PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume ekspor hasil perikanan menurut komoditas utama ( )

dokumen-dokumen yang mirip
ISOLASI DAN IDENTIFIKASI Vibrio parahaemolyticus PATOGENIK PADA UDANG TAMBAK YUSMA YENNIE

c. TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Vibrio parahaemolyticus

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki 70% wilayah perairan dengan daya dukung lingkungan yang

BAB I PENDAHULUAN. Letak geografis Kecamatan Kuta Selatan berada di ketinggian sekitar 0-28 meter di

I. PENDAHULUAN. budidaya karena memiliki nilai ekonomis tinggi ( high economic value) serta

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Pertumbuhan PDB Kelompok Pertanian di Indonesia Tahun

KAJIAN RISIKO Salmonella PADA PRODUK TUNA LOIN DI AMBON BALAI BESAR RISET PENGOLAHAN PRODUK & BIOTEKNOLOGI KP BRSDM-KKP

BAB I PENDAHULUAN. Budidaya udang merupakan salah satu komuditas perikanan dengan

I. PENDAHULUAN. ekonomis penting yang terdapat di perairan Indonesia. Ikan kerapu bernilai gizi

: Vibrio vulnificus. Klasifikasi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

V GAMBARAN UMUM EKSPOR UDANG INDONESIA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Kerang-kerangan yang termasuk dalam Kelas Bivalvia merupakan

PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tabel 1 Poduksi perikanan Indonesia (ribu ton) tahun

BAB I PENDAHULUAN. Neraca perdagangan komoditi perikanan menunjukkan surplus. pada tahun Sedangkan, nilai komoditi ekspor hasil perikanan

1 PENDAHULUAN. Kenaikan Rata-rata *) Produksi

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Serikat adalah salah satu negara tujuan utama ekspor produk

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya alam perairan baik perairan darat maupun perairan laut dengan

I. PENDAHULUAN. (Bahari Indonesia: Udang [29 maret 2011Potensi]

II. TINJAUAN PUSTAKA. Komoditas udang Vannamei ( Litopenaeus vannamei) merupakan udang asli

I. PENDAHULUAN. dibentuk oleh berbagai komponen biotik dan abiotik, komponen-komponen ini saling

I. PENDAHULUAN. dan cepat mengalami penurunan mutu (perishable food). Ikan termasuk komoditi

BAB 1 PENDAHULUAN. Es batu merupakan air yang dibekukan dan biasanya dijadikan komponen

BAB I PENDAHULUAN. kecil. Pengelolaan sapi perah rakyat pada kenyataannya masih bersifat tradisional.

BAB I PENDAHULUAN. makanan (foodborne illnesses) pada orang yang mengonsumsinya. Lebih dari 250

I. PENDAHULUAN. dari penangkapan ikan di laut. Akan tetapi, pemanfaatan sumberdaya tersebut di

I. PENDAHULUAN. tanaman jagung di Indonesia mencapai lebih dari 3,8 juta hektar, sementara produksi

BAB II PROFIL PERUSAHAAN. A. Sejarah Ringkas PT. Agung Sumatera Samudera Abadi

V. TINJAUAN UMUM RUMPUT LAUT DI INDONESIA

Udang beku Bagian 1: Spesifikasi

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu sumber protein yang mudah diperoleh dan harganya

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Jumlah Bakteri Asam Laktat pada Media Susu Skim.

BAB I PENDAHULUAN. dapat menjadi sarana potensial bagi penyebaran bakteri patogenik (milkborne

I. PENDAHULUAN. diakibatkan oleh berbagai macam faktor, salah satunya adalah munculnya penyakit yang

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

LAMPIRAN SERTIFIKAT AKREDITASI LABORATORIUM LP-103-IDN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Escherichia coli yang merupakan salah satu bakteri patogen. Strain E. coli yang

I. PENDAHULUAN. Ikan kerapu (Epinephelus sp.) merupakan jenis ikan air laut yang

KARYA ILMIAH BISNIS DAN BUDIDAYA KEPITING SOKA. Di susun oleh : NAMA :FANNY PRASTIKA A. NIM : KELAS : S1-SI-09

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Air merupakan kebutuhan pokok manusia yang paling penting. Air

Tugas Manajemen Mutu Terpadu. 3. Penanganan dan pengolahan Penanganan dan pengolahan cumi-cumi beku sesuai SNI :2010.

I. PENDAHULUAN. Escherichia coli adalah bakteri yang merupakan bagian dari mikroflora yang

I. PENDAHULUAN. Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan salah satu spesies yang cukup banyak

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini kajian ilmiah terhadap kejadian penyakit yang disebabkan oleh agen yang

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN Nomor : 481/Kpts/OT.210/5/98. Tentang PENERAPAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) KOMODITAS HASIL PERTANIAN

I. PENDAHULUAN. patin termasuk komoditi yang memiliki prospek cerah untuk dibudidayakan. Hal

BAB I PENDAHULUAN. komoditas ternak yang memiliki potensi cukup besar sebagai penghasil daging

Bab IV Deskripsi Tambak Silvofishery di Desa Dabung

I. PENDAHULUAN , , , , ,4 10,13

Teknologi pangan adalah teknologi yang mendukung pengembangan industri pangan dan mempunyai peran yang sangat penting dalam upaya mengimplementasikan

BAB I PENDAHULUAN. perikanan pada posisi yang penting sehingga menyebabkan intensifikasi yang

BAB I PENDAHULUAN. melalui program proyek desa tertinggal maupun proyek lainnya, namun sampai

I. PENDAHULUAN. ekonomi yang tinggi. Ikan mas dibudidayakan untuk tujuan konsumsi, sedangkan

BAB I PENDAHULUAN. perikanan. Luas wilayah laut Indonesia sangat luas yaitu sekitar 7,9 juta km 2 dan

I. PENDAHULUAN. perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan. serta ada yang berskala kecil(said dan lutan, 2001).

BAB I PENDAHULUAN. ditularkan kepada manusia melalui makanan (Suardana dan Swacita, 2009).

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR KEP.61/MEN/2009 TENTANG PEMBERLAKUAN WAJIB STANDAR NASIONAL INDONESIA BIDANG KELAUTAN DAN PERIKANAN

I. PENDAHULUAN. Bawang merah (Allium cepa L. Aggregatum group) salah satu komoditas sayuran penting di Asia Tenggara karena seringkali

Di dalam pelaksanaannya, petugas karantina ikan hams mengetahui jenisjenis

BAB I PENDAHULUAN. Salmonella sp merupakan salah satu bakteri patogen yang dapat menimbulkan

BAB 1 PENDAHULUAN. adanya mikroorganisme patogen pada makanan dan minuman sehingga bisa

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN. secara optimal (Direktorat Pengelolaan Hasil Perikanan, 2007 dalam Marada, 2012).

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang

rovinsi alam ngka 2011

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bakteri Escherichia coli pertama kali ditemukan oleh Theodor Escherich pada tahun

Tuna loin segar Bagian 1: Spesifikasi

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. 26/KEPMEN-KP/2013 tentang Penetapan Jenis-jenis Hama

BAB I PENDAHULUAN. Dalam situasi pasca krisis ekonomi saat ini, sub sektor perikanan merupakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pencernaan pada manusia. Bakteri Escherichia coli pertama kali ditemukan oleh Theodor

KEBIJAKAN HAMBATAN NON TARIF DI PASAR UNI EROPA TERHADAP EKSPOR KOMODITAS UDANG INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kacang panjang (Vigna sinensis L.) merupakan salah satu sayuran yang

BAB I PENDAHULUAN. ikan laut bernilai ekonomis penting yang terdapat di perairan Indonesia.

PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH

BAB I PENDAHULUAN. Sapi bali merupakan salah satu bangsa sapi asli Indonesia dan keturunan asli

KATAPENGANTAR. Pekanbaru, Desember2008. Penulis

I. PENDAHULUAN. Bakteri Asam Laktat (BAL) merupakan bakteri yang sering digunakan di

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

6 PEMETAAN KARAKTERISTIK DISTRIBUSI HASIL TANGKAPAN

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN...

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

KONDISI PERIKANAN DI KECAMATAN KUALA KAMPAR

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sumber daya hutan bakau yang membentang luas di

BAB I PENDAHULUAN. Kerang hijau merupakan salah satu makanan yang mengandung banyak

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu sumber protein yang baik dikonsumsi oleh

DAFTAR ISI. BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian...

SUTOYO. Penapisan Bakteri Asam Laktat (BAL) Asal Berbagai Sumber Bahan. IDWAN SUDIRMAN sebagai ketua, SRI BUDIARTI POERWANTO dm

Analisa Mikroorganisme

BAB I PENDAHULUAN. kualitas hidup manusia dengan meningkatnya pendapatan masyaraka Di sisi lain,

Transkripsi:

18 PENDAHULUAN Latar Belakang Udang merupakan salah satu komoditas unggulan program revitalisasi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) selain tuna dan rumput laut sejak tahun 2005. Disamping itu udang menempati urutan ke-5 terbesar dalam deretan ekspor non-migas dan memberikan kontribusi sebesar 50% dari total nilai ekspor perikanan Indonesia. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Pusat Data Statistik dan Informasi, KKP (2009), tentang volume ekspor hasil perikanan menurut komoditas utama tahun 2005-2009, terlihat udang menduduki urutan pertama (Tabel 1). Tabel 1. Volume ekspor hasil perikanan menurut komoditas utama (2005-2009) Rincian Tahun Kenaikan Rata-Rata (% ) 2005 2006 2007 2008 2009 2005-2009 2008-2009 Volume (Ton) 857.922 926.477 854.329 911.674 796.700-1.42-12.61 Udang 153.906 169.329 157.545 170.583 165.000 2.02-3.27 Tuna, cakalang, tongkol 91.631 91.822 121.316 130.056 95.000 3.14-26.95 Ikan lainnya 428.395 439.540 393.679 424.401 381.600-1.83-10.09 Kepiting 18.593 17.905 21.510 20.713 17.300-0.94-16.48 Lainnya 165.397 153.881 160.279 165.921 137.800-4.06-16.95 Pusat Data Statistik dan Informasi, KKP (2009) Ekspor komoditas udang Indonesia mengalami masalah beberapa tahun ini. Permasalahan ekspor udang Indonesia mengakibatkan volume dan nilai ekspor menurun dan beberapa permasalahan yang dihadapi terkait dengan standar mutu dan sanitasi. Permasalahan yang terkait dengan sanitasi pada komoditas udang umumnya karena adanya kontaminasi bakteri patogen seperti Salmonella,

19 Vibrio parahaemolyticus, dan Vibrio cholera (DKP, 2003). Pada tahun 2005 sebanyak 26 ton ekspor udang Indonesia ditolak Uni Eropa karena kontaminasi V. parahaemolyticus, sedangkan pada tahun 2007 ekspor produk sushi ebi sebanyak 4.8 ton ditolak oleh Uni Eropa karena alasan yang sama (Ditjen P2HP-KKP, 2010). Kasus terakhir, berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, pada tahun 2009 dan 2010 sebanyak 27 ton dan 13 ton ekspor ikan Indonesia ditolak oleh Cina karena terkontaminasi V. parahemolyticus. Wong et al. (1999) melaporkan bahwa produk perikanan yang diekspor ke Taiwan dari beberapa negara di Asia termasuk Indonesia pernah terdeteksi mengandung V. parahaemolyticus (Tabel 2) walaupun pada seluruh sampel tidak ditemukan V. parahaemolyticus patogenik yang diidentifikasi dengan metode PCR. Tabel 2. Impor produk perikanan yang terkontaminasi V. parahaemolyticus di Taiwan Negara asal Jenis produk Jumlah sampel Jumlah sampel positif % Vp Kepiting 126 41 32.5 Vietnam Lobster 59 26 44.1 Bekicot 95 20 21.1 Ikan 106 47 44.3 Hongkong Kepiting 114 81 71.1 Thailand Kepiting 32 26 81.3 Indonesia Udang 62 47 75.8 Ikan 92 27 29.3 Jumlah 686 315 45.9 Wong et al. (1999) Dalam perdagangan internasional, beberapa negara seperti Uni Eropa, USA, dan Jepang menetapkan persyaratan mutu dan keamanan pangan terkait dengan V. parahaemolyticus pada produk perikanan termasuk udang baik beku maupun olahan. Indonesia juga di dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) mensyaratkan V. parahaemolyticus sebagai parameter mutu pada produk perikanan. Tabel 3 menunjukkan peraturan dari beberapa negara pengimpor

20 untuk persyaratan mutu dan keamanan pangan produk udang serta persyaratan udang beku berdasarkan SNI 01-2705.1-2006. Tabel 3. Persyaratan V. parahaemolyticus pada produk perikanan di berbagai negara Negara Jenis pangan Persyaratan Referensi Uni Eropa Krustasea, moluska, MPN 100 cfu/g ISO 8914 dan kerang olahan USA Produk perikanan siap saji MPN >10 4 /g (KP + / -) FDA Compliance Programme Guidance Manual 7303.844 Jepang Produk perikanan untuk konsumsi mentah MPN < 100/g Indonesia Udang beku APM <3/g atau KP + * (* jika diperlukan) Ababouch et al. (2005); Badan Standardisasi Nasional (2006) Food Sanitation & Quarantine Law Article 11 SNI 01-2705.1-2006 Vibrio spp. merupakan flora normal pada lingkungan perairan payau seperti pantai atau muara sungai serta umum terdapat selama kegiatan budidaya udang (Vandenberghe et al. 2003). Keberadaan Vibrio spp. terutama berkaitan dengan bahan organik dan fluktuasi oksigen terlarut pada lahan budidaya. Selain itu dalam kondisi normal peningkatan suhu akan menimbulkan keragaman spesies Vibrio (Barbieri et al. 1999; Pfeffer et al. 2003). Beberapa spesies patogen Vibrio seperti V. harveyi dan V. parahaemolyticus merupakan bakteri yang menginfeksi udang (Jiravanichpaisal dan Miyazaki, 1995; Lavilla-Pitogo, 1995; Lightner, 1993) dan umumnya disebut dengan patogen oportunistik yang dapat menyebabkan penyakit pada udang (Goarant et al. 1999). Infeksi V. parahaemolyticus pada udang terjadi pada fase juvenil sampai dewasa. Penyakit pada udang ini disebut dengan red disease syndrome yaitu berubahnya warna tubuh udang menjadi merah dan mengakibatkan kematian. Kematian udang karena penyakit ini berkisar 1-20% (Alapide-Tendencia dan Dureza, 1997) Sistim pemeliharaan udang di tambak umumnya dibedakan atas sistim tradisional dan intensif. Kedua sistim tambak ini memiliki beberapa perbedaan antara lain sumber air, pengelolaan kualitas air, padat tebar benur udang, konstruksi lahan tambak, sistim pengairan, dan jenis pakan. Tambak tradisional

21 umumnya tidak menerapkan manajemen pengelolaan kualitas air tambak, dimana sumber air untuk pemeliharaan umumnya berasal dari aliran sungai yang berada di sekitar tambak. Hal ini memberi peluang besarnya kandungan kontaminan dari sumber air seperti logam berat dan bakteri patogen yang dapat menyebabkan tingkat kematian pada udang cukup tinggi. Selain itu tambak tradisional tidak dilengkapi oleh sistim aerasi yang berfungsi mengatur ketersediaan oksigen (Komarawidjaja dan Garno, 2003). Disamping merupakan patogen pada udang, beberapa spesies Vibrio juga bersifat patogen pada manusia. Lebih dari 12 spesies Vibrio diketahui terkait dengan penyakit pada manusia, dan spesies V. cholerae dan V. parahaemolyticus merupakan patogen yang dominan penyebab penyakit pada manusia (Kaysner dan DePaola, 2004). V. cholerae merupakan spesies patogen Vibrio yang memiliki lebih dari 200 serotipe, akan tetapi hanya serotipe O1 dan O139 yang bersifat patogen dan menyebabkan penyakit pada manusia. Sementara itu serotipe lainnya disebut dengan non O1/O139 dan jarang menginfeksi manusia (Kaper et al. 1995; Anderson et al. 2004). V. cholerae memproduksi enterotoksin kolera yang menyebabkan penyakit kolera pada manusia. Penyakit kolera ditularkan melalui jalur fekal-oral, melalui air yang terkontaminasi saat pencucian bahan pangan ataupun bahan pangan yang terkontaminasi feses manusia yang biasa digunakan untuk pupuk (Dobosh et al. 1995; Kaysner, 2000; Popovic et al. 1993). Galur O1 umumnya diisolasi dari sampel klinis sedangkan galur non O1/O139 diisolasi dari lingkungan perairan dan produk perikanan. Spesies Vibrio lain yang patogen terhadap manusia adalah V. parahaemolyicus, merupakan bakteri Gram negatif yang umumnya terdeteksi pada air, sedimen, plankton, produk perikanan (krustasea, ikan dan moluska). Hal ini karena bahan-bahan tersebut memiliki kondisi optimum bagi pertumbuhan bakteri ini seperti ketersediaan nutrien, kandungan garam, ph dan Aw. Di Indonesia, penelitian keberadaan V. parahaemolyticus pada produk perikanan termasuk udang masih jarang dilakukan. Dewanti-Hariyadi et al. (2002) melaporkan bahwa V. parahaemolyticus yang diisolasi dari sampel udang yang berasal dari tambak di Jawa Barat dan Jawa Tengah, pasar grosir dan unit pengolahan berturut-turut sebesar 21.8%, 3.1%, 11.1%, dan 70%. Namun

22 demikian tidak diketahui apakah V. parahaemolyticus pada sampel udang tersebut bersifat patogenik. Penelitian lain juga melaporkan bahwa ditemukan V. parahaemolyticus pada seluruh sampel kerang mentah dan olahan (n=47) yang berasal dari perairan dan pasar lokal di Padang-Sumatera Barat, dimana 36% dari isolat tersebut merupakan V. parahaemolyticus patogenik yang diidentifikasi berdasarkan gen penyandi tdh (thermostable direct hemolysin) (Marlina et al. 2007). Jika dikaitkan dengan kesehatan masyarakat, V. parahaemolyticus juga pernah diisolasi dari sampel klinis pasien diare di beberapa rumah sakit di Indonesia dan diketahui sebesar 7.3% (n=2812) merupakan V. parahaemolyticus dengan Fenomena Kanagawa (KP) positif (Tjaniadi et al. 2003). Persentase ini lebih kecil dibandingkan dengan kejadian keracunan oleh Salmonella akan tetapi lebih tinggi dari persentase kejadian yang disebabkan oleh Enterohemorrhagic E. coli (EHEC). Untuk mengetahui bahwa V. parahaemolyticus bersifat patogenik, umumnya dilakukan pengujian Kanagawa yakni dengan mengamati pembentukan daerah bening pada agar Wagatsuma yang menandakan adanya hemolisin. V. parahaemolyticus yang menghasilkan Kanagawa positif (KP+) adalah galur yang menghasilkan faktor virulen thermostable direct hemolysin (TDH) yang disebut dengan gen tdh. Meskipun demikian tidak semua V. parahaemolyticus patogenik ditandai dengan hasil uji Kanagawa positif. Hal ini ditemukan pada pasien penderita diare yang tidak menunjukkan hasil KP+. Faktor virulen ini kemudian dikenal dengan thermostable direct hemolysin related hemolysin (TRH) dan disebut gen trh. Analisis berdasarkan reaksi biokimiawi ini ternyata memiliki beberapa kelemahan sehingga dikembangkan metode analisis untuk mengidentifikasi V. parahaemolyticus patogenik menggunakan pendekatan molekuler seperti metode polymerase chain reaction (PCR). Metode ini merupakan metode enzimatis untuk melipatgandakan secara eksponensial suatu sekuen nukleotida tertentu dengan cara in vitro. Metode PCR banyak dikembangkan untuk pengujian mikrobiologi karena memiliki keunggulan diantaranya sensitifitas tinggi, ketepatan hasil uji tinggi, waktu pengujian relatif cepat dan dapat digunakan untuk pengujian komponen yang jumlahnya sangat

23 sedikit (Yuwono, 2006). Identifikasi V. parahaemolyticus patogenik menggunakan metode PCR dilakukan dengan cara mengamplifikasi sekuen nukleotida berdasarkan keberadaan gen penyandi tdh dan trh. Perumusan Masalah Salah satu permasalahan penolakan ekspor udang Indonesia adalah kontaminasi bakteri patogen diantaranya Vibrio parahaemolyticus. V. parahaemolyticus merupakan patogen oportunistik terhadap udang dan juga merupakan bakteri patogen penyebab penyakit pada manusia. Akan tetapi ketersediaan data keberadaan V. parahaemolyticus patogenik pada komoditas udang tambak masih sangat terbatas. Identifikasi V. parahaemolyticus patogenik komoditas udang tambak di Indonesia masih jarang dilakukan. Metode identifikasi V. parahaemolyticus patogenik dengan metode konvensional berdasarkan reaksi biokimia telah banyak dilakukan akan tetapi memiliki kelemahan seperti waktu analisis yang lama, ketepatan hasil uji dan sensitifitas yang rendah. Selain itu metode konvensional tidak dapat mengidentifikasi keberadaan TRH pada sampel. Metode PCR merupakan salah satu pengembangan metode identifkasi V. parahaemolyticus patogenik dengan pendekatan molekular yang telah banyak dikembangkan karena dapat menghasilkan akurasi dan ketepatan hasil uji yang lebih tinggi. Identifikasi V. parahaemolyticus patogenik pada udang tambak dengan metode PCR diharapkan dapat memperoleh hasil uji yang akurat. Tujuan penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah mengevaluasi frekuensi isolasi V. parahaemolyticus patogenik pada komoditas udang tambak tradisional dan intensif. Sedangkan tujuan khusus penelitian ini adalah : a. Mengisolasi dan mengidentifikasi V. parahaemolyticus secara biokimiawi pada komoditas udang yang berasal dari tambak tradisional dan intensif serta manganalisis faktor yang berkontribusi terhadap keberadaan bakteri ini. b. Mengidentifikasi V. parahaemolyticus patogenik pada komoditas udang tambak berdasarkan amplifikasi gen penyandi tdh dan trh.

24 Hipotesis Hipotesis pada penelitian ini adalah : a. V. parahaemolyticus berpotensi ditemukan pada komoditsas udang tambak baik tambak tradisional maupun intensif, dengan frekuensi isolasi yang lebih tinggi terdapat pada tambak tradisional. b. V. parahaemolyticus patogenik pada sampel lingkungan dan produk perikanan umumnya berkisar 1-2%.