BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan dinamika kerja saat ini menimbulkan tantangan baru bagi mental pekerja, salah satunya adalah ancaman stres. Diuraikan dalam Harvey et al. (2012), dari beberapa bukti empiris diperoleh kenyataan bahwa saat ini gangguan mental telah menggantikan gangguan otot dan rangka (musculoskeletal) sebagai penyebab utama penyakit dan ketidakmampuan bekerja dalam jangka panjang di beberapa negara berkembang. Penyakit mental menjadi salah satu kontributor utama prevalensi kecacatan global dan menyumbang 35% kecacatan di negaranegara yang tergabung dalam Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) meliputi Eropa, Amerika, Canada, Mexico, Australia, Selandia Baru, Jepang, dan Korea (OECD, 2003). Sebagian besar dari penyakit mental tersebut, secara umum dapat dikaitkan dengan gangguan kejiwaan yang biasanya perlu perawatan, seperti depresi dan kecemasan. Mengutip dari statistik Health Safety Executive (2016) sebagai hasil temuan Labour Force Survey di Inggris mengenai dampak langsung dari stres dalam pekerjaan, yaitu: 1. Jumlah hari kerja yang hilang karena stres pada tahun 2014/2015 adalah 9,9 juta hari, setara dengan rata-rata 23 hari kehilangan per kasus. Hal ini menyumbang 35% kasus terdampak sakit terkait pekerjaan yang buruk dan 43% dari semua hari kerja yang hilang karena sakit. 2. Stres umumnya terjadi pada profesi pekerjaan yang berada di industri pelayanan publik, seperti pendidikan, kesehatan, perawatan sosial, administrasi umum, profesional bisnis, media, dan pertahanan. Kajian ekonomi dari Eropa dan Amerika Serikat menyebutkan bahwa presenteeism (kehadiran non produktif) lebih umum terjadi daripada absenteeism (ketidakhadiran) yang berarti bahwa keseluruhan biaya terkait presenteeism berkontribusi sebesar dua hingga empat kali lipat biaya absenteeism (Harvey et al. 1
2 2012). Gambar 1.1 menunjukkan ilustrasi pengaruh stres terkait pekerjaan yang dikutip dari penelitian Blaug et al. (2007). Gambar 1.1 Kaitan Stres dan Pekerjaan Masalahnya, stres tidak berhenti di situ saja, namun sebaliknya justru seringkali menjadi gejala awal timbulnya dampak lanjutan yaitu burnout (Pinto et al. 2014). Fenomena burnout telah berkembang, yang semula dianggap sebagai specific hazard pada pekerja di bidang pelayanan (human services), kini dalam konteks globalisasi ekonomi telah dianggap sebagai potensi resiko secara umum di tempat kerja (occupational hazard). Terdapat sekitar 3 7% dari populasi menderita hal tersebut, yang menjadi indikasi bahwa ada puluhan ribu orang yang mengalami kesulitan dalam mempertahankan kemampuan kerja dan kesejahteraan hidupnya terkait pekerjaan sehari-hari (Toppinen-tanner, 2011). Seperti diungkapkan Kulkarni (2006) dalam Schaufeli et al. (2008), terbukti bahwa globalisasi, privatisasi dan liberalisasi menyebabkan perubahan yang cepat dalam kehidupan kerja modern, ditandai dengan meningkatnya tuntutan mempelajari keterampilan baru, kebutuhan mengadopsi jenis pekerjaan baru, tekanan tinggi terhadap produktivitas dan kualitas kerja, tekanan waktu dan pekerjaan yang sibuk, hingga akhirnya menghasilkan burnout, terutama di negara berkembang, salah satunya di India. Dengan demikian, faktor dasar yang sama tampaknya mendorong burnout di masa kini dan sebelumnya, meskipun dengan kadar yang berbeda. Hal paling menonjol adalah ketidakseimbangan antara tuntutan kerja dan sumber daya di tempat kerja, serta adanya konflik terkait values
3 (yaitu antara values pribadi dan organisasi, dan antara values organisasi yang berupa pernyataan dan values yang ditampakkan dalam tindakan). Maslach et al. (1996) dalam Pinto et al. (2014) mengungkapkan bahwa selama 40 tahun konsep burnout telah mendapat perhatian lebih terutama pada literatur psikologi yang meneliti dari berbagai bidang professional diantaranya pekerja sosial, pendidik, pekerja medis, polisi, pekerja perlindungan anak, pengacara, dan customer service, namun dari beberapa penelitian tersebut, masih sangat terbatas yang menggali fenomena tersebut dalam lingkup manajemen proyek terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Telah diketahui bahwa salah satu aktivitas kerja yang identik dengan kondisi penuh tekanan, cepat dan dinamis adalah pekerjaan berbasis proyek. Seorang manajer proyek dan tim kerjanya umumnya berada dalam lingkungan yang sarat konflik dan biasanya terjebak dalam struktur manajemen irrasional yang sering disebut sebagai organisasi matriks. Karakteristik pekerjaan dengan batasan ketat terkait waktu dan sumber daya, tuntutan stakeholder dan batasan anggaran membuat kegiatan proyek secara alami menimbulkan tekanan, karenanya profesi tersebut termasuk dalam jenis pekerjaan menantang dengan tingkat tekanan yang tinggi (Mantel et al. 2011). Pada konteks manajemen proyek, efek burnout dapat mengurangi produktivitas dan menambah jumlah pekerjaan yang tertunda serta pada akhirnya berkontribusi sebagai salah satu penyebab kegagalan proyek (Powell, 2003). Mengingat pentingnya usaha dalam pencegahan kegagalan proyek, karenanya penelitian ini mencoba mempelajari fenomena tersebut dengan pendekatan konsep yang lebih luas, yaitu burnout dan engagement. Mempelajari fenomena burnout penting untuk dilakukan dengan didasarkan pada isu bahwa hal tersebut terbukti menjadi beban ekonomi yang dapat terjadi stabil seiring waktu, karenanya pencegahan merupakan hal yang sangat penting dan hal itu mungkin untuk dilakukan melalui kegiatan promotif di tempat kerja (Toppinen-tanner, 2011). Salah satu pendekatan untuk mencegah burnout adalah dengan membangun engagement pada para pekerja. Saat ini penelitian burnout telah berkembang secara global dan menciptakan suatu konsep yang berfokus pada engagement
4 (keterlibatan) sebagai antithesis positif dari konsep burnout, yang menjadikannya sebagai perspektif baru dalam intervensi mengurangi burnout (Maslach et al. 2001). Studi dari beberapa peneliti menyatakan bahwa ketika karyawan memiliki tingkat sumber daya yang tinggi, keterlibatan kerjanya akan meningkat dan sebaliknya. Karenanya, tingkat keterlibatan yang tinggi juga dikaitkan dengan peningkatan sumber daya (baik job resources maupun personal resources) yang lebih besar pada periode waktu berikutnya (Dewe et al. 2012). 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, diperoleh pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian adalah belum pernah dilakukan penelitian sejenis dalam konteks proyek di Indonesia sehingga belum diketahui tingkat burnout/engagement manajer proyek di Indonesia dan hal hal apa saja yang mempengaruhinya. Karenanya dibutuhkan kajian dengan mengacu pada konsep burnout dan engagement sebagai usaha untuk mencegah kegagalan proyek, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana tingkat burnout engagement pada manajer proyek di Indonesia? 2. Bagaimana hubungan antara job demands dengan resources? 3. Bagaimana hubungan antara job demands dan resources dengan burnout/engagement? 4. Bagaimana hubungan antara burnout/engagement dengan kepuasan kerja? 5. Bagaimana hubungan antara kepuasan kerja dengan komitmen organisasi? 1.3 Batasan Masalah Untuk membatasi ruang lingkup penelitian ini agar terarah dan fokus pada tujuannya, maka ditetapkan beberapa batasan sebagai berikut: 1. Penelitian dilakukan pada industri berbasis proyek di Indonesia. 2. Subyek penelitian adalah Manajer Proyek yang berpengalaman minimal 2 tahun.
5 3. Tidak meneliti personality aspect/kepribadian individu dan dampaknya terhadap waktu. 4. Menggunakan metode riset kuantitatif. 5. Penulis melakukan exploratory melalui studi literatur terkait pada tema di manajemen proyek dan psikologi industri organisasi. 1.4 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengukur dan mengetahui tingkat burnout/engagement pada manajer proyek di Indonesia. 2. Menguji konsep hubungan antara job demands dengan resources. 3. Menguji konsep hubungan antara job demands dan resources dengan burnout/engagement. 4. Menguji konsep hubungan antara burnout/engagement dengan kepuasan kerja. 5. Menguji konsep hubungan antara kepuasan kerja dengan komitmen organisasi 1.5 Manfaat Penelitian 1. Mengisi research gap terkait pengaruh burnout-engagement dalam konteks manajemen proyek di Indonesia. 2. Menambah dan memperluas literatur terkait dengan manajemen proyek ditinjau dari perspektif psikologi industri organisasi dan ergonomi kognitif. 3. Digunakan sebagai basic knowledge dalam mengembangkan strategi intervensi untuk mengurangi dampak burnout dan membangun engagement bagi industri berbasis proyek di Indonesia. 4. Mendasari pengembangan penelitian terkait dengan modelling stress prevention dalam penyusunan framework manajemen resiko dan manajemen stres terhadap pencegahan burnout di Industri berbasis Proyek di Indonesia.