BAB III ISU STRATEGIS

dokumen-dokumen yang mirip
Bab PENDAHULUAN LAKIP BADAN LINGKUNGAN HIDUP PROV. JATIM

Laporaran Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah

BAB II EVALUASI PELAKSANAAN RENCANA KERJA TAHUN 2012

ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI

Perencanaan Perjanjian Kinerja

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Ikhtisar Eksekutif TUJUAN PEMBANGUNAN LINGKUNGAN HIDUP

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

STATUS LINGKUNGAN HIDUP KOTA DENPASAR TAHUN 2008

BAB I. PENDAHULUAN. sebagai sebuah pulau yang mungil, cantik dan penuh pesona. Namun demikian, perlu

I. PENDAHULUAN. mangrove. Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan

SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA BAB II. PELESTARIAN LINGKUNGAN

BAB V RENCANA PROGRAM, KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA DAN KELOMPOK SASARAN

LAMPIRANSURAT UJI VALIDITAS SD MANGUNSARI 05 SALATIGA

5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan

DATA MINIMAL YANG WAJIB DITUANGKAN DALAM DOKUMEN INFORMASI KINERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. negara yang memiliki kawasan pesisir yang sangat luas, karena Indonesia

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman

DAFTAR ISI. Kata Pengantar. Daftar Isi. Daftar Tabel. Daftar Gambar

Contoh Makalah Penelitian Geografi MAKALAH PENELITIAN GEOGRAFI TENTANG LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA

Kata kunci: Fungsi hutan, opini masyarakat, DAS Kelara

BAB V RENCANA PROGRAM, KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA DAN KELOMPOK SASARAN

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 6. PERAN MANUSIA DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGANLatihan Soal 6.2

TIPOLOGI EKOSISTEM DAN KERAWANANNYA

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

SD kelas 6 - ILMU PENGETAHUAN ALAM BAB 10. PELESTARIAN LINGKUNGANLaihan soal 10.3

2. Berikut ini beberapa contoh yang dapat menyebabkan hutan terbakar.

Geografi PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUN BERKELANJUTAN I. K e l a s. xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013. A. Kerusakan Lingkungan Hidup

3. Pelestarian makhluk hidup dapat memberikan keuntungan ekonomi kepada masyarakat berupa

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan BAB III Urusan Desentralisasi

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

PENDAHULUAN. Latar Belakang

JUDUL OBSERVASI ALIRAN DAS BRANTAS CABANG SEKUNDER BOENOET. Disusun oleh : Achmad kirmizius shobah ( )

BAB I PENDAHULUAN. meningkatnya aktivitas industri akan memberikan dampak terhadap kondisi

PENGELOLAAN DAN KELESTARIAN KEBERADAAN SUMBER AIR SEBAGAI SALAH SATU UNSUR PENTING KEBUTUHAN MANUSIA

PENDAHULUAN Latar Belakang

Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

RENCANA PENGELOLAAN SDA DAN LH DAS BARITO

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.63/Menhut-II/2011

BAB I PENDAHULUAN. seolah tidak pernah berhenti membangun. mengubah pula susunan alamiah yang mendominasi sebelumnya.

19 Oktober Ema Umilia

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA

I. PENDAHULUAN. Wilayah pesisir kota Bandar Lampung merupakan suatu wilayah yang mempunyai

BAB II. GAMBARAN PELAYANAN SKPD

1.1. Latar Belakang dan Tujuan Penulisan Status Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat 2008

BAB I. PENDAHULUAN. 1 P a g e

H. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP

KEGIATAN DITJEN PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN TAHUN Jakarta, 7 Desember 2016

H. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

PROFIL DINAS LINGKUNGAN HIDUP KABUPATEN WONOGIRI

H. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP

BAB. II TINJAUAN PUSTAKA

TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I KONDISI LINGKUNGAN HIDUP DAN KECENDERUNGANNYA

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang

Penataan Ruang Berbasis Bencana. Oleh : Harrys Pratama Teguh Minggu, 22 Agustus :48

C. BIDANG LINGKUNGAN HIDUP SUB BIDANG SUB SUB BIDANG URAIAN

BAB I PENDAHULUAN. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang. sumber daya alam. Pasal 2 TAP MPR No.IX Tahun 2001 menjelaskan

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. transportasi, Wisata air, olah raga dan perdagangan. Karena kondisi lahan dengan

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. Air sungai merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat vital bagi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Tapanuli Tengah merupakan salah satu wilayah yang berada di Pantai Barat Sumatera. Wilayahnya berada 0

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN. Keberadaan ruang terbuka hijau saat ini mengalami penurunan yang

BAB IV PERUMUSAN KLHS DAN REKOMENDASI RPJMD

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

RINGKASAN EKSEKUTIF KOTA BONTANG DOKUMEN INFORMASI KINERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH PEMERINTAH KOTA BONTANG PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2)

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam kehidupan kita. Dalam hutan terdapat banyak kekayaan alam yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DISAMPAIKAN PADA ACARA PELATIHAN BUDIDAYA KANTONG SEMAR DAN ANGGREK ALAM OLEH KEPALA DINAS KEHUTANAN PROVINSI JAMBI

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

PENDAHULUAN Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Pembangunan Kehutanan

BUPATI TASIKMALAYA PERATURAN BUPATI TASIKMALAYA NOMOR 46 TAHUN 2008 TENTANG

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.1.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. pulau-pulau tersebut memiliki pulau-pulau berukuran kecil, memiliki

PEMBANGUNAN BERWAWASAN LINGKUNGAN ( Pertemuan ke-7 ) Disampaikan Oleh : Bhian Rangga Program Studi Pendidikan Geografi FKIP -UNS 2013

BAB I PENDAHULUAN. potensial untuk pembangunan apabila dikelola dengan baik. Salah satu modal

Transkripsi:

BAB III ISU STRATEGIS Berdasar kajian kondisi dan situasi Pengelolaan Lingkungan Hidup tahun 2006 2010 (Renstra PLH 2006 2010), dan potensi maupun isu strategis yang ada di Provinsi Jawa Timur, dapat dirumuskan ada 5 (lima) isu pokok yang wajib mendapat perhatian bersama, yaitu : 1.1. Pengelolaan Hutan, Lahan dan Sumber Air Kerusakan ekosistem hutan telah memberikan dampak pada konservasi lahan maupun kelangkaan sumber air/mata air. Kecenderungan ini telah tampak dari indikator menurunnya kualitas lingkungan hidup karena tekanan penduduk maupun bencana alam, dan pemanfaatan berlebihan sumber daya alam yang melampaui daya dukung lingkungannya. Kasus pembalakan hutan secara liar, erosi dan longsor, rusaknya habitat biota, menurunnya biodiversitas, banjir dan kekeringan, berubahnya iklim, kebakaran hutan, masalah dampak sosial ekonomi akibat eksploitasi dan sebagainya, telah menjadikan masalah laten yang memerlukan pendekatan holistik dan bertahap guna menyelesaikan atau menangani masalah ini. Keberadaan Taman Hutan Raya (Tahura) ditujukan untuk menjaga pelestarian alam, mengembangkan pendidikan dan wisata, juga berperan dalam pemeliharaan kelangsungan fungsi hidrologis Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas, DAS Konto, dan DAS Kromong, juga untuk melestarikan mata air sumber Sungai Brantas di Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, yang kondisinya sangat memprihatinkan. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 1992, dan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 11190/KPTS-II/2002, di Jawa Timur dibentuk kawasan pelestarian alam yang disebut Taman Hutan Raya (Tahura) R. Soerjo, yang mencakup areal seluas 27.868,30 hektare. Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur melalui Balai Taman Hutan Raya (Tahura) R. Soerjo mengelola kawasan Tahura R. Soerjo seluas 27.868,30 hektare, dengan rincian Tahura seksi wilayah Malang (8.928,30 hektare), Tahura seksi wilayah Pasuruan (4.607,30 hektare), dan Tahura seksi wilayah Mojokerto (11.468,10 hektare), dan Tahura seksi wilayah Jombang (2.864,70 hektare). Hasil pantauan Citra Landsat (foto udara), Mei 2003, terhadap Tahura R. Soerjo seluas 27.868,30 hektare, terdapat kawasan berhutan sekitar 13.387 hektare, dan sisanya 14.000 hektare tidak 25

berhutan lagi (gundul). Dari areal gundul yang dikategorikan lahan kritis itu, 1.500 hektare di antaranya tergolong lahan kritis abadi, yaitu sekitar puncak Gunung Welirang, dan Gunung Arjuno. Dengan demikian, tersisa lahan kritis seluas 12.500 hektare. Penanganan lahan kritis berlangsung setiap tahun melalui kegiatan reboisasi, yang rata-rata per tahun sekitar 1.000 hektare. Sampai 2008, sisa lahan yang masih tergolong kritis berkurang menjadi 8.286 hektare. Kondisi fisik tiga wilayah Tahura (Malang, Pasuruan, Mojokerto) yang cenderung kering, dan berisi jenis tanaman alangalang, serta semak belukar, membuat kawasan hutan itu rawan bencana kebakaran saat musim kemarau. Sedangkan Tahura di wilayah Jombang, sebagian besar ditumbuhi tanaman basah, seperti pohon pisang, dan bambu, sehingga aman di musim kemarau. Hampir setiap tahun, di musim kemarau, kawasan hutan selalu mengalami kebakaran. Jenis tanaman yang terbakar adalah tanaman jati muda, rumput, dan alang-alang. Penyebab bencana kebakaran hutan, hampir 90% karena ulah manusia, seperti api unggun yang tidak dimatikan, puntung rokok milik pendaki yang masih menyala, atau sengaja dibakar oleh masyarakat sekitar untuk membuka lahan. Sisanya, karena faktor alam, seperti letusan gunung atau gesekan ranting-ranting yang kering. Untuk lahan kritis non-tahura R. Soerjo, terbagi menjadi dua kategori, yakni lahan kritis dalam kawasan, yaitu dalam kawasan hutan lindung (tidak termasuk areal HPH, ex-hph, areal bekas tebangan, dan areal hutan mangrove). Dan, lahan kritis luar kawasan, yaitu di luar kawasan hutan (tidak termasuk lahan kritis areal hutan mangrove di luar kawasan hutan). Luas kawasan hutan dan perairan Provinsi Jawa Timur berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi, Nomor 417/Kpts-II/1999, mencapai 1.357.337,07 hektare. Data Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur, menyatakan sampai dengan 2006, luas lahan kritis dalam kawasan mencapai 165.619,53 hektare, sedangkan lahan kritis luar kawasan seluas 502.405,68 hektare. (RPJMD Jatim 2009 2014) 1.2. Permasalahan Wilayah Pesisir dan laut Luasnya wilayah pesisir dan keanekaan sumberdaya yang ada, maka wilayah pesisir sebagai daerah ekoton yang labil, perlu ditangani dengan kehati-hatian dan menyeluruh, karena ciri khas pantai yang 26

cukup beraneka ragam. Interaksi nelayan dengan perairan pesisir maupun laut, dengan kegiatan utama eksploitasi hayati laut telah berlangsung sejak lama, yang menyangkut kehidupan masyarakat, dalam aspek ekonomi, sosial dan budaya. Oleh karena itu untuk mengurangi masalah pesisir dan laut dibutuhkan pendekatan kemasyarakatan yang menyeluruh, terencana, melibatkan fihak terkait, serta konsisten dalam pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi. Dengan meningkatnya pembangunan diwilayah pesisir yang kurang memperhatikan kelestarian lingkungan hidup, utamanya didaerah Tuban, Lamongan, Gresik, Surabaya telah menyebabkan kerusakan ekosistem pesisir dan laut. Sebagai contoh ekosistem mengrove di Jawa Timur saat ini tercatat 37.237 Ha, dengan kondisi rusak seluas 11.124 Ha dan tanah kosong yang ideal untuk ditanami mangrove sluas 5.242 Ha, sedangkan luas hutan mangrove idealnya sebesar 45.000 Ha. Kondisi di Jawa Timur masih kurang optimal. Untuk ekosistem terumbu karang di perairan laut Jawa Timur, pada tahun 2004 kondisi kerusakannya bervariasi antara 30 80 % yang tersebar antara lain di wilayah pesisir Situbondo, dan beberpa pulau kecil diantaranya, Pulau Sabunten, Pulau Sesiil, Pulau Bili Raja, Pulau Raas dan Pulau Mamburit. 1.3. Permasalahan Pencemaran Air, Tanah dan Udara Pencemaran lingkungan, baik dalam medium air, udara maupun tanah telah menjadikan kualitas lingkungan hidup menurun. Sumber-sumber pencemar dari industri, domestik, maupun yang lain harus dapat diatasi, dalam bentuk pencegahan maupun pengendalian. Dampak pencemaran yang bersifat akut atau kronis perlu diantisipasi, agar sumber daya yang ada dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan. Masalah pencemaran ini perlu ditangani secara sistemik, terencana, taat asas dan terus menerus. Upaya pemulihan dan pencegahan juga harus dimulai dari perencanaan hingga evaluasi pelaksanaannya, agar prinsip pembangunan berkelanjutan dapat diterapkan dalam mencegah dan mengendalikan pencemaran lingkungan. Pada tahun 2003, tercatat pencemaran air dari industri sebanyak 14 kasus, sedangkan tahun 2004 tercatat 5 kasus ditambah dengan kualitas air sungai yang buruk pada masing-masing Daerah 27

Aliran Sungai (DAS), terutama bagian hilir. Hal ini juga diakibatkan oleh karena penggunaan pestisida yang tidak terpantau. Berdasarkan indikator kualitas air, khususnya BOD (Biologycal Oxygen Demand) dan COD (Chemical Oxygen Demand), pada tahun 2004 sungai Brantas mencapai BOD : 18, 83 Mg/l, COD : 39,59 Mg/l yang masing-masing diatas ambang batas baku mutu yang ditetapkan yaitu BOD : 6 Mg/l dan COD :10 Mg/l. Hasil penghitungan secara statisik ( metode STORET) untuk menentukan status kualitas air sungai di DAS Brantas menunjukkan bahwa Kali Brantas di daerah hulu dan tengah (mulai dari jembatan pendem kota batu sampai dengan DAM Lengkong) berada pada kondisi tercemar sedang dan di hilir (mulai dari DAM lengkong hingga pecah menjadi Kali surabaya dan Kali Porong sampai ke muara) tercemar berat. 1.4. Permasalahan Lingkungan Perkotaan Permasalahan lingkungan yang paling utama di perkotaan adalah masalah pengelolaan sampah, banjir, emisi kendaraan bermotor, limbah cair domestik, minimnya ruang terbuka hijau (RTH), penataan ruang kota dan sebagainya. Sebagai contoh pengelolaan limbah padat, produksi sampah di Surabaya dikumpulkan pada lokasilokasi TPA (Tempat Pembuangan Akhir), yaitu : TPA Sukolilo dan TPA Benowo, yang telah menimbulkan konflik sosial. Rata-rata produksi sampah di Surabaya sebesar 8.700 M 3 /hari atau 2.436 ton/hari, sedangkan produksi sampah di Gresik rata-rata 1.580 M 3 /hari atau 442,45 ton/hari. Hal ini ditambah dengan sistem pengelolaannya yang kurang tepat, yaitu dengan open dumping dan bukan sanitary landfil sehingga mengakibatkan umur TPA terbatas, pencemaran lindi cair,dan harus menyediakan lahan TPA baru. 1.5. Permasalahan Sosial Kemasyarakatan Pendekatan pada komponen utama Pengelolaan Lingkungan Hidup (PLH) yaitu ekonomi, ekologi dan sosial perlu diterapkan mulai tahap perencanaan, hingga operasional dan evaluasinya. Oleh karena masalah pengelolaan lingkungan hidup tidak akan lepas dari aspek sosial, ekonomi, budaya dan tingkat pendidikan karena menyangkut pemenuhan kebutuhan dasar dan kesejahteraan masyarakat. Aspek kemasyarakatan dilihat dari indikator memburuknya kualitas 28

fisik/infrastruktur perkotaan, serta menurunnya kualitas hidup masyarakat perkotaan, serta menurunnya kualitas hidup masyarakat perkotaan, antara lain disebabkan karena keterbatasan pelayanan kebutuhan dasar perkotaan yang lebih banyak dipicu oleh factor daya tarik ekonomi dalam urbanisasi. Masalah kemasyarakatan ini dapat didekati dengan perubahan paradigma yang berfihak pada pengelolaan lingkungan hidup, untuk kemudian diikuti dengan sosialisasi tentang hak dan kewajiban mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, dan diikuti dengan perubahan budaya tingkah laku menuju masyarakat yang hidup baik, sehat dan bertanggung jawab. Kelima isu tersebut perlu diterjemahkan dalam program dan kegiatan yang mendukung berbagai upaya perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi Pengelolaan Lingkungan Hidup (PLH), dalam rangka menjaga agar pembangunan tetap terlanjutkan, dan sumberdaya alam dan lingkungan dapat lestari guna pemanfaatan yang terkendali, serta membangun sikap ramah dengan lingkungan alam sekitarnya. Pembangunan akan menjadi tak terlanjutkan, apabila para fihak terkait mengabaikan atau meninggalkan wawasan dan kesadaran tentang kelestarian fungsi lingkungan hidup 29