan kefarmasian di puskesmas induk dilakukan oleh 1 orang TTK, kondisi ini belum sebanding dengan jumlah pasien, maka dalam proses pelayanannya dapat dibantu oleh paramedis yang berada di puskesmas seperti perawat ataupun bidan. Sub unit rawat inap ditugaskan kepada tenaga paramedis non farmasi yang berjaga pada malam hari. Untuk penyimpanan obat yang ada di gudang obat puskesmas, tetap berada di bawah pengawasan TTK yang bertanggung jawab.
28 Pengawasan kondisi fisik, jumlah mutasi obat, penyusunan menjadi tanggung jawab tenaga kefarmasian. Puskesmas Pajang memiliki 5 tenaga kefarmasian yang terdiri dari seorang Apoteker dan 4 orang Tenaga Teknis Kefarmasian. Pembagian tugas meliputi Apoteker bertanggung jawab di puskesmas induk, 1 orang TTK bertanggung jawab atas Pustu 1, 1 orang TTK berada di pustu 2, 1 orang TTK bertanggung jawab atas pelayanan rawat inap, dan yang 1 orang TTK merangkap tugas tanggung jawab atas puskesmas keliling, pustu 3 dan panti wreda. Pembagian shift kerja pada Puskesmas Pajang yaitu untuk shift pagi hanya sampai pukul 14.00 WIB. Terkadang terdapat TTK yang bertugas pada shift sore antara pukul 14.00-21.00 WIB, dan masing-masing TTK mendapatkan jadwal shift sore antara 2 sampai 4 kali per bulannya. Untuk hari minggu juga terjadwalkan TTK yang bertugas. Untuk selebihnya dalam pelayanan kefarmasian, khususnya pada instalasi rawat inap (shift malam) digantikan oleh tenaga paramedis yang bertugas, antara lain perawat atau bidan. Puskesmas Banyuanyar memiliki 3 tenaga kefarmasian, yaitu 1 orang Apoteker dan 2 Tenaga Teknis Kefarmasian. Puskesmas induk di kelola oleh 1 orang Apoteker, 1 TTK bertanggung jawab pada puskesmas keliling dan 1 orang TTK bertanggung jawab pada puskesmas pembantu. Pembagian shift tugas pada Puskesmas Banyuanyar untuk tenaga kefarmasian hanya dijadwalkan dari pagi hingga pukul 14.00 WIB, pengelolaan obat selanjutnya berada pada bidan atau perawat yang bertugas. Untuk pelaporan dan rekap resep tetap dikerjakan oleh tenaga kefarmasian, tenaga paramedis hanya sebatas pada pengambilan dan
29 pelayanan obat pada saat sore maupun malam hari ketika tidak ada farmasis yang bertugas. Puskesmas Sibela memiliki 5 tenaga kefarmasian. Satu orang Apoteker dan 4 orang Tenaga Teknis Kefarmasian, untuk pembagian tugasnya yaitu pada puskesmas induk oleh 1orang Apoteker, 1 orang TTK di rawat inap, 1 orang TTK pada pustu 1, 1 orang TTK di pustu 2, dan 1 orang TTK di puskesmas keliling. Dalam pengelolaan gudang farmasi dan pengelolaan obat di puskesmas induk dilakukan oleh Apoteker, karena sebelumnya memang yang bertanggung jawab antara gudang farmasi puskesmas dan obat dalam unit puskesmas induk dilaksanakan oleh orang yang berbeda, karena terjadi mutasi petugas sehingga Apoteker bertanggung jawab atas 2 unit penyimpanan obat. Pembagian jadwal tugas TTK Puskesmas Sibela, dibagi menjadi 3 shift yaitu pagi pukul 07.00-14.00 WIB, sore pukul 14.00-21.00 WIB dan malam pukul 21.00-07.00 WIB. Untuk Apoteker selalu bertugas pada pagi hari. Namun jika kondisi puskesmas sangat ramai, maka petugas kefarmasian dapat dibantu oleh tenaga paramedis yang lainnya dalam pelayanan obat, biasanya pada pelayanan pagi hari. Latar belakang pendidikan tidak mutlak menjadi penghambat proses penyimpanan obat, karena ketrampilan dan pengalaman yang dimiliki dapat mencukupi. Pengetahuan dan ketrampilan tersebut dapat diperoleh dari pengalaman kerja yang cukup lama dan beberapa pelatihan yang dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan. Sesuai dengan pernyataan Muninjaya (1999) bahwa SDM yang ada perlu dibina dan dikembangkan ketrampilannya agar mereka dapat
30 bekerja lebih produktif, salah satu caranya adalah dengan mengikuti pelatihanpelatihan. Semua puskesmas mempunyai kendala yang sama yaitu terkait keterbatasan jumlah SDM, sehingga melibatkan tenaga paramedis non farmasi dalam hal pelayanan obat. Sistem pencatatan administrasi mutasi obat pada masing-masing puskesmas menggunakan sistem komputerisasi, di setiap sub unit mempunyai pencatatan yang terpisah satu dengan lain, hal ini agar memudahkan dalam pemasukan data. Untuk mengoptimalkan pelayanan terhadap masyarakat, alangkah baiknya jika dapat menambahkan jumlah tenaga kefarmasian. B. Gambaran Penyimpanan Obat Penyimpanan obat yang baik dan benar bertujuan untuk tetap menjaga mutu obat agar tetap dalam kondisi yang baik, tidak rusak, dan untuk menjaga agar penggunaan obat bertanggung jawab. Dengan adanya penyimpanan obat yang efektif dan efisien diharapkan dapat menjaga ketersediaan obat dan memudahkan pada saat pencarian dan pengawasan. 1. Fasilitas Gudang dan Kamar Obat Gudang obat puskesmas adalah tempat penyimpanan obat yang menerima obat dari Instalasi Farmasi Kota sesuai dengan permintaan yang dilakukan oleh puskesmas sebagai stok obat selama 1 bulan terhadap kebutuhan puskesmas tersebut. Kamar obat adalah tempat penataan obat untuk pelayanan obat di puskesmas. Salah satu kegiatan dalam penyimpanan obat adalah pengaturan tata letak dalam ruang penyimpanan, sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh Departemen 2
31 (Anonim, 2006). Kesesuaian luas gudang obat dengan persyaratan Depkes RI pada masing-masing puskesmas dapat dilihat pada tabel II. Tabel II. Luas Gudang Obat Puskesmas Gudang Obat Keterangan Banyuanyar Memenuhi Gajahan Memenuhi Pajang - Tidak memenuhi Sibela Memenuhi Untuk persyaratan luas gudang obat, 3 dari 4 puskesmas memenuhi persyaratan. Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan Athijah dkk., (2011) luas gudang obat puskesmas di wilayah Surabaya Timur dan Pusat yang memenuhi persyaratan sebesar 40% yaitu 8 dari 20. Luas gudang obat Puskesmas Pajang pada saat pengambilan data belum memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Depkes RI, namun perencanaan perluasan gudang sudah dalam proses dan pada bulan Februari kondisi gudang sudah memenuhi luas yang dipersyaratkan. Gudang obat tempat penataan obat sebaiknya sesuai dengan ketetapan Departemen Kesehatan RI, karena hal ini berhubungan dengan keleluasaan bergerak saat mengambil obat. Untuk dapat memberikan kemudahan dalam penyimpanan, penyusunan, pencarian, dan pengawasan perbekalan farmasi, diperlukan pengaturan tata ruang gudang yang baik. Akan tetapi dengan luas gudang yang kurang secara ukuran, tidak selalu membuat keleluasaan bergerak terganggu, karena penataan obat dapat dibuat sedemikian rupa sehingga tetap memberikan rasa nyaman. Selain itu obat yang tersimpan tidak begitu banyak, hal ini menyesuaikan dengan permintaan
32 kebutuhan pada masing-masing puskesmas berdasarkan cakupan wilayah kerjanya. Untuk memberikan kemudahan bergerak, gudang perlu ditata dengan sistem satu lantai, tidak bersekat, serta perlu memperhatikan posisi dinding dan pintu. Selain itu juga berdasarkan arus penerimaan dan pengeluaran perbekalan farmasi. Ruang gudang dapat ditata dengan sistem arus garis lurus, arus U atau arus L. Pada Puskesmas Gajahan dan Puskesmas Sibela menerapkan sistem arus U sedangkan Puskesmas Pajang dan Puskesmas Banyuanyar menerapkan sistem arus L. Hal ini dirasa tetap memberikan rasa nyaman dalam distribusi perbekalan farmasi di gudang penyimpanan. Fasilitas yang terkait keberlangsungan penyimpanan obat di puskesmas cukup memadai sesuai dengan kebutuhan yang ada, seperti adanya termometer dan higrometer. Suhu kecuali dinyatakan lain, semua suhu di dalam Farmakope dinyatakan dalam derajat Celcius dan semua pengukuran dilakukan pada suhu 25 0 C. Jika dinyatakan suhu kamar terkendali, yang dimaksud adalah suhu antara 15 0 C sampai 30 0 C (Anonim, 1997). Suhu ruang penyimpanan obat pada masingmasing puskesmas memasang suhu 25 0 C ± 5 0 dan pada suhu tersebut kelembaban berkisar pada angka 70%, terdapat tabung gas pemadam kebakaran yang diletakkan pada tempat yang mudah dijangkau, kartu stok yang membantu proses mutasi obat (penerimaan, pengeluaran, rusak atau kadaluarsa) dalam gudang obat. Untuk fasilitas dalam kamar obat, terdapat lemari obat atau etalase sebagai tempat penyusunan obat secara alfabetis dan juga berfungsi untuk penyimpanan obat serta dapat mempermudah dalam pengambilan obat.
33 Berdasarkan hasil wawancara dan penelusuran dokumen, diketahui bahwa dokumen pencatatan dan pelaporan dalam proses penyimpanan di puskesmas menggunakan LPLPO (Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat). Pengisian LPLPO berdasarkan kartu stok obat yang ada di gudang obat puskesmas. Untuk obat-obat yang rusak, pencatatan dilakukan di kartu stok obat saat stock opname. Demi terjaganya keamanan obat selama proses penyimpanan, semua puskesmas mengunci ruang penyimpanan apabila tidak dipakai dan hanya orangorang tertentu yang dapat memasuki gudang obat dan atas izin apoteker atau TTK yang bertanggung jawab terhadap gudang obat. Kunci gudang disimpan oleh penanggung jawab gudang. Selain itu, untuk menjamin mutu obat, petugas selalu mengecek kondisi fisik obat secara organoleptis (tanggal kadaluarsa, kondisi kemasan atau fisik obat), agar pada saat melakukan pelayanan, komplain pasien terhadap kondisi fisik obat yang di bawah standar, seperti tablet yang rapuh atau berubah warna, kemasan obat yang sudah rusak dapat terhindarkan dan juga memastikan obat tersimpan dalam keadaan baik. Hal ini selalu dilakukan secara berkala sesuai kebijakan masing-masing puskesmas, baik di gudang maupun kamar obat. 2. Fasilitas pendukung Dengan adanya fasilitas pendukung maka proses penyimpanan dapat dilaksakan dengan baik dan tujuan dari penyimpanan obat tercapai. Ketersediaan fasilitas pendukung yang ada di puskesmas rawat inap Surakarta dapat dilihat pada tabel III.
34 Tabel III. Fasilitas Pendukung yang Tersedia di Puskesmas Rawat Inap Kota Surakarta Puskesmas Banyuanyar Gajahan Pajang Sibela Rak/ Lemari Lemari Pendingin Lemari Narkotik /Psikotropik Kipas Angin/AC Fungsi dari rak atau lemari obat dalam penyimpanan adalah agar obat dapat tertata secara rapi dan aman. Lemari atau rak bertujuan untuk meminimalkan terjadinya kerusakan obat selama proses penyimpanan. Obat dalam rak disusun dengan pemberian informasi seperti huruf-huruf dan tersusun secara alfabetis, serta dipisahkan antara obat untuk pemakaian dalam dan obat luar. Dalam penataan obat dalam rak, nama obat diusahakan dapat jelas terbaca. Terdapat juga keterangan lain seperti kode lokasi obat-obatan yang rusak, penataannya pada rak atau tempat tersendiri. Susunan obat dalam rak juga dapat digunakan untuk membedakan bentuk sediaan yang disimpan, seperti bentuk sediaan cair diletakkan pada bagian bawah, dan untuk penyimpanan alkes juga terdapat pada rak tersendiri. Dalam penempatan rak pada gudang obat atau penempatan lemari obat pada kamar obat, diusahakan tidak menganggu pergerakan stok obat. Untuk obat-obat dengan kondisi penyimpanan khusus, harus disesuaikan dengan kondisi penyimpanan yang seharusnya agar terhindar dari kerusakan. Obat-obat termolabil seperti vaksin dan serum harus dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari cahaya matahari dan disimpan dalam lemari pendingin dengan kontrol suhu 2-8 0 C. Lemari pendingin yang digunakan pada masing-masing puskesmas adalah lemari pendingin yang seperti digunakan untuk makanan (tidak ada lemari pendingin khusus). Untuk penyimpanan vaksin menggunakan cold
35 chain khusus. Demi terjaganya suhu dalam lemari pendingin terdapat termometer dengan suhu ± 8 0 C. Pada masing-masing puskesmas, obat yang tersedia dalam lemari pendingin juga disesuaikan dengan kebutuhan. Di Puskesmas Banyuanyar terdapat methilergometrine injeksi, dulkolak suppositoria, antihemoroid suppositoria, diazepam rectal. Di Puskesmas Gajahan terdapat antihemoroid suppositoria, stesolid rectal tube, ATS, Dumin, methylergometrin injeksi. Di Puskesmas Pajang terdapat adrenalin injeksi, methilergometrine injeksi, antihemoroid suppositoria, ibuprofen suppositoria, vaksin antirabies, serum ABU. Puskesmas Sibela terdapat ibuprofen suppositoria, antihemoroid suppositoria, stesolid rectal tube, injeksi oxytosin, vitamin K, methylergometrin injeksi, ATS, anti rabies. Berdasarkan UU No. 35 Tentang Narkotika disebutkan bahwa Narkotika yang berada dalam penguasaan Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan wajib disimpan secara khusus (Anonim, 2009 c ). Penyimpanan obat psikotropik diatur dalam UU RI No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropik menyebutkan bahwa psikotropik harus disimpan dalam tempat khusus dan pendistribusiannya juga harus menggunakan resep dokter (Anonim, 1997). Narkotik maupun psikotropik dalam pengelolaannya harus membuat laporan berkala mengenai pemasukan dan pengeluaran. Di masing-masing puskesmas terdapat lemari narkotik pada setiap gudang obat. Namun mengingat bahwa kebutuhan akan obat narkotik di puskesmas tidak banyak, maka puskesmas tidak
36 mempunyai stok obat narkotik dalam penyimpanannya. Sedangkan untuk obat psikotropik, puskesmas mempunyai stok meskipun dalam jumlah sedikit. Obatobat psikotropika yang ada di puskesmas antara lain diazepam, stesolid rectal, phenobarbital. Hal ini disesuaikan dengan kebutuhan pada masing-masing puskesmas, ada puskesmas yang memang tidak mempunyai stok obat psikotropika dengan alasan bahwa obat ini termasuk dalam golongan obat slow moving. Kondisi puskesmas yang sedang mengalami kekosongan obat psikotropik hanya satu puskesmas. Karena obat tersebut sangat jarang diresepkan oleh dokter yang berada di puskesmas. Untuk antisipasi penyalahgunaan, beberapa puskesmas tidak melakukan penyetokan obat psikotropik. Hanya ketika benar-benar membutuhkan obat golongan psikotropika, segera dilakukan permintaan khusus. Salah satu upaya menghindari kerusakan fisik obat yaitu dengan adanya fasilitas pendukung berupa kipas angin atau AC, karena makin panas udara di dalam ruangan maka udara semakin lembab dan udara yang lembab dapat mempercepat kerusakan. Standar suhu dalam ruang penyimpanan, yang digunakan untuk menyimpan persediaan obat seperti misalnya cairan, tablet, kapsul, obat suntik dan lain-lain harus bertemperatur kurang lebih 25 0 C. Menurut Anonim (1995) suhu penyimpanan pada suhu kamar adalah pada suhu 15 0-30 0 C Pada setiap gudang obat Puskesmas terpasang AC dengan temperatur 25 ± 5 0 C, dipilih suhu tersebut karena disesuaikan dengan suhu ruangan, namun tetap menjaga agar udara tetap baik. Pada kamar obat dipasang kipas angin untuk menghindari kelembaban pada ruangan tersebut. Semua puskesmas menerapkan sistem seperti ini.
37 Kebersihan ruangan juga wajib dijaga agar meminimalkan kontaminasi atau pengotoran, karena ruangan yang kotor dapat mengundang tikus atau serangga lain yang dapat merusak obat. Lingkungan yang kotor juga dapat berdampak pada etiket obat atau kemasan obat yang juga terpapar kotor sehingga sulit terbaca. Untuk itu, kondisi ruangan yang bersih harus selalu dijaga dengan cara rutin membersihkan, baik lantai, dinding maupun rak tempat penyimpanan obat. Semua puskesmas dalam keadaan bersih dan tertata rapi baik pada gudang maupun kamar obat. Untuk sarana penunjang, alat akomodasi atau transportasi dan petugas pada saat pengambilan obat dari Instalasi Farmasi Kabupaten atau Kota (IFK) dinilai masih kurang, karena pemindahan menggunakan ambulance puskesmas. Pengecekan ulang setelah obat diterima di puskesmas sangat penting dilakukan, untuk memastikan kesesuaian antara obat yang dipesan dan yang diterima, baik jumlah maupun kualitasnya. 3. Penyusunan Obat Penyusunan stok obat yang sesuai prosedur dapat memudahkan dalam pencariaan, perhitungan jumlah persediaan dengan lebih akurat, mudah diawasi, serta mudah dalam pengendaliaannya (Muharomah, 2008). Sistem penyusunan penyimpanan obat di Puskesmas menggunakan gabungan antara metode FIFO dan metode FEFO. Metode FIFO (First In First Out) yaitu obat-obatan yang baru masuk diletakkan di belakang obat yang terdahulu, sedangkan metode FEFO (First Expired First Out) dengan cara menempatkan obat-obatan yang mempunyai ED (Expired Date) lebih lama diletakkan di belakang obat-obatan yang
38 mempunyai ED lebih pendek. Namun demikian semua puskesmas lebih mengutamakan metode FEFO dalam proses penyimpanan obat dalam Gudang obat, baru kemudian dilakukan metode FIFO. Hal ini disebabkan karena barang yang datang lebih awal tidak selalu mempunyai ED yang lebih panjang dibanding dengan barang yang sudah ada, oleh karena itu untuk menghindari obat yang kadaluarsa, maka penyusunan obat lebih memprioritaskan metode FEFO. Selain menggunakan metode FIFO FEFO, penyimpanan dikelompokkan berdasarkan jenis sediaan dan alfabetis. Penyusunan obat yang diterapkan pada masing-masing puskesmas rawat inap Surakarta dapat dilihat pada tabel IV. Puskesmas Tabel IV. Penyusunan Obat di Gudang Obat dan Kamar Obat Bentuk sediaan Bentuk sediaan dan kelas terapi Bentuk sediaan dan alfabetis Kelas terapi bentuk sediaan alfabetis Banyuanyar - - Gajahan - - Pajang - - Sibela - - Penyusunan obat yang digunakan pada puskesmas adalah berdasarkan bentuk sediaan dan disusun berdasarkan alfabetis, namun belum menerapkan penyusunan berdasarkan penggolongan kelas terapi. Hal ini karena keterbatasan ruang penyimpanan di gudang maupun kamar obat, sehingga belum memungkinkan apabila penyusunan obatnya berdasarkan kelas terapi, yang nantinya akan membutuhkan lebih banyak tempat untuk penataannya. Selain itu, dengan menggunakan penyusunan berdasarkan kelas terapi, berarti setiap petugas pelayanan obat atau petugas yang mengambil obat, secara tidak langsung juga harus menghafal indikasi obat yang diresepkan, untuk dapat mengetahui letak penyimpanan obat tersebut.
39 Sistem penataan berdasarkan kelas terapi belum dapat diterapkan, mengingat bahwa dalam pelayanan obat, petugas dituntut untuk cepat dalam proses pengambilan obat. Selain itu, jumlah SDM yang kurang memadai merupakan salah satu kendala, seperti pada beberapa puskesmas rawat inap yang pada malam hari dijaga oleh tenaga paramedis non farmasi, karena bukan merupakan bidangnya maka akan lebih merasa kesulitan jika penyusunan obat dilakukan berdasarkan kelas terapi. Alasan ini hampir sama antara satu puskesmas dengan puskesmas lain, dalam penataan obat hanya menerapkan sistem penyusunan obat berdasarkan bentuk sediaan dan secara alfabetis, karena memang dari Dinas Kesehatan Kota setempat tidak mengharuskan penataan obat berdasarkan kelas terapi. Tujuan dari penyusunan berdasarkan kelas terapi, yaitu agar tenaga kefarmasian dapat mengetahui indikasi dari pasien dilihat dari obat yang diperolehnya. Selain itu, apabila terdapat kesalahan pengambilan obat, obat yang diambil masih dalam indikasi yang sama. Dengan adanya penerapan penyusunan berdasarkan kelas terapi maka dapat mengoptimalkan pelayanan pharmaceutical care. Obat yang rusak atau kadaluarsa dipisahkan dan disimpan dalam kardus atau rak tersendiri, namun masih dalam gudang. Hal ini tidak sesuai prosedur (Anonim, 2003) yang menyatakan bahwa obat yang rusak atau kadaluarsa harus diletakkan di luar gudang agar diketahui dengan jelas bahwa obat tidak dapat dipakai lagi. Tiga dari empat Puskesmas Rawat Inap menerapkan sistem
40 penyimpanan obat rusak atau kadaluarsa di dalam gudang obat, karena jika disimpan di luar gudang dikhawatirkan hilang. Puskesmas Pajang mempunyai ruang tersendiri untuk penyimpanan obat yang sudah kadaluarsa. Sebelum obat kadaluarsa dipindahkan ke ruang penyimpanan obat kadaluarsa puskesmas, sementara obat kadaluarsa disimpan di gudang farmasi hingga laporan kerusakan obat di buat dan di laporkan kepada Dinas Kesehatan setempat. Ruang penyimpanan obat kadaluarsa dalam keadaan terkunci dan di bawah pengawasan Apoteker, sehingga keamanannya cukup terjaga. Untuk pemusnahan dilakukan secara bersama setelah mendapatkan instruksi dari Dinkes Kota setempat. Dengan alasan itu maka bukti fisik obat kadaluarsa disimpan di gudang, dipisahkan dan diberi keterangan. 4. Indikator dan Penjaminan Stabilitas Obat yang Disimpan Pada setiap gudang obat dan kamar obat di puskesmas terdapat jendela yang berfungsi untuk menjaga sirkulasi udara terjaga dengan baik, kondisi ruangan tidak pengap sehingga kelembaban dalam ruang penyimpanan obat tetap terjaga baik. Dengan adanya jendela maka udara dapat berganti, udara selalu bergerak setiap harinya. Namun jendela tidak difungsikan sebagaimana fungsinya, karena pada gudang obat menggunakan AC, maka kondisi jendela dalam keadaan tertutup mengingat bahwa ruangan kondisi ruang ber-ac. Fungsi dari adanya cat atau gorden pada jendela adalah untuk mencegah masuknya sinar matahari secara langsung, yang dapat mempercepat perusakan obat, terutama obat-obatan dalam bentuk cairan. Ketersediaan indikator penjamin stabilitas obat di Puskesmas dapat dilihat pada tabel V.
41 Tabel V. Ketersediaan Jendela dan Pallet Puskesmas Jendela Pallet Keterangan Banyuanyar - Jendela bercat namun tidak bergorden. Tidak terdapat pallet. Gajahan Jendela bercat dan bergorden. Terdapat pallet. Pajang Jendela bercat namun tidak bergorden. Terdapat pallet. Sibela Jendela bercat dan bergorden. Terdapat pallet. Pada puskesmas Pajang tidak memasang gorden karena posisi jendela yang berada di atas, sehingga tidak memungkinkan untuk diberi gorden, dan cara untuk mencegah masuknya sinar matahari secara langsung sehingga mengakibatkan rusaknya obat, maka pada bagian yang berdekatan dengan jendela tidak digunakan untuk menyimpan obat, khususnya obat-obat yang sangat terpengaruh oleh sinar matahari. Ruangan penyimpanan yang bersih maka akan bebas dari hama atau serangga yang dapat merusak obat selama penyimpanan. Karena dikhawatirkan dengan adanya hama atau hewan pengerat dalam ruang penyimpanan dapat meninggalkan kotoran yang mengandung bakteri yang merugikan, sehingga dapat mencemari obat, selain itu membuat bau dan kotor tempat penyimpanan obat. Untuk itu dalam ruang penyimpanan obat disamping harus bersih juga harus bebas dari hama atau serangga. Dari 4 puskesmas tidak terdapat hama dalam gudang penyimpanan ataupun kamar obat. Untuk menanggulangi penyimpanan obat dalam jumlah besar, maka penyimpanan dapat menggunakan pallet, fungsi pallet adalah sebagai alas berupa papan yang digunakan untuk meletakkan tumpukan kardus obat yang diletakkan di lantai. Hal ini bertujuan untuk menghindari kelembaban dan pengotor apabila
42 langsung diletakkan di lantai. Beberapa keuntungan dalam penggunaan pallet adalah dapat digunakan dalam peningkatan efisiensi penanganan stok, sirkulasi udara dari bawah tetap terjaga baik, dapat menampung perbekalan farmasi yang lebih banyak serta lebih murah dibandingkan dengan rak. Pada puskesmas Banyuanyar tidak memiliki pallet dikarenakan pada penyimpanannya tidak ada tumpukan kardus yang diletakkan di lantai, sehingga semua obat berada dalam rak penyimpanan. 5. Waktu pengecekan Penjaminan mutu obat dilakukan dengan cara pengecekan secara berkala obat-obat yang disimpan dalam gudang obat atau kamar obat. Setiap puskesmas melakukan pengamatan mutu obat pada gudang obat secara berkala, paling tidak setiap pekan. Pengecekan di gudang obat pada masing-masing puskesmas rawat inap Surakarta bervariatif, dapat dilihat pada tabel VI. Puskesmas Tabel VI. Pengecekan Kondisi Obat di Gudang Obat Setiap hari Setiap pekan Setiap bulan Setiap 2 bulan Setiap 3 bulan Setiap ambil obat Tidak dicek Banyuanyar - - - - - Gajahan - - - - - Pajang - Sibela - - - - - Perbedaan jangka waktu pengecekan obat antar satu puskesmas dengan puskesmas lain adalah karena hal ini sesuai dengan kondisi dan kebijakan dari masing-masing petugas pengelola obat. Waktu yang sering digunakan dalam pengecekan obat di gudang obat yaitu setiap pekan, karena terkadang untuk mengecek tiap harinya terlalu menghabiskan banyak waktu, dan anggapan bahwa terlalu singkat untuk dilakukan pengecekan kembali. Namun dengan pengecekan
43 tiap harinya juga dapat dilakukan agar kondisi fisik obat benar-benar terjaga baik dari hari ke hari. Pengamatan kondisi fisik obat berkaitan dengan mutu obat tersebut. Mutu obat yang disimpan dapat mengalami perubahan baik secara fisik maupun kimia, oleh karenanya perlu diketahui tanda-tanda kerusakan obat dengan beberapa cara, antara lain dengan melihat kondisi fisik obat secara visual. Pengamatan yang paling sering dilakukan adalah dengan pengecekan tanggal kadaluwarsanya, apabila sudah mendekati waktu kadaluwarsa maka perlakuan obat harus disendirikan atau diberikan tanda khusus. Penandaan dengan kartu berwarna merah yang berarti obat dalam jangka waktu < 3 bulan kadaluarsa dan untuk kartu warna kuning yang berarti obat dalam waktu < 6 bulan kadaluarsa. Pengecekan tanggal kadaluarsa digunakan sebagai kontrol ke masingmasing sub unit atau poliklinik, obat-obat yang harus segera dikeluarkan di tuliskan sebagai peringatan pada masing-masing unit. Bahkan ada puskesmas yang sudah tidak menggunakan obat yang masa ED-nya sudah dekat, hal ini menghindari konsumsi obat oleh pasien dengan pemakaian obat jangka panjang yang menerima obat yang hampir kadaluwarsa, sehingga dikhawatirkan obat sudah menjadi kadaluwarsa. Kondisi obat juga dapat diamati dari kemasan yang sudah rusak. Penyimpanan obat yang benar adalah obat tetap tersimpan dalam kemasan aslinya untuk meminimalkan kerusakan. Masing-masing bentuk sediaan obat mempunyai ciri tersendiri dalam pengamatan mutu fisik obat. Untuk tablet terjadinya perubahan warna, bau dan rasa serta lembab merupakan salah satu indikasi
44 kerusakan tablet. Sediaan kapsul dapat diamati dari cangkang yang sudah rusak (terbuka) atau saling melekat antara satu sama lain. Cairan dapat dilihat dari kekeruhan ataupun konsistensi cairan tersebut. Sediaan semi solid dari perubahan konsistensi. Untuk sediaan injeksi bila terjadi kebocoran, terdapat benda asing dalam cairan. Pada tahun 1979, Komite Ahli WHO spesifikasi sediaan farmasi, menyampaikan bahwa bagian yang harus diperhatikan pada pemastian mutu adalah penyimpanan. Hal ini dijelaskan lebih jauh bahwa penyimpanan yang tidak memadai dapat menyebabkan kerusakan fisik dan penguraian kimia, yang dapat menyebabkan penurunan aktivitas dan bahkan pembentukan produk degenerasi yang kemungkinan berbahaya. Di waktu berikutnya seperti aspek-aspek lain seperti ketidakstabilan mikrobiologi dan hal-hal yang mengganggu bioavailabilitas mulai dipertimbangkan (Syahputri, 2006). Proses penyimpanan obat di puskesmas rawat inap Surakarta, secara umum sudah sesuai dengan pedoman penyimpanan yang ditetapkan oleh Depkes RI. Terkait fasilitas pendukung penyimpanan akan lebih baik bila segera dilengkapi untuk mendukung berjalannya proses penyimpanan agar lebih optimal. Penggunaan sistem penyusunan obat dapat disesuaikan dengan banyaknya obat dan jenis obat yang tersimpan, sehingga metode penyusunan yang digunakan lebih efektif dan efisien. Meskipun untuk pengontrolan setiap pekannya obat dalam keadaan stabil, akan lebih baik bila pengecekan kondisi fisik obat dilakukan setiap hari.
45 C. Keterbatasan Penelitian Beberapa hal yang menjadi keterbatasan penelitian ini adalah: 1. Pengumpulan data menggunakan angket diisi terlebih dahulu kemudian melakukan survey langsung, sehingga terdapat beberapa yang kurang sesuai. 2. Ada sebagian responden kesulitan dalam menyediakan waktu untuk wawancara karena kesibukannya, sehingga proses wawancara kurang nyaman dan untuk menggali informasi secara lebih mendalam tidak ditanyakan.