REFERAT GANGGUAN STRESS PASCA TRAUMA

dokumen-dokumen yang mirip
Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD)

POST TRAUMATIC STRESS DISORDER

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

GANGGUAN STRES PASCA TRAUMA

GANGGUAN STRESS PASCA TRAUMA

POST TRAUMATIC STRESS DISORDER

Mengenal Gangguan Stress Pasca Trauma

PTSD POSTTRAUMATIC STRESS DISORDER

POST TRAUMATIC STRESS DISORDER

GANGGUAN STRESS PASCATRAUMA

Gangguan Mental Terkait Trauma. Pusat Kajian Bencana dan Tindak Kekerasan Departemen Psikiatri FKUI/RSCM

Adhyatman Prabowo, M.Psi

PATOFISIOLOGI ANSIETAS

GANGGUAN PSIKOTIK TERBAGI. Pembimbing: Dr. M. Surya Husada Sp.KJ. disusun oleh: Ade Kurniadi ( )

JOURNAL READING GANGGUAN GEJALA SOMATIK. Diajukan Kepada : dr. Rihadini, Sp.KJ. Disusun oleh : Shinta Dewi Wulandari H2A012001

BAB 1 PENDAHULUAN. atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. gejala klinik yang manifestasinya bisa berbeda beda pada masing

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Istilah obsesi menunjuk pada suatu idea yang mendesak ke dalam pikiran.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedaruratan psikiatri adalah sub bagian dari psikiatri yang. mengalami gangguan alam pikiran, perasaan, atau perilaku yang

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia, khususnya di

POST TRAUMATIC STRESS DISORDER

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tekanan mental atau beban kehidupan. Dalam buku Stress and Health, Rice (1992)

DAFTAR KOMPETENSI KLINIK

BAB II KONSEP DASAR A. PENGERTIAN. Halusinasi adalah suatu persepsi yang salah tanpa dijumpai adanya

FAKTOR PSIKOLOGIS DAN PERILAKU YANG BERHUBUNGAN DENGAN GANGGUAN Pembimbing : dr. Dharmawan Ardi, Sp.KJ

Gangguan Penyesuaian (Adjustment Disorder)

GAMBARAN KLINIS GANGGUAN KECEMASAN

IPAP PTSD Tambahan. Pilihan penatalaksanaan: dengan obat, psikososial atau kedua-duanya.

BAB I. Pendahuluan. 1.1 Latar belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

SISTEM KLASIFIKASI DAN DIAGNOSIS GANGGUAN MENTAL DITA RACHMAYANI, S.PSI., M.A

GANGGUAN BIPOLAR PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan fisik yang tidak sehat, dan stress (Widyanto, 2014).

EPIDEMIOLOGI MANIFESTASI KLINIS

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Gangguan bipolar dulunya dikenal sebagai gangguan manik

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha 1

GANGGUAN SKIZOAFEKTIF FIHRIN PUTRA AGUNG

BAB II KONSEP DASAR. serta mengevaluasinya secara akurat (Nasution, 2003). dasarnya mungkin organic, fungsional, psikotik ataupun histerik.

UNIVERSITAS SEBELAS MARET FAKULTAS KEDOKTERAN SILABUS PSIKIATRI

SISTEM KLASIFIKASI DAN DIAGNOSIS GANGGUAN MENTAL DITA RACHMAYANI, S.PSI., M.A

KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA PENYANDANG KANKER PAYUDARA

Diagnosis & Tatalaksana Gangguan Depresi & Anxietas di Layanan Kesehatan Primer Dr. Suryo Dharmono, SpKJ(K)

Pendahuluan Masalah kesehatan jiwa sering terabaikan karena dianggap tidak menyebabkan kematian secara langsung. DALY (disability-adjusted adjusted li

PROSES TERJADINYA MASALAH

MANAJEMEN STRES PADA INDIVIDU YANG SELAMAT (SURVIVOR) DARI BENCANA ALAM. Kartika Adhyati Ningdiah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Gangguan Bipolar. Febrilla Dejaneira Adi Nugraha. Pembimbing : dr. Frilya Rachma Putri, Sp.KJ

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Dari uraian yang telah disampaikan dari Bab I sampai Bab IV, maka dapat

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. kecelakaan lalu lintas yang cukup parah, bisa mengakibatkan cedera

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. menyesuaikan diri yang mengakibatkan orang menjadi tidak memiliki. suatu kesanggupan (Sunaryo, 2007).Menurut data Badan Kesehatan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Skizofrenia merupakan sindroma klinis yang berubah-ubah dan sangat

EMOSI, STRES DAN KESEHATAN. Unita Werdi Rahajeng, M.Psi., psi

PERSOALAN DEPRESI PADA REMAJA

Kepekaan Reaksi berduka Supresi emosi Penundaan Putus asa

BAB I PENDAHULUAN. tersebut dapat terlihat dari peningkatan Umur Harapan Hidup (UHH) dan Angka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

TIM CMHN BENCANA DAN INTERVENSI KRISIS

EATING DISORDERS. Silvia Erfan

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan untuk menjaga homeostatis dan kehidupan itu sendiri. Kebutuhan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada pasien kanker amputasi dilakukan sebagai prosedur menyelamatkan jiwa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mengalami trauma sekunder tidak mengalami langsung kejadian. korban trauma. (Figley, McCann & Pearlman, dalam Motta 2008).

Dua komponennya yaitu kesadaran akan sensasi fisiologis dan kesadaran bahwa ia gugup

BAB I PENDAHULUAN. Masa menopause merupakan suatu transisidimana ditandai. perubahan siklus menstruasi yang sebelumnya regular, siklik, bisa

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN. yang membutuhkan perhatian lebih dalam setiap pendekatannya. Berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. terlupakan, padahal kasusnya cukup banyak ditemukan, hal ini terjadi karena

KLASIFIKASI GANGGUAN JIWA

BAB 1 PENDAHULUAN. Gangguan jiwa merupakan suatu penyakit yang disebabkan karena adanya

NYERI DAN EFEK PLASEBO

BAB I PENDAHULUAN. Semakin pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,

POST TRAUMATIC STRESS DISORDER (PTSD)

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. dipungkiri bahwa dengan adanya perkembangan ini, masalah yang. manusia. Menurut National Institute of Mental Health, 20% populasi

LAMPIRAN. Depresi. Teori Interpersonal Depresi

BAB 1 PENDAHULUAN. dari Tuhan. Selain itu, orang tua juga menginginkan yang terbaik bagi anaknya,

16/02/2016 ASKEP KEGAWATAN PSIKIATRI MASYKUR KHAIR TENTAMEN SUICIDE

BAB I PENDAHULUAN. memiliki prioritas tertinggi dalam hirarki Maslow. Dimana seseorang memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa kini banyak pola hidup yang kurang sehat di masyarakat sehingga

BAB I PENDAHULUAN. bertahun-tahun ini oleh ahli-ahli di bidang psikosomatik menunjukkan bahwa

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2010 GAMBARAN POLA ASUH

BAB I PENDAHULUAN. orang permasalahan sulit tidur (insomnia) sering terjadi bersamaan dengan terjaga

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II PEMBAHASAN. 2.1 Definisi

RESUME JURNAL HUBUNGAN ANTARA INSOMNIA DAN DEPRESI PADA LANJUT USIA DI KECAMATAN MERGANGSAN YOGYAKARTA LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN ANSIETAS

EMOSI, STRES DAN KESEHATAN. Unita Werdi Rahajeng, M.Psi., psi

BAB I PENDAHULUAN. menular (PTM) yang menjadi masalah kesehatan masyarakat, baik secara

Gangguan tidur LAMIA ADILIA DITA MINTARDI FEBRYN PRISILIA PALIYAMA DR. SUZY YUSNA D, SPKJ

2005). Hasil 62 survei di 12 negara dan mencakup narapidana menemukan tiap 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kaplan & Sadock (2007), trauma peperangan, bencana alam,

Pendahuluan. Dr. Ika Widyawati, SpKJ(K)

BAB II TINJAUAN TEORI. Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Oleh: Raras Silvia Gama Pembimbing: dr. Justina Evy Tyaswati, Sp. KJ

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Gangguan bipolar menurut Diagnostic and Statistical Manual of

BAB 1 PENDAHULUAN. menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk. (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Lanjut usia (lansia) adalah perkembangan terakhir dari siklus kehidupan.

Transkripsi:

REFERAT GANGGUAN STRESS PASCA TRAUMA Oleh: Nurul Syahidah Binti Muhamad Zaki 11-2013-330 Pembimbing: Dr. Ratna Mardiati, Sp.KJ BAGIAN ILMU KESEHATAN JIWA RUMAH SAKIT KETERGANTUNGAN OBAT CIBUBUR FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

KATA PENGANTAR Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat ilmu kesehatan jiwa yang berjudul Gangguan Stress Pasca Trauma ini tepat pada waktunya. Terima kasih juga kami ucapkan kepada Dr Ratna Mardiati SpKJ, selaku dokter pembimbing. Referat ini disusun dan dibuat berdasarkan materi materi yang diambil dari sumber yang dipercayai. Materi materi bertujuan agar dapat menambah pengetahuan dan wawasan dokter muda dalam mempelajari secara lebih mendalam mengenai gangguan panik. Adapun referat ini masih jauh dari kesempurnaan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan referat ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan referat ini. Akhir kata, semoga referat ini dapat memberikan manfaat kepada kita sekalian. Terima kasih. Jakarta, 21 Juli 2014 Penulis i

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... i BAB 1 PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar belakang. 1 BAB 2 ISI... 2 2.1. Definisi... 2 2.2. Epidemiologi... 3 2.3. Etiologi... 3 2.3.1. Stresor... 3 2.3.2. Faktor Psikodinamika... 4 2.3.3. Faktor Biologis..... 5 2.4. Tanda dan Gejala... 6 2.5 Diagnosis... 8 2.6 Diagnosis Banding... 11 2.7 Perjalanan penyakit. 11 2.8 Tatalaksana... 12 2.9 Prognosis... 13 BAB 3 PENUTUP... 14 3.1. Kesimpulan... 14 DAFTAR PUSTAKA... 15 i

1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN Kejadian traumatik merupakan peristiwa kehidupan yang dapat mengenai setiap orang. Dalam setiap kejadian traumatik yang terjadi, selalu ada implikasi kesehatan jiwa, baik dalam kasus akibat bencana alam, misalnya gempa bumi, tsunami, angin ribut, atau pada bencana yang diakibatkan oleh manusia, misalnya perang, serangan teroris, kekerasan interpersonal. Dampak dari kejadian traumatik yang dialami oleh setiap orang tidaklah sama. Kejadian traumatik yang dialami bila tidak dapat diatasi dengan baik dapat menimbulkan suatu kumpulan gejala yang berkaitan dengan kecemasan, kompleksitas gangguan kecemasan ini dikenal sebagai gangguan stres pasca trauma (Post traumatic Stress Disorder/ PTSD). Indonesia merupakan negara yang rawan bencana. Menurut data dari klinik psikiatri RSCM/FKUI yang difungsikan sebagai Pusat Rujukan nasional untuk pengobatan psikis bagi korban bencana melihat makin tingginya angka kejadian bencana yang terjadi di Tanah Air belakangan ini. Kondisi itu membuat prevalensi penderita gangguan stres pasca trauma meningkat. Oleh karena semakin meningkatnya angka kejadian gangguan stress pasca trauma tiap tahunnya, baik yang disebabkan oleh bencana alam maupun bencana yang diakibatkan oleh manusia, misalnya kekerasan maka gangguan stres pasca trauma merupakan suatu topik permasalahan yang harus diperhatikan. Identifikasi trauma yang berisiko menjadi gangguan stress pasca trauma merupakan komponen yang penting dalam mencegah terjadinya gangguan mental ini. Pada tinjauan kepustakaan ini akan dijabarkan tentang gambaran klinis, diagnosis, epidemiologi, etiologi, kalsifikasi, perjalanan penyakit, terapi dan prognosis. Diharapkan dengan pembahasan ini dapat mengembangkan pemahaman tentang pentingnya mengenali secara dini dan memberikan terapi yang tepat pada anak yang mengalami trauma agar tidak mengalami gangguan stress pasca trauma yang berkepanjangan. 1

BAB II PEMBAHASAN Post Traumatic Stress Disorder (Gangguan Stres Pascatrauma) 2.1 Definisi Post Traumatic Stress Disorder Gangguan stress pascatrauma merupakan sindrom kecemasan, labilitas otonomik, dan mengalami kilas balik dari pengalaman yang amat pedih setelah stres fisik maupun emosi yang melampaui batas ketahanan orang biasa. Selain itu, gangguan stress pascatrauma (PTSD) dapat pula didefinisikan sebagai keadaan yang melemahkan fisik dan mental secara ekstrim yang timbul setelah seseorang melihat, mendengar, atau mengalami suatu kejadian trauma yang hebat dan atau kejadian yang mengancam kehidupannya. 1,2 National Institute of Mental Health (NIMH) mendefinisikan gangguan stress pasca trauma (PTSD) sebagai gangguan berupa kecemasan yang timbul setelah seseorang mengalami peristiwa yang mengancam keselamatan jiwa atau fisiknya. Peristiwa trauma ini bisa berupa serangan kekekerasan, bencana alam yang menimpa manusia, kecelakaan ataupun perang. Dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, (DSM-IV-TR), PTSD didefinisikan sebagai suatu kejadian atau beberapa kejadian trauma yang dialami atau disaksikan secara langsung oleh seseorang berupa kematian atau ancaman kematian, atau cidera serius, atau ancaman terhadap integritas fisik atas diri seseorang. Kejadian tersebut harus menciptakan ketakutan ynag ekstrem, horor, atau rasa tidak berdaya. Menurut Departemen Kesehatan RI (Depkes RI) gangguan stress pasca trauma merupakan reaksi dari individu terhadap kejadian yang luar biasa akibat dari pengalaman seseorang pada suatu peristiwa yang bersifat amat hebat dan luar biasa, jauh dari pengalaman yang normal bagi seseorang. 3 Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan, gangguan stress pasca trauma merupakan gangguan yang diakibatkan satu atau lebih kejadian traumatik yang dialami atau disaksikan oleh seseorang baik ancaman kematian, cidera fisik yang mengakibatkan ketakutan ekstrem, horor, rasa tidak berdaya hingga berdampak mengganggu kualitas hidup individu dan apabila tidak ditangani dengan benar dapat berlangsung kronis dan berkembang menjadi gangguan stress pasca trauma yang kompleks dan gangguan kepribadian. 4

2.2Epidemiologi Prevalensi seumur hidup PTSD diperkirakan sekitar 8 persen populasi umum walaupun tambahan 5 hingga 15 persen dapat megalami bentuk subklinis gangguan ini. Di antara kelompok risiko tinggi yang anggotanya mengalami peristiwa traumatik, angka prevalensi seumur hidupnya berkisar 5 hingga 75 persen. Walaupun PTSD dapat timbul pada usia berapapun, gangguan ini paling prevalen pada dewasa muda karena mereka cenderung lebih terpajan dengan situasi penginduksi. Anak juga dapat mengalami gangguan ini. Laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan tipe trauma yang memajankan mereka dan kecenderungan untuk menglami PTSD. Prevalensi seumur hidup secara bermakna pada perempuan lebih tinggi. Gangguan ini lebih cenderung terjadi pada orang lajang, bercerai, janda, menarik diri secara sosial, atau tingkat sosioekonomi rendah. Meskipun demikian, faktor risiko paling penting dari gangguan ini adalah keparahan, durasi, dan kedekatan pajanan seseorang dengan trauma sebenarnya. 2 2.3Etiologi 2.3.1 Stressor Menurut definisinya, stressor adalah faktor penyebab utama dalam perkembangan gangguan stres pasca traumatik. Tetapi tidak setiap orang mengalami gangguan stres pasca traumatik setelah suatu peristiwa traumatik; walaupun stressor diperlukan, stressor tidak cukup untuk menyebabkan gangguan. Klinisi harus mempertimbangkan juga faktor biologis individual yang telah ada sebelumnya, faktor psikososial sebelumnya, dan peristiwa yang terjadi setelah trauma. Penelitian terakhir pada gangguan stres pasca trauma telah sangat menekankan pada respons subjektif seseorang terhadap trauma ketimbang beratnya stresor itu sendiri. Walaupun gejala gangguan stres pasca traumatik pernah dianggap secara langsung sebanding dengan beratnya stressor, penelitian empiris telah membuktikan sebaliknya. Sebagai akibatnya, consensus yang tumbuh adalah bahwa gangguan memiliki pengaruh pada arti subjektif stresor bagi pasien. Bahkan jika dihadapkan dengan trauma yang berat, sebagian besar orang tidak mengalami gejala gangguan stres pascatraumatik. Demikian juga peristiwa yang 5

tampaknya biasa atau kurang berbahaya bagi kebanyakan orang mungkin menyebabkan gangguan stress pasca traumatik pada beberapa orang karena arti subjektif dari peristiwa tersebut. Faktor kerentanan yang merupakan predisposisi yang tampaknya memainkan peranan penting dalam menentukan apakah gangguan berkembang adalah: 1. Adanya trauma masa anak-anak. 2. Sifat gangguan kepribadian ambang, paranoid, dependen, atau anti sosial. 3. Sistem pendukung yang tidak adekuat. 4. Kerentanan kontitusional genetika pada penyakit psikiatrik. 5. Perubahan hidup penuh stres yang baru terjadi. 6. Persepsi lokus kontrol eksternal, bukannya internal. 7. Penggunaan alkohol yang baru. 5 Penelitian psikodinamika terhadap orang yang dapat bertahan hidup dari trauma psikis yang parah telah menemukan aleksitimia, yaitu ketidak mampuan untuk mengidentifikasi atau mengungkapkan keadaan perasaan sebagai ciri yang umum. Jika trauma psikis terjadi pada anak-anak, biasanya dihasilkan perhentian perkembangan emosional. Jika trauma terjadi pada masa dewasa, regresi emosional seringkali terjadi. Orang yang selamat dari trauma biasanya tidak dapat menggunakan keadaan emosional internal sebagai tanda dan mungkin mengalami gejala psikosomatik. Mereka juga tidak mampu menenangkan dirinya jika dalam stres. 1,2,4 2.3.2 Faktor Psikodinamika Model kognitif dari gangguan stres pascatrauma menyatakan bahwa orang yang terkena adalah tidak mampu untuk memproses atau merasionalisasikan trauma yang mencetuskan gangguan. Mereka terus mengalami stress dan berusaha untuk tidak mengalami stress dengan teknik menghindar. Sesuai dengan kemampuan parsial mereka untuk mengatasi peristiwa secara kognitif, pasien mengalami periode mengakui peristiwa dan menghambatnya secara berganti-ganti. 6

Model perilaku dari gangguan stress pascatraumatik menyatakan bahwa gangguan memiliki dua fase dalam perkembangannya. Pertama, trauma (stimulus yang tidak dibiasakan) adalah dipasangkan, malalui pembiasaan klasik, dengan stimulus yang dibiasakan (pengingat fisik atau mental terhadap trauma). Kedua, melalui pelajaran instrumental, pasien mengembangkan pola penghindaran terhadap stimulus yang dibiasakan maupun stimulus yang tidak dibiasakan. Model psikoanalitik dari gangguan menghipotesiskan bahwa trauma telah mereaktivasi konflik psikologis yang sebelumnya diam dan belum terpecahkan. Penghidupan kembali trauma masa anak-anak menyebabkan regresi dan mekanisme pertahanan represi, penyangkalan, dan meruntuhkan (undoing). Ego hidup kembali dan dengan demikian berusaha menguasai dan menurunkan kecemasan. Pasien juga mendapatkan tujuan sekunder dari dunia luar, peningkatan perhatian atau simpati, dan pemuasan kebutuhan ketergantungan. Tujuan tersebut mendorong gangguan dan persistensinya. Suatu pandangan kognitif tentang gangguan stress adalah bahwa otak mencoba untuk memproses sejumlah besar informasi yang dicetuskan oleh trauma dengan periode menerima dan menghambat peristiwa secara berganti-ganti. 1,2,4 2.3.3 Faktor Biologis Faktor Biologik Terpaparnya seseorang oleh peristiwa yang traumatik akan menimbulkan respons takut sehingga otak dengan sendirinya akan menilai kondisi keberbahayaan peristiwa yang dialami, serta mengorganisasi suatu respons perilaku yang sesuai. Dalam hal ini, Amigdala merupakan bagian otak yang sangat berperan besar. Amigdala mengaktivasi beberapa neurotransmitter serta bahan bahan neurokimiawi di otak sebagai respons tubuh terhadap trauma. Hal ini akan menimbulkan stimulus berupa tanda darurat kepada: 1. Sistem Saraf Simpatis Sistem saraf simpatis akan membuat tubuh menjadi siaga dengan meningkatkan denyut jantung dan tekanan darah, sehingga seseorang mampu untuk menghadapi trauma tersebut. 2. Sistem Saraf Parasimpatis Sistem saraf parasimpatis bereaksi dengan membatasi reaksi sistem saraf simpatis pada beberapa jaringan tubuh. 3. Aksis Hipotalamus-Hipofisis-kelenjar Adrenal (HPA) 7

Hipotalamus akan mengeluarkan Cortico Releasing Factor (CRF) dan beberapa neuropeptida regulator lainnya, sehingga kelenjar hipofisis akan terangsang dan mengeluarkan adenocorticotropic hormone (ACTH) yang akhirnya menstimulasi pengeluaran hormon kortisol dari kelenjar adrenal. Hormon kortisol berfungsi untuk menghentikan respons tubuh yang bersifat defensif terhadap stress. Pada pasien yang mengalami gangguan stress pasca trauma, dihipotesis terjadi hipersensitivitas dari ketiga sistem yang teraktivasi di atas sehingga seseorang menjadi mudah untuk mengalami gejala gejala tersebut. 4-6 2.4 Gambaran Klinis Gambaran klinis utama PTSD adalah mengalami kembali suatu peristiwa yang menyakitkan, suatu pola menghindari dan mematikan emosi, serta keadaan terus terjaga yang cukup konstan. Gangguan ini dapat tidak timbul sampai berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun setelah peristiwa tersebut. Pemeriksaan status mental sering mengungkapkan rasa bersalah, penolakan, dan cemohan. Pasien juga menggambarkan disosiatif dan serangan panik serta ilusi dan halusinasi dapat timbul. Uji kognitif dapat menunjukkan bahwa pasien memiliki hendaya memori dan perhatian. Gejala terkait dapat mencakup agresi, kekerasan, kendali impuls yang buru, depresi dan gangguan terkait zat 1. Gejala utama PTSD adalah mengalami kembali secara involunter peristiwa traumatik dalam bentuk mimpi atau bayangan yang intrusive, yang menerobos masuk ke dalam kesadaran secra tiba-tiba (kilas balik atau flash back). Hal ini sering dipicu oleh hal-hal yang mengingatkan penderita akan peristiwa traumatik yang pernah dialami. Kelompok gejala lainnya adalah tanda-tanda meningkatnya keterjagaan (arousal) berupa anxietas yang hebat, iritabilitas, insomnia, dan konsentrasi yang buruk. Anxietas akan bertambah parah pada saat terjadi kilas balik. Gejala-gejala disosiatif merupakan kelompok gejala lainnya yang terdiri dari kesulitan mengingat kembali bagian-bagian penting dari peristiwa itu (detachment), ketidakmampuan untuk merasakan perasaan (emotional numbness). Kadang-kadang terjadi depersonalisasi dan derealisasi. Perilaku menghindar merupakan bagian dari gejala PTSD. Pasien menghindari hal-hal yang dapat mengingatkan dia akan peristiwa traumatik tersebut. Gejala-gejala depresi kerap kali didapatkan dan penyintas (survivor) sering merasa 8

bersalah. Perilaku maladaptif sering terjadi berupa rasa marah yang persisten, penggunaan alkohol atau obat-obat berlebihan dan perbuatan mencederai diri yang sebagian berakhir dengan bunuh diri. 1,3,6 2.5 Diagnosis Kriteria diagnosis DSM-IV TR untuk PTSD merinci bahwa gejala mengalami, menghindari, dan terus terjaga lebih atau lebih dari 1 bulan. Untuk pasien yang gejalanya ada, tetapi kurang dari 1 bulan, diagnosis yang sesuai adalah gangguan stres akut. Kriteria diagnostik DSM-IV TR PTSD memungkinkan klinisi untuk merinci apakah gangguan tersebut akut (jika gejala kurang dari 3 bulan) atau kronis (jika gejala telah ada selama 3 bulan atau lebih). DSM-IV TR juga memungkinkan klinisi merinci bahwa gangguan tersebut adalah dengan awitan yang tertunda jika awitan gejala 6 bulan atau lebih setelah peristiwa yang memberikan stres. Menurut DSM IV, kriteria diagnosis bagi penderita gangguan stress pasca trauma : A. Kejadian traumatik 1. Satu atau banyak pristiwa yang membuat seseorang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu kejadian yang berupa ancaman kematian, cidera yang serius atau ancaman terhadap integritas fisik dirinya sendiri atau orang lain. 2. Tanggapan individu terhadap pengalaman tersebut dengan ketakutan, kengerian, atau ketidakberdayaan yang sangat kuat. B. Mengalami kembali satu atau lebih gejala di bawah ini: 1. Teringat kembali akan kejadian trauma menyedihkan yang dialaminya dan bersifat mengganggu bisa berupa gambaran, pikiran, persepsi 2. Mimpi buruk yang berulang tentang peristiwa trauma yang dialaminnya yang mencemaskan 3. Mengalami kilas balik trauma - merasa seakan kejadian trauma yang dialaminya terjadi kembali, hal ini bisa terjadi karena ilusi, haluinasinya 4. Kecemasan psikologis dan fisik bersamaan dengan hal yang mengingatkan terhadap kejadian trauma kenangan akan peristiwa trauma C. Menghindari secara persisten stimulus yang berkaitan dengan trauma dan mematikan perasaan/ tidak berespon terhadap suatu hal sebelum trauma masih 9

berespon. Gejala ini meliputi tiga atau lebih hal di bawah ini: 1. Kemampuan untuk menghindari pikiran, perasaan, percakapan yang berhubungan dengan kejadian trauma 2. Kemampuan menghindari aktivitas, tempat, orang yang dapat membangkitkan kembali kenangan akan trauma yang dialaminya 3. Ketidakmampuan mengingat aspek penting dari peristiwa trauma yang dialaminya 4. Ketertarikan dan minat untuk berpartisipasi dalam peristiwa penting berkurang 5. Merasa terasing dari orang di sekitarnya 6. Terbatasnya rentang emosi (contoh: tidak dapa merasakan cinta) 7. Perasaan bahwa masa depannya suram D. Gejala hiperarousal/ sangat sensitif yang persisten meliputi dua atau lebih gejala di bawah ini: 1. Sulit untuk memulai tidur/ sulit mempertahankannya 2. Sulit berkonsentrasi 3. Mudah kesal dan meledak-ledak emosinya 4. Hypervigilance (kewaspadaan yang berlebihan) 5. Reaksi kaget yang berlebihan E. Durasi dari gangguan (gejala di kriteria B, C, D) lebih dari sebulan F. Gangguan/ gejala di atas ini menyebabkan kecemasan dan gangguan fungsional dalam berhubungan sosial, pekerjaan, dan fungsi penting lainnya Selain itu, secara spesifikasi diagnosis PTSD dapat diidentifikasi sebagai: (1) akut, bila gejala berlangsung satu sampai tiga bulan (2) kronis, bila gejala berlangsung lebih dari tiga buan (3) Awal gejala / onset yang tertunda bila gejala dimula sedikitnya enam bulan setelah kejadian traumatik/stresor Selanjutnya, menurut International Classification of Diseases 10 (ICD-10) kriteria diagnosis PTSD sebagai berikut: A. Pasien harus pernah terpapar pada suatu peristiwa atau situasi yang menimbulkan stress (sebentar/lama) yang sifatnya malapetaka atau sangat mengancam sehingga mungkin akan menyebabkan stres pada hampir semua 10

orang. B. Terus menerus mengingat atau menghayati lagi penyebab stress dalam bentuk kilas balik yang mengganggu, kenangan yang jelas sekali atau mimpi yang berulang, atau mengalami kecemasan ketika menghadapi keadaan yang mirip atau berkaitan dengan penyebab stress. C. Pasien harus memperlihatkan suatu penghindaran nyata dari keadaan yang mirip atau berhubugan dengan penyebab stress yang tidak ada sebelumnya. D. Salah satu dari hal berikut harus terjadi: a. tidak mampu mengingat sebagian atau seluruhnya dari beberapa aspek penting selama masa terpapar pada penyebab stres b.gejala yang terus menerus dari adanya peningkatan kepekaaan psikologis dan sensasi-tidak ada sebelum terpapar dengan penyebab stres, ditunjukkan oleh dua dari berikut ini: (1) sulit untuk memulai tidur dan mempertahankannya (2) mudah marah atau amarah yang meledak-ledak (3) sulit berkonsentrasi (4) kewaspadaan yang sangat tinggi (5) reaksi kaget yag berlebihan E. Kriteria B, C, dan D semuanya terjadi dalam kurun waktu enam bulan setelah peristiwa traumatik terjadi Pedoman diagnostik gangguan stress pasca trauma menurut PPDGJ III (F 43.1) yaitu : agnosis baru ditegakkan bilamana gannguan ini timbul dalam kurun waktu enam bulan setelah kejadiian traumatik berat (masa laten yang berkisar antara beberapa minggu sampai beberapa bulan, jarang sampai melampaui enam bulan). Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu mulai saat kejadian dan onset gangguan melebihi waktu enam bulan, asal saja manifestasi klinisnya adalah khas dan tidak didapat alternatif kategori ganngguan lainnya. Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayang-bayang atau 11

mimpi-mimpi dari kejadian traumatik tersebut secara berulang-ulang kembali (flashbacks) Gangguan otonomik, gangguan afek, dan kelainan tingkah laku semuanya dapat mewarnai diagnosis tetapi tidak khas Suatu sequelae menahun yang terjadi lambat setelah stress yang luar biasa, misalnya saja beberapa puluh tahun setelah trauma, diklasifikasi dalam kategori F62.0 (perubahan kepribadian yang berlangsung lama setelah mengalami katastrofa). 2,3 2.6 Diagnosis Banding Pertimbangan utama dalam diagnosis PTSD adalah kemungkinan bahwa pasien juga menderita cedera kepala selama trauma. Pertimbangan organik lain yang dapat menyebabkan dan memperberat gejala adalah epilepsi, gangguan penggunaan alkohol, dan gangguan terkait zat lain. Intoksikasi atau putus zat juga dapat menunjukkan gambaran klinis yang sulit dibedakan dengan gangguan ini sampai efek zat hilang. PTSD lazim salah didiagnosis sebagai gangguan jiwa lain dan kemudian diobati dengan tidak sesuai. Klinisi harus mempertimbangkan diagnosis PTSD pada pasien yang memiliki gangguan nyeri, penyalahgunaan zat, gangguan ansietas lain dan gangguan mood. Pada umumnya, PTSD dapat dibedakan dengan gangguan jiwa lain dengan mewawancarai pasien mengenai pengalaman traumatik sebelumnya dan dengan sifat gejala saat ini. Gangguan kepribadian ambang, gangguan disosiatif, gangguan buatan, malingering juga harus dipertimbangkan. 1 2.7 Perjalanan Penyakit PTSD biasanya timbul beberapa waktu setelah trauma. Penundaan dapat selama 1 minggu atau hingga 30 tahun. Gejala dapat fluktuasi dari waktu ke waktu dan menjadi paling intens selama periode stres. Jika tidak diobati, sekitar 30% pasien akan pulih sempurna. 40% akan terus mengalami gejala ringan, sekitar 10% tetap tidak berubah atau bertambah buruk. Setelah satu tahun, sekitar 50% pasien akan pulih. Prognosis yang baik diperkirakan dengan adanya awitan gejala cepat, durasi gejala singkat (kurang dari 6 bulan), fungsi pramorbid baik, dukungan sosial baik, dan tidak adanya gangguan 12

psikiatri, medis atau gangguan terkait zat lain atau faktor risiko lain. Umumnya orang yang sangat muda dan sangat tua lebih memilki kesulitan dengan peristiwa traumatic daripada orang usia pertengahan. 2 2.8 Penatalaksanaan (Terapi) Berbagai teknik untuk meredakan kecemasan seperti relaksasi, teknik-teknik mengatur pernafasan serta mengontrol pikiran-pikiran perlu dilatih dan terbukti bermanfaat untuk individu dengan gangguan stress pascatraumatik. Modifikasi pola hidup seperti diet yang sehat, mengatur konsumsi kafein, alkohol, rokok dan obat-obatan lainnya, perlunya olahraga yang teratur, dll. Medikasi yang terbukti bermanfaat untuk mengatasi kasus ini adalah pemberian antidepresan golongan SSRI (selective serotonin reuptake inhibitor) seperti Fluoxetin 10-60 mg/hr, Sertralin 50-200mg/hr atau Fluvoxamine 50-300mg/hr. Antidepresan lain yang juga dapat digunakan adalah Amiltriptilin 50-300mg/hr dan juga imipramin 50-300mg/hr. 1 Berdasarkan rekomendasi dari The Expert Consensus Panels for PTSD, tatalaksana gangguan stress pascatraumatik sebaiknya mempertimbangkan beberapa aspek di bawah ini: 1. Gangguan stress pascatraumatik merupakan suatu gangguan yang kronik dan berulang serta sering berkormobiditas dengan gangguan-gangguan jiwa serius lainnya. 2. Antidepresan golongan penghambat selektif dari ambilan serotonin/ssri merupakan obat pilihan pertama untuk kasus ini. 3. Terapi yang efektif harus dilanjutkan paling sedikit 12 bulan. 4. Exposure therapy (terapi pemaparan) merupakan terapi dengan pendekatan psikososial terbaik yang dianjurkan dan sebaiknya dilanjutkan selama 6 bulan. 2.9 Prognosis Prognosis pada kasus PTSD adalah sulit untuk menentukan, karena itu bervariasi secara signifikan dari pasien ke pasien. Beberapa individu yang tidak menerima 13

perawatan secara bertahap pulih dalam periode tahun. Banyak orang yang menerima perawatan medis dan psikiatris tepat sembuh sepenuhnya (atau hampir sepenuhnya). Jarang, bahkan dengan intervensi intensif, individu mengalami gejala memburuk dan bunuh diri. Pada pasien dengan stres pasca trauma yang menerima pengobatan, durasi rata-rata gejala adalah 36 bulan, dibandingkan dengan 64 bulan untuk pasien yang tidak menerima pengobatan. Namun, lebih dari sepertiga pasien yang memiliki stres pasca trauma tidak pernah sepenuhnya pulih. Faktor yang terkait dengan prognosis yang baik meliputi keterlibatan cepat pengobatan, dukungan sosial awal dan berkelanjutan, menghindari retraumatisasi, fungsi premorbid positif, dan tidak adanya gangguan kejiwaan lain atau penyalahgunaan zat 1,4,7 14

BAB III KESIMPULAN Post traumatic Stress Disorder (PTSD) merupakan gangguan yang diakibatkan satu atau lebih kejadian traumatik yang dialami atau disaksikan oleh seseorang baik ancaman kematian, kematian, cidera fisik yang mengakibatkan ketakutan ekstrem, horror, rasa tidak berdaya hingga berdampak mengganggu kualitas hidup individu dan apabila tidak ditangani dengan benar dapat berlangsung kronis dan berkembang menjadi gangguan stress pasca trauma yang kompleks dan gangguan kepribadian. Identifikasi pada anak yang mengalami trauma dan berisiko menjadi gangguan stress pasca trauma merupakan komponen yang penting dalam mengatasi gangguan ini. PTSD terjadi akibat adanya kejadian traumatik dan perlu dipertimbangkan beberapa faktor yang berperan antara lain: faktor biologis, faktor psikologis, faktor sosial, dan faktor lainnya yang dapat meningkatkan risiko terjadi gangguan ini. Tanda dan gejala penderita PTSD secara umum dapat dibagi menjadi tiga yakni: mengalami kembali kejadian trauma, menghindari stimulus, dan gejala hiperarousal. Setelah dilakukan evaluasi ada dua macam terapi pengobatan yang dapat dilakukan pada penderita PTSD yaitu, dengan menggunakan psikoterapi dan farmakoterapi.hasil pengobatan akan lebih efektif jika kedua terapi ini dikombinasikan sehingga tercapai penanganan yang holistik dan komprehensif. 15

DAFTAR PUSTAKA 1. Kaplan, Saddock..Buku ajar psikiatri klinis. Edisi ke-2. Jakarta: EGC;2010.h.252-58. 2. Wiguna T. Buku ajar psikiatri. Edisi ke-2. Jakarta: FKUI;2013.h.277-85. 3. WHO. Pedoman penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa di Indonesia III. Departmen kesehatan RI.h.187-93. 4. Recognizing post traumatic stress disorder. Oxford Journal Medicine. 2004; 97 (1): 1-5. 5. Horward S. Mark W. Post traumatic stress disorder: what happens in the brain. Washington academy of science. 2007.p.1-17. 6. Anne G. Sleep disturbances as the hallmark of PTSD: where are we now. Am J Psychiatry 2013;170:372-382. 7. Matthew, Stefan, Kateri et al. Emotion regulation and PTSD: A prospective investigation. 2013. Journal of Social and Clinical Psychology, Vol. 32, No. 3, 2013, p. 296-314. 16