Jurnal KELAUTAN, Volume 4, No.1 April 2011 ISSN :

dokumen-dokumen yang mirip
KAJIAN SITOLOGI DAN RENDEMEN KARAGINAN Kappaphycus alvarezii HASIL KULTUR JARINGAN PADA PERLAKUAN ph YANG BERBEDA

Volume 6, No. 2, Oktober 2013 ISSN:

Pengaruh Salinitas yang Berbeda terhadap Morfologi, Ukuran dan Jumlah Sel, Pertumbuhan serta Rendemen Karaginan Kappaphycus alvarezii

Kata kunci : pencahayaan matahari, E. cottonii, pertumbuhan

PENGEMBANGAN KULTUR JARINGAN UNTUK MENGHASILKAN BIBIT RUMPUT LAUT (Kappaphycus alvarezii) Specific Pathogen Free (SPF).

Oleh : ONNY C

LAJU KECEPATAN PENYERANGAN ICE-ICE PADA RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii DI PERAIRAN BLUTO SUMENEP MADURA

Dampak Infeksi Ice-ice dan Epifit terhadap Pertumbuhan Eucheuma cottonii

Volume 6, No. 2, Oktober 2013 ISSN:

Keywords : infection, ice-ice, Kappaphycus alvarezii

Dampak Infeksi Ice-ice dan Epifit terhadap Pertumbuhan Eucheuma cottonii

BAB I PENDAHULUAN. satunya adalah rumput laut. Menurut Istini (1985) dan Anggraini (2004),

I. PENDAHULUAN. Rumput laut atau seaweeds adalah tanaman air dikenal dengan istilah alga atau

IDENTIFIKASI SPESIES ALGA KOMPETITOR Eucheuma cottonii PADA LOKASI YANG BERBEDA DI KABUPATEN SUMENEP

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Seaweed dalam dunia perdagangan dikenal sebagai rumput laut, namun

IV METODOLOGI. Pendidikan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga Surabaya.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

TUGAS LINGKUNGAN BISNIS KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS BUDIDAYA RUMPUT LAUT

Gambar di bawah ini memperlihatkan bentuk rumput laut segar yang baru dipanen (a. Gracillaria, b. Kappaphycus, c. Sargassum) Rumput laut segar

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu sumberdaya hayati laut Indonesia yang cukup potensial adalah

PERTUMBUHAN EKSPLAN RUMPUT LAUT, Gracillaria verrucosa HASIL KULTUR JARINGAN DENGAN KEPADATAN TEBAR BERBEDA DI TAMBAK

STUDI LAJU PERTUMBUHAN RUMPUT LAUT Euchema spinosum DAN Eucheuma cottoni DI PERAIRAN DESA KUTUH, KECAMATAN KUTA SELATAN, KABUPATEN BADUNG-BALI

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Sam Ratulangi. Jl. Kampus Unsrat Bahu, Manado 95115, Sulawesi Utara, Indonesia.

Pengaruh Berat Bibit Awal Berbeda terhadap Pertumbuhan Kappaphycus alvarezii di Perairan Teluk Tomini

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil

Prosiding Seminar Nasional Tahunan Ke-V Hasil-Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan

Laju Pertumbuhan Rumput Laut Gracilaria sp dengan Metode Rak Bertingkat di Perairan Kalianda, Lampung Selatan

3. METODOLOGI PENELITIAN

Prarencana Pabrik Karagenan dari Rumput Laut Eucheuma cottonii I-1

DAMPAK FAKTOR EKOLOGIS TERHADAP SEBARAN PENYAKIT ICE-ICE

PENGARUH PERBEDAAN STRAIN RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii TERHADAP LAJU PERTUMBUHAN SPESIFIK. Dodi Hermawan 1) ABSTRACT

TINJAUAN PUSTAKA. Kappaphycus alvarezii sering juga disebut cottonii, merupakan jenis rumput laut

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii PADA KEDALAMAN PENANAMAN YANG BERBEDA

I. PENDAHULUAN. Rumput laut merupakan sumber utama penghasil agar-agar, alginat dan karaginan

BAB I PENDAHULUAN. menjaga keseimbangan ekosistem perairan (Komarawidjaja, 2005).

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 45 hari dengan menggunakan 4 perlakuan yakni perlakuan A (Perlakuan dengan

V. TINJAUAN UMUM RUMPUT LAUT DI INDONESIA

Produksi bibit rumput laut kotoni (Eucheuma cottonii) Bagian 1: Metode lepas dasar

Pertumbuhan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perbedaan kedalaman dan berat awal di perairan Talengen Kabupaten Kepulauan Sangihe

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

KOMUNIKASI RINGKAS. PERTUMBUHAN SPORA RUMPUT LAUT Gracilaria verrucosa SECARA IN VITRO DENGAN PENAMBAHAN HORMON PENGATUR PERTUMBUHAN PADA TANAMAN

DAMPAK FAKTOR EKOLOGIS TERHADAP SEBARAN PENYAKIT ICE-ICE

Nikè: Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. Volume II, Nomor 1, Maret 2014

PRODUKSI Gracilaria verrucosa YANG DIBUDIDAYAKAN DI TAMBAK DENGAN BERAT BIBIT DAN JARAK TANAM YANG BERBEDA

II. TINJAUAN PUSTAKA

1. PENDAHULUAN. berkembang pada substrat dasar yang kuat (Andi dan Sulaeman, 2007). Rumput laut

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tumbuhan berklorofil. Dilihat dari ukurannya, rumput laut terdiri dari jenis

KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA

PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

PERTUMBUHAN RUMPUT LAUT (Kappaphycus alvarezii) PADA KEDALAMAN BERBEDA DI PERAIRAN TELUK LAIKANG KABUPATEN TAKALAR

Buletin Teknologi Hasil Perikanan Vol VII Nomor 1 Tahun 2004

STRUKTUR KOMUNITAS MAKRO ALGA DI PESISIR PULAU KECAMATAN BULANG. Notowinarto, Ramses Firdaus dan Mulhairi

RESPONS PERTUMBUHAN TANAMAN ANGGREK (Dendrobium sp.) TERHADAP PEMBERIAN BAP DAN NAA SECARA IN VITRO

I. PENDAHULUAN. internasional. Menurut Aslan (1991), ciri-ciri umum genus Eucheuma yaitu : bentuk

Sri Widyastuti Program Studi Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Mataram

TATA CARA PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur In Vitro Fakultas

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat

A ALISIS KELAYAKA LOKASI BUDIDAYA RUMPUT LAUT DI PERAIRA TELUK DODI GA KABUPATE HALMAHERA BARAT

KULTUR JARINGAN RUMPUT LAUT (Gracillaria sp.) DARI SUMBER TALLUS YANG BERBEDA LOKASI

Torani (Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan) Vol.24 (1) April 2014: ISSN:

3 METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Materi Uji

TINJAUAN PUSTAKA. Taksonomi Rumput Laut

ANALISIS KELAYAKAN USAHA BUDIDAYA RUMPUT LAUT DI DESA MALLASORO KECAMATAN BANGKALA KABUPATEN JENEPONTO

PENDAHULUAN. Latar Belakang

Produksi rumput laut kotoni (Eucheuma cottonii) Bagian 2: Metode long-line

Pertumbuhan Rumput Laut

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

PERBEDAAN MUSIM TANAM TERHADAP PERFORMA BUDIDAYA EMPAT VARIAN RUMPUT LAUT EUCHEUMATOIDS DI TELUK GERUPUK, NUSA TENGGARA BARAT

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. memberikan beberapa kontribusi penting bagi masyarakat Indonesia. sumber daya alam dan dapat dijadikan laboratorium alam.

BAB I PENDAHULUAN. luas dan kaya akan sumber daya alam salah satunya adalah rumput laut. Rumput

ABSTRAK. Kata kunci : Eucheuma spinosum, ekstraksi, iota karaginan

II. TINJAUAN PUSTAKA. kali di terjemahkan seaweed bukan sea grass yang sering di sebut dengan

SEMNAS ENTREPRENEURSHIP Juni 2014 Hal:

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitaian ini di lakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Tumbuhan

3. METODE PENELITIAN

REGENERASI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii (Doty) MELALUI INDUKSI KALUS DAN EMBRIO DENGAN PENAMBAHAN HORMON PERANGSANG TUMBUH SECARA IN VITRO

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki sekitar pulau

KANDUNGAN KLOROFIL, FIKOERITRIN DAN KARAGINAN PADA RUMPUT LAUT Eucheuma spinosum YANG DITANAM PADA KEDALAMAN YANG BERBEDA

PENINGKATAN LAJU PERTUMBUHAN THALLUS RUMPUT LAUT

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan Pada bulan Februari - Maret 2015 di Balai

Pemanfaatan jenis sumberdaya hayati pesisir dan laut seperti rumput laut dan lain-lain telah lama dilakukan oleh masyarakat nelayan Kecamatan Kupang

MATERI DAN METODE PENELITIAN. A. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. jenis rumput laut yang sangat tinggi. Hasil produksi rumput laut masih sebatas

BAB III METODE PENELITIAN. Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Maulana

III. TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur In vitro Fakultas

Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang

BAHAN DAN METODE. Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini dimulai pada bulan

MENGENAL LEBIH DEKAT PENYAKIT LAYU BEKTERI Ralstonia solanacearum PADA TEMBAKAU

Kapasitas Penyerapan dan Penyimpanan Air pada Berbagai Ukuran Potongan Rumput Laut Sargassum sp sebagai Bahan Pupuk Organik

Produksi bibit rumput laut kotoni (Eucheuma cottonii) - Bagian 2: Metode longline

TUGAS KULIAH PAPER TEKNOLOGI PRODUKSI BENIH Teknologi Pembibitan Anggrek melalui Kultur Jaringan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang kebutuhan bahan bakarnya

Kata kunci: alga coklat, agar, rumput laut, agarofit dan kekuatan gel Keywords: brown algae, agarseaweed, agarophyte and gel strength

Bibit rumput laut kotoni (Eucheuma cottonii )

KAJIAN SIFAT FISIKA-KIMIA KARAGINAN DARI RUMPUT LAUT JENIS EUCHEUMA SP DI PERAIRAN SULAWESI SELATAN

Transkripsi:

KAJIAN PERTUMBUHAN Kappaphycus alvarezii HASIL KULTUR JARINGAN PADA PERLAKUAN SUHU YANG BERBEDA Apri Arisandi 1, Marsoedi 2, Happy Nursyam 3, Aida Sartimbul 4 1) Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo Madura Jl. Raya Telang No. 2 Kamal-Bangkalan 1) Program Pasca Sarjana, Universitas Brawijaya 2,3) Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Universitas Brawijaya 4) Jurusan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Kelautan Universitas Brawijaya JL. Veteran, Malang 65145 E-mail :apri.arisandi@trunojoyo.ac.id ABSTRAK Saat ini awal dan akhir periode budidaya rumput laut sudah tidak dapat dipastikan lagi karena mengalami pergeseran yang diduga akibat perubahan iklim global. Hal tersebut mengakibatkan gagal panen dan rendahnya rendemen karaginan. Salah satu cara untuk mengetahui dampak perubahan iklim terhadap budidaya rumput laut (Kappaphycus alvarezii) adalah dengan mengkaji parameter kualitas air yang mempengaruhi pertumbuhannya yaitu suhu. Melalui penelitian ini diharapkan diperoleh temuan baru mengenai pengaruh suhu terhadap pertumbuhan rumput laut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, Kappaphycus alvarezii yang diberi perlakuan suhu 20 0 C, 25 0 C, 30 0 C, 35 0 C dan 40 0 C tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap rata-rata pertumbuhan hariannya. Kata kunci: suhu, pertumbuhan, Kappaphycus alvarezii PENDAHULUAN Rumput laut merupakan makroalga dan salah satu kelompok sumberdaya hayati laut yang sangat potensial. Terdapat sekitar 18.000 jenis makroalga di seluruh dunia dan 25 jenis diantaranya diketahui memiliki nilai ekonomi (Sulistyowati, 2003). Di Indonesia terdapat sekitar 555 jenis rumput laut dan empat jenis dikenal sebagai komoditi ekspor yaitu Eucheuma sp., Gracillaria sp., Gelidium sp., dan Sargassum sp. Diantara jenis-jenis tersebut yang telah dibudidayakan adalah Eucheuma sp dan Gracilaria sp. Rumput laut dimanfaatkan secara luas baik dalam bentuk "raw material", bentuk hasil olahan atau bahan baku dalam bidang farmasi, kosmetik dan industri lainnya (Ricohermoso, Bueno and Sulit, 2007; Zairion, 2009). Rumput laut yang tergolong Rhodophyceae beberapa diantaranya mengandung bahan yang cukup penting yaitu karaginan yang terdapat di dinding selnya. Carragenophyta adalah kelompok penghasil karagenan dari kelompok Rhodophyceae. Kelompok tersebut adalah Chondrus, Gigartina, Eucheuma dan Hypnea. Karaginan merupakan suatu jenis galaktan dan berbentuk garam bila bereaksi dengan sodium, kalsium dan potassium, umum digunakan pada industri makanan, khususnya sebagai emulsifier pada industri minuman(ricohermoso, Bueno and Sulit, 2007). 77

Spesies rumput laut penghasil karaginan yang banyak dibudidayakan di Indonesia adalah E. cottonii dan E. spinosum, E. denticulatum dan E. edule. Dari ke empat spesies tersebut yang paling banyak dibudidayakan adalah E. cottonii. Menurut Rudolph (2000) in Montolalu, Watung, Onibala, Tashiro, Matsukawa and Ogawa (2008) E. cottonii atau simply cottonii merupakan sebutan dalam dunia perdagangan bagi spesies rumput laut Kappaphycus alvarezii. Secara alami rumput laut hidup di perairan laut yang dangkal dari intertidal sampai daerah subtidal atau perairan paparan dan tubir dengan kedalaman 0,5 10 meter. Rumput laut memerlukan sinar matahari untuk fotosintesis, memerlukan ph untuk pertumbuhan 6 9 (ph optimal 7,5-8,0) dan salinitas 28-34 g/kg. Rumput laut tumbuh baik pada kisaran suhu 27 30 o C, sehingga kandungan karaginannya tinggi (Prajapati, 2007; Parenrengi, Suryati, Syah, 2007). Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Bulboa and Paula (2005), Thirumaran and Anantharaman (2009) bahwa pada suhu kurang dari 20 o C Kappaphycus alvarezii akan mengalami kematian, sedangkan pada suhu 21 o C-30 o C rata-rata pertumbuhan hariannya (DGR) sekitar 5-6%. Menurut Amiluddin (2007) thallus akan menguning dan rumput laut mengalami kematian pada suhu sekitar 35 o C. Saat ini awal dan akhir periode budidaya rumput laut sudah tidak dapat dipastikan lagi karena mengalami pergeseran yang diduga akibat perubahan iklim global. Hal tersebut mengakibatkan gagal panen dan rendahnya rendemen karaginan. Salah satu cara untuk mengetahui dampak perubahan iklim terhadap budidaya rumput laut (Kappaphycus alvarezii) adalah dengan mengkaji parameter kualitas air yang mempengaruhi pertumbuhannya yaitu suhu. Melalui penelitian ini diharapkan diperoleh temuan mengenai pengaruh suhu terhadap rata-rata pertumbuhan harian rumput laut. METODE PENELITIAN Tempat dan waktu Penelitian dilaksanakan selama 2 bulan mulai bulan Juli sampai bulan September 2010. Tempat kultur jaringan di laboratorium kultur jaringan Jurusan Biologi Fakultas Mipa Universitas Brawijaya. Analisis kualitas karaginan dilaksanakan di Laboratorium Penelitian dan Konsultasi Industri Balai Penelitian dan Konsultasi Industri Surabaya. Bahan dan alat Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah rumput laut spesies Kappaphycus alvarezii, yang diperoleh dari hasil pembibitan kelompok tani nelayan di kecamatan Bluto kabupaten Sumenep. Media untuk kultur jaringan yaitu media air laut buatan dan media conway. Alat-alat yang digunakan untuk proses kultur jaringan adalah: akuarium, thermostat, waterbath, botol kaca, ph meter, refraktometer, thermometer, gelas ukur, sterilizer dan laminar flow. Tahap pelaksanaan Tahapan yang dilakukan dalam melakukan teknik kultur jaringan adalah: 1) Pembuatan media conway dan air laut buatan. Media conway adalah media kultur jaringan yang berupa cairan, biasa digunakan untuk mengkultur sel tanaman air. Air laut buatan biasa digunakan untuk memelihara sumber eksplan 78

setelah diambil dari lapang dan ditempatkan di akuarium dalam laboratorium (Subagiyo, 2003). Media conway yang telah siap ditempatkan dalam botol-botol kaca. 2) Pengambilan eksplan, bagian Kappaphycus alvarezii yang sering digunakan untuk kegiatan kultur jaringan adalah ujung thallus yang bertunas banyak dipotong sepanjang 10 cm (Suryati, Redjeki, Tenriulo dan Rosmiati, 2007). 3) Melakukan sterilisasi alat dan eksplan, peralatan disterilkan menggunakan etanol yang disemprotkan merata pada peralatan. Eksplan yang akan dikultur juga disterilisasi melalui tiga tahapan. 4) Penanaman eksplan pada media. Eksplan di potong menjadi 0,5 cm selanjutnya ditanam pada masing-masing botol sesuai perlakuan. Kegiatan ini dilakukan di laminar flow, perlakuan suhu masingmasing 3 botol, ditempatkan pada ruang bersuhu 20 o C, 25 o C, 30 o C, 35 o C dan 40 O C. Botol kaca yang telah ditanami eksplan diletakkan pada rak di tempat yang steril. 5) Apabila eksplan menunjukkan adanya pertumbuhan tunas, berarti proses kultur jaringan yang dilakukan mulai berjalan dengan baik. Pengamatan dilakukan setiap hari selama 14 hari untuk melihat pertumbuhan dan perkembangan tunas serta melihat adanya kontaminasi bakteri atau jamur. Eksplan dan media yang terkontaminasi diganti dengan yang baru. 6) Pada hari ke 15 dilakukan perhitungan terhadap pertumbuhannya. Data hasil perhitungan rata-rata pertumbuhan harian dianalisis secara statistik dan ditampilkan dalam bentuk tabel dan gambar, untuk mengetahui pengaruhnya akibat perlakuan yang diberikan. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengamatan pertambahan berat eksplan Kappaphycus alvarezii setelah dikultur jaringan selama 14 hari juga dilakukan, untuk menguatkan dugaan dan hasil yang diperoleh setelah pengamatan morfologi sel dan perhitungan jumlah sel. Hasil pengukuran berat eksplan Kappaphycus alvarezii yang dilakukan saat awal dan akhir penelitian disajikan pada Tabel 1. Selanjutnya untuk mengetahui pengaruh perlakuan suhu terhadap pertumbuhan eksplan Kappaphycus alvarezii, maka dilakukan perhitungan rata rata pertumbuhan hariannya (ADG) yang disajikan pada Tabel 2. ADG merupakan cerminan peningkatan persentase berat ratarata individu per hari selama jangka waktu tertentu (Amin, Rumayar, Femmi, Keemur and Suwitra, 2008). Tabel 1. Pertambahan berat eksplan pada suhu yang berbeda Perlakuan ( 0 C) Ulangan Berat awal (mg) Berat akhir (mg) 20 1 5,032 54,9 2 5,032 68,6 3 5,032 61,3 25 1 5,032 50,4 2 5,032 55,8 3 5,032 59,5 30 1 5,032 60,0 2 5,032 61,3 3 5,032 47,5 35 1 5,032 77,9 2 5,032 58,3 3 5,032 70,3 40 1 5,032 80,7 2 5,032 58,2 3 5,032 55,5 79

Tabel 1. Rata-rata pertumbuhan harian (ADG) Kappaphycus alvarezii yang diberi perlakuan suhu Perlakuan Ulangan Rata-rata 1 2 3 (%) A.20 0 C 5,73 7,43 6,57 6,58 B.25 0 C 6,78 7,56 8,05 7,46 C.30 0 C 8,12 8,28 6,33 7,58 D.35 0 C 8,41 6,19 7,65 7,41 E.40 0 C 8,68 6,18 5,82 6,89 Jumlah 33,92 Data dari Tabel 2 selanjutnya dianalisis secara statistik. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa suhu tidak berpengaruh nyata terhadap ADG eksplan Kappaphycus alvarezii (p>0.05). Hal tersebut juga terlihat dari hasil perhitungan masing masing perlakuan yang menunjukkan selisih nilai ADG tidak terlalu besar (Gambar 1). Gambar 1. Rata-rata pertumbuhan harian (ADG) Kappaphycus alvarezii Selisih nilai ADG Kappaphycus alvarezii yang ditunjukkan pada Gambar 1 sangat kecil, walaupun kisaran level perlakuan suhu yang diberikan cukup tinggi yaitu 20 0 C sampai 40 0 C. Waktu kultur jaringan selama 14 hari dengan suhu cukup rendah (20 0 C) dan suhu tinggi (40 0 C) menunjukkan bahwa, eksplan Kappaphycus alvarezii masih dapat hidup dan tumbuh menyamai pertumbuhan eksplan Kappaphycus alvarezii pada kisaran suhu optimal yaitu 25 0 C sampai 30 0 C. Diduga karena Kappaphycus alvarezii mempunyai kemampuan beradaptasi yang cukup baik pada kondisi suhu tersebut hingga batas waktu tertentu. Seperti yang diungkapkan oleh Lobban and Harrison (1995) bahwa alga sebagai tumbuhan air, akan mengandalkan kemampuannya dalam memproduksi senyawa-senyawa khusus untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Hal tersebut terkait dengan adaptasi lingkungan fisika, kimia dan biologinya. Oleh karena itu kandungan senyawa aktif di dalam alga akan berfluktuasi mengikuti perubahan lingkungannya. Secara statistik perlakuan suhu tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap ADG Kappaphycus alvarezii, tetapi pada suhu 20 0 C nilai ADG relatif paling rendah apabila dibandingkan dengan perlakuan suhu yang lain. Diduga relatif kecilnya ukuran dan jumlah sel rata-rata akibat suhu yang terlalu dingin, pada akhirnya berpengaruh terhadap pertumbuhan 80 Kappaphycus alvarezii. Seperti yang dinyatakan oleh Juwono dan Juniarto (2003), bahwa pertumbuhan makhluk hidup ditandai dengan semakin bertambah besarnya sel yang menyusun jaringan hingga mencapai ukuran tertentu dan selanjutnya mengalami perbanyakan melalui pembelahan sel. KESIMPULAN Kappaphycus alvarezii yang diberi perlakuan suhu 20 0 C, 25 0 C, 30 0 C, 35 0 C dan

40 0 C tidak menunjukkan perbedaan ratarata pertumbuhan harian yang nyata. DAFTAR PUSTAKA Amiluddin, N. M. 2007. Kajian Pertumbuhan dan Kandungan Karaginan Rumput Laut Kappaphycus alvarezii yang Terkena Penyakit Iceice Di Perairan Pulau Pari Kepulauan Seribu. Tesis. IPB. Bogor. 78 hal. Bulboa, C. R, and Paula, E. J. 2005. Introduction of Non-Native Species of Kappaphycus (Rhodophyta, Gigartinales) in Subtropical Waters: Comparative Analysis of Growth rates of Kappaphycus alvarezii and Kappaphycus striatum in vitro and in The Sea in South-Eastern Brazil. Phycological Research; 53: 183-188. Juwono dan Juniarto, A.Z. 2002. Biologi Sel. Penerbit Buku Kedokteran. EGC. Semarang. 98 hal. Lobban, C. S and Harrison, P. J. 1995. Seaweed Ecology and Physiology. Cambridges University Press. 366 pp. Montolalu, R.I., Watung, A.H., Onibala, H., Tashiro, Y., Matsukawa, S., and Ogawa, H. 2008. Molecular Characteristics and Gel Properties of Carrageenan from Kappaphycus alvarezii, Indonesia Seaweed. Tokyo University of Marine Science and Technology. Japan. 2 pp. Parenrengi, A., Suryati, E., Syah, R. 2007. Penyediaan Benih dalam Menunjang Kebun Bibit dan Budidaya Rumput Laut Kappaphycus alvarezii. Makalah Simposium Nasional Riset Kelautan dan PerikananDepartemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 12 hal. Prajapati, S. 2007. Carrageenan: A Naturally Occurring Routinely Used Excipient. Source: H. Porse, CP Kelco. ApS, 2002, pers.comm Ricohermoso, M.A., Bueno, P.B., Sulit, V.T. 2007. Maximizing Opportunities in Seaweeds Farming. MCPI/NACA/SEAFDEC. 8 pp. Subagiyo. 2003. Perbanyakan Benih Rumput Laut dengan Teknik Kultur Jaringan. Program Community College. Industri Kelautan dan Perikanan. Undip. Semarang. 8 hal. Sulistyowati, H. 2003. Struktur Komunitas Seaweed (Rumput Laut) Di Pantai Pasir Putih Kabupaten Situbondo. Juranl Ilmu Dasar. Vol. 4. No. 1, hal. 58-61. Suryati, E., Redjeki, S., Tenriulo, A., dan Rosmiati. 2007. Perbaikan Kualitas Genetik Benih Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Melalui Fusi Protoplas. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau. 12 hal. Thirumaran, G and Anantharaman, P. 2009. Daily Growth Rate of Field Farming Seaweed Kappaphycus alvarezii (Doty) Doty ex. P. Silva in Vellar Estuary. World Journal of Fish and Marine Sciences 1(3): 144-153. Zairion. 2009. Biomorfologi Rumput Laut. Makalah Pelatihan Dasar Tingkat Ahli. Pusat Karantina Ikan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Bogor. 18 hal. 81