BAB II LANDASAN TEORI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. perspektif besar mengenai psychological well being yang diturunkan dari dua

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

BAB II LANDASAN TEORI. Teori kesejahteraan psikologis yang menjelaskan sebagai pencapaian penuh dari potensi

BAB II LANDASAN TEORI. sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis dalam satu

Kesejahteraan Psikologis pada Survivor Kanker di Bandung Cancer Society (BCS)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being.

BAB I PENDAHULUAN. muncul melalui proses evaluasi masing-masing individu terhadap kehidupannya

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan oleh karyawan lebih dari sekedar kegiatan yang berhubungan dengan

BAB II LANDASAN TEORI. Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological

PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI. Campbell (1976) mendefinisikan kesejahteraan psikologis sebagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) pada buku karangan Aristotetea yang berjudul Nicomacheon Ethics

Kesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab II ini akan menjelaskan Psychological well-being, dimensidimensi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. potensi individu dimana individu dapat menerima kekurangan dan kelebihan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daripada psikologis yang berfungsi positif (Ryff, 1989).

Paket 10 PSYCHOLOGICAL WELL BEING

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis. Ryff (1989) mendefinisikan kesejahteraan psikologis adalah sebuah kondisi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis. Menurut Achour (2011) kesejahteraan pada karyawan adalah seseorang

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk. membangun relasi sosial meningkat seiring bertambahnya

BAB II TINJAUAN TEORITIS Kesejahteraan Psikologis (Psycological Well Being) Pengertian Kesejahteraan Psikologis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB I PENDAHULUAN. 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Psychological Well-Being menjelaskan istilah Psychological Well-Being sebagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. 2014), terlebih bagi individu yang sudah bekerja dan hanya memiliki latar belakang

RELIGIUSITAS ISLAM DAN KEBAHAGIAAN (Sebuah Telaah dengan Perspektif Psikologi)

BAB I PENDAHULUAN. selayaknya mendapatkan perhatian utama baik dari pemerintah maupun. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,

BAB II LANDASAN TEORI. A. Psychological Well-Being. kehidupan berjalan dengan baik. Keadaan tersebut merupakan kombinasi dari

BAB I PENDAHULUAN. dengan norma di suatu lingkungan masyarakat (Santoso, 2003). Salah satu

BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Subjective Well-Being. kebermaknaan ( contentment). Beberapa peneliti menggunakan istilah well-being

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-being 1. Definisi Psychological well-being Psychological well-being merupakan istilah yang digunakan

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi,

Employee engagement merupakan topik yang sudah banyak. diperbincangkan dalam perusahaan. Employee engagement menjadi sangat

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan. Sumber daya manusia itu sendiri dapat dirincikan menjadi seorang

BAB I PENDAHULUAN. individu-individu yang memiliki perilaku seksual yang menyimpang. Perilaku

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya, menurut beberapa tokoh psikologi Subjective Well Being

BAB I PENDAHULUAN. individu. Kegiatan bekerja dilakukan untuk berbagai alasan seperti; mencari uang,

BAB I PENDAHULUAN. lembaga kesejahteraan sosial yang mempunyai kewajiban untuk memberikan

Bab 2. Landasan Teori

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis

BAB I PENDAHULUAN. hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja termasuk ke

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai teori-teori yang

BAB I PENDAHULUAN. narkoba ataupun seks bebas di kalangan remaja. Pergaulan bebas ini akan

BAB 1. Pendahuluan. Manusia bukan makhluk yang sempurna, karena memiliki kelebihan dan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa dimana peserta didik bergaul, belajar dan

BAB 2 Tinjauan Pustaka

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penelitian ini menggunakan teori dari Carol D. Ryff mengenai psychological

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Konsep Subjective well-being. juga peneliti yang menggunakan istilah emotion well-being untuk pengertian yang

GAMBARAN KEBAHAGIAAN MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS PADJADJARAN DENGAN LATAR BELAKANG BUDAYA BATAK, JAWA, MINANG, DAN SUNDA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Flow menggambarkan pengalaman subjektif ketika keterampilan dan

BAB I PENDAHULUAN. Data Yayasan Lupus Indonesi (YLI) menunjukkan bahwa jumlah

Studi Deskriptif Psychological Well Being pada Ibu yang Memiliki Anak Penderita Autism yang Bersekolah Di SLB-C YPLB Bandung

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebahagiaan. mengacu pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktivitas-aktivitas

BAB I PENDAHULUAN. Setelah kurang lebih lima hingga sepuluh tahun, HIV ini dapat berubah menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman sekarang ini untuk mendapatkan pekerjaan sangat sulit contohnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi setiap manusia.

PENGARUH KECERDASAN EMOSI DAN RASA SYUKUR TERHADAP PSYCHOLOGICAL WELL BEING MAHASISWA YANG KULIAH SAMBIL BEKERJA. Diajukan Kepada Fakultas Psikologi

BAB I PENDAHULUAN. dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari ( Ryff, 1995). Ryff (1989) mengatakan kebahagiaan

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. menerima dirinya apa adanya, membentuk hubungan yang hangat dengan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai derajat psychological wellbeing

BAB I PENDAHULUAN. yang beragam dan terus bertambah seiring dengan pertumbuhan manusia,

PEMETAAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS GURU PG PAUD SE KOTA PEKANBARU

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi serta restrukturisasi organisasi, begitu pula di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. yang paling dinanti-nantikan. Pada pasangan yang sulit memiliki anak, segala

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut pendapat Ryff (Widyati Ama & Utami, 2012) psychological well

2015 KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. Menurut Hariandja dalam Tunjungsari (2011) stres adalah ketegangan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. tetapi di dalam kehidupan rumah tangga sering terjadi berbagai konflik. Konflik

ANALISA PSIKOMETRIK ALAT UKUR RYFF S PSYCHOLOGICAL WELL-BEING (RPWB) VERSI BAHASA INDONESIA: STUDI PADA LANSIA

BAB II TINJAUAN TEORITIS. A. Karyawan PT. INALUM. capital, yang artinya karyawan adalah modal terpenting untuk menghasilkan nilai

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. strategis di era globalisasi. Dengan adanya kemajuan tersebut, sesungguhnya

BAB 2 LANDASAN TEORI. Ada dua tradisi dalam memandang kebahagiaan, yaitu kebahagiaan

1. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well-Being Pada Mahasiswa Yang Bekerja

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

HUBUNGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA ISTRI YANG TINGGAL DI RUMAH MERTUA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dian Lidriani, 2014

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well-Being. Psychological well-being (PWB) merujuk pada perasaan-perasaan

BAB 1 PENDAHULUAN. Fenomena melajang pada era modern ini menjadi sebuah trend baru dalam

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA

S E M I N A R A S E A N 2 nd PSYCHOLOGY & HUMANITY Psychology Forum UMM, Februari 2016

Kesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kinerja. yang diberikan kepadanya (Mangkunegara, 2000). Sedangkan pengertian kinerja

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya, miskin, tua, muda, besar, kecil, laki-laki, maupun perempuan, mereka

Transkripsi:

BAB II LANDASAN TEORI A. Kesejahteraan Psikologis Ryff (Ryff & Keyes, 1995) menjelaskan bahwa kesejahteraan psikologis sebagai pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri apa adanya, memiliki tujuan hidup, mengembangkan relasi yang positif dengan orang lain, menjadi pribadi yang mandiri, mampu mengendalikan lingkungan, dan terus tumbuh secara personal. Selanjutnya, Ryff (1989) menjelaskan bahwa orangorang yang memiliki karakteristik kesejahteraan psikologis merujuk pada perspektif teori Maslow tentang konsep aktualisasi diri (self-actualization) yaitu keinginan individu untuk menyempurnakan diri berdasarkan potensi yang dimilikinya, pandangan Roger tentang individu yang berfungsi secara penuh (fully functioning system) yaitu individu yang memiliki ciri memiliki keterbukaan terhadap pengalaman-pengalman baru, mampu mengambil keputusan berdasarkan pengalaman yang dialami, memiliki perasaan bebas untuk memilih, kemudian formulasi teori Jung tentang individuasi (individuation) yaitu kebutuhan untuk berbeda dengan orang lain yang bertujuan untuk perkembangan pribadi individu, dan konsep kedewasaan (maturity) oleh Allport yang ditandai dengan kemampuan mengembangkan diri, kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain, memliki emosi yang stabil, kemampuan menilai diri sendiri, dan terakhir memiliki filosofi hidup. 7

1. Defenisi Kesejahteraan Psikologis Lawton (1996), mendefinisikan kesejahteraan psikologis sebagai tingkat evaluasi mengenai kompetensi dan diri seseorang, yang ditekankan pada hirarki tujuan individu. Selanjutnya Snyder dan Lopez (2005) menyatakan bahwa kesejahteraan psikologis bukan hanya merupakan ketiadaan penderitaan, namun kesejahteraan psikologis meliputi bagaimana individu berperan dalam kehidupan, bagaimana individu memahami arti dan tujuan hidup, dan bagaimana seorang individu mampu membangun relasi dengan individu lainnya. Kesejahteraan psikologis ditandai dengan diperolehnya kebahagiaan, kepuasan hidup dan tidak adanya gejala-gejala depresi (Ryff dan Keyes, 1995). Menurut Bradburn (1969) kebahagian (hapiness) merupakan hasil dari kesejahteraan psikologis dan merupakan tujuan tertinggi yang ingin dicapai oleh setiap manusia. Ryff (Ryff & Keyes, 1995) menyatakan kesejahteraan psikologis terdiri dari enam dimensi, yaitu penerimaan terhadap diri sendiri, memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, kemandirian, penguasaan terhadap lingkungan, memiliki tujuan dan arti hidup serta pertumbuhan dan perkembangan yang berkelanjutan Selain itu, setiap dimensi dari kesejahteraan psikologis menjelaskan tantangan yang berbeda yang harus dihadapi individu untuk berusaha berfungsi positif (Ryff & Keyes, 1995). Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan psikologis adalah kondisi individu yang ditandai dengan adanya perasaan bahagia, adanya kepuasan hidup dan tidak adanya gejala-gejala depresi. Kondisi ini dipengaruhi oleh penerimaan diri, tujuan hidup, mampu mengembangkan relasi yang positif 8

dengan orang lain, menjadi pribadi yang mandiri, mampu mengendalikan lingkungan, dan terus tumbuh secara personal. 2. Persepektif Kesejahteraan Psikologis Ryan dan Deci (2001), mengemukakan dua perspektif mengenai kesejahteraan (well-being), yang pertama pendekatan hedonic, yang mendefenisikan well-being sebagai kesenangan atau kebahagiaan dan pendekatan eudaimonic, yang fokus pada realisasi diri, ekspresi personal dan tingkat dimana individu mampu mengaktualisasikan kemampuannya. Hedonic memandang bahwa tujuan hidup yang utama adalah mencapai kebahagiaan. Pandangan dominan di antara ahli psikologi yang beraliran hedonic adalah kesejahteraan tersusun atas kebahagiaan subjektif dan berfokus pada pengalaman yang mendatangkan kenikmatan. Diener dan Lucas (2000) mengembangkan model pengukuran untuk mengevaluasi rangkaian kenimatan ataupun rasa sakit. Model pengukuran ini disebut sebagai subjective well being, yang terdiri dari tiga aspek yaitu kepuasan hidup, adanya afek positif dan tidak adanya afek negatif. Ketiga aspek ini seringkali disimpulkan sebagai konsep kebahagiaan. Eudaimonic merumuskan kesejahteraan psikologis dalam konsep aktualisasi potensi manusia dalam menghadapi tantangan hidup (Keyes, Shmotkin & Ryff, 2002). Waterman (1993) menekankan bahwa eudaimonic terdiri dari pemenuhan atau menyadari siapa dirinya sebenarnya. Selanjutnya Ryff (1989) 9

menggambarkan Eudaimonic sebagai bentuk berjuang untuk kesempurnaan yang merupakan realisasi dari potensi diri seseorang yang sesungguhnya. 3. Dimensi Kesejahteraan Psikologis Dimensi kesejahteraan psikologis mengacu pada teori Ryff (1989), meliputi enam dimensi yaitu, penerimaan diri (self- acceptance), hubungan positif dengan orang lain (positive relation with others), otonomi (autonomy), penguasaan lingkungan (environtmental mastery), tujuan hidup (purpose in life), dan pertumbuhan pribadi (personal growht). a. Penerimaan Diri (Self Acceptance) Dimensi ini didefinisikan sebagai karakteristik utama dari kesehatan mental, aktualisasi diri, berfungsi optimal dan kematangan. Penerimaan diri berarti sikap yang positif terhadap diri sendiri dan kehidupan di masa lalu, serta mampu menerima kekurangan dan kelebihan serta batasanbatasan yang dimiliki dalam aspek diri individu. Individu yang memiliki tingkat penerimaan diri yang baik ditandai dengan sikap yang positif terhadap diri sendiri, mengetahui dan menerima segala aspek yang ada pada dirinya, baik kelebihan maupun kekurangan, serta memiliki sikap yang positif terhadap kehidupan di masa lalu. Sebaliknya, individu yang memiliki tingkat penerimaan diri yang kurang baik ditandai dengan perasaan tidak puas terhadap diri sendiri, kecewa terhadap apa yang terjadi di masa lalu, terganggu dengan sifat-sifat tertentu yang dimiliki dan memiliki keinginan tidak menjadi dirinya. 10

b. Hubungan Positif dengan Orang Lain (Positive Relations with Others) Dimensi ini ditandai dengan adanya hubungan yang hangat, memuaskan, saling percaya dengan orang lain serta memungkinkan untuk timbulnya empati dan intimasi. Individu yang memiliki hubungan positif yang baik dengan orang lain ditandai dengan memiliki hubungan yang hangat, memuaskan dan saling percaya dengan orang lain, memiliki perhatian terhadap kesejahteraan orang lain, dapat menunjukkan rasa empati, rasa sayang dan keintiman serta memiliki konsep dalam memberi dan menerima dalam hubungan sesama manusia. Sebaliknya, individu yang hanya memiliki sedikit hubungan dekat dengan orang lain, susah untuk bersikap hangat, tidak terbuka dan memberikan sedikit perhatian terhadap orang lain berarti memiliki tingkatan yang kurang baik dalam dimensi ini. c. Otonomi (Autonomy) Dimensi ini dideskripsikan dengan individu yang mampu menampilkan sikap kemandirian, memiliki standard internal dan menolak tekanan sosial yang tidak sesuai. Individu yang memiliki tingkatan otonomi yang baik ditunjukkan sebagai pribadi yang mandiri, mampu menolak tekanan sosial untuk berpikir dan bertingkah laku dengan cara tertentu, mampu mengatur tingkah laku diri sendiri dan mengevaluasi diri sendiri dengan standard pribadi. Sebaliknya, individu yang terlalu memikirkan pendapat dari orang lain dan bergantung pada orang lain untuk mengambil suatu keputusan serta cenderung untuk bersikap conform terhadap tekanan sosial, menandakan individu tersebut belum memiliki tingkat otonomi yang baik. 11

d. Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery) Dimensi ini ditandai dengan kemampuan individu untuk memilih atau menciptakan lingkungan yang cocok atau untuk mengatur lingkungan yang kompleks. Individu yang baik dalam dimensi ini ditandai dengan kemampuannya untuk memilih dan menciptakan sebuah lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai pibadinya dan memanfaatkan secara maksimal sumber-sumber peluang yang ada di lingkungan. Individu juga mampu mengembangkan dirinya secara kreatif melalui aktivitas fisik maupun mental. Sebaliknya, individu yang kurang dapat menguasai lingkungannya akan mengalami kesulitan mengatur kegiatan sehari-hari, merasa tidak mampu untuk mengubah atau meningkatkan apa yang ada diluar dirinya serta tidak menyadari peluang yang ada di lingkungan e. Tujuan Hidup (Purpose in Life) Dimensi ini menekankan pentingnya memiliki tujuan, pentingnya keterarahan dalam hidup dan percaya bahwa hidup memiliki tujuan dan makna. Individu yang memiliki tujuan hidup yang baik, memiliki target dan cita-cita serta merasa bahwa baik kehidupan di masa lalu dan sekarang memiliki makna tertentu. Individu tersebut juga memegang teguh kepercayaan tertentu yang dapat membuat hidupnya lebih berarti. Sebaliknya, individu yang kurang memaknai hidup, tidak memiliki tujuan dalam hidup, tidak melihat adanya manfaat dari masa lalu dan kurang memiliki target dan cita-cita, menandakan bahwa individu tersebut kurang memiliki tujuan hidup yang baik. 12

f. Pertumbuhan Diri (Personal Growth) Dimensi ini didefenisikan sebagai kemampuan potensial yang dimiliki seseorang, perkembangan diri, serta keterbukaan terhadap pengalamanpengalaman baru. Individu yang baik dalam dimensi ini memiliki perasaan untuk terus berkembang, melihat diri sendiri sebagai sesuatu yang terus tumbuh, menyadari potensi-potensi yang dimiliki dan mampu melihat peningkatan dalam diri dan tingkah laku dari waktu ke waktu. Sebaliknya, individu yang kurang baik dalam dimensi ini mempunyai perasaan bahwa ia adalah seorang yang stagnan, kurang peningkatan dalam perilaku dari waktu ke waktu, merasa bosan dengan hidup dan tidak mampu mengembangkan sikap dan perilaku yang baru. 4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis Faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis terdiri dari : a. Usia Ryff (1998) menemukan bahwa usia menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis. Peningkatan pada aspek usia yang semakin dewasa terjadi pada aspek penguasaan lingkungan, otonomi, penerimaan diri, hubungan positif. Sedangkan tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi menunjukkan penurunan yang tajam pada setiap periode kehidupan usia dewasa. 13

b. Jenis Kelamin Ryff (1989) menjelaskan bahwa wanita memiliki kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi dibandingkan pria. Dalam dimensi hubungan interpersonal dengan orang lain wanita memiliki skor yang lebih tinggi dibandingkan pria c. Tingkat pendidikan Ryff, Magee, Kling & Wling (1999) menemukan bahwa tingkat pendidikan merupakan faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis yang dimiliki individu. Individu yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih baik memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang baik pula. d. Status Sosial Ekonomi Status sosial ekonomi berhubungan dengan dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan, dan pertumbuhan diri. Individu dengan tingkat penghasilan tinggi, status menikah, dan mempunyai dukungan sosial tinggi akan memiliki kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi. e. Lingkungan Pekerjaan Fisher (1993) menyebutkan bahwa lingkungan pekerjaan, baik itu lingkungan kelompok kerja ataupun perusahaan menyebabkan timbulnya kebosanan pada karyawan, tidak hanya itu karakteristik dari pekerjaan (pekerjaan yang monoton, adanya perbedaan antara tugas dan kemampuan yang dimilik, identitas tugas yang rendah, ketidak jelasan tugas, kurangnya 14

otonomi dalam tugas yang diberikan, tidak adanya umpan balik, kelebihan dan kekurangan beban kerja juga menimbulkan kebosanan pada karyawan. Berdasarkan uraian di atas, maka faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis adalah faktor usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi dan lingkungan pekerjaan. B. Kebosanan (Boredom) 1. Defenisi Kebosanan Dalam American Psychologicaal Association Dictionary of Psychology (VandenBos, 2006) kebosanan diartikan sebagai suatu keadaan dari kelelahan atau perasaan bosan atau jemu terhadap sesuatu sebagai hasil dari kurangnya stimulus dalam lingkungan. Kebosanan secara umum dideskripisikan sebagai sesuatu yang negatif, suatu keadan emosional yang tidak terpuaskan yang dikurangi oleh kemampuan atau kecendrungan kognitif individu (Kass, Vodanovich & Callender, 2003). Leary (1986) mengatakan bahwa kebosanan adalah pengalaman afektif yang diasosiasikan dengan proses atensi kognitif. Csikszentmihalyi (1975) menyatakan bahwa kebosanan berlawan dengan pengalaman, di mana perhatian individu dipahami dalam aktivitas yang pada hakekatnya menyenangkan. Kebosanan terjadi hanya sebagai hasil dari adanya stimulasi yang secara intrinsik tidak menarik, dan pengalaman level kebosanan sebagai fungsi langsung dari usaha kognitif yang dibutuhkan untuk menahan 15

perhatian dan tetap fokus terhadap stimulus/rangsangan (Leary, Rogers, Canfield & Coe, 1986). Kebosanan dipandang sebagai sebuah perasaan tidak suka terhadap berbagai macam pengalaman seperti pekerjaan rutin, atau tidak menarik dan membosankan bagi individu dan kegelisahan yang sangat di bawah kondisi ketika tidak ada jalan keluarnya (Zuckerman, 1979) dan sebuah situasi yang rendah gejolak dan tidak ada kepuasan,yang diatribusikan dengan situasi stimulus yang tidak mencukupi (Mikulas & Vodanovich, 1993). Menurut O Hanlon (1981) kebosanan disebabkan oleh rendahnya stimulasi dari luar, seperti pekerjaan yang monoton. Fisher (1993) mendefenisikan kebosanan sebagai keadaan tidak menyenangkan, keadaan aktivitas yang sementara di mana individu merasa kurang tertarik dan sulit untuk konsentrasi pada aktivitas yang sedang dilakukan. Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kebosanan adalah sebuah keadaan individu yang merasakan ketidaktertarikan terhadap aktivitas monoton yang dilakukannya yang disebabkan oleh keadaan yang tidak menyenangkan dan tidak menarik. 2. Penyebab Kebosanan (Cause Of Boredom) Fisher (1993) menemukan beberapa penyebab kebosanan yaitu karakteristik pekerjaan (Job Characteristics), karakteristik lingkungan (environmental Characteristic), perbedaan individu (Individual Differences) 16

a. Karakteristik Pekerjaan (Job Characteristics) Karakteristik dari bagaimana sebuah pekerjaan dilakukan sangat penting dalam tingkat kebosanan. Fisher (1993) mengidentifikasikan tujuh faktor yang berkontribusi pada pengalaman kebosanan pada pekerja. Pertama tingginya tingkat monoton pada pekerjaan, keadaan yang berulang-ulang dan monoton terjadi ketika pekerja melaksanakan pekerjaan yang sama tanpa variasi; kedua rendahnya variasi kemampuan, hal ini terjadi jika kemampuan yang dimiliki individu jauh dari lebih rendah dari tugas yang harus dikerjakan; ketiga identitas tugas yang rendah; keempat ketidakjelasan tugas; kelima kurangnya otonomi, tingkat otonomi berkontribusi pada perilaku dan rasa bangga dalam pekerjaan, karyawan yang memiliki otonomi dapat bekerja lebih keras dengan membuat keputusan ketika ada kesempatan untuk mempertahankan otonomi yang dimilikinya; keenam tidak adanya umpan balik dari pekerjaan, tanpa umpan balik sulit bagi karyawan untuk tetap termotivasi dalam melaksanakan pekerjaan ataupun menyelesaikan pekerjaan; ketujuh kelebihan dan kekurangan beban kerja kekurangan beban kerja dapat menyebabkan tugas terlalu sederhana, berulang-ulang, dan tidak menantang, kelebihan beban kerja dapat menyebabkan individu fokus pada informasi yang sulit dan tidak dimengerti. b. Karakteristik Lingkungan (Environmental Characteristic) Lingkungan kelompok kerja dapat menyebabkan kebosanan, ada beragam pandangan yang menyatakan efek negatif dan positif pada individu, 17

beberapa penelitian menemukan bahwa kehadiran orang lain tidak dapat menurunkan kebosanan dan penemuan lainnya menyatakan hal ini bisa lebih buruk. Bekerja dengan orang lain dapat menyebabkan pengaruh sosial terhadap kebosanan. Jika karyawan merasa pekerjaan menarik dan menantang individu lain dapat merasakan hal yang sama dan melakukan hal yang sama pula. Perusahaan juga memiliki kontribusi dalam tingkat kebosanan pekerja pada penerapan perilaku organisasi yang memaksa. Seperti dilakukan pembatasan bagi karyawan untuk berbicara, istirahat yang sangat terbatas, dan pekerjaan yang sangat ketat. Tingkat kebosanan tergantung pada seberapa ketat peraturan yang dimiliki perusahaan dan bagaimana konsekuensi yang akan diterima karyawan jika melanggar peraturan. Peraturan yang terlalu ketat dapat menyebabkan efek negatif pada stimulus dan variasi yang ada dalam pekerjaan atau setting pekerjaan. c. Perbedaan Individu (Individual Differences) Meskipun perusahaan sudah mengatasi permasalahan kebosanan dalam lingkungan kerja karakter individu juga menjadi hal yang penting dalam tingkat kebosanan seperti karakteristik pribadi dan juga demografi, sebagai contoh usia, Smith (1955) menemukan bahwa pekerja yang lebih muda secara signifikan lebih mudah mengalami kebosanan daripada pekerja yang lebih tua. Fisher (1993) menemukan pekerja yang baru bekerja lebih mudah bosan daripada pekerja yang sudah bekerja lebih lama. 18

Berdasarkan uraian di atas, maka penyebab kebosanan adalah karakteristik pekerjaan di mana terdapat tujuh faktor dari penyebab kebosanan dalam lingkungan pekerjaan (tingginya tingkat monotononitas pada pekerjaan; rendahnya variasi kemampuan; identitas tugas yang rendah; ketidakjelasan tugas; kurangnya otonomi; tidak adanya umpan balik dari pekerjaan; kelebihan dan kekurangan beban kerja), karakteristik lingkungan di mana dalam lingkungan pekerjaan memiliki dampak terhadap kebosanan baik dari hubungan antar sesama karyawan atupun dengan perusahaan, dan juga adanya perbadaan individu. 3. Aspek-aspek Kebosanan Vodanovich dan Kass (1990) menyatakan ada lima aspek dalam kebosanan, adapun kelima aspek tersebut adalah: 1. Stimulus Eksternal (Exeternal Stimulation) Stimulus eksternal adalah persepsi seseorang terhadap kegembiraan (excitement), perubahan, dan tantangan. 2. Stimulus Internal (Internal Stimulation) Internal stimulus adalah kemampuan seseorang untuk tetap merasa bahagia dalam melakukan aktivitas. 3. Respon Afektif (Affective Responses) Affective responses merupakan bagaimana reaksi seseorang ketika berhadapan dengan kebosanan 19

4. Persepsi terhadap Waktu (Perception of Time) persepsi mengenai waktu (perception of time) bagaimana seseorang menghabiskan waktu luang yang dimilikinya. 5. Paksaan (Constraint) Paksaan (constraint) merupakan Reaksi menunggu atau perasaan bahwa aktivitas individu merupakan hal yang memaksa. Berdasarkan uraian di atas, maka aspek-aspek kebosanan adalah stimulus internal, stimulus eksternal, respon afektif, persepsi terhadap waktu dan juga paksaan. C. Hubungan Antara Kebosanan dengan Kesejahteraan Psikologis Kebahagian (happiness) merupakan hasil dari kesejahteraan psikologis dan merupakan tujuan tertinggi yang ingin dicapai oleh setiap manusia (Ryff, 1989). Pengalaman tidak menyenangkan individu seperti ketegangan dan kebosanan menghalangi kualitas dan kuantitas dari performa pekerjaan dan sama juga halnya dengan kesejahteraan (Edward, Caplan & Van Harrison, 1998). Kebosanan terjadi dikarenakan oleh pekerjaan yang rutin, tanpa variasi dan monoton (O Hanlon, 1981), kebosanan juga disebabkan oleh tidak adanya otonomi yang dimiliki seorang individu, beban kerja yang berlebihan atau kurang. Kebosanan juga disebabkan oleh lingkungan kerja di mana perusahaan memiliki aturan yang terlalu ketat dan sangsi yang berat ketika pelanggaran terjadi (Fisher, 1993). 20

Kebosanan ini sendiri mengakibatkan timbulnya masalah sosial dan psikologis. Indvidu yang memiliki hasil yang tinggi dalam pengukuran tingkat kebosanan memiliki kecenderungan negatif pada perilakunya, termasuk penggunaan obat-obatan dan perjudian. Kebosanan mengakibatkan menurunnya pencapaian akademis dan meningkatnya jumlah siswa yang dikeluarkan dari sekolah. Selanjutnya siswa dengan tingkat kebosanan yang tinggi juga cenderung mengalami depresi dan kecemasan. Tidak hanya itu, kebosanan juga meningkatkan agresi dan permusuhan (LaPera, 2011). Pada lingkungan pekerjaan, kebosanan berdampak pada tingkat kepuasaan kerja, ketidakhadiran, dan pengerjaan tugas yang terlalu lama, hal ini seperti yang diungkapkan oleh Kass, Vodanovich, dan Callender (2001) bahwa individu dengan tingkat kebosanan yang tinggi memiliki tingkat kepuasaan kerja yang rendah, tingkat ketidakhadiran (absenteeism) yang tinggi dan masa pengerjaan tugas yang terlalu lama (longer tenure). Kebosanan merupakan keadaan tidak enak, mendekati kecemasan, dikarakteristikan sebagai perasaan hampa (feeling of emptiness) (Goyal, 2010). Keadaan yang tidak menyenangkan ini berakibat pada kesejahteraan psikologis sesorang, di mana Ryff dan Keyes (1995) mengatakan bahwa kesejahteraan psikologis ditandai dengan diperolehnya kebahagiaan, kepuasan hidup dan tidak adanya gejala-gejala depresi. Kesejahteraan psikologis merupakan kondisi tertinggi yang ingin dicapai manusia dalam kehidupan, di mana hasil dari kesejahteraan psikologis ini sendiri adalah kebahagiaan (Bradburn, 1969). 21

Salah satu pekerjaan yang dapat dikategorikan monoton adalah teller perbankan di mana seorang teller perbankan bertanggung jawab untuk menerima simpanan, mencairkan cek, dan memberikan jasa pelayanan perbankan lainnya. Seorang teller perbankan juga memiliki beban kerja yang berat, seorang teller perbankan bertugas melayani nasabah yang akan melakukan transaksi tunai ataupun non tunai, teller perbankan merupakan pintu masuk dari segala transaksi perbankan yang ada. Tidak hanya itu seorang teller juga bertanggung jawab penuh terhadap uang tunai dan transaksi perbankan, sehingga ketika seorang teller perbankan melakukan kesalahan terhadap penghitungan selisih uang maka sesuai dengan peraturan perusahaan teller perbankan harus membayar ganti rugi kepada perusahaan, hal ini menyebabkan tingginya tingkat stres pada teller perbankan (Permaitiyas, 2013). Hamilton (dalam Fisher, 1993) mengatakan bahwa stres, rasa kecewa, pengambilan keputusan berbahaya, disebabkan oleh kebosanan yang terjadi di tempat kerja, hal ini mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang, di mana Ryff (1989) mengatakan bahwa seseorang dikatakan memiliki kesejahteraan psikologis yang baik ketika seseorang merasa bahagia dalam hidupnya, dan tidak adanya gejala depresi dan kecemasan. D. Hipotesis Penelitian Berdasarkan uraian teori, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan negatif antara kebosanan dan kesejahteraan psikologis. Semakin tinggi tingkat kebosanan maka semakin rendah tingkat kesejahteraan psikologis. 22