I. PENDAHULUAN. tanaman jagung di Indonesia mencapai lebih dari 3,8 juta hektar, sementara produksi

Transkripsi

1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan salah satu komoditas pertanian yang sangat penting. Lahan tanaman jagung di Indonesia mencapai lebih dari 3,8 juta hektar, sementara produksi jagung tahun 2015 sebanyak 20,67 juta ton pipilan kering atau mengalami kenaikan sebanyak 1,66 juta ton (8,72 persen) dibandingkan tahun 2014 (Anonim, 2015). Namun, berdasarkan data Anonim (2014), produksi jagung belum dapat mengimbangi kebutuhan dalam negeri. Salah satu kendala yang dihadapi dalam budidaya tanaman jagung adalah gangguan organisme pengganggu tanaman (OPT) yang berupa hama, penyakit dan gulma. OPT ini dapat menghambat produksi tanaman, baik saat panen maupun setelah panen. Patogen pascapanen yang banyak menginfeksi tanaman jagung adalah Fusarium spp., dan Aspergillus spp. (Slusarenko et al., 2001). Jamur yang menginfeksi biji jagung dari Kabupaten Kupang teridentifikasi sebagai Fusarium spp. sebesar 62,11%, Black aspergilli sebesar 2,6%, Aspergillus flavus group sebesar 1,6% dan Penicillium spp. sebesar 1,02% (Rubak, 2009). Nugroho et al. (2012) melaporkan beberapa jenis spesies Fusarium yang mengontaminasi biji jagung di Temanggung, Jawa Tengah yaitu F. verticillioides, F. subglutinans, F. proliferatum, F. globosum dan F. temperatum. Identifikasi spesies Fusarium merupakan suatu proses yang penting dilakukan untuk memperkirakan tanaman inang yang mungkin terserang dan mengetahui 1

2 2 kondisi lingkungan yang dapat mendukung pertumbuhan Fusarium (Gherbawy et al., 2002). Selain itu, dengan karakterisasi spesies Fusarium dapat diketahui tingkat resiko mikotoksin yang dihasilkan dari isolat tersebut (Sampietro et al., 2010). Identifikasi Fusarium membutuhkan metode yang akurat, sensitif dan bersifat spesifik (Sampietro et al., 2010). Metode yang saat ini banyak digunakan dalam identifikasi dan karakterisasi spesies Fusarium adalah berdasarkan kriteria morfologi dan karakteristik mating type (Leslie et al., 2001). Metode ini relatif sederhana dan sudah banyak dilakukan. Meskipun demikian, baik karakteristik morfologi maupun mating type kurang akurat untuk identifikasi isolat jamur hingga tingkat spesies. Selain itu, kedua metode tersebut juga memakan waktu yang cukup lama untuk mendapatkan hasil yang diinginkan (Leslie & Summerell, 2006). Salah satu metode yang cukup akurat adalah identifikasi molekuler menggunakan sekuensing DNA dan amplifikasi dengan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) (Jurado et al., 2006 a,b; Niessen, 2007; Petrovic et al., 2009). Berbagai uji dengan teknik PCR telah banyak dikembangkan untuk identifikasi spesies Fusarium. Sebagian teknik tersebut berdasarkan pada single copy gen yang terlibat secara langsung pada biosintesis mikotoksin. Selain itu, identifikasi molekuler juga dilakukan secara spesifik untuk mengetahui jenis spesies tertentu (Mule et al., 2004). Selain dapat mengurangi jumlah produksi biji jagung, spesies Fusarium juga dapat memproduksi senyawa mikotoksin yang berbahaya bagi hewan dan manusia (Richard, 2007; Yazar & Omurtag, 2008). Senyawa mikotoksin adalah senyawa

3 3 metabolit sekunder yang dihasilkan oleh jamur yang berbahaya bagi kesehatan, serta mengakibatkan kerugian ekonomi yang cukup besar dan berpengaruh terhadap perdagangan internasional. Regulasi mikotoksin untuk pangan dan pakan telah diatur di beberapa negara. Pada tahun 2009, pemerintah Indonesia telah menetapkan suatu standar yang mengatur dan menetapkan batas kandungan mikotoksin pada jagung. Kandungan deoksinivalenol maksimum pada tepung jagung sebagai produk pangan adalah 1000 ppm, sedangkan kandungan fumonisin B1 dan B2 pada tepung jagung sebagai bahan baku dan produk olahan jagung siap konsumsi (corn flakes, pop corn, dan corn chips) masing-masing 2000 ppm dan 1000 ppm (Anonim, 2009). Pada latar belakang di atas telah dijabarkan mengenai infeksi spesies Fusarium pada biji jagung pascapanen serta bahaya senyawa mikotoksin yang dihasilkan oleh spesies tersebut. Keamanan pangan merupakan salah satu topik yang sangat penting karena berhubungan langsung dengan kesehatan manusia. Terjaminnya keamanan pangan tidak hanya melindungi kesehatan masyarakat namun juga dapat meningkatkan kualitas generasi muda dengan tersedianya bahan pangan yang aman dan layak dikonsumsi. Karlina (2015) telah melakukan karakterisasi morfologi spesies Fusarium yang diisolasi dari biji jagung dari beberapa wilayah di Pulau Jawa. Sampel biji jagung tersebut diambil dari 11 wilayah di Pulau Jawa dan satu sampel dari Lombok, Nusa Tenggara Barat. Beberapa provinsi di Pulau Jawa merupakan daerah penghasil jagung terbesar di Indonesia. Enam besar provinsi dengan produksi jagung terbanyak

4 4 adalah Jawa Timur (6 juta ton); Jawa Tengah (3,2 juta ton); Lampung (1,6 juta ton); Sulawesi Selatan (1,5 juta ton); Sumatera Utara (1,4 juta ton) dan Jawa Barat (1,1 juta ton) (Anonim, 2015). Hal tersebut yang menjadi dasar dalam pemilihan wilayah pengambilan sampel di Pulau Jawa. Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa isolat Fusarium yang ditumbuhkan pada media PDA menghasilkan berbagai variasi warna. Warna isolat tersebut dapat dikelompokkan menjadi koloni berwarna kuning-krem, koloni berwarna merah, koloni berwarna cokelat hingga cokelat kemerahan, koloni berwarna merah muda hingga ungu serta koloni berwarna ungu tua hingga ungu keabuan. Meskipun dapat dikelompokkan berdasarkan warna yang muncul, karakter morfologi ini belum dapat digunakan untuk identifikasi hingga tingkat spesies. Penelitian ini merupakan lanjutan dari penelitian yang dilakukan Karlina (2015) untuk mengidentifikasi spesies Fusarium tersebut secara molekuler dan mengetahui sebarannya di Pulau Jawa. Infeksi Fusarium pada jagung biasanya dimulai sejak dari lapang, dan dilanjutkan hingga proses penyimpanan biji jagung pascapanen. Dalam penelitian ini, ingin diketahui spesies Fusarium yang mengontaminasi biji sejak masih dari lapang, sehingga pengambilan sampel dilakukan secara acak, baik biji jagung yang menunjukkan gejala infeksi maupun tidak. Adanya pembatasan kadar senyawa mikotoksin pada bahan pangan menjadi suatu tantangan bagi petani maupun peneliti untuk dapat meminimalkan pembentukan senyawa mikotoksin pada biji jagung pascapanen. Dalam penelitian ini

5 5 juga dilakukan deteksi gen penyandi mikotoksin dari isolat Fusarium yang telah berhasil diidentifikasi. Dengan dilakukannya deteksi gen yang menyandi mikotoksin, maka dapat diketahui senyawa mikotoksin apa saja yang berpotensi dihasilkan oleh spesies Fusarium yang menginfeksi biji jagung. Hal ini dapat digunakan sebagai informasi untuk lebih mengoptimalkan proses penanganan biji jagung pascapanen dan meminimalisir terbentuknya senyawa mikotoksin. 1.2 Permasalahan Berdasarkan latar belakang tersebut dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah sebaran spesies Fusarium dari sampel biji jagung pascapanen dari beberapa wilayah penanaman di Pulau Jawa? 2. Apakah spesies Fusarium yang teridentifikasi memiliki gen penyandi mikotoksin tertentu? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui sebaran spesies Fusarium yang menginfeksi biji jagung pascapanen dari beberapa wilayah penanaman di Pulau Jawa. 2. Mengetahui ada dan tidaknya gen penyandi mikotoksin tertentu pada spesies Fusarium yang telah diidentifikasi.

6 6 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini merupakan lanjutan dari penelitian Karlina (2015) mengenai identifikasi spesies dan deteksi gen penyandi mikotoksin isolat Fusarium koleksi Laboratorium Teknologi Pengendalian, Departemen Hama dan Penyakit Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada. Hasil dari penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai informasi dasar mengenai pentingnya analisis spesies Fusarium terkait kemampuan spesies tersebut untuk mengekspresikan gen penyandi mikotoksin. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan penelitian lanjutan mengenai standar penyimpanan biji jagung pascapanen agar kondisi ruang penyimpanan tidak mendukung pertumbuhan jamur Fusarium. 1.5 Keaslian Penelitian Penelitian mengenai identifikasi spesies Fusarium pada biji jagung maupun tanaman serealia lain telah banyak dilakukan di berbagai negara di dunia. Meskipun demikian, penelitian ini masih terbatas dan belum banyak dilakukan di Indonesia. Identifikasi Fusarium yang dilakukan di Indonesia khususnya di Pulau Jawa masih terbatas pada satu wilayah tertentu dan belum mewakili kondisi wilayah di Pulau Jawa. Dalam penelitian ini, pengambilan sampel dilakukan di beberapa wilayah dengan variasi kondisi lingkungan. Penelitian mengenai senyawa mikotoksin yang banyak dilakukan di Indonesia adalah deteksi kandungan mikotoksin, dan sejauh ini belum ditemukan laporan tentang gen yang menyandikan senyawa tersebut.