KERTAS POSISI Kelompok Masyarakat Sipil Region Tanah Papua dan Maluku Utara Sistem Sertifikasi Bukan Sekedar Label Sawit Berkelanjutan

dokumen-dokumen yang mirip
KERTAS POSISI Kelompok Masyarakat Sipil Region Sulawesi Sistem Sertifikasi Bukan Sekedar Label Sawit Berkelanjutan

Focus Group Discussion Pertama: Penyusunan Kajian Kritis Penguatan Instrumen ISPO

sertifikat ISPO tidak diikuti oleh perbaikan tata kelola industri kelapa sawit, yang ditandai dengan masih banyaknya persoalan seperti :

Perbaikan Tata Kelola Kehutanan yang Melampaui Karbon

21 Maret Para Pemangku Kepentingan yang Terhormat,

PENDEKATAN SERTIFIKASI YURISDIKSI UNTUK MENDORONG PRODUKSI MINYAK SAWIT BERKELANJUTAN

I. PENDAHULUAN. Pengembangan kelapa sawit telah memberikan dampak yang sangat positif bagi

PENERAPAN SERTIFIKASI PERKEBUNAN LESTARI

PAPER KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11/Permentan/OT.140/3/2015 TENTANG

Royal Golden Eagle (RGE) Kerangka Kerja Keberlanjutan Industri Kehutanan, Serat Kayu, Pulp & Kertas

Sustainability Policy

Forest Stewardship Council

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan

Kebijakan APRIL Group dalam Pengelolaan Hutan Berkelanjutan Juni 2015

Shared Resources Joint Solutions

MISKINYA RAKYAT KAYANYA HUTAN

BAB I PENDAHULUAN. pada sektor pertanian. Wilayah Indonesia yang luas tersebar diberbagai. meningkatkan perekonomian adalah kelapa sawit. Gambar 1.

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL

Karakteristik dan definisi Petani swadaya dalam konteks perkebunan kelapa sawit berkelanjutan.

OPEN DATA + INDUSTRI EKSTRAKTIF. Transparansi dan Akuntabilitas Penerimaan dan Belanja di Sektor Sumberdaya Ekstraktif

INDUSTRI PENGGUNA HARUS MEMBERSIHKAN RANTAI PASOKAN MEREKA

KUALA LUMPUR KEPONG BERHAD. PELATIHAN MENGENAI KEBIJAKAN KEBERLANJUTAN KLK (KLK Sustainability Policy)

PRISAI (Prinsip, Kriteria, Indikator, Safeguards Indonesia) Mei 2012

I. PENDAHULUAN. Sub sektor perkebunan memegang peranan penting dalam meningkatkan

Kebijakan Asosiasi. Tanggal Berlaku PfA berlaku secara efektif sejak menerima dukungan dari Stakeholder Advisory Committee (SAC)

RSPO will transform markets to make sustainable palm oil the norm

Bumitama Agri Ltd. Excellence Through Discipline. Sustainability Policy (Kebijakan Berkelanjutan)

DUKUNGAN PASCAPANEN DAN PEMBINAAN USAHA

Pedoman Pemasok Olam. Dokumen terakhir diperbarui. April Pedoman Pemasok Olam April

RENCANA STRATEGIS (RENSTRA)

BAB I PENDAHULUAN. tahun terakhir, produk kelapa sawit merupakan produk perkebunan yang. hampir mencakup seluruh daerah tropis (RSPO, 2009).

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG BADAN RESTORASI GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

-2- Pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah terdiri atas pembinaan dan pengawasan umum serta pembinaan dan pengawasan te

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN TENTANG BADAN RESTORASI GAMBUT

1 TAHUN PELAKSANAAN INPRES 10/2011: Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola pada Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut

Golden Agri Resources Memprakarsai Keterlibatan Industri untuk Konservasi Hutan

BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO

Moratorium Hutan Berbasis Capaian

LAPORAN PENELITIAN HUTAN BER-STOK KARBON TINGGI

Monitoring Implementasi Renaksi GN-SDA oleh CSO. Korsup Monev GN-SDA Jabar Jateng DIY Jatim Semarang, 20 Mei 2015

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DUKUNGAN PASCAPANEN DAN PEMBINAAN USAHA

Menguji Rencana Pemenuhan Target Penurunan Emisi Indonesia 2020 dari Sektor Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Gambut

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA

PRESS RELEASE Standar Pengelolaan Hutan Lestari IFCC (Indonesian Forestry Certification Cooperation) Mendapat Endorsement dari PEFC

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 8 TAHUN 2017 TENTANG

KEADILAN IKLIM: PERBAIKAN TATA

PRINSIP DAN KRITERIA ISPO

RINGKASAN EKSEKUTIF. Studi Bersama Persamaan dan Perbedaan Sistem Sertifikasi ISPO dan RSPO

PIDATO UTAMA MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA PADA

Resiko Korupsi dalam REDD+ Oleh: Team Expert

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar

PERMASALAHAN PENGELOLAAN PERKEBUNAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Upaya Menuju Kemandirian Pangan Nasional Jumat, 05 Maret 2010

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II

KORUPSI MASIH SUBUR HUTAN SUMATERA SEMAKIN HANCUR OLEH: KOALISI MASYARAKAT SIPIL SUMATERA

BAB I PENDAHULUAN. pepohonan dan tumbuhan lainnya. Hutan adalah bentuk kehidupan yang tersebar

BERITA DAERAH KOTA BEKASI

APP SUSTAINABILITY ROADMAP

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

IV. GAMBARAN UMUM. Kota Bandar Lampung sebagai pusat perdagangan, industri, dan pariwisata.

BAPPEDA Planning for a better Babel

dan Mekanisme Pendanaan REDD+ Komunikasi Publik dengan Tokoh Agama 15 Juni 2011

Komite Penasihat Pemangku Kepentingan (SAC) terhadap Kebijakan Pengelolaan Hutan Keberlanjutan (SFMP 2.0) APRIL

BAB V KESIMPULAN & SARAN. pemanasan global ini. Cuaca bumi sekarang ini tidak lagi se-stabil dahulu. Cuaca

PEDOMAN TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK PT SURYA CITRA MEDIA Tbk

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Konsultasi Publik Prosedur Remediasi & Kompensasi RSPO

Rencana Pembangunan Jangka Menengah strategi juga dapat digunakan sebagai sarana untuk melakukan tranformasi,

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

BAB V PENUTUP. Indonesia sebagai salah satu negara yang tergabung dalam rezim internasional

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011.

05/12/2016 KUALA PEMBUANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENERAPAN SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

2013, No Mengingat Emisi Gas Rumah Kaca Dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut; : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Rep

Policy Brief Perbaikan Regulasi Lahan Gambut Dalam Mendukung Peran Sektor Industri Kelapa Sawit Indonesia 2017

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Percepatan Penetapan Kawasan Hutan Secara Definitif dengan Skema Klaim-Verifikasi

GAR adalah salah satu perusahaan perkebunan minyak

Inisiatif Accountability Framework

- 3 - BAB I KETENTUAN UMUM

POTRET KETIMPANGAN v. Konsentrasi Penguasaan Lahan ada di sektor pertambangan, perkebunan dan badan usaha lain

I. PENDAHULUAN A. Urgensi Rencana Makro Pemantapan Kawasan Hutan.

Final - disetujui pada Juli 2010

PEDOMAN ETIKA DALAM BERHUBUNGAN DENGAN PARA SUPPLIER

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU

Program Dana Hibah Kecil Pengelolaan Wilayah Konservasi Masyarakat Adat atau Komunitas Lokal Indonesia (ICCA-Indonesia)

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 KAJIAN LEGISLASI LAHAN DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA PANGAN

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik I

3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49,

BAB III PENYUSUNAN, PEMANTAUAN, EVALUASI, DAN PELAPORAN PELAKSANAAN RANHAM

Oleh : Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

NASKAH PENJELASAN PENGESAHAN CHARTER OF THE ESTABLISHMENT OF THE COUNCIL OF PALM OIL PRODUCING COUNTRIES (CPOPC)

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan perusahaan besar adalah kelapa sawit. Industri kelapa sawit telah tumbuh

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL

Transkripsi:

KERTAS POSISI Kelompok Masyarakat Sipil Region Tanah Papua dan Maluku Utara Sistem Sertifikasi Bukan Sekedar Label Sawit Berkelanjutan INDUSTRI PERKEBUNAN SAWIT merambah Tanah Papua dan Maluku Utara sejak tahun 1982 dan ekspansinya tetap berjalan hingga kini. Seperti halnya di berbagai kawasan di Indonesia, industri sawit Tanah Papua dan Maluku Utara tidak terbebas berbagai persoalan praktik yang tidak ramah lingkungan, rawan perampasan lahan, pelanggaran hak, baik terhadap pekerja maupun masyarakat di sekitarnya, serta perubahan sosial dan budaya. Desakan-desakan perubahan mendasar atau reformasi tata kelola perkebunan sawit bermunculan, baik dalam hal penegakan hukum, maupun pembentukan hukum baru yang lebih tegas. Kebijakan Pemerintah Indonesia dalam hal keberlanjutan dan perbaikan tata kelola kelapa sawit berawal dari inisiasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) pada tahun 2011. Revisi ISPO berlangsung pada tahun 2015 yang pada saat itu sejumlah laporan dan penelitian membeberkan rantai pasokan industri sawit Indonesia yang alpa dalam penyelesaian permasalahan lingkungan, sehingga berbagai pihak meminta Indonesia sebagai produsen crude palm oil (CPO) terbesar untuk memberi perhatian khusus kepada aspek ekologi. Sejak pemberlakuan ISPO per Maret 2011 sampai dengan Februari 2016, terdapat 225 sertifikat ISPO yang telah diberikan, dengan cakupan seluas 1,4 juta ha area (statusnya masih sama per Februari 2017), dan CPO yang tersertifikasi mencapai 5,9 juta ton per tahun. Penerbitan sertifikasi ISPO meningkat signifikan dalam rentang waktu satu tahun, Februari 2016-2017, yakni 290% dari rata-rata persentase penerbitasan,n sertifikat ISPO per tahun sejak 2011. Secara umum konlflik perkebunan sawit di Indonesia disebabkan kerena tidak digunakan prinsip FPIC dalam pembebasan lahan atau seluruh rencana investasi, yang terjadi adalah pemilik tanah tidak dilibatkan dalam pembicaraan kontrak kerja dan hal-hal yang terkait dengan keberlangsungan hidup. Misalnya tidak ada proses sosialisasi yang baik. Manajemen justru hanya melakukan pendekatan dengan iming-imingan kesejahteraan dan ini merupakan proses penipuan dalam proses sosialisasi. Dan yang lebih parah, dalam proses pembebasan tanah, cenderung menggunakan issue separatis untuk merekayasa situasi yang memungkinkan adanya pengamanan dari pihak keamanan yang memberi jaminan terhadap investasi.secara kasuistik, banyak terjadi praktek represifitas dengan todongan senjata di Tanah Papua dan Maluku Utara. Tidak hanya papua, industry perkebunan sawit juga menyasar kawasan kepulauan kecil di daerah Maluku Utara. Banyak temuan dimana, masyarakat lokal yang bermukim di wilayah pesisir dan sekitar hutan di wilayah konsesi kehilangan sector produktifitas berupa ladang perkebunan pala dan cengkeh, yang merupakan komoditas andalan. Warga desa yang notabene berprofesi sebagai petani subsisten juga kehilangan akses untuk berladang dan memanfaatkan bahan baku dari hutan yang telah dilepaskan. Dampak ekologis dari bias pembangunan pada aspek ruang ini sangat menganggu sector perikanan atau mata pencaharian warga peisisir dan kerusakan terumbu karang karena tata batas area yang di land clearing berdekatan dengan ekosistem pesisir pulau. Oleh karena itu, patut untuk dijadikan bahan pertimbangan dan perlu diakomodir dalam rancangan PERPRES terkait ISPO. Akan tetapi, ISPO belum memberikan perubahan berarti. Laju pemberian sertifikasi ISPO berbanding terbalik dengan perbaikan nyata tata kelola industri kelapa sawit dengan berlanjutnya persoalan-persoalan utama di antaranya:

1) Legalitas yang menyangkut izin Hak Guna Usaha (HGU) / Izin Usaha Perkebunan (IUP) di dalam kawasan hutan dalam kaitannya dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) 2) Terbitnya izin-izin melalui praktik-praktik non-prosedural (seperti korupsi dan grativikasi); 3) Izin limbah Bahan Beracun dan Berbahaya (B3); 4) Penanaman di sempadan sungai; 5) Penerapan kebijakan perlindungan ekosistem penting; 6) Perlindungan wilayah bernilai konservasi tinggi (HCV) dan wilayah bernilai stok karbon tinggi (HCS); 7) Terdapat pola kerjasama yang diterapkan tidak manusiawi, sehingga posisi tawar masyarakat adat sebagai mitra kian lemah di hadapan industri sawit; 8) Gagalnya penyejahteraan dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat; 9) Maraknya konflik tenurial dalam pembangunan perkebunan sawit. 10) Efektifitas dari kebijakan penundaan izin hutan primer dan lahan gambut. 11) Permasalahan dalam transparansi perolahan keuntungan dan kerugian dari sektor perkebunan kelapa sawit. 12) Dampak perkebunan sawit yang mendorong terjadinya kasus pelecehan dan kekerasan. Terbitnya sertifikasi ISPO tidak serta merta dibarengi perbaikan tata kelola industri kelapa sawit. Hal ini kemudian mendapat respon dari Pemerintah Indonesia. Momentum untuk pembenahan tata kelola sawit telah dibuka melalui pernyataan Presiden RI per tanggal 14 April 2016 yakni komitmen untuk menjalankan moratorium sawit (KSP, 2016). Harapannya momentum ini menjadi peluang bagi masyarakat Indonesia untuk membenahi industri kelapa sawit Indonesia supaya mengedepankan aspek keberlanjutan lingkungan, pemberdayaan, menyejahterakan petani dan pekerja sawit serta lebih kompetitif. Pada bulan Juni 2016, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian membentuk Tim Penguatan ISPO melalui Surat Keputusan Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 54 Tahun 2016 tentang Tim Penguatan Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO Certification System) dengan kegiatan utama menyusun sistem ISPO yang memiliki kredibilitas lebih. Tujuan utama pembentukan tim tersebut adalah untuk melakukan pembenahan mendasar terhadap sistem sertifikasi dan standardisasi industri kelapa sawit berkelanjutan di Indonesia. Sampai dengan akhir Desember 2016, Tim Penguatan ISPO telah menyelenggarakan serangkaian diskusi terbatas dengan para pemangku kepentingan untuk mendorong dan merumuskan fokus rancang ulang ISPO. Sejak Mei 2017, Tim Penguatan ISPO sudah memulai rangkaian konsultasi publik di lima kawasan. Konsultasi publik pertama yakni di region Sumatera, kedua di region Kalimantan, ketiga di region Sulawesi dan keempat di region Tanah Papua dan Maluku Utara. Dengan mempertimbangkan berlangsungnya proses rancang ulang ISPO dan Peraturan Presiden tentang Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Perpres ISPO), kami perwakilan Organisasi Masyarakat Sipil dan Petani Kelapa Sawit di Region Tanah Papua dan Maluku Utara menekankan masukan-masukan tertulis sebagai berikut: 1. Penyelesaian masalah-masalah mendasar yang tertunda di sektor sawit. Masih menunggaknya masalah terkait perebutan tanah dan hak masyarakat adat akibat ekspansi dari perkebunan sawit skala besar, ini menjadi masalah mendasar yang belum diselesaikan hari ini. Penerbitan sertifikasi ISPO belum bisa menyelesaikan masalah tersebut. 2. Melakukan moratorium izin untuk perkebunan skala besar, dengan diiringi pemulihan wilayah terdampak dan penyelesaian tata batas yang belum terselesaikan, disertai peningkatan produktifitas lahan yang sudah ada.

Pelaksanaan moratorium selama ini masih dirasakan tidak efektif di Tanah Papua dan Maluku Utara sehingga moratorium tidak berfungsi sebagi periode penyelesaian tunggakan masalah, serta ekspansi perkebunan sawit terus meluas. Dengan penguatan ISPO maka pemerintah harus memberikan jaminan hukum atas praktek perkebunan sawit tidak rakus lahan. 3. Menyiapkan prakondisi Kami menemukan fakta bahwa perusahaan yang telah mendapatkan ISPO sekalipun masih terlibat konflik sosial dengan masyarakat dan merusak tatanan ekologi, maka itu perlu mempertimbangkan dan mengakomodasi prakondisi agar rancang ulang ISPO yang berlangsung maksimal. Untuk itu, kami mendesak agar: Identifikasi permasalahan yang jelas dan konkret di tingkat tapak harus menjadi landasan dalam penyusunan ulang keseluruhan sistem ISPO; Tumpang tindih kawasan dan perkebunan harus diselesaikan sebelum pemberlakuan ISPO secara penuh baik bagi petani swadaya maupun Pemegang Hak Guna Usaha; Pemerintah mesti meninjau kembali sertifikat ISPO yang telah diterbitkan supaya tidak menjadi bagian percepatan terbitnya Hak Guna Usaha. Ada kecenderungan ISPO sebagai pemutihan prosedur hukum yang ada, sehingga seakan-akan jika sertifikat ISPO sudah terbit, maka penerbitan HGU bisa lebih cepat; Kebijakan penataan kawasan dalam konteks RTRWP dan kawasan kehutanan harus ada sinkronisasi data tentang pelepasan kawasan dan pemetaan partisipatif; Pelaksanaan evaluasi atas sertifikat-sertifikat ISPO yang sudah terbit. Hal ini diperlukan untuk dapat memastikan bahwa tidak ada perusahaan penerima ISPO masih memiliki persoalan lama (clean and clear); Memastikan agar kebijakan ISPO di tingkat tapak tidak menjadi jurang pemisah antara perusahaan dan pekerja, dengan pembenahan pada metode sosialisasi dan pendampingan. 4. Perbaikan menyeluruh kriteria ISPO sebagai sebuah sistem sertifikasi. Keseluruhan tahapan dari rancang ulang ISPO harus melalui proses yang inklusif, partisipatif, sistematis dan transparan. Ini artinya proses konsultasi publik dan penyusunan standar ISPO yang dilakukan tidak bisa hanya menjadi formalitas, dan untuk itu diperlukan ruang komunikasi dan interaksi yang berkesinambungan. Dengan begitu, ada ruang dan keharusan untuk mempertimbangkan masukan dari para pihak. Proses perancangan ulang harus mampu untuk melihat berbagai kekurangan yang dimiliki dalam implementasi ISPO selama ini. Selain itu, proses konsultasi yang dilakukan harus disertai dengan proses pendokumentasian yang profesional guna memastikan berlanjutnya transfer informasi, mendorong keterbukaan informasi, sehingga tidak menjadi sekedar sosialisasi. 5. Sebagai sebuah sistem, ISPO sudah semestinya: Mempunyai komponen penilai dan penerbit sertifikat yang tidak berpihak dan terakreditasi; Memiliki mekanisme penyelesaian keluhan dengan prosedur yang jelas, jangka waktu penyelesaian terjadwal, adanya evaluasi berkala dan sifatnya terbuka bagi peluang pembenahan sistem secara berkala berdasarkan hasil evaluasi berkala; Pemerintah sebagai regulator harus memastikan sistem ISPO berjalan dengan sesuai dengan prakondisi sistem, prinsip dan prasyarat-prasyarat ini; Penegakan hukum terhadap pelanggaran ISPO harus ditindak lanjuti;

Perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan tidak semata-mata untuk sertifikasi produk perkebunan. ISPO harus lebih membuka ruang partisipasi masyarakat adat, petani pekebun, masyarakat desa, serta buruh perkebunan; dan Adanya pengawasan eksternal yang independen, transparan dan akuntabel. 6. Pembenahan jaminan hukum bagi petani Beban petani yang berat dan posisinya yang lemah di hadapan perusahaan, menjadikan jaminan hukum terhadap petani sangat penting untuk memastikan bahwa petani memiliki kapasitas dan fasilitas agar dapat mengadopsi dan mengikuti sistem ISPO. Dengan lemahnya posisi petani, kami menghendaki pembenahan jaminan hukum bagi petani, secara spesifik pada tahapan produksi, sebagai berikut: Pendampingan bagi petani dari perusahaan terkait dengan produktifitas serta penguatan kelembagaan yang dilakukan oleh perusaahaan mitra. Proses pendampingan petani terkait dengan Praktek Perkebunan yang Baik (Good Agriculture Practice GAP) harus dilakukan secara terencana oleh perusahaan mitra; dan Dalam rangka perlindungan dan pemberdayaan petani maka pemerintah wajib melakukan proteksi terhadap harga tandan buah segar (TBS), transparansi akses pendanaan secara langsung kepada koperasi atau petani pekebun serta memastikan kerjasama kemitraan yang adil dan menghormati HAM. 7. Pengetatan Prinsip dan Kriteria ISPO Pada intinya, kami meyakini bahwa ISPO sebagai sebuah sistem sertifikasi harus memiliki sembilan (9) prinsip berikut: Legalitas; Manajemen perkebunan; Perlindungan terhadap pemanfaatan hutan alam dan lahan gambut; Perlindungan terhadap lingkungan dengan menjalankan praktik perkebunan yang bertanggung jawab; Tanggung jawab terhadap pekerja; Pemberdayaan petani kecil, masyarakat adat dan lokal; Peningkatan usaha secara berkelanjutan; Ketelusuran dan transparansi; Penghargaan hak asasi manusia termasuk hak masyarakat adat. Peraturan Presiden tentang ISPO harus mengakui secara penuh dan melindungi hak-hak dasar buruh dan masyarakat adat pemilik ulayat, termasuk mempromosikan kebebasan berserikat dan berkumpul. Juga, rancang ulang ISPO mesti menyertakan kewajiban Pemerintah untuk menindak tegas pelanggaran hak buruh dan melakukan pengawasan serta evaluasi rutin. 8. ISPO harus membuka ruang partisipasi bagi masyarakat adat, petani pekebun, masyarakat desa, buruh perkebunan serta dapat mengakomodasi hak-hak perempuan dan anak. 9. Standar ISPO harus lebih baik dari standar-standar perkebunan lainnya dengan tidak hanya berlandaskan pada norma internasional yang ada saja, melainkan juga kebijakan nasional dan daerah.

ISPO perlu menitikberatkan pada kepatuhan hukum sebagai upaya agar sistem ISPO menjadi satu instrumen yang mengacu bagi kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang sudah ada. 10. Kelembagaan Penyelenggara sertifikasi ISPO harus lebih bertanggungjawab, terbuka dan transparan sehingga hasil perkebunan berkelanjutan harus lebih nyata. Negara harus mendorong strategi penerapan ISPO dalam rangka pemberdayaan petani dan memperkuat perkebunan rakyat. Untuk dapat menjalankan prinsip-prinsip tersebut, kami berkeyakinan bahwa ISPO mesti dirombak secara keseluruhan supaya menjadi sebuah sistem yang transparan, terpercaya dan dapat diandalkan. Sistem ISPO versi rancang ulang memerlukan mesin pengawasan dan pemantauan yang tidak memihak dan kompeten, sehingga mampu secara rinci dan komprehensif menelusuri berbagai temuan pelanggaran ISPO. Selain itu, sistem ISPO juga masih harus dilengkapi dengan prosedur pengaduan yang mudah diakses serta mekanisme pemberian sanksi yang setimpal guna menimbulkan efek jera bagi para pelanggar ISPO. # # # Lembaga Perwakilan Masyarakat Sipil Region Tanah Papua dan Maluku Utara 1. JASOIL Tanah Papua 2. DPD GSBI (Gabungan Serikat Buruh Indonesia) Papua Barat 3. YALI Papua 4. AMAN Sorong 5. Perkumpulan Binmadag Hom Teluk Bintuni - Tanah Papua 6. Lingkar Belajar 7. SPKC OSA 8. Komunitas Timnawai 9. Perkumpulan Akawuon 10. LBH Jayapura 11. LMA Ksanaimos 12. PBHKP Sorong 13. KPKC GKI Sinode 14. DAP Papua 15. Belantara Papua 16. JPIK Papua Barat 17. JPIK Maluku Utara