BAB VI PENUTUP. terkait dengan judul penelitian serta rumusan masalah penelitian. yang telah dibahas dalam bab-bab sebelumnya.

dokumen-dokumen yang mirip
POLA HUBUNGAN CIVIL SOCIETY DAN PEMERINTAH LOKAL

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Pembahasan ini difokuskan pada dimensi-dimensi yang

BAB I PENDAHULUAN. langsung dalam pemelihan presiden dan kepala daerah, partisipasi. regulasi dalam menjamin terselenggaranya pemerintahan

BAB III METODE PENELTIAN. Penelitian ini menggunakan metode triangulasi yaitu. dengan cara mengintegrasikan metode analisis isi (content

Pola Hubungan Politik Civil Society dan Pemerintah Lokal Dalam Mendorong Keterbukaan Informasi Publik di Kota Mataram

Lampiran 1 PANDUAN WAWANCARA. Nama Pekerjaan Jabatan Alamat Nomor telepon Pewawancara Tanggal/Waktu Wawancara A. PERTANYAAN UNTUK NGO 1.

BAB 1 PENDAHULUAN. saat ini mencerminkan adanya respon rakyat yang sangat tinggi akan permintaan

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan yang baik, perlu ada peran serta pihak-pihak seperti: stakeholder

STANDAR OPERASIONAL DAN PROSEDUR PENGELOLA INFORMASI DAN DOKUMENTASI FITRA RIAU

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI BARRU PROVINSI SULAWESI SELATAN

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

mereka bekerja di proyek pertambangan migas tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. membuat isu-isu semacam demokratisasi, transparansi, civil society, good

RENCANA STRATEGIS (RENSTRA)

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

RENCANA STRATEGIS FREEDOM OF INFORMATION NETWORK INDONESIA (FOINI)

BAB V VISI, MISI DAN TUJUAN PEMERINTAHAN KABUPATEN SOLOK TAHUN

BAB 1 PENDAHULUAN. selaku pejabat publik dengan masyarakat. Dan komunikasi tersebut akan berjalan

PEMERINTAH KOTA KEDIRI

BAB V PENUTUP. Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. TAHAPAN UU No 5 Tahun 1974 UU No 22 Tahun 1999 UU No 32 Tahun 2004 Tahapan Pencalonan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

MENGENAL KPMM SUMATERA BARAT

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

PETUNJUK PELAKSANAAN LEMBAGA PEMANTAU PEMILIHAN DALAM NEGERI DALAM PEMILIHAN GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR DKI JAKARTA TAHUN 2017

PELAYANAN INFORMASI PUBLIK

BAB I PENDAHULUAN. Pemahaman mengenai good governance mulai dikemukakan di Indonesia

PENGENDALIAN INFORMASI BPJS KETENAGAKERJAAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB VI PENUTUP. dijalankan oleh BPBD DIY ini, memakai lima asumsi pokok sebagai landasan

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan yang melibatkan berbagai unsur pemangku kepentingan didalamnya, guna

Informasi Mengenai LSM itu Hak Publik

BUPATI LOMBOK BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

LEMBARAN DAERAH KOTA DEPOK NOMOR 02 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KOTA DEPOK NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan negara (pemerintah) serta memberi perlindungan hukum bagi rakyat. Salah

Penguatan PPID Kementerian Perhubungan dalam pelaksanaan UU KIP. By : Henny S. Widyaningsih

BAB VI PENUTUP. Formulasi Kebijakan Publik Ripley dan David Eastone, yang telah peneliti

UU 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara UU 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional UU tentang Pemerintah Daerah UU 33

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.5/Menhut-II/2012 TENTANG

Governance), baik dari tahap perencanaan, pelaksanaan maupun pada tahap BAB I PENDAHULUAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PUSANEV_BPHN. : Rikky Fermana, S.IP. Mediator Tempat tanggal lahir : Belinyu, 26 September 1972 Alamat : Jl. RE. Martadinata no. 122 RT.

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), oleh karena itu

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LAPORAN KOMISI INFORMASI PROVINSI JAWA BARAT Tahun 2012

KEBIJAKAN PENGENDALIAN INFORMASI PT INDOFARMA (Persero) Tbk

ANCAMAN RUU PEMDA KEPADA DEMOKRATISASI LOKAL DAN DESENTRALISASI

WALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG

Kebebasan dan keterbukaan tentu merupakan anugrah yang diharapkan. banyak pihak, terutama dalam iklim demokrasi yang ditandai dengan adanya

dipersyaratkan untuk terselenggaranya tata kelola pemerintahan secara efektif dan efisien serta mampu mendorong terciptanya daya saing daerah pada tin

PEMERINTAH KOTA SOLOK LAPORAN KINERJA TAHUN 2016

ADVOKASI KESEHATAN Waktu : 45 Menit Jumlah soal : 30 buah

IMPLEMENTASI GOOD GOVERNANCE DALAM PELAKSANAAN PELAYANAN PUBLIK BIDANG PENDIDIKAN DI KECAMATAN AMURANG BARAT KABUPATEN MINAHASA SELATAN

KATA PENGANTAR. Mataram, Februari KEPALA BADAN KESATUAN BANGSA DAN POLITIK DALAM NEGERI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT,

LKIP BPMPT 2016 B A B I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Pengantar

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI

Bab II Perencanaan Kinerja

Yth. Sdr. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas; Yth. Sdr. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan

Manajemen Mutu Pendidikan

PROVINSI JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN BAB I. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang. Perkembangan ekonomi global memberikan sinyal akan pentingnya

GOOD GOVERNANCE. Bahan Kuliah 10 Akuntabilitas Publik & Pengawasan 02 Mei 2007

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN

KATA PENGANTAR. Bandung, Januari 2015 KEPALA BADAN PENANAMAN MODAL DAN PERIJINAN TERPADU PROVINSI JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. (DPRD) mempunyai tiga fungsi yaitu : 1) Fungsi legislatif (fungsi membuat

RINGKASAN RENSTRA KECAMATAN BATUCEPER KOTA TANGERANG PERIODE

BAB II PERENCANAAN KINERJA

ASSALAMUALAIKUM WARRAHMATULLAHI WABARRAKATUH SALAM SEJAHTERA BAGI KITA SEMUA. YTH. WALIKOTA SAWAHLUNTO BESERTA UNSUR FORUM KOORDINASI

LAPORAN HASIL PENELITIAN

LAPORAN PUBLIKASI INFORMASI PUBLIK

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB IV PENUTUP. Berdasarkan gambaran pelaksanaan UU KIP oleh Pemkab Kediri selama

kinerja yang berkualitas merupakan suatu kebutuhan.

PROFIL PUSAT KOMUNIKASI PUBLIK KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN

BAB I PENDAHULUAN. terwujudnya good governance. Hal ini memang wajar, karena beberapa penelitian

BAB V PENUTUP. pemerintahan daerah masih cukup rendah. Komitmen Pemkab Sleman baru hanya

BAB I PENDAHULUAN. 2004, manajemen keuangan daerah Pemerintah Kabupaten Badung mengalami

BAB I PENDAHULUAN. baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, pengawasan maupun evaluasi.

BAB I PENDAHULUAN. Sumarto, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2009, hal. 1-2

PUSANEV_BPHN. Overview ANALISIS EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK. Oleh:

BAB VI PENUTUP. dapat mendorong proses penganggaran khususnya APBD Kota Padang tahun

BAB V PENUTUP. a. Forum Informal; b. Studi Banding; c. Focus Group Discussion (FGD); d.

LOGICAL FRAMEWORK ANALYSIS (LFA) KONSIL LSM INDONESIA HASIL PERENCANAAN STRATEGIS MARET 2011

PEDOMAN KEBIJAKAN PENGENDALIAN INFORMASI

BAB 12 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH

KATA PENGANTAR. Assalamu'alaikum Wr. Wb

LAMPIRAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PROBOLINGGO NOMOR : 07 TAHUN 2013 BAB I PENDAHULUAN

RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN LAMONGAN TAHUN 2017 BAB I PENDAHULUAN

PERATURAN DAERAH NO. 07 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) KABUPATEN PROBOLINGGO TAHUN

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

Keterbukaan Informasi Publik di Indonesia

KOTA SURAKARTA PRIORITAS DAN PLAFON ANGGARAN SEMENTARA (PPAS) TAHUN ANGGARAN 2016 BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. negeri, dan himpunan masyarakat mempunyai kewajiban untuk memberikan

LAPKIN SEKRETARIAT DAERAH KOTA TANGERANG SELATAN TAHUN 2015 BAB II

Sosialisasi UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. SAMARINDA, 2 juli 2015

BAB I PENDAHULUAN. pembahasan, akhirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

Transkripsi:

BAB VI PENUTUP Bab ini mengulas tentang kesimpulan dari pembahasan terkait dengan judul penelitian serta rumusan masalah penelitian yang telah dibahas dalam bab-bab sebelumnya. Peneliti juga memberikan saran atau masukan bagi NGO dan Pemerintah Kota Mataram dalam mendorong KIP agar kedepan hubungan tersebut selalu dibangun dalam bingkai kerjasama yang lebih baik. VI.1 Kesimpulan a) Dimensi orientasi Isu Nilai untuk indikator mempengaruhi agenda pemerintahan bernilai sedang yaitu 2,08. Demikian juga untuk indikator mempengaruhi aktivitas lembaga juga bernilai sedang yaitu 2,08. Hal tersebut menunjukkan bahwa NGO telah mempengaruhi agenda pemerintahan dalam melaksanakan UU KIP. Namun dapat dijelaskan bahwa hanya Firta NTB dan Somasi NTB yang paling aktif mempengaruhi agenda pemerintah. Sementara PD Muhammadiyah Kota Mataram, PD Pemuda Muhammadiyah 228

Kota Mataram serta Lakpesdam NU belum menunjukkan kegiatan kegiatan untuk mendorong agenda pemerintahan dalam melaksanakan KIP. Demikian pula pada indikator aktivitas kelembagaan dalam mendorong KIP hanya ditunjukkan oleh Fitra NTB dan Somasi NTB. Sementara lembaga lainnya tidak menunjukkan aktivitas kelembagaan yang berarti. Terkait dengan tidak aktifnya PD Muhammadiyah Kota Mataram, PD Pemuda Muhammadiyah Kota Mataram dan Lakpesdam NU Kota Mataram dalam mendorong KIP disebabkan karena tidak memiliki program khusus dalam mendorong KIP. Selain itu, dalam visi-misi ke dua lembaga tersebut tidak disebutkan secara langsung tentang agenda penguatan tata kelola pemerintahan dan transparansi. Namun demikian, dukungan Muhammadiyah dan NU terhadap gerakan mendorong KIP tetap dilakukan dengan mengikuti kegiatankegiatan yang dilakukan oleh Somasi NTB dan Fitra NTB. Muhammadiyah dan NU semata-semata menjadi komponen penguat legitimasi bagi NGO dalam mendorong KIP. 229

Pada dimensi orientasi isu menunjukkan bahwa pola hubungan civil society dan pemerintah lokal pada konteks kegiatan NGO dalam mendorong KIP sangat ditentukan oleh strategi yang dilakukan NGO. Strategi penyebarluasan isu KIP melalui media lokal sangat efektif dalam mempengaruhi pemerintah daerah. Selain itu, keterlibatan media sangat dominan dalam penyebarluasan isu KIP tersebut. Keterlibatan media terjadi karena dikukung oleh sistem politik yang makin terbuka serta adanya kebebasan pers dalam memberikan kritik kepada pemerintah daerah. Pada sistem demokrasi, keberadaan media lokal sangat diperhitungkan dalam mendorong KIP di daerah. Pola hubungan civil society dan pemerintah lokal pada konteks kegiatan NGO dalam mendorong KIP menunjukkan kolaburasi antara NGO dengan pemerintah daerah. Kolaburasi tersebut ditunjukkan melalui pendampingan dan asistensi teknis dalam penyusunan SLIP, SOP serta Perwal. Kolaburasi tersebut dilakukan karena NGO dan pemerintah daerah memiliki kepentingan yang sama menyangkut isu keterbukaan. NGO berkepentingan dengan keterbukaan informasi karena terkait 230

dengan kemudahan untuk mendapatkan data-data anggaran dan isu korupsi. Sementara kemampuan NGO dalam mempengaruhi agenda pemerintah juga sangat ditentukan oleh kerjasama dengan lembaga internasional seperti Australian Aid. Kerjasama NGO dengan lembaga internasional tersebut didorong oleh kepentingan global yang menyangkut isu demokratisasi dan keterbukaan informasi. Dengan demikian, penerapan KIP di Kota Mataram ditentukan oleh empat komponen yaitu NGO, media lokal, lembaga internasional dan Pemerintah Kota Mataram. b) Dimensi finansial Nilai untuk indikator sumber keuangan NGO adalah 2,76 atau tinggi. Nilai tersebut menunjukkan bahwa sumber keuangan NGO dalam mendorong KIP sangat menentukan dalam mendorong KIP. Demikian juga pada indikator kemandirian keuangan NGO memperoleh nilai 2,76 atau tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa kemandirian keuangan NGO dalam mendorong KIP sangat tinggi karena tidak tergantung dengan bantuan pemerintah daerah. Sementara pada indikator alokasi 231

keuangan dengan nilai 2,2 atau sedang. Hal ini menunjukkan bahwa alokasi keuangan NGO dalam mendorong KIP cukup baik karena telah sesuai dengan rencana kegiatan. Namun tidak semua NGO memiliki orientasi pembiayaan dalam mendorong KIP seperti PD Muhammadiyah Kota Mataram dan PD Pemuda Muhammadiyah Kota Mataram. Hal tersebut terjadi karena NU dan Muhammadiyah tidak memiliki kegiatan khsusus dalam mendorong KIP. Pola hubungan civil society dan pemerintah lokal pada konteks kegiatan NGO dalam mendorong KIP khususnya dalam konteks finansial menegaskan bahwa NGO memanfaatkan bantuan lembaga internasional. NGO tidak melakukan komitmen kerjasama keuangan dengan pemerintah daerah dalam kegiatan mendorong KIP. Hal tersebut dilakukan untuk mempertahankan kemandirian serta menghindari campur tangan pemerintah terhadap kegiatan-kegiatan NGO. Hubungan NGO dengan pemerintah daerah hanya sebatas pada kerjasama perumusan kebijakan dalam pelaksanaan KIP di lembaga pemerintah seperti asistensi teknis pembuatan SLIP dan 232

SOP dalam pelaksanaan KIP. Kerjasama dalam perumusan kebijakan tersebut dilakukan karena pemerintah daerah memiliki kewenangan secara politik dan administratif dalam membuat aturan serta payung hukum pelaksanaan KIP di daerah. c) Dimensi Kebijakan Nilai untuk indikator strategi pemecahan masalah mendapat nilai 2 atau sedang. Hal tersebut menegaskan bahwa strategi pemecahan masalah dalam mendorong KIP sudah dilakukan oleh NGO. Strategi tersebut berupa permohonan serta uji akses informasi, tracking calon anggota Komisi Informasi serta diseminasi hasil riset. Semua tahapan dalam melaksanakan strategi tersebut berjalan sebagaimana yang telah direncanakan oleh NGO. Salah satu keberhasilan NGO adalah dengan terbentuknya Komisi Informasi NTB serta terbentuknya payung hukum pelaksanaan KIP. Namun strategi tersebut belum berjalan secara maksimal karena belum dapat mempengaruhi kualitas pelayanan informasi di lembaga pemerintah daerah. Sementara nilai indikator partisipasi masyarakat mendapatkan nilai 1,48 atau rendah. Hal tersebut menegaskan 233

bahwa partisipasi masyarakat dalam mendorong KIP masih sangat rendah. Gerakan dalam mendorong KIP masih di dominasi oleh NGO dan tokoh masyarakat. NGO belum mendapatkan dukungan penuh dari masyarakat. Minimnya peran masyarakat juga disebabkan karena pemahaman masyarakat tentang KIP masih terbatas pada elite birokrasi, akademisi serta tokoh masyarakat. Pola hubungan yang terjadi pada dimensi kebijakan menunjukkan bahwa pelaksanaan KIP sangat tergantung pada pemerintah daerah. Strategi NGO dalam mendorong KIP tidak akan berhasil jika tidak direspon oleh pemerintah daerah. Keberadaan NGO yang berada di luar pemerintah tidak dapat menentukan pelaksanaan KIP karena kewenangan pembuatan kebijakan ditentukan oleh pemerintah daerah. Namun strategi yang sudah dilakukan NGO sangat efektif untuk mendorong pemerintah daerah dalam merumuskan kebijakan seperti pembentukan dan penetapan anggota Komisi Informasi NTB dan pemberlakuan peraturan-peraturan teknis terkait pelayanan informasi melalui Peraturan Gubernur dan Peraturan Walikota. 234

d) Dimensi Organisasional Nilai untuk indikator interdepensi yaitu 2,84 atau tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi kerjasama yang baik antara stakeholders yang berkepentingan dalam mendorong KIP. Begitu pula dengan nilai indikator indpependensi yaitu 2,76 atau tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa independensi dalam merencanakan atau menggagas kegiatan NGO dalam mendorong KIP sangat tinggi. Pola hubungan civil society dan pemerintah lokal pada indikator interdependensi menunjukkan bahwa pemerintah daerah dan Komisi Informasi paling menentukan pelaksanaan KIP di daerah. Pemerintah daerah dan Komisi Infrormasi memiliki power dan legitimasi yang paling kuat karena bekerja berdasarkan perintah UU KIP. Pemerintah daerah dan Komisi Informasi memiliki tiga atribut sekaligus yakni power, legitimasi dan urgensi. Pemerintah daerah memiliki power dalam mendorong KIP karena memiliki kekuatan otoritatif dalam melaksanakan tindakan-tindakan syah dalam melaksanakan KIP. 235

VI. 2. Saran Kesimpulan di atas telah menggambarkan tentang dimensidimensi yang membentuk pola hubungan politik civil society dan Pemerintahan Lokal dalam mendorong KIP di Kota Mataram. Pola hubungan politik tersebut secara umum menggambarkan tentang hubungan yang saling mendukung atau saling membutuhkan antara civil society dengan Pemerintahan Lokal. Namun ada beberapa hal perlu perbaikai dalam pola hubungan tersebut melalui saran sebagai berikut: 1. Dalam mendorong Keterbukaan Informasi civil society memang telah menunjukkan kemandirian dalam pembiayaan karena tidak bergantung terhadap anggaran dari Pemerintahan Daerah. Kedepan hendaknya civil society juga memanfaatkan serta memaksimalkan sumber pendanaan lainnya, seperti pendanaan internal dan masyarakat. Hal ini penting sebagai bentuk penegasan civil society sebagai organisasi mandiri, sukarela dan wakil dari kepentingan masyarakat. 236

2. Hendaknya kedepan civil society harus membentuk forum bersama Pemerintahan Daerah sebagai medium komonikasi dalam menyerap berbagai isu dan gagasan yang muncul di kalasngan civil society yang menyangkut kepentingan masyarakat, termasuk salah satunya dalam mendorong KIP. Sehingga dengan demikian, Pemerintahan Daerah dapat dengan mudah melakukan pemetaan masalah-masalah yang natinya sebagai dasar dalam pembuatan kebijakan publik. 3. Civil society dalam hal ini LSM atau Organisasi Kemasyarakatan lainnya harus lebih banyak melakukan kerjasama dengan berbagai stakeholder tidak saja pada agenda-agenda serta kegiatan mendorong Keterbukaan Informasi Publik, namun pada agenda lain seperti isu-isu pemberantasan korupsi, transparansi anggara serta penegakan hukum. Karena agenda-agenda tersebut juga menjadi bagian dari upaya mewujudkan pemerintahan akuntabel, transparan dan partisiapatif. 4. Dalam mendukung implementasi UU KIP di Kota Mataram hendaknya jangan melalui Perwal semata, tapi menyusun 237

payung hukum dalam bentuk Perda. Dengan menggunakan Perda maka implementasi UU KIP tidak hanya mengikat kepada lembaga Pemerintahan Daerah saja, tapi juga mengikat kepada badan publik lainnya seperti perguruan tinggi negeri, korporasi yang menggunakan anggaran publik dan masyarakat secara luas sebagai penggunan layanan informasi publik. 238