BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN TEORI DAN KONSEP

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan anak selanjutnya (Nursalam dkk, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Orang pada masa mulai lahir sampai masa anak- anak tertentu pasti

SATUAN ACARA PENYULUHAN TOILET TRAINING PADA ANAK

BAB I PENDAHULUAN. etika-moral. Perkembangan anak sangat penting untuk diperhatikan karena akan

BAB I PENDAHULUAN. 1 tahun), usia bermain/toddler (1-2,5 tahun), pra sekolah (2,5-5 tahun), sekolah

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II Enuresis Stres Susah buang air besar Alergi TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Anak merupakan karunia Tuhan yang harus disyukuri, dimana setiap keluarga

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. orang tua yang sudah memiliki anak. Enuresis telah menjadi salah satu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

TOILET TRAINING. 1) Imam Rifa i 2) Rut Aprilia Kartini 3) Sukmo Lelono 4) Sulis Ratnawati

BAB I PENDAHULUAN. dini. Salah satu permasalahan yang sering dijumpai adalah mengompol yang

BAB I PENDAHULUAN. adalah aktifitas untuk mencapai tugas perkembangan melalui toilet training.

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya, manusia dalam kehidupannya mengalami tahapan

Bab 1 PENDAHULUAN. pada kehidupan selanjutnya. Perhatian yang diberikan pada masa balita akan

TOILET TRAINING. C. Faktor-Faktor Yang Mendukung Toilet Training Pada Anak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengetahuan adalah merupakan hasil tahu, dan ini terjadi setelah

Psikologi Terapan UI ini.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LAPORAN NURSING CARE INKONTINENSIA. Blok Urinary System

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2005). Pada periode ini anak akan mulai berjalan dan mengekplorasi rumah dan

BAB I PENDAHULUAN. Anak adalah anugerah dan merupakan titipan serta amanah yang. sesuai dengan tahap pertumbuhan dan perkembangannya.

TUGAS MADIRI BLADDER TRAINING

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ditempat tidur (biasanya dimalam hari) atau pada pakaian disiang hari dan

BAB 1 PENDAHULUAN. terlebih dahulu agar orang tua dapat mengarahkan dan membimbing anaknya

Pengkajian : Manifestasi klinis yang dapat ditemukan pada individu yang mengalami masalah eliminasi urine : 1. inkontinensia urine 2.

BAB I PENDAHULUAN. air besar dan bladder control atau kontrol buang air kecil. Saat. yang tepat melakukan toilet training setelah anak mulai bisa

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN. mampu mengontrol dalam melakukan buang air kecil dan buang air besa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kebutuhan dasar manusia merupakan unsur-unsur yang dibutuhkan

KEBUTUHAN ISTIRAHAT DAN TIDUR. NIKEN ANDALASARI

TOILET TRAINING PADA ANAK DOWN SYNDROME

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut

TUGAS MANDIRI 1 Bladder Training. Oleh : Adelita Dwi Aprilia Reguler 1 Kelompok 1

GANGGUAN MIKSI DAN DEFEKASI PADA USIA LANJUT. Dr. Hj. Durrotul Djannah, Sp.S

disebabkan internal atau eksternal trauma, penyakit atau cedera. 1 tergantung bagian neurogenik yang terkena. Spincter urinarius mungkin terpengaruhi,

BAB 1 PENDAHULUAN. namun saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. (Hidayat dalam Ernawati

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. memasukkan kateter ke dalam kandung kemih melalui uretra yang bertujuan

KEBUTUHAN ISTIRAHAT DAN TIDUR. Niken Andalasari

BAB 1 PENDAHULUAN. perkembangannya mengatakan bahwa anak usia toddler (1-3) tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. perencanaan atau penataan pembangunan bangsa (Hidayat, 2008 ) Peningkatan dan perbaikan upaya kelangsungan, parkembangan dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. istirahat bagi tubuh dan jiwa, atas kemauan dan kesadaran secara utuh atau

BAB I PENDAHULUAN. Pola eliminasi urine merupakan salah satu perubahan fisik yang akan

BAB I PENDAHULUAN. anak yang sudah mulai memasuki fase kemandirian (Wong, 2004). Dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengetahuan 1. Pengertian Pengetahuan merupakan hasil dari tahu yang terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap

GANGGUAN ELIMINASI. Dr. Noorhana, SpKJ(K)

CATATAN PERKEMBANGAN IMPLEMENTASI DAN EVALUASI KEPERAWATAN

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN SURAKARTA 2012

BAB I PENDAHULUAN. terutama pada trimester pertama (Hutahaean, 2013). Hampir 45% wanita

TOILET TRAINING PADA ENURESIS ANAK PRASEKOLAH di RW II KELURAHAN BANGSAL KOTA KEDIRI

BAB I PENDAHULUAN. anak melakukan kegiatan tersebut disitu anak akan mempelajari anatomi. tubuhnya sendiri serta fungsinya.(hidayat Alimul,2005)

JURNAL ABDIMAS BSI Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat Vol. 1 No. 1 Februari 2018, Hal. 7-13

BAB 1 PENDAHULUAN. adalah persalinan sectio caesarea. Persalinan sectio caesarea adalah melahirkan janin

BAB I PENDAHULUAN. keluarga lain, pengalaman dini belajar anak khususnya sikap sosial yang awal

HUBUNGAN PENGETAHUAN DENGAN SIKAP IBU DALAM TOILET TRAINING PADA ANAK TODDLER DI DESA GLODOGAN KECAMATAN KLATEN SELATAN

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan pembangunan kesehatan. Pembangunan kesehatan sebagai bagian dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pasal 1 dinyatakan bahwa seorang dikatakan lansia setelah mencapai umur 50

BAB I PENDAHULUAN. ukuran dari hal hal yang telah ada, maupun perubahan karena timbulnya unsur

BAB I PENDAHULUAN. memiliki prioritas tertinggi dalam hirarki Maslow. Dimana seseorang memiliki

BAB I PENDAHULUAN. anak, yang merupakan masa pertumbuhan dasar anak. Pada usia batita

Pelayanan Kesehatan bagi Anak. Bab 7 Gizi Buruk

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan fisik yang tidak sehat, dan stress (Widyanto, 2014).

INKONTINENSIA URIN. Dr. Budi Iman Santoso, SpOG (K) Divisi Uroginekologi Rekonstruksi Departemen Obstetri dan Ginekologi FKUI/ RSCM Jakarta

KESIAPAN TOILET TRAINING PADA ANAK TODDLER DI BANDA ACEH COMPARISON OF TOILET TRAINING READINESS IN BANDA ACEH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING JURNAL

Hipertensi (Tekanan Darah Tinggi)

A. Pengertian Defisit Perawatan Diri B. Klasifikasi Defisit Perawatan Diri C. Etiologi Defisit Perawatan Diri

KEBERHASILAN TOILET TRAINING PADA ANAK USIA 3-4 TAHUN BERHUBUNGAN DENGAN PEMAKAIAN DISPOSIBLE DIAPER. Dadang Kusbiantoro

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Keluarga dalam hubungannya dengan anak diidentikkan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. apabila terjadi kerusakan. Salah satu keluhan yang sering dialami lansia akibat

Hesti Lestari Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Unsrat RSUP Prof dr R.D. Kandou Manado

BAB I PENDAHULUAN. makanan, tempat tinggal, eliminasi, seks, istirahat dan tidur. (Perry, 2006 : 613)

Berkemih adalah koordinasi dari: -1) Internal sphincter -2) Extern Sphincter - 3) Detrussor muscle N.Hypogastric (Simpatic N)

disampaikan oleh : nurul aini

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Tujuan Asuhan Keperawatan pada ibu hamil adalah sebagai berikut:

Tips Mengatasi Susah Buang Air Besar

PEMENUHAN KEBUTUHAN DASAR IBU NIFAS DAN MENYUSUI ISTIRAHAT

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH III STANDAR OPERATIONAL PROSEDURE BLADDER TRAINING

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa anak prasekolah (3-5 tahun) adalah masa yang menyenangkan dan

KARAKTERISTIK TAHAPAN PERKEMBANGAN MASA BAYI (0 2 TAHUN)

BAB I PENDAHULUAN. terjadinya pengembangan kemampuan fisik, kognitif, bahasa, sosial-emosional,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. optimal bagi manusia. Maslow dalam teori kebutuhan dasar manusia, membagi


BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi sumber daya yang berkualitas tidak hanya dilihat secara fisik namun

BAB I. dan perkembangan anak selanjutnya. Salah satu tugas anak toddler ini yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Periode lima tahun pertama kehidupan anak (masa balita) merupakan masa

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Periode penting dalam tumbuh kembang anak terjadi

Data Demografi. Ø Perubahan posisi dan diafragma ke atas dan ukuran jantung sebanding dengan

BAB I PENDAHULUAN. yang bisa merangsang motorik halus anak. Kemampuan ibu-ibu dalam

BAB I PENDAHULUAN. memberikan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat. Rumah

BAB I PENDAHULUAN. Nasional (Susenas) tahun 2010 di daerah perkotaan menurut kelompok usia 0-4

BAB I PENDAHULUAN. Dalam proses perkembangan anak memiliki ciri fisik, kognitif, konsep diri, pola

C. Penyimpangan Tidur Kaji penyimpangan tidur seperti insomnia, somnambulisme, enuresis, narkolepsi, night terrors, mendengkur, dll

BAB I PENDAHULUAN. kembang anak dipengaruhi oleh faktor bawaan (i nternal) dan faktor lingkungan.

Transkripsi:

13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Toilet Training 1. Definisi Toilet Training Pelatihan toilet training adalah hal yang penting, untuk itu anak harus dididik pelatihan penggunaan toilet training. Dalam hal ini orang tua harus memahami keadaan anak, tingkat perkembangan dan cara beljar anak. Salah satu tanda penting dalam kehidupan awal anak adalah perpindahan dari popok ke penggunaan toilet. Ini merupakan langkah besar untuk semua orang yang terlibat dalam suksesnya pengajaran toilet training pada anak (Warner, 2006). Toilet training pada anak merupakan suatu usaha untuk melatih anak agar mampu mengontrol dalam buang air kecil dan besar. Pada toilet training selain melatih anak dalam mengontrol buang air besar dan kecil juga dapat bermanfaat dalam pendidikan seks sebab saat anak melakukan kegiatan tersebut, anak akan mempelajari anatomi tubuhnya sendiri serta fungsinya. Toilet training pada anak merupakan suatu usaha untuk melatih anak agar mampu mengontrol dalam melakukan buang air kecil dan buang air besar. Toilet training ini dapat berlangsung pada fase kehidupan anak yaitu umur 18 bulan 2 tahun, dalam melakukan buang air kecil dan buang air besar pada anak membutuhkan persiapan baik fisik, psikologis, maupun secara intelektual, melalui persiapan tersebut 13

14 diharapkan anak mampu mengontrol buang air kecil dan buang air besar (Hdayat, 2005). Toilet training pada anak dengan usia yang tidak tepat dapat menimbulkan beberapa masalah yang dialami anak yaitu seperti sembelit, menolak toileting, disfungsi berkemih, infeksi saluran kemih, dan enuresis (Hooman et al, 2013). Latihan buang air besar atau kecil pada anak atau dikenalkan dengan toilet training merupakan suatu hal yang harus dilakukan orang tua kepada anaknya, mengingat dengan latihan itu diharapkan anak mempunyai kemampuan sendiri dalam melaksanakan buang air kecil atau besar tanpa merasakan ketakutan atau kecemasan sehingga anak akan mengalami pertumbuhan dan perkembanagan sesuai dengan usia. Toilet training penting dilakukan untuk melatih kemandirian anak, menanamkan kebiasaan baik anak, terutama tentang kebersihan diri. Toilet training bukanlah kegiatan yang mudah untuk dilakukan. Untuk itu, harus dilakukan pada usia yang tepat, berkisar antara usia 1-3 tahun. Toilet training yang tidak diajarkan sejak dini akan membuat orang tua semakin sulit untuk mengajarkan pada anak ketika anak bertambah usianya (Hidayat, 2005). Toilet training ini dapat berlangsung pada fase kehidupan anak yaitu umur 18 bulan-2 tahun. Dalam, melakukan latihan buang air kecil dan besar pada anak membutuhkan persiapan baik secara fisik, psikologis

15 maupun secara intelektual, melalui persiapan tersebut diharapkan anak mampu mengontrol buang air kecil atau besar sendiri (Hidayat, 2008). Konsep toilet training dapat diperkenalkan pada anak sejak dini yaitu usia toddler (1 3 tahun). Walaupun bukan pekerjaan sederhana, orang tua harus termotivasi anaknya agar terbiasa buang air besar dan buang air kecil dengan baik. Mengajarkan toilet training pada anak bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan, apalagi pada anak dengan disabilitas intelektual. Kegagalan toilet training diantaranya adalah adanya perlakuan atau aturan yang ketat dari orangtua kepada anaknya. Seperti orangtua sering memarahi anak pada saat BAB atau BAK atau bahkan melarang BAB atau BAK saat bepergian (Hidayat, 2005). 2. Pengkajian Masalah Toilet Training Pengkajian kebutuhan terhadap toilet training merupakan sesuatu yang harus diperhatikan sebelum anak melakukan buang air besar, mengingat anak yang melakukan buang air besar atau kecil akan mengalami proses keberhasilan dan kegagalan, selama buang air kecil dan besar. Proses tersebut akan dialami oleh setiap anak, untuk mencegah terjadinya kegagalan maka dilakukan suatu pengkajian fisik, pengkajian psikologis, dan pengkajian intelektual. a. Pengkajian Fisik Pengkajian fisik yang harus diperhatikan pada anak yang akan melakukan buang air kecil atau besar dapat meliputi kemampuan

16 motorik kasar seperti berjalan, duduk, meloncat dan kemampuan motorik halus seperti mampu melepas celana sendiri. Kemampuan motorik ini harus mendapat perhatian karena kemampuan untuk buang air besar ini lancar dan tidaknya dapat ditunjang dari kesiapan fisik sehingga ketika anak berkeinginan untuk buang air kecil dan besar sudah mampu dan siap untuk melaksanakannya. Selain itu, yang harus dikaji adalah pola buang air besar yang sudah teratur, sudah tidak ngompol setelah tidur, dan lain-lain. b. Pengkajian Psikologis Pengkajian psikologis yang dapat dilakukan adalah gambaran psikologis pada anak ketika akan melakukan buang air kecil dan besar seperti anak tidak rewel ketika akan buang air besar, anak tidak menangis sewaktu buang air besar atau kecil, ekspresi wajah menunjukkan kegembiraan dan ingin melakukan secara sendiri, anak sabar dan sudah mau tetap tinggal di toilet selama 5-10 menit tanpa rewel atau meninggalkannya, adanya keingintahuan kebiasaan toilet training pada orang dewasa atau saudaranya, adanya ekspresi untuk menyenangkan pada orang tuanya. c. Pengkajian Intelektual Pengkajian intelektual pada pelatihan buang air kecil dan besar antara lain kemampuan anak untuk mengerti buang air kecil dan besar, anak menyadari timbulnya buang air besar dan kecil, mempunyai kemampuan kognitif untuk meniru perilaku yang tepat seperti buang air

17 kecil dan besar pada tempatnya serta etika dalam buang air kecil dan besar, terdapat beberapa hal-hal yang perlu diperhatikan selama toilet training: 1) Menghindari pemakaian popok sekali pakai atau diaper dimana anak merasa aman. 2) Ajari anak mengucapkan kata-kata yang khas yang berhubungan dengan buang air. 3) Mendorong anak melakukan rutinitas ke kamar mandi seperti cuci muka saat bangun tidur, cuci tangan, cuci kaki dan lain-lain. 4) Jangan marah bila anak gagal dalam melakukan toilet training (Hidayat,2008). 3. Cara mengajarkan Toilet Training Pada Anak a. Teknik Lisan Merupakan suatu usaha untuk melatih anak dengan cara memberikan instruksi pada anak dengan kata-kata sebelum atau sesudah buang air kecil atau besar. Cara ini kadang-kadang merupakan hal biasa yang dilakukan orang tua akan tetapi apabila kita perhatikan bahwa teknik lisan ini mempunyai nilai cukup besar dalam memberikan rangsangan untuk buang air kecil atau besar dimana dengan lisan ini persiapan psikologis pada anak akan semakin matang dan akhirnya anak mampu dengan baik melaksanakan buang air kecil atau besar (Hidayat,2008).

18 b. Teknik Modelling Cara ini dapat dilakukan dengan memberikan contoh-contoh buang air kecil atau besar atau membiasakan buang air kecil atau besar secara benar. Dampak yang jelek pada cara ini adalah apabila contoh yang diberikan salah sehingga akan dapat diperlihatkan pada anak akhirnya anak juga mempunyai kebiasaan yang salah. Selain cara tersebut di atas terdapat beberapa hal yang dilakukan seperti melakukan observasi pada saat anak merasakan buang air kecil dan besar, tempatkan anak di atas pispot atau ajak ke kamar mandi, berikan pispot dalam posisi yang nyaman, ingatkan pada anak bila akan melakukan buang air kecil atau besar, berikan pujian jika anak berhasil jangan disalahkan dan dimarahi, biasakan anak pergi ke toilet pada jam-jam tertentu dan besri celana yang mudah dilepas dan dikembalikan (Hidayat,2008). 4. Tanda Kesiapan Anak Tidak ada untungnya memakai toilet terlalu dini, baik dari segi psikologis maupun emosional. Tapi perlu diingat, kesiapan setiap anak untuk dilatih memakai toilet berbeda. Berikut beberapa tanda yang mengindikasikan anak sudah siap dilatih : Popoknya tetap kering saat melepasnya walaupun anak sudah memakainya selama beberapa jam. Ini menandakan bahwa anak sudah bisa mengendalikan rasa ingin buang air.

19 a. Anak mengeluh popoknya basah, ini menandakan bahwa anak sudah bisa membedakan antara basah dan kering dan anak lebih suka kering. b. Anak tidak mau menggunakan popok. Ini menandakan motivasinya untuk memulai latihan menggunakan toilet. c. Saat anak bangun dari tidur siang popoknya masih kering. 5. Alasan Sulitnya Toilet Training a. Latihan menggunakan toilet dilakukan terlalu dini b. Anak mungkin benar-benar tidak siap untuk melakukannya dan dituntut untuk melakukan sesuatu yang secara fisik belum mampu anak lakukan. Tunggu hingga anak benar-benar siap dengan proses latihan. c. Orang tua terlalu banyak berharap. Jika orang tua terlalu banyak berharap dengan meminta anak segera mengendalikan keinginan buang airnya, anak akan merasa gagal. Biarkan anak menjalani ini sesuai kemampuannya (Woolfson, 2005). d. Menghukum saat anak ngompol Anak tidak akan mengompol dengan sengaja saat sedang berlatih menggunakan toilet. Kejadian ini adalah bagian dari proses belajarnya. Jangan pernah menghukum anak jika ini terjadi, karena kejadian seperti itu adalah normal. e. Latihan toilet diwarnai dengan stres dan tekanan Orang tua dan anak perlu merasa santai selama masa latihan. Hilangkan segala perasaan tegang selama masa toilet.

20 f. Orang tua menyerah terlalu dini Anak akan merasa kecewa jika orang tuanya menyerah melatihnya menggunakan toilet hanya karena anak mengalami kemajuan sangat lambat. Jadi, teruslah mendukungnya walaupun latihan tersebut memakan waktu berbulan-bulan, bukan bermingguminggu (Woolfson,2005). 6. Kerugian Memulai Toilet Training Terlalu Dini a. Orang tua mersa kecewa atas hasil yang dicapai anak dan sikap negatif itu akan tercermin pada sikap orang tua ketika berinteraksi dengan anaknya. Keraguan akan kemampuannya akn menurunkan rasa percaya dirinya. b. Menciptakan kekesalan yang tidak perlu bagi anak dan orangtua jika oranmg tua memaksanya mencapai standar yang terlalu tinggi bagi tahapan perkembangannya saat itu. c. Orang tua mengambil risiko tidak bisa melatihnya memakai toilet sama sekali karena sat anak sudah siap melakukannya, semangatnya sudah memudar. Jangan lupa, anak yang mulai berlatih memakai toilet belakangan akan berhasil lebih cepat (Woolfson,2005). 7. Dampak Toilet Training Dampak yang paling umum dalam kegagalan toilet training seperti adanya perlakuan atau aturan yang ketat bagi orang tua kepada anaknya yang dapat mengganggu kepribadian anak atau cenderung bersifat retentif di mana anak cenderung bersikap keras kepala bahkan kikir. Hal ini dapat

21 dilakukan oleh orang tua apabila sering memarahi anak pada saat buang air besar atau kecil, atau melarang anak saat bepergian. Bila orang tua santai dalam memberikan aturan dalam toilet training maka anak akan dapat mengalami kepribadian ekspresif dimana anak lebih tega, cenderung ceroboh, suka membuat gara-gara, emosional dan seenaknya dalam melakukan kegiatan sehari-hari (Hidayat.2008). B. Enuresis 1. Definisi Enuresis Enuresis adalah gangguan umum dan bermasalah yang didefinisikan sebagai keluarnya urine yang disengaja atau involunter ditempat tidur (biasanya dimalam hari) atau pada pakaian disiang hari dan terjadi pada anak-anak yang usianya secara normal telah memiliki kendali terhadap kandung kemih secara volunter (Wong, 2008). Enuresis nokturnal (sleep wetting, bed wetting) adalah enuresis yang tejadi pada malam hari, sedangkan enuresis diurnal (awake wetting) adalah enuesis pada siang hari. Kriteria untuk enuresis nokturnal masih banyak berbeda di antara para pakar, namun pada umumnya batasan yang sering dipakai ialah apabila enuresis pada malam hari menetap lebih dari dua kali dalam sebulan pada anak yang berumur di atas 5 tahun. (Noer, 2006) Enuresis adalah pengeluaran air kemih yang tidak disadari, yang terjadi pada saat pengendalian proses berkemih diharapkan sudah tercapai.

22 Pada umur 5 tahun anak diharapkan sudah dapat mengontrol kandung kemih. Enuresis diurnal adalah enuresis yang terjadi saat siang hari sedangkan enuresis nokturnal adalah enuresis yang terjadi saat anak tertidur di malam hari. Enuresis adalah mengompol yang berlangsung dengan proses berkemih yang normal (normal voiding) tetapi terjadi pada tempat dan saat yang tidak tepat (Tridjaja,2005) Enuresis fungsional adalah gangguan dalam pengeluaran urine yang involunteer pada waktu siang atau malam hari pada anak yang berumur lebih dari empat tahun tanpa adanya kelainan fisik maupun penyakit organik (Hidayat,2008). Pada umumnya anak mulai berhenti mengompol sejak usia 2,5 tahun, dimulai dengan berhenti mengompol siang hari, kemudian berangsur- angsur berhenti mengompol malam hari. Pada usia sekitar 5 tahun, 10,00-15,00 % anak masih mengompol paling tidak satu kali dalam semingggu. Pada usia 6 sampai 7 tahun diperkirakan prevalensi enuresis malam hari sekitar 5,00-10,00 % dan pada usia 10 tahun masih ada sekitar 7,00 %, sedangkan pada usia 15 tahun hanya sekitar 1,00 % anak yang masih mengompol. Pada umumnya anak laki- laki lebih lambat mencapai fase bebas ngompol dibandingkan anak perempuan (Tridjaja, 2005). Anak dikatakan mengalami enuresis jika mereka mengompol paling sedikit dua kali dalam seminggu atau seseorang individu dikatakan menderita enuresis apabila ia mengeluarkan air kencingnya

23 secara tidak tepat sekurang-kurangnya dua kali sebulan sesudah usia 5 tahun atau sekurang-kurangnya dua kali sebulan sesudah usia 6 tahun (Semiun, 2006). 2. Klasifikasi Enuresis a. Macam enuresis menurut awal terjadinya dibagi menjadi: 1) Enuresis primer (tanpa komplikasi): periode tidak lebih dari 6 bulan kering di malam hari, tidak ada gejala siang hari. (Wolraich, 2008) 2) Enuresis Sekunder (nocturnal enuresis): malam waktu basah setelah jangka waktu 6 bulan menjadi kering dan / atau adanya gejala siang hari, dan inkontinensia sepanjang waktu. (Wolraich, 2008) b. Jenis enuresis menurut waktu terjadinya dibagi menjadi: 1) Enuresis Nocturnal adalah berkemih saat tidur malam hari 2) Enuresis Diurnal adalah berkemih saat tidur siang hari 3) Enuresis Nocturnal Polisimtomatik adalah berkemih pada malam dan siang hari. 3. Etiologi (penyebab enuresis) Menurut Soetjiningsih (2013), etiologi enuresis adalah sebagai berikut : a. Faktor genetik Faktor genetik merupakan salah satu penyebab enuresis yang penting.kejadian enuresis berhubungan dengan riwayat enuresis pada orang tua atau saudara kandung.enuresis dapat mencapai 70-77% apabila kedua orang tua mengalami enuresis.apabila salah satu orang

24 tua menderita enuresis, kemungkinan anak menderita enuresis sebesar 40-45%. b. Faktor sosial psikologi Enuresis dapat merupakan manifestasi stress psikologi pada anakanak. Sumber stress psikologi pada anak enuresis yaitu ketika anak mengalami perpindahan ke lingkungan baru, kelahiran adik, hospitalisasi, atau penyiksaan anak. Keadaan ini menimbulkan regresi control buang air kecil. Namun, beberapa penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan masalah psikologi antara anak dengan enuresis dan anak normal.masalah psikologi justru merupakan akibat yang ditimbulkan oleh enuresis. c. Faktor tidur Enuresis terjadi pada fase tidur non-rem (Rapid Eye Movement).Pada anak yang mengalami enuresis, ditemukan adanya tidur delta atau tidur yang lebih dalam (tahap 3 atau 4) selama episode basah. Pada saat terjadi episode kering, didapatkan anak mengalami tidur yang lebih superfisial (tahap 1 dan 2). Pada anak enuresis didapatkan adanya kesulitan bangun tidur. Ketika dibangunkan, sebesar 8,5% anak enuresis bangun, sedangkan anak tanpa enuresis terbangun sebanyak 40%. Enuresis dapat dibagi 3 tipe, yaitu tipe I, IIa dan IIb.Pada tipe I, terdapat transmisi sensasi penuh pada kandung kemih dan pusat pengaturan bangun tidur tidak terjadi.pada tipe IIa, terjadi transmisi

25 sensasi kandung kemih yang penuh, tetapi tidak terjadi aktifitas pusat pengaturan bangun tidur, sehingga anak tetap tidur dalam.sementara itu pada tipe IIb, tidak terjadi transmisi sensasi penuh ada kandung kemih yang efektif karena ada gangguan primer pada kandung kemih.pembagian ini dapat membantu laksana enuresis.beberapa penelitian dilakukan untuk meneliti hubungan antara pola tidur dengan kejadian enuresis. d. Kapasitas kandung kemih Kandung kemih yang memiliki kapasitas kecil diduga menjadi penyebab enuresis.petunjuk yang mengarah ke kapasitas kandung kemih yang kecil misalnya adalah frekuensi mengompol yang sering dan bahkan di siang hari, episode basah terjadi setiap malam, dan masalah ini terjadi sejak lahir. e. Prematuritas (keterlambatan perkembangan neurologis) Gangguan maturasi fungsional system saraf pusat disebut sebagai penyebab enuresis primer yang paling banyak diterima.gangguan maturasi ini berupa keterlambatan pengenalan dan respon terhadap sensasi kandung kemih yang penuh. Keterlambatan ini dapat disebabkan karena imaturitas neurofisiologi system saraf pusat atau karena keterlambatan proses belajar mengatur buang air kecil. f. Faktor pendidikan toilet training Toilet trainingpada anak merupakan usaha untuk melatih anak agar mampu mengontrol dalam melakukan buang air kecil dan buang

26 air besar. Toilet training dapat berlangsung pada fase kehidupan anak yaitu umur 18-24 bulan. Dalam melakukan latihan buang air pada anak membutuhkan persiapan baik fisik, psikologis, maupun secara intelektual, melalui persiapan tersebut diaharapkan anak mampu mengontrol buang air sendiri. 4. Faktor yang mempengaruhi eliminasi urine a. Pertumbuhan dan perkembangan Jumlah urine yang diekskresikan dapat dipengaruhi oleh usia dan berat badan seseorang. Normalnya, bayi dan anak-anak mengeskresikan 400-500 ml urine setiap harinya. Sedangkan orang dewasa mengekskresikan 1500-1600 ml urine per hari. Dengan kata lain bayi yang beratnya 10% orang dewasa mampu mengekskresikan urine 33% lebih banyak dari orang dewasa. b. Asupan cairan dan makanan Kebiasaan mengonsumsi makanan atau minuman tertentu dapat meningkatkan ekskresi urine karena dapat memperlambat hormon antidiuretik (ADH). c. Kebiasaan atau gaya hidup Gaya hidup ada kaitannya dengan kebiasaan seseorang ketika berkemih. d. Faktor psikologis Kondisi stress dan kecemasan dapat meningkatkan stimulus berkemih, disamping stimulus buang air besar sebagai upaya kompensasi.

27 e. Aktivitas dan tonus otot Eliminasi urine membutuhkan kerja (kontraksi) otot-otot kandung kemih, abdomen dan pelvis. Jika terjadi gangguan pada kemampuan tonus otot, dorongan untuk berkemih juga akan berkurang. Aktivitas dapat meningkatkan kemampuan metabolisme dan produksi urine secara optimal. f. Kondisi patologis Kondisi sakit seperti demam dapat menyebabkan penurunan produksi urine akibat banyaknya cairan yang dikeluarkan melalui penguapan kulit. Kondisi inflamasi dan iritasi organ kemih dapat menyebabkan reterlsi urine. g. Medikasi Penggunaan obat-obat tertentu dapat menyebabkan peningkatan pengeluaran urine, sedangkan penggunaan antikolinergik dapat menyebabkan retensi urine. h. Prosedur pembedahan Tindakan pembedahan menyebabkan stres yang akan memicu sindrom adaptasi umum. Kelenjar hipofisis anterior akan melepaskan hormon ADHsehingga meningkatkan reab sorpsi air dan menurunkan haluaran urine. i. Pemeriksaan diagnostik

28 Prosedur pemeriksaan saluran perkemihan seperti pielogram intravena dan urogram, tidak membolehkan pasien mengonsumsi per oral sehingga akan mempengaruhihaluaran urine. 5. Masalah pada pola berkemih a. Inkontinensia urine Inkontinensia urine adalah kondisi ketika dorongan berkemih tidak mapu dikontrol oleh sfingter eksternal. b. Retensi urine Retensi urine adalah kondisi tertahannya urine di kandung kemih akibat terganggunya proses pengosongan kandung kemih sehingga kandung kemih menjadi renggang. c. Enuresis (mengompol) Enuresis adalah peristiwa berkemih yang tidak disadari oleh anak. Enuresis banyak terjadi pada malam hari. Faktor penyebabnya antara lain kapasitas kandung kemih yang kurang dari normal, infeksi saluran kemih, konsumsi makanan yang banyak mengandung garam dan mineral, takut keluar malam, dan gangguan pola miksi. d. Sering berkemih Sering berkemih (frekuensi) adalah meningkatnya frekuensi berkemih tanpa disertai peningkatan asupan cairan. e. Urgensi Urgensi adalah perasaan yang sangat kuat untuk berkemih. Ini biasa terjadi pada anak-anak karena kemampuan sfingter yang lemah.

29 gangguan ini biasanya muncul pada kondisi stres psikologis dan iritasi uretra. f. Disuria Disuria adalah rasa nyeri dan kesulitan saat berkemih. Ini biasanya terjadi pada kasus infeksi uretra, infeksi saluran kemih, trauma kandung kemih. Di bawah ini cara penanganan enuresis antara lain: 1. Pengaturan Perilaku (bahavioral treatment) a. Minum dan berkemih secara teratur Anak usia sekolah sering menunda makan dan minumnya hingga sekolah usai. Terutama anak perempuan sering menunda berkemih karena sibuk atau karena tempat berkemih di sekolah kurang bersih. Akibatnya anak tersebut tidak berkemih sejak pagi hari sampai pulang sekolah. Risiko mengompol akan meningkat bila kandung kemih tidak dikosongkan dalam waktu 8 jam pada siang harinya. Cukup banyak penderita enuresis yang dapat sembuh atau berkemih secara berkala dan teratur siang harinya (Tridjaja, 2005). b. Lifting dan night awakening Lifting adalah suatu prosedur mengangkat anak ke toilet untuk berkemih pada malam hari tanpa membangunkan anak secara penuh sedangkan night awakening adalah upaya membangunkan anak untuk berkemih pada malam hari sebelum anak sempat mengompol. c. Dry bed training

30 Paket ini dilakukan bersama-sama dengan enuresis alarm meliputi prosedur sebagai berikut: 1) Memakai alarm bell untuk membangunkan anak 2) Pelatihan bangun secara berkala 3) Pelatihan membenahi tempat tidur dan pakaian basah bila mengompol sekaligus memasang alarm kembali 4) Jadwal bangun berkala 5) Penguatan semangat untuk mencapai keberhasilan 6) Menambah masukan air minum. d. Hipnoterapi Dalam kondisi terhipnotis penderita diberi sugesti bahwa anak tersebut akan bangun bila ingin berkemih, tempat tidurnya akan kering pada pagi harinya dan kandung kemihnya akan mampu menahan kencing.mekanisme kerja hipnoterapi belum diketahui dengan pasti. e. Retention control training Pelatihan ini berupaya meningkatkan kapasitas fungsional bulibuli dan kesiagaan anak terhadap sensasi peregangan kandung kemih. Anak diberi minum banyak agar produksi urin meningkat kemudian anak diinstruksikan menahan kencing dalam periode tertentu dan secara berangsur-angsur periode menahan kencing ditingkatkan sekitar 3 menit per periode. Bila mampu menahan kencing sampai 45 menit maka pelatihan dihentikan. Sistem reward and punishment dapat diterapkan dalam setiap model pelatihan dalam terapi perilaku dengan catatan

31 bahwa hadiah maupun hukuman yang diberikan tidak boleh berlebihan (Tridjaja,2005). f. Akupunktur Beberapa publikasi terutama dari negeri Cina menyarankan penggunaan akupunktur dan melaporkan keberhasilan sampai 73,00% dengan 10-40 sesi akupunktur. Meskipun hasilnya cukup menjanjikan masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut. g. Enuresis Alarm Enuresis alarm merupakan metode terapi perilaku yang paling banyak diteliti. Enuresis alarm terdiri dari lonceng alarm dan sensor basah yang dipasang pada pakaian tidur atau celana dalam anak. Bila anak mengompol dan membasahi sensor maka alarm akan berbunyi. Respon awal dengan batasan bebas mengompol antara 60,00-80,00%, namun juga dengan tingkat relaps (mengompol satu kali seminggu selama 2-4 minggu berturut-turut) mencapai 30,00-40,00%. Keberhasilan alarm agak rendah pada awal pemakaiannya, oleh sebab itu dibutuhkan waktu 6-8 minggu untuk menilai efektivitasnya (Tridjaja, 2005) h. Farmakoterapi 1) Amfetamin Golongan amfetamin digunakan dengan pemikiran untuk mengurangi kedalaman tidur anak. Namun tidak ada bukti yang jelas

32 bahwa anak yang menderita enuresis mempunyai pola tidur yang lebih dalam. 2) Antikolinergik Golongan antikolinergik digunakan untuk mengurangi kontraksi otot detrusor sehingga diharapkan terjadi retensi urin. Namun pada suatu penelitian tidak terbukti adanya efek antidiuretik yang jelas. 3) Antidpresan Trisiklik Golongan antidepresan trisiklik misalnya imipramin, amitripilin, nortripilin maupun desmetilimipramin, mempunyai efek antidiuretik yang sama. Imipramin mempunyai efek pada pola tidur, yaitu mengurangi kuantitas tidur, selain itu menambah volume fungsional vesika urinaria. Imipramin mengurangi frekuensi ngompol pada 85,00% anak enuretik, dan bisa menghentikan ngompol pada sekitar 30,00% penderita. Efek samping dan kelebihan dosis mudah terjadi karena rasio terpeutik dengan toksisitas sempit. Efek samping dapat berupa kejang, hipotensi, koma bahkan dapat terjadi aritmia yang fatal (Tridjaja,2005:19). 4) Vasopeptid DDAVP (desamino-d-arginine vasopressin) Dapat menghentikan gejala enuresis pada 40,00% penderita. Namun seperti juga halnya dengan golongan imipramin, gejala

33 enuresis sering timbul kembali sekitar 3 bulan setelah obat dihentikan (Markum,1999). i. Prognosis Enuresis biasanya berhenti sendiri. Anak akhirnya dapat tetap kering tanpa sekuela psikiatrik. Sebagian besar anak enuretik merasakan gejalanya ego distonik dan mengalami peningkatan harga diri dan perbaikan keyakinan sosial jika mereka menjadi kontinen. C. Usia toddler Anak usia toddler (1-3) tahun merujuk konsep periode kritis dan plastisitas yang tinggi dalam proses tumbuh kebang maka usia satu sampai tiga tahun sering disebut sebagai golden period (kesempatan emas) untuk meningkatkan kemampuan setinggi-tingginya dan plastisitas yang tinggi adalah pertumbuhan sel otak cepat dalam waktu yang singkat, peka terhadap stimulasi dan pengalaman fleksibel mengambil alih fungsi sel sekitarnya dengan membentuk sinaps-sinaps serta sangat mempengaruhi periode tumbuh kembang selanjutnya. Anak pada usia tersebut harus mendapat perhatian yang serius dalam arti tidak hanya mendapatkan nutrisi yang memadai saja tetapi memperhatikan juga intervensi stimulasi dini untuk membantu anak meningkatkan potensi dengan memperoleh pengalaman yang sesuai dengan pengalamannya (Hartanto, 2006). Kesiapan pada anak untuk melakukan toileting training, pengetahuan orang tua mengenai toileting training, dan pelaksanaan toileting

34 yang baik dan benar pada anak, merupakan suatu domain penting yang perlu orangtua ketahui. Domain tersebut dapat meningkatkan kemampuan toileting training pada anak usia toddler. (Kusumaningrum, Natosba, & Julia, 2011). Perubahan perilaku anak bergantung kepada kualitas rangsangan yang berkomunikasi dengan lingkungan. Keberhasilan perubahan perilaku yang terjadi pada anak sangat ditentukan oleh kualitas dari sumber stimulus. Untuk membentuk jenis respon atau perilaku perlu diciptakan suatu kondisi yang disebut dengan operant conditioning, yaitu dengan menggunakan urutan-urutan komponen penguat. Komponen -komponen penguat tersebut adalah seperti pemberian hadiah atau penghargaan apabila melakukan suatu hal dengan benar (Maulana, 2009). Keterampilan buang air harus diajarkan, dan metode yang dipilih harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak. Tanggung jawab orang tua adalah mengidentifikasi kesiapan anaknya untuk toilet training. Agar anak mampu mengenali dorongan untuk melepaskan atau menahan dan mampu untuk mengkomunikasikannya kepada ibunya. Anak yang mendapatkan toilet training pada umur lebih dari 20 bulan, kemungkinan mendapat enuresis pada umur 6-8 tahun 4x lebih besar bila dibandingkan dengan yang mendapatkan pada umur 18 bulan (Strain,2005). Dalam proses toilet training diharapkan terjadi pengaturan impuls atau rangsangan dan instink anak dalam melakukan buang air kecil (Hidayat,2008).

35 Maslow, 1970 telah mengembangkan suatu tingkatan atau hierarki kebutuhan manusia yang terdiri dari lim kategori, yaitu kebutuhan fisiologi, keselamatan, sosial, harga diri, dan aktuaisasi diri. Semua kebutuhan ini merupakan bagian-bagian vital dari sistem manusia, tetapi kebutuhan fisiologis merupakan prioritas teratas karena apabila tidak terpenuhi maka akan berpengaruh pada kebutuhan lainnya. Kebutuhan tersebut kemudian dikembangkan oleh Richard A. Khalish (1973). Aktualisasi diri Harga diri Mencintai, dicintai, dimiliki Rasa aman dan Keselamatan Kebutuhan fisiologis dan biologis Oksigen, Nutrisi, Cairan dan Elektrolit, Eliminasi, Istirahat tidur, seksual Gambar 2.1 Hirarki Maslow tentang Kebutuhan Dasar Manusia Jika kebutuhan fisiologis sudah terpenuhi atau berada dalam keseimbangan maka kebutuhan keselamatan merupakan prioritas teratas. Begitu terus sampai pada tingkatan teratas yaitu aktualisasi diri. Semua kebutuhan ini terdapat dalam setiap individu, tetapi prioritas dapat berubah sesuai dengan waktu, tempat, dan kegiatan individu.

36 D. Kerangka Teori Kebutuhan dasar manusia (kebutuhan eliminasi) Perilaku (Toilet training) Gambar 2.2 Kerangka Teori Sumber: (Maslow), (Soetjiningsih 2013) Enuresis Faktor yang mempengaruhi : a. Genetik b. Kapasitas kandung kemih c. Faktor tidur d. Faktor pendidikan (toilet training) e. Keterlambatan perkembangan f. Psikologi E. Kerangka konsep Toilet training Enuresis Tidak toilet training Gambar 2.3 Kerangka Konsep Penelitian F. Variabel Penelitian Variabel bebas ( independent variabel) dalam penelitian ini adalah toilet training danvariabel terikat (dependent variabel) dalam penelitian ini adalah enuresis.

37 G. Hipotesis Hipotesi dalam penelitian ini adalah ada hubungan toilet training dengan kejadian enuresis pada balita umur 1-3 tahun di desa jati, kecamatan Binangun, kabupaten Cilacap.