1 Pengaruh Variasi Milling Time dan Temperatur pada Mekanisme Doping 5 % wt (Al) Nanomaterial TiO 2 Hasil Proses Mechanical Milling Panca Suwirta, Hariyati Purwaningsih Jurusan Teknik Material dan Metalurgi, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 Indonesia email: hariyati@mateng.its.ac.id Abstrak TiO 2 adalah logam transisi yang banyak diteliti dan digunakan sebagai aplikasi gas sensor. Dalam fasa anatase, semikonduktor ini sangatlah cocok untuk mendeteksi adanya gas berbahaya. Untuk meningkatkan kemampuan dan tingkat sensitivitasnya perlu dilakukan penambahan doping unsur atau senyawa lain. Salah satu elemen doping yang digunakan adalah penambahan Al pada TiO 2. Selain itu untuk memperoleh peningkatan sensitivitas dan reaktivitas, perlu dilakukan perluasan terhadap surface area yang akan meningkatkan jumlah oxigen site yang tersedia pada permukaan untuk pendeteksian gas.dalam penelitian ini dilakukan sintesis TiO 2 doped 5 wt% Al menggunakan metode mechanical milling menggunakan modification horizontal ball mill dengan kecepatan putar 400 rpm dan dengan variasi waktu milling dan temperatur sintering. Variasi waktu milling yang dilakukan adalah 0, 30 dan 50 jam. Variasi temperatur sintering yang dilakukan adalah 700, 800 dan 900 C. Serbuk yang digunakan dalam proses milling adalah serbuk TiO 2 dan serbuk Al.Dengan adanya proses mechanical milling selama 30 jam dan 50 jam memberikan efek terhadap masuknya atom Al yang menggantikan posisi kation Ti secara subtitusional. Selain itu proses tersebut juga berpengaruh pada reduksi ukuran partikel. Dan dengan proses lanjutan berupa sintering berpengaruh pada pembentukan oxide dari yang masih belum terdifusi pada temperatur 800 0 C. Kata kunci: TiO 2, Al, mechanical milling, sintering PENDAHULUAN nsur logam transisi oksida sudah mulai banyak digunakan Usebagai semikonduktor keramik dalam aplikasi sensor gas. Perubahan dari konduktifitas listriknya karena adanya gas target digunakan sebagai acuan dalam tingkat kemampuannya untuk mengukur adanya gas target. Seperti yang dijelaskan pada penelitian sebelumnya bahwa sensor gas dengan berbasis titanium oksida (TiO 2 ) menunjukkan sensitivitas dan stabilitas yang bagus pada lingkungan udara yang buruk dan memiliki potensi menjadi salah satu material pilihan untuk sensor gas [1]. TiO 2 memiliki tiga fase yang berbeda, perbedaan struktur pada fasenya akan berpengaruh ke perbedaan kemampuan mendeteksi gas[2]. Dan sensitivitas dari sensor TiO 2 bisa ditingkatkan dengan penambahan dopant seperti unsur Nb, Cr, Sn, Pt, Zn, Al, La dan Y yang berguna untuk mendeteksi gas CO, H 2 dan NO 2 [36]. Tujuan utama dari adanya penambahan dopant pada TiO 2 adalah untuk meningkatkan konduktivitas dan menurunkan kecepatan transformasi fasa dari anatase ke rutile dan juga mengurangi pertumbuhan butir [7]. Pada penelitian sebelumnya telah berhasil disintesa, sensor TiO 2 dengan doping Al dalam skala nano dengan metode citratenitrate auto combustion [8]. Dengan adanya ukuran material dalam skala nano pada semikonduktor akan berdampak pada peningkatan surface area bila dibandingkan dengan material awalnya. Hal ini dapat meningkatkan reaktifitas kimia dan meningkatkan kekuatan sifat dalam pendeteksian gas. Selain dengan metode solgel yang sering digunakan untuk mencapai material nano, terdapat pula metode lain yang memungkinkan adanya pengurangan ukuran partikel yakni dengan mechanical milling. Dengan adanya penelitian lanjutan dengan metode penggilingan, diharapkan nantinya terdapat referensi lain dalam sintesa sensor gas TiO 2 doping Al dengan kemampuan untuk disintesa lebih mudah dan effisien. A. Bahan I. URAIAN PENELITIAN Penelitian ini menggunakan serbuk Al (Merck) dengan kemurnian 90%, dan serbuk TiO 2 (Merck) 98%. Methanol dengan kemurnian 90% digunakan sebagai PCA ketika proses mechanical milling berlangsung. B. Peralatan Alat Horizontal Modification Ball Milling dengan kecepatan 400 rpm digunakan untuk proses reactive ball milling. Sedangkan untuk proses sintering menggunakan muffle furnace. C. Preparasi Campuran serbuk dengan kuantitas doping 5 % wt Al
2 terhadap TiO 2 ysng kemudian disintesa dengan proses mechanical milling dengan kecepatan putar 400 rpm dan dengan variasi waktu milling sebesar 0 jam, 30 jam dan 50 jam. Selanjutnya, dilakukan proses pembentukan pelet dengan kompaksi bertekanan 200 bar dan ditahan selama 10 menit [8]. Lalu kemudian sampel diberikan proses laku panas berupa sintering dengan variasi temperatur 700 0 C, 800 0 C, dan 900 0 C dengan waktu holding selama 1 jam. D. Analisis Untuk mengetahui fasa paduan dan karakterisasi paduan setelah reactive ball milling dan setelah dilakukan proses hidrogenasi, digunakan alat XRD Phillips X Pert MPD System (XRay Diffraction) dengan CuKα sebesar 1.54056 Å dan range sudut sebesar 10 90. Software High Score Plus digunakan untuk menganalisa hasil XRD secara kuallitatif. Analisa morfologi sebruk hasil proses mechanical milling dan setelah proses sintering dianalisa menggunakan SEM (Scanning Electron Microscope) FEI INSPECT S50. Kemudian pengujian TGA ( Thermo Gravimetrik Analysis) dilakukan pada serbuk hasil sintering guna mengetahui stabilitas sampel saat beroprasi pada berbagai variasi temperature. Dan pengujian BET surface area analysis dilakukan untuk mengetahui luas permukaan sampel. II. DATA DAN PEMBAHASAN Serbuk hasil mechanical milling diuji sebanyak 0,5 gram untuk pengujian difraksi sinar. Gambar 1 menunjukan pola difraksi sinarx sampel TiO 2 dengan doping 5% wt Al, dengan variasi waktu milling selama 0 jam, 30 jam dan 50 jam. Secara keseluruhan, sampel memiliki pola difraksi yang hampir serupa, karena memang masih belum terlihat adanya peak yang dapat diidentifikasi sebagai fasa baru yang terbentuk sebagai akibat dari proses milling. Proses milling ini hanya memberikan perbedaan posisi 2theta, besar nilai FWHM dan tinggi puncak dari setiap unsur, dalam hal ini adalah, dan TiO 2 Rutile. Hasil dari laku mekanik yang berupa variasi waktu milling, menunjukkan bahwa fasa dominan yang muncul adalah yang memiliki puncak dengan nilai 2 theta yang mendekati nilai nilai 2theta data dari kurva ICDD no pattern 030655714 sedangkan nilai 2theta puncak puncak kurva lain mendekati nilai 2theta puncak kurva tertinggi dari fasa yang sesuai dengan data kurva ICDD no pattern 000011180, dan untuk fasa TiO 2 Rutile mendekati nilainilai 2theta data kurva ICDD no pattern 01 0784189. Terlihat pada Gambar 1a, pada sampel serbuk dengan waktu milling 0 jam bisa diidentifikasi adanya tiga buah fasa yang muncul. Pada grafik XRD menunjukkan adanya intensitas Aluminum yang tinggi, selain itu juga teridentifikasi adanya fasa TiO 2 Rutile walaupun intensitasnya kecil tetapi sudah bisa dideteksi sebagai puncak. Dengan adanya proses laku mekanik berupa milling tentu akan memberikan efek terhadap adanya perubahan fasa, namun dilihat dari grafik perubahan yang terjadi tidaklah signifikan. Dengan proses milling selama 50 jam, berpengaruh terhadap hilangnya fasa TiO 2 Rutile yang awalnya sudah terlihat sejak awal pada pure TiO 2. Sehingga pada proses milling dengan waktu proses selama 50 jam, fasa yang teridentifikasi hanyalah,. Gambar 4.1. Identifikasi Fasa Hasil XRD Laku Mekanik a) Waktu milling 0 jam; b) Waktu milling 30 jam ; c) Waktu milling 50 jam. Tabel 1 menunjukan ukuran kristal serbuk pada masingmasing komposisi paduan setelah proses mechanical milling. Hasil pengukuran ukuran kristal serbuk ini diperoleh dengan menggunakan rumus Debye Scharrer sebagai berikut : (1) Dalam hal ini D adalah ukuran kristal (Å), λ adalah panjang gelombang yang digunakan dalam uji XRD yaitu 1.54056 Å, B adalah lebar setengah puncak (FWHM) dalam radian, dan θ adalah posisi sudut terbentuknya puncak. Tabel 1. Analisa Data XRD Hasil mechanical milling dengan variasi waktu milling TiO 2 doped 5wt% Al Milling 0 jam TiO 2 doped 5wt% Al Milling 30 jam TiO 2 doped 5wt% Al Milling 50 jam Identifikasi Fasa TiO2 Rutile TiO2 Rutile TiO2 Anatase TiO2 Rutile 2θ (degree) 25.32 38.59 27.47 25.28 38.55 27.45 25.27 38.53 d spacing (Å) 3.48117 2.33136 3.24465 3.5219 2.33371 3.26189 3.52066 2.33467 D (Å) 784.07 1423.02 1470.13 774.48 1167.70 1470.07 671.43 615.48 Tabel 1 menunjukkan adanya pergeseran sudut difraksi (2theta). Adanya pergeseran sudut difraksi tersebut menunjukkan Al masuk ke dalam system kristal TiO2 Anatase secara subtitisional. Seperti yang telah dilaporkan tentang proses doping Boron dan Zirconium terhadap TiO 2 dengan proses mechanical milling menjelaskan bahwa adanya pergeseran posisi 2theta mengindikasikan adanya perubahan struktur kristal dari semulanya [9]. Untuk puncak difraksi TiO 2 dengan doping B 3+, mengalami pergerakan 2theta ke arah kiri yang disimpulkan bahwa ion boron yang masuk ke kisi TiO 2 secara interstisi bukan substitusi. Walaupun menggunakan
3 unsur yang berbeda untuk doping, namun dapat diperkirakan bahwa pergeseran posisi 2theta yang timbul setelah adanya proses mechanical milling erat hubungannya dengan mulai adanya proses inisiasi transformasi masuknya Al pada sistem kristal TiO 2. Selain pergeseran 2theta, tingkat keberhasilan doping bisa dilihat dari adanya perubahan nilai dspacing, yang erat kaitannya dengan jarak antar lattice yang berubah yang bisa jadi disebabkan karena adanya doping yang bertindak sebagai subtitusi. Dan pada penelitiannya sebelumnya menyebutkan pembuktian adanya doping yang bekerja secara subtitusional dapat terlihat dari nilai dspacing yang berubah menjadi sedikit lebih kecil bila dibandingkan TiO 2 murni [10]. Dilihat dari adanya pergeseran sudut difraksi dan adanya perubahan nilai dspacing pada sampel setelah mendapat perlakuan mekanik berupa milling selama 30 jam dan 50 jam mengindikasikan kondisi Al yang sudah masuk kedalam system kristal TiO2 Anatase secara subtitusional. Adanya pengaruh impurities (dopant) pada semikonduktor dapat masuk kedalam kisi kristal secara subtitusional maupun secara interstisial. Bila jarijari atom antara kation semikonduktor dengan ukuran jarijari atom dopan yang ditambahkan hampir sama besar, bisa menyebabkan berperan secara subtitusi. Saat Al yang memiliki 3 elektron valensi mendoping TiO 2 dengan ukuran jarijari ataom kationnya yang hampir sama besar, dimungkinkan terjadinya doping seperti pada gambar 2. Saat Al menggantikan posisi salah satu atom Ti, maka kecenderungan unsur yang ditambahkan akan menyebabkan adanya 1 hole bebas. Ketidakmurnian ini akan mengakibatkan pembawa muatan positif karena terbentuk hole yang dapat menerima electron, impuritas dengan valensi tiga bila ditambahkan pada semikonduktor intrinsic hanya tiga kovalen yang diisi, kekosongan yang terjadi pada ikatan keempat membentuk hole. Adanya hole sebagai pembawa muatan akan meningkatkan kemampuan untuk mengalirkan arus Gambar 2 Mekanisme difusi saat Al 3+ menggantikan posisi Kation Ti 4+ Dari tabel 1 juga terlihat perubahan ukuran kristal sebelum mechanical milling untuk 784.07 Å, sementara itu setelah proses mechanical milling terjadi perubahan ukuran kristal menjadi 774.48 Å untuk proses milling selama 30 jam dan untuk proses milling dengan waktu selam 50 jam dicapai ukuran kristal sebesar 671.43 Å. Adanya penurunan besar ukuran Kristal dikarenakan adanya energy impact akibat adanya mechanical milling. Namun energi yang mampu dihasilkan oleh alat Modification Horizontal Ball Mill tergolong rendah [11] Dengan proses lanjutan berupa sintering yang bertujuan meningkatkan proses difusi Al pada sistem kristal TiO 2. Diperoleh bahwa dengan adanya variasi temperatur tidak hanya berdampak pada proses adanya difusi namun menyebabkan adanya transformasi pembentukan fasa baru, seperti yang terlihat pada gambar 3. Gambar 3. Hasil perbandingan Kurva XRD untuk spesimen dengan perlakuan mekanik 50 jam milling a) 700 0 C ; b) Kalsiansi 800 0 C; c) 900 0 C. Pada hasil kurva XRD untuk spesimen dengan perlakuan mekanik 50 jam milling dan mendapat perlakuan panas seperti yang terlihat pada Gambar 3. Saat mengalami proses dengan temperature 700 0 C terjadi tranformasi pembentukan TiO 2 rutile padahal dengan proses milling tanpa adanya perlakuan panas sudah terlihat adanya dekomposisi fasa TiO 2 rutile seperti yang diidentifikasi pada Gambar.1c. Untuk proses dengan temperature 800 0 C, TiO 2 rutile makin jelas terlihat puncak pola difraksinya, fasa Al 2 O 3 makin jelas teidentifikasi pertumbuhan puncaknya sedangkan tidak terdeteksi lagi. Begitupula fasa yang bisa diidentifikasi pada proses 900 0 C. Bila dibandingkan antara hasil pola difraksi XRD antara sampel yang tidak mengalami perlakuan mekanik dengan yang mengalami mechanical milling dan kemudian samasama mendapat perlakuan panas, terlihat bahwa dengan adanya perlakuan mekanik menyebabkan adanya transformasi Al menjadi Al 2 O 3 bisa terjadi pada temperature 800 0 C. hal ini diprediksi terjadi dikarenakan perlakuan mekanik sudah menciptakan hasil fasa aluminium yang menjadi lebih reaktif. Untuk mendapat hasil yang lebih presisi dilakukan analisa dengan melakukan single peak analysis (profile fitting), sehingga diperoleh nilai FWHM yang lebih tepat untuk masingmasing puncak tertinggi tiap unsur. Analisa kemudian bisa dilakukan lebih rinci dengan menggunakan persamaan Debye Scherrer (1) sehingga bisa diperoleh besar pengaruh proses laku panas terhadap ukuran kristal.
4 Tabel 2. Analisa Data XRD Hasil mechanical milling 50 jam dengan variasi temperatur sintering milling) selama 50 jam dan kemudian dikompaksi sehingga berbentuk pellet dan disintering dengan berbagai temperatur diperoleh hasil seperti yang terlihat pada Gambar 5. Milling 50 jam dengan 700 0 c Milling 50 jam dengan 800 0 c Milling 50 jam dengan 900 0 c Identifikasi Fasa TiO 2 Rutile TiO 2 Rutile Al2O3 TiO 2 Rutile Al2O3 2θ (degree) 25.22 38.40 27.30 25.20 27.36 43.30 25.18 27.37 43.29 d spacing 3.53575 3.26383 2.34211 3.53742 3.25677 2.08794 3.54632 3.25573 2.08849 D (Å) 783.86 673.75 944.40 871.82 817.84 1908.7 955.65 817.28 853.88 Terlihat dari data tabel 2 bahwa dengan adanya proses laku panas berpengaruh pada perubahan ukuran kristal TiO 2 anatase yang meningkat seiring dengan peningkatan temperature sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya[10]. Ukuran kristal yang mengalami perubahan dikarenakan dengan adanya pemberian energy thermal akan berpengaruh pada crystallite growth. Bila dilihat dari table 2 dapat dilihat bahwa dengan adanya peningkatan temperature akan berpengaruh ke pergeseran posisi puncak pola difraksi untuk puncak tertinggi dan perubahan nilai dspacing yang diperkirakan sebagai penanda berjalannya proses doping yang merubah parameter kisinya akibat proses sintering sehingga memungkinkan adanya difusi. Hasil pengamatan SEM setelah proses mechanical milling ditampilkan pada Gambar 4. Dengan adanya peningkatan waktu milling yang semakin lama akan berdampak pada reduksi ukuran partikel dari sampel. Pada milling 50 jam sudah terlihat adanya partikel partikel TiO 2 yang menempel pada partikel Al yaang berwarna gelap dan berbentuk flake. Gambar 5. Morfologi pelet TiO 2 perbesaran 15000X dengan milling selama 50 jam yang di pada a). 700 0 C; b) 800 0 C dan c) 900 0 C Pada sampel dengan milling selama 50 jam dan disintering pada temperatur 700 0 C (Gambar 5.a) terlihat masih adanya kesamaan dengan sampel dengan Waktu milling yang berbeda namun dengan temperatur sintering yang sama. Masih dijumpainya partikel dengan permukaan rata dan berwarna gelap dengan batas butir yang mulai samar. Dengan proses milling selama 50 jam berpengaruh pada makin meratanya distribusi partikel yang berbentuk spherical. Partikel spherical tersebar dan mulai menyelimuti lempengan gelap. Saat sampel dengan milling 50 jam dipanaskan pada temperatur 800C (gambar 5b) terlihat mulainya penyebaran Al secara merata, namun masih ada yang teraglomerasi dan diselimuti oleh partikel dengan bentuk spherical. Pada Gambar 5c menunjukkan morfologi sampel dengan milling selama 50 jam dan dipanaskan pada temperatur 900 o C. Dari bentuk morfologinya menunjukkan bahwa mulai terbentuknya aglomerasi partikel spherical dengan warna terang. Hal tersebut bisa terjadi karena adanya peningkatan temperatur yang menyebabkan kecenderungan TiO 2 untuk menggumpal guna mengurangi total surface energy yang meningkat [12]. Gambar 4. Morfologi serbuk TiO 2 dengan penambahan 5wt% Al perbesaran 300 X, a) Dengan milling 0 jam; b) Mechanical Milling selama 30 jam; c) Mechanical Milling selama 50 jam Untuk hasil pengujian morfologi dengan SEM untuk sampel yang awalnya mengalami proses laku mekanik (mechanical Gambar 6 Hasil uji EDX pellet dengan waktu milling 50 jam dan temperatur 700 0 C
5 Hasil uji EDX pellet dengan waktu milling 50 jam dan dengan temperatur sintering 7000C seperti yang terlihat pada Gambar 6 menunjukkan bahwa lempengan gelap yang terlihat pada sampel memiliki kandungan persen atomik Al yang tinggi. Hal tersebut sesuai dengan hasil pengujian XRD yang mengidentifikasikan adanya unsur Al yang belum bertransformasi menjadi oksida aluminium. Temperatur leleh dari aluminium berkisar pada temperatur 660 0 C sehingga pada morfologinya terlihat bahwa lempengan gelap yang terbentuk tidak lagi terlihat batas butirnya. stabilitas temperatur yang baik dengan adanya variasi milling time ditunjukkan oleh sampel dengan milling selama 30 jam dan sintering 700 0 C seperti pada gambar 9. Gambar 9 menunjukkan hasil bahwa stabilitas sampel terjadi sejak temperatur kamar, hingga temperature 139 0 C terjadi perubahan sampel dan memungkinkan adanya reaksi pada sampel yang terjadi dan terlihat pada Grafik DTG. Penurunan temperature tersebut bisa disebabkan adanya desorpsi gas sampel yang menyebabkan weight loss, belum lagi bisa disebabkan sifat material TiO 2 yang cenderung higroskopi sehingga pada temperature tersebut bisa dimungkinkkan adanya dekomposisi molekul air. Stabilitas temperature yang dicapai hingga temperature 455 0 C. setelah temperature tersebut terjadi perubahan fasa yang dimungkinkan karena adanya perubahan fasa berupa oksidasi Al sehingga tampak adanya kurva eksoterm yang terlihat di grafik DTG. Gambar 7 Hasil uji EDX pellet dengan waktu milling 50 jam dan temperatur 800 0 C Morfologi pellet pada Gambar 5b yang merupakan hasil 800 0 C memiliki bentuk partikel seperti sponge yang tersebar merata tapi masih terlihat yang menggumpal terlihat adanya aglomerasi serbuk. Saat dilakukan uji EDX seperti pada Gambar 7, tidak terlihat adanya perbedaan antara morfologi Al 2 O 3 dan TiO 2. Masih adanya unsur Al dan tingginya kuantitas unsur O yang terdeteksi menandakan Al sudah teroksidasi dan berbentuk Al 2 O 3. Namun susah untuk dibedakan morfologinya dengan oksida titanium. Gambar 9 Grafik hasi uji TGA dan DTG untuk sampel milling 30 jam dan sintering pada 700 0 C Pengujian BET dilakukan untuk memperoleh besar nilai luas area yang merupakan luasan serapan aktif pada permukaan sampel. Prinsip kerja pengujian ini adalah dengan memanfaatkan daya serap sampel saat dipapar oleh gas nitrogen. Luas permukaan dari sampel dihitung dari volume gas yang terserap ke permukaan. Pada penelitian ini, diperoleh data untuk luas permukaan, yang ditampilkan pada table sebagai berikut. Tabel 3 Hasil pengujian BET dengan variasi waktu milling. Milling time 0 jam Milling time 30 jam Milling time 50 jam Temperatur 700 0 C BET Surface Area (m 2 /g) 6.000 7.555 8.276 Gambar 8 Hasil uji EDX pellet dengan waktu milling 50 jam dan temperatur 900 0 C Lain halnya yang terlihat pada Gambar 5c yang cenderung lebih tersebar merata, walaupun masih terlihat adanya aglomerasi TiO 2. Dari hasil uji EDX terlihat hasil kuantitas atomic persen yang hampir sama walaupun mengambil spot yang berbeda yang menandakan persebaran Al 2 O 3 dan TiO 2 yang merata, namun jumlah TiO 2 mendominasi seperti pada Gambar 8. Pengujian TGA dilakukan untuk mengetahui stabilitas temperatur pengaplikasian sampel, agar saat diaplikasikan tidak terjadi perubahan fasa dari sampel. Hasil kemampuan Dari Tabel 3 yang dipergunakan untuk mengetahui adanya pengaruh milling time pada TiO 2 doped 5 wt% Al dengan proses mechanical milling menggunakan Modification Horizontal Ball Mill, menampilkan data bahwa dengan adanya waktu milling yang makin lama maka akan berpengaruh pada meningkatnya Luas Permukaan, hal tersebut berhubungan karena dengan adanya proses mechanical milling akan menyebabkan reduksi ukuran partikel, hal tersebut juga terlihat dan memiliki kesesuaian dengan hasil pengujian morfologi SEM.
6 Tabel 4 Hasil pengujian BET dengan variasi temperature sintering. Temperature 700 0 C 800 0 C 900 0 C Milling Time 50 jam BET Surface Area (m 2 /g) 8.276 6.386 7.861 Data yang terlihat dari Tabel 4 terlihat pengaruh variasi temperature sintering pada sampel dengan perlakuan mekanik yang sama, yang mana luas permukaan dengan milling time selama 50 jam dengan temperature sintering 700 0 C memiliki nilai luas permukaan terbesar. Nanomaterial cenderung teraglomerasi untuk mengurangi total surface energy akibat adanya peningkatan temperature[12], hal ini juga terlihat dari hasil pengujian SEM, namun pada pengujian BET terjadi anomaly pada pengujian dengan adanya variasi temperature yang tidak memiliki pola penurunan luas permukaan dengan adanya peningkatan temperature sintering. III. KESIMPULAN Adapun kesimpulan yang bisa ditarik dari penelitian ini adalah 1. Proses mechanical milling hingga 50 jam mampu menyebabkan reduksi ukuran partikel dari ukuran awalnya untuk TiO2 sebesar 75 µm menjadi 25 µm dan untuk serbuk Al dari 70 µm menjadi 51 µm. 2. Proses Mechanical milling telah mampu menyebabkan Al masuk ke dalam kristal TiO 2 Anatase, tetapi tidak semua ion Al 3+ bisa mensubtitusi posisi kation Ti 4+ karena masih ditemukannya fasa Al yang masih berdiri sendiri setelah proses milling maupun setelah sintering. 3. Peningkatan temperature sintering menyebabkan difusi Al ke sistem kristal TiO 2 pada sampel dengan waktu milling 50 jam. 4. Luas permukaan aktif terbesar bisa diperoleh dengan proses milling selama 50 jam dan sintering pada temperature 700 0 C. 5. Proses hingga 900 0 C menyebabkan perubahan menjadi TiO 2 Rutile dan juga menyebabkan transformasi unsur Al yang belum terdifusi ke kristal TiO 2 menjadi Al 2 O 3. [3] Savage N., Chwieroth B., Ginwalla A., Patton B.R, Akbar S.A., Dutta P.K., Composite np semiconducting titanium oxides as gas sensors, Sens. and Actuators B: Chem., 79, 1727 (2001). [4] Y. Shimizu, N. Nakashima, T. Hyodo, M.Egashira, NOx Sensing Properties of VaristorType Gas Sensors Consisting of Micro pn Junctions, Journal of Electroceramics, 6, 209217 (2001). [5] I. Alessandri, E. Comini, E. Bontempi, G. Faglia,L.E. Depero, G. Sberveglieri, Crinserted TiO2 thin films for chemical gas sensors, Sens. And Actuators B: Chem., 128, 312319 (2007). [6] Y. Li, W. Wlodarski, K. Galatsis, S. H. Moslih, J. Cole, S. Russo, N. Rockelmann, Gas sensing of ptype semiconducting Crdoped TiO2 thin films, Sens. and Actuators B: Chem., 83, 160163 (2002). [7] K.P.Kumar,K.Keizer, A.J. Burggraaf, Textural stability of titania alumina composite membranes, J. Mater. Chem. 3 (1993) 917 922. [8] Dwi Jingga,Diah Susanti, Pengaruh Variasi Temperatur Operasi dan Konsentrasi Gas terhadap Sensivitas Sensor Gas LPG dari Material WO3 Hasil proses SolGel dan Post Hydrothermal,(2013) [9] T Tokmakci, A. Ozturk, Park. 2013. Boron and Zirconoium codoped TiO 2 powders prepared through mechanical ball milling. Ceramic International 39 (2013) 58935899. [10] Y.J Choi, Z. Seeley, A. Bandyopadhyay, S. Bose, S. A. Akbar, Aluminumdoped TiO2 nanopowders for gas sensors, Sensors and Actuators B 124 (2007) 111 117 [11] Bharata Janattaka. 2012. Pengaruh kecepatan dan waktu miiling terhadap pembentukan fasa Intermetalik ytial hasil mechanical alloying menggunakan Modificatin Horizontal Ball Mill. Tugas Akhir.ITS Surabaya [12] Shippeng Qiu. 2006, Synthesis, Processing and Characterization of nanocrystalline Titanium Oxide. A thesis. University of Central Florida. DAFTAR PUSTAKA [1] Zakrzewska K.: Titanium Dioxide Thin Films for Gas Sensors and Photonic Applications, Uczelniane Wydawnictwa Naukowo Dydaktyczne AGH, No 115, 2003, 1223. [2] Ruiz A. M., Sakai G., Cornet A., Shimanoe K.,Morante J. R. and Yamazoe N., Crdoped TiO2 gas sensor for exhaust NO2 monitoring, Sens. and Actuators B: Chem., 93, 509518 (2003).