BAB I PENDAHULUAN I.1.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

ANALISIS KETELITIAN DATA PENGUKURAN MENGGUNAKAN GPS DENGAN METODE DIFERENSIAL STATIK DALAM MODA JARING DAN RADIAL

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. bentuk spasial yang diwujudkan dalam simbol-simbol berupa titik, garis, area, dan

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Jurnal Geodesi Undip Januari 2014

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PENENTUAN POSISI DENGAN GPS

PENGENALAN GPS & PENGGUNAANNYA Oleh : Winardi & Abdullah S.

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

METODE PENENTUAN POSISI DENGAN GPS

BAB III GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS)

SURVEI HIDROGRAFI PENGUKURAN DETAIL SITUASI DAN GARIS PANTAI. Oleh: Andri Oktriansyah

PENGENALAN GPS & PENGGUNAANNYA

PENENTUAN POSISI DENGAN GPS UNTUK SURVEI TERUMBU KARANG. Winardi Puslit Oseanografi - LIPI

Evaluasi Spesifikasi Teknik pada Survei GPS

GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS) Mulkal Razali, M.Sc

I.3. Pertanyaan Penelitian Dalam penelitian ini terdapat tiga pertanyaan penelitian :

SISTEM KOORDINAT SISTEM TRANSFORMASI KOORDINAT RG091521

PETA TERESTRIAL: PEMBUATAN DAN PENGGUNAANNYA DALAM PENGELOLAAN DATA GEOSPASIAL CB NURUL KHAKHIM

Aplikasi Survei GPS dengan Metode Statik Singkat dalam Penentuan Koordinat Titik-Titik Kerangka Dasar Pemetaan Skala Besar

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Global Positioning System (GPS) Konsep Penentuan Posisi Dengan GPS

BAB II DASAR TEORI II.1 Sistem referensi koordinat

BAB II SISTEM SATELIT NAVIGASI GPS

OPTIMASI JARING PADA PENGUKURAN ORDE-3 MENGGUNAKAN PERATAAN PARAMETER

PENGENALAN GPS & PENGGUNAANNYA

Datum dan Ellipsoida Referensi

Evaluasi Spesifikasi Teknik pada Survei GPS

sensing, GIS (Geographic Information System) dan olahraga rekreasi

BAB Analisis Perbandingan Hasil LGO 8.1 & Bernese 5.0

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

PENGGUNAAN TEKNOLOGI GNSS RT-PPP UNTUK KEGIATAN TOPOGRAFI SEISMIK

Datum Geodetik & Sistem Koordinat Maju terus

ANALISIS PENGARUH TOTAL ELECTRON CONTENT (TEC) DI LAPISAN IONOSFER PADA DATA PENGAMATAN GNSS RT-PPP

PENERAPAN NAVSTAR GPS UNTUK PEMETAAN TOPOGRAFI

SISTEM KOORDINAT SISTEM TRANSFORMASI KOORDINAT RG091521

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2015, No Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4,

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang

BAB 2 STUDI REFERENSI

TUGAS 1 ASISTENSI GEODESI SATELIT. Sistem Koordinat CIS dan CTS

CORPORATE SOCIAL RESPONSIBLE

BAB I PENDAHULUAN I-1

Transformasi Datum dan Koordinat

BAB I PENDAHULUAN. tujuan dan manfaat penelitian. Berikut ini uraian dari masing-masing sub bab. I.1. Latar Belakang

Aplikasi Survei GPS dengan Metode Statik Singkat dalam Penentuan Koordinat Titik-titik Kerangka Dasar Pemetaan Skala Besar

BAB VII ANALISIS. Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2.1 Prinsip Kerja GPS (Sumber :

Mengapa proyeksi di Indonesia menggunakan WGS 84?

BAB II Studi Potensi Gempa Bumi dengan GPS

Analisis Ketelitian Penetuan Posisi Horizontal Menggunakan Antena GPS Geodetik Ashtech ASH111661

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Penentuan posisi/kedudukan di permukaan bumi dapat dilakukan dengan

On The Job Training PENGENALAN CORS (Continuously Operating Reference Station)

HITUNGAN PERATAAN POSISI 3D TITIK PREMARK SECARA SIMULTAN PADA SURVEI FOTO UDARA FORMAT KECIL

BAB IV PENGOLAHAN DATA

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2015

BAB III APLIKASI PEMANFAATAN BAND YANG BERBEDA PADA INSAR

BAB I Pengertian Sistem Informasi Geografis

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Global Positioning System (GPS)

BAB 3 PENGOLAHAN DATA DAN HASIL. 3.1 Data yang Digunakan

MODUL 3 GEODESI SATELIT

PERATURAN KEPALA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR 15 TAHUN 2013 /2001 TENTANG SISTEM REFERENSI GEOSPASIAL INDONESIA 2013

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Bab IV ANALISIS. 4.1 Hasil Revisi Analisis hasil revisi Permendagri no 1 tahun 2006 terdiri dari 2 pasal, sebagai berikut:

BAB V TINJAUAN MENGENAI DATA AIRBORNE LIDAR

Analisis Perbedaan Perhitungan Arah Kiblat pada Bidang Spheroid dan Ellipsoid dengan Menggunakan Data Koordinat GPS

3. ORBIT KEPLERIAN. AS 2201 Mekanika Benda Langit. Monday, February 17,

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

Orthometrik dengan GPS Heighting Kawasan Bandara Silvester Sari Sai

BAB 1 PENDAHULUAN. Berdasarkan PP No.24/1997 dan PMNA / KBPN No.3/1997, rincian kegiatan pengukuran dan pemetaan terdiri dari (Diagram 1-1) ;

Studi Perbandingan GPS CORS Metode RTK NTRIP dan Total Station dalam Pengukuran Volume Cut and Fill

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB II LANDASAN TEORI

BAB IV PENGOLAHAN DATA

Pengaruh Penambahan Jumlah Titik Ikat Terhadap Peningkatan Ketelitian Posisi Titik pada Survei GPS

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

By. Y. Morsa Said RAMBE

BAB II CORS dan Pendaftaran Tanah di Indonesia

BEBERAPA PEMIKIRAN TENTANG SISTEM DAN KERANGKA REFERENSI KOORDINAT UNTUK DKI JAKARTA. Hasanuddin Z. Abidin

AKUISISI DATA GPS UNTUK PEMANTAUAN JARINGAN GSM

GPS (Global Positioning Sistem)

Location Based Service Mobile Computing Universitas Darma Persada 2012

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Gunungapi

AKUISISI DATA TITIK GEOARKINDO 2016

PEMANTAUAN POSISI ABSOLUT STASIUN IGS

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2016

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Jaring kontrol horizontal

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Digital earth surface mapping dapat dilakukan dengan teknologi yang beragam, diantaranya metode terestris, ekstra terestris, pemetaan fotogrametri, citra satelit, dan lainnya. Salah satu teknologi metode ekstra terestris menggunakan GNSS (Global Navigation Satellite System). Teknologi GNSS memadukan dua sistem satelit navigasi, yaitu GPS dan Glonass, sehingga memiliki tingkat ketelitian yang optimal untuk keperluan surveying. Salah satu kegunaan teknologi GNSS adalah positioning untuk berbagai bidang pekerjaan, antara lain bidang engineering terhadap pekerjaan as-built. Pekerjaan asbuilt membutuhkan titik kontrol sebagai acuan dalam pengukuran. Kerangka kontrol yang digunakan untuk menghasilkan titik kontrol tersebut sangat beragam. Pada penelitian ini menggunakan kerangka kontrol berupa jaring kontrol GNSS berbentuk quadrilateral. Jaring kontrol GNSS tersebut didesain agar memiliki konfigurasi baseline yang optimal, oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi konfigurasi baseline pada jaring tersebut. Evaluasi konfigurasi baseline dapat dilihat berdasarkan kriteria presisi, akurasi, dan kehandalan. Berdasarkan kriteria presisi dapat dilihat dari nilai faktor kekuatan jaring. Semakin kecil nilai faktor kekuatan jaring akan semakin optimal konfigurasi baseline jaring kontrol GNSS tersebut. Menurut Yalҫinkaya dan Teke (2006) merujuk pada Grafarend (1974), evaluasi konfigurasi baseline berdasarkan kriteria akurasi dapat dilihat dari nilai A-Optimality, D-Optimality, E-Optimality, S-Optimality, dan I- Optimality. Evaluasi konfigurasi baseline berdasarkan kriteria kehandalan menurut Yalҫinkaya dan Teke (2006) merujuk pada Baarda (1968) dapat dilihat dari nilai redudansi individu, nilai kehandalan dalam, dan nilai kehandalan luar. Pada penelitian ini, jaring kontrol GNSS tersebut terdiri atas empat buah titik kontrol. Salah satu titik kontrol tersebut diasumsikan sebagai titik ikat. Jaring kontrol GNSS tersebut didesain dengan empat buah konfigurasi baseline dengan spesifikasi orde-3, karena pada tahap selanjutnya metode penentuan posisi yang digunakan dalam 1

melakukan akuisisi data jaring kontrol tersebut adalah metode relatif statik menggunakan receiver GNSS dengan spesifikasi pengukuran orde-3. Berdasarkan keempat desain konfigurasi baseline tersebut, dapat dievaluasi konfigurasi baseline jaring kontrol GNSS yang paling optimal dari segi presisi, akurasi, dan kehandalan. Penelitian ini mengambil lokasi di wilayah Jalan Layang Jombor, Kabupaten Sleman, Provinsi DI Yogyakarta. I.2. Identifikasi Masalah Hasil pekerjaan as-built dipengaruhi ketelitian titik kontrol yang digunakan sebagai acuan pengukuran. Ketelitian titik kontrol yang optimal dihasilkan dari jaring kontrol dengan konfigurasi baseline yang optimal. Peneliti menggunakan jaring kontrol GNSS quadrilateral dengan empat buah desain konfigurasi baseline yang berbeda. Oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi dari setiap konfigurasi baseline pada jaring tersebut berdasarkan kriteria presisi, akurasi, dan kehandalan. Kriteria presisi dilihat berdasarkan nilai faktor kekuatan jaring dengan mempertimbangkan matriks varian-kovarian ukuran. Kriteria akurasi jaring berdasarkan kriteria A-Optimality, D- Optimality, E-Optimality, S-Optimality, dan I-Optimality. Kriteria kehandalan berdasarkan redudansi individu, kehandalan dalam, dan kehandalan luar. I.3. Pertanyaan Penelitian Pertanyaan penelitian yang diajukan pada penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah konfigurasi baseline yang paling optimal dari segi presisi berdasarkan kriteria faktor kekuatan jaring? 2. Bagaimanakah konfigurasi baseline yang paling optimal dari segi akurasi berdasarkan kriteria A-Optimality, D-Optimality, E-Optimality, S-Optimality, dan I-Optimality? 3. Bagaimanakah konfigurasi baseline yang paling optimal dari segi kehandalan berdasarkan kriteria redudansi individu, kehandalan dalam dan kehandalan luar? I.4. Batasan Masalah Cakupan penelitian yang dibahas dalam penelitian ini adalah: 1. Alat yang digunakan untuk akuisisi data yaitu Handheld GPS Garmin 60CSX dan receiver GNSS Javad Triumph-1. 2

2. Metode pengolahan data yang digunakan untuk mendapatkan nilai estimasi koordinat menggunakan hitung kuadrat terkecil metode parameter terkendala minimal. 3. Analisis kepresisian jaring berdasarkan nilai faktor kekuatan jaring dengan mempertimbangkan nilai matriks varian-kovarian. 4. Analisis akurasi jaring berdasarkan kriteria A-Optimality, D-Optimality, E- Optimality, S-Optimality, dan I-Optimality. 5. Analisis kehandalan jaring berdasarkan kriteria redudansi individu, kehandalan dalam, dan kehandalan luar. 6. Titik kontrol 1 diasumsikan sebagai titik fixed. I.5. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah 1. Terbentuknya jaring kontrol GNSS orde-3 dengan konfigurasi baseline yang optimal dari segi presisi berdasarkan nilai faktor kekuatan jaring. 2. Terbentuknya jaring kontrol GNSS orde-3 dengan konfigurasi baseline yang optimal dari segi akurasi berdasarkan kriteria A-Optimality, D-Optimality, E- Optimality, S-Optimality, dan I-Optimality. 3. Terbentuknya jaring kontrol GNSS orde-3 dengan konfigurasi baseline yang optimal dari segi kehandalan berdasarkan kriteria redudansi individu, kehandalan dalam dan kehandalan luar. I.6. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah 1. Diperoleh jaring kontrol GNSS orde-3 dengan konfigurasi baseline yang optimal dari segi presisi, akurasi, dan kehandalan. 2. Jaring kontrol GNSS orde-3 dengan konfigurasi baseline yang optimal dapat digunakan untuk pengadaan titik kontrol pengukuran as-built superelevasi Jalan Layang Jombor. I.7. Tinjauan Pustaka Amiri-Simkooei (2001) melakukan penelitian tentang perbandingan kriteria kehandalan dan kekuatan jaring geodesi. Desain yang optimal dan tepat adalah suatu penilaian terhadap jaring geodesi, merupakan suatu bagian yang utuh dari kebanyakan 3

pekerjaan teknik pemetaan. Optimasi dilakukan sebelum pengukuran dilakukan. Sebuah jaring geodesi didesain dan dilakukan optimasi dalam hal kehandalan yang tinggi, agar hasilnya dapat dibandingkan dengan perolehan menggunakan teknik analisis ketahanan. Tujuan dari sebuah desain yang optimal adalah untuk menyelesaikan konfigurasi jaring (desain orde-1) dan akurasi pengamatan (desain orde-2) agar mendapatkan kriteria yang diinginkan. Untuk tujuan ini, suatu metode analisis disajikan untuk melakukan desain orde pertama, desain orde kedua, dan atau gabungan dari kedua desain. Dalam rangka mengevaluasi kekuatan geometris jaringa geodesi, hasil analisis ketahanan ditampilkan dalam hal ketahanan rotasi, ketahanan pergeseran, dan ketahanan skala. Hasil penelitian menunjukkan bahwa parameter ketahanan atau kehandalan dipengaruhi oleh nilai redundansi. Pengamatan yang memiliki parameter kehandalan paling baik adalah pengamatan dengan nilai redudansi minimum. Sriani dan Cahyadi (2011) melakukan penelitian optimasi jaring pada pengukuran orde-3 menggunakan perataan parameter untuk menghasilkan desain jaring yang optimal dan mengetahui pengaruh kesalahan titik ikat pada hasil akhir perhitungan. Untuk keperluan pengambilan data menggunakan titik orde-3 Kota Banjarmasin sebanyak 44 titik, dua titik ikat orde-2, dan sebanyak 131 baseline. Perhitungan perataan jaring bebas dan perataan jaring terikat menggunakan program Matlab 7.11. Hitungan dilakukan dengan metode perataan parameter. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa desain geometri jaringan yang mempunyai nilai standar deviasi terkecil tidak selalu menghasilkan ketelitian yang baik ketika pengukuran telah dilakukan. Hal ini dipengaruhi oleh distribusi titik ikat serta perambatan kesalahan standar deviasi titik ikat tersebut. Penambahan jumlah baseline, loop, dan common baseline pada suatu jaring dapat memberikan hasil terbaik apabila didukung oleh ketelitian yang baik pada masing masing baseline. Widiyarto (2012) melakukan penelitian tentang optimasi jaring kontrol horizontal untuk pemantauan deformasi Waduk Sermo di Kabupaten Kulon Progo. Dalam penelitian tersebut dibuat dua buah desain jaring kontrol, yaitu desain 1 dan desain 2. Pengukuran dilakukan terhadap sudut dan jarak dari masing-masing titik kontrol dengan menggunakan alat Total Station DTM 322. Pengolahan data menggunakan hitung kuadrat terkecil metode parameter. Analisis hasil pengolahan 4

data desain 1 dan desain 2 menggunakan kriteria kepresisian optimasi jaring kontrol berdasarkan N-Optimality, A-Optimality, S-Optimality, dan D-Optimality. Hasil dari penelitian tersebut adalah desain yang memiliki kriteria presisi paling optimal adalah desain 2 pada proses ketujuh. Desain tersebut memiliki tingkat kualitas dan kekuatan jaring paling tinggi. Nilai optimasi berdasarkan kriteria kepresisian desain jaring 2 proses ketujuh yaitu A-Optimality = 0,0081 m, N-Optimality = 0,0053 m, S-Optimality = 0,0052 m, D-Optimality = 1,5685E-52 m. Lestari dan Yulaikhah (2013) melakukan penelitian tentang optimasi jaring kontrol horizontal untuk studi geodinamika di Patahan Sesar Opak. Konfigurasi dari desain jaring SGY dan OPK yang telah dibuat memiliki estimasi ketelitian posisi titiktitik kontrol pada jaring dibawah fraksi 1 mm. Berdasarkan matriks varian-kovarian parameter yang diperoleh dari hasil perataan menunjukkan bentuk desain jaring SGY dan OPK memiliki kekuatan geometri yang bagus. Pemilihan jaring kontrol horizontal dengan kekuatan konfigurasi jaring yang baik diperlukan untuk mendapatkan ketelitian posisi titik kontrol yang optimal untuk studi pemantauan geodinamika Patahan Sesar Opak kedepannya. Rachman (2014) melakukan optimasi desain jaring GPS wilayah kampus UGM dengan menggunakan citra Google Earth. Analisis akurasi jaring menggunakan kriteria A-Optimality, D-Optimality, E-Optimality, S-Optimality, I-Optimality. Analisis kehandalan jaring menggunakan kriteria redudansi individu, kehandalan luar, kehandalan dalam. Metode hitungan yang digunakan untuk estimasi koordinat adalah hitung kuadrat terkecil metode parameter. Hasil penelitian tersebut adalah nilai fungsi tujuan akurasi A-Optimality dan E-Optimality memiliki pengaruh yang paling besar. Fungsi tujuan akurasi A-Optimality yang terbesar 7,991 dimiliki oleh desain yang menggunakan baseline paling sedikit, sedangkan nilai fungsi tujuan akurasi A- Optimality yang terkecil 5,004 dimiliki oleh desain yang menggunakan baseline paling banyak. Nilai fungsi tujuan akurasi E-Optimality pada semua desain bernilai 1, ini menunjukkan bahwa semua desain memiliki jaring yang isotropik. Fungsi tujuan akurasi D-Optimality yang terkecil 4,71E-10. Fungsi tujuan akurasi S-Optimality yang terkecil 0,833. Fungsi tujuan akurasi I-Optimality yang terkecil 4,988. Jaring dengan nilai reduansi individu paling besar adalah yang paling optimal, yaitu sebesar 0,93. 5

Jaring dengan jumlah baseline paling sedikit memiliki nilai kehandalan dalam paling baik yaitu sebesar 2,32. Jaring dengan jumlah baseline paling banyak memiliki kehandalan luar paling baik yaitu sebesar 2,46. Semua desain memiliki kesalahan ke arah sumbu X dan Y yang sama, karena bobot yang digunakan merupakan matriks identitas. Nursetyadi (2015) melakukan penelitian pengaruh geometri jaringan IGS terhadap ketelitian koordinat titik pantau geodinamika Kepulauan Sangihe epoch 2014. Penelitian tersebut menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer yang digunakan adalah hasil pengukuran GNSS dengan menggunakan receiver dual frequency. Data sekunder berupa data stasiun IGS untuk masing masing desain jaring pengolahan. Pengolahan data GNSS menggunakan perangkat luanak ilmiah GAMIT/GLOBK. Hasil penelitian tersebut yaitu geometri jaring dengan tujuh titik stasiun IGS yang tersebar pada empat kuadran dengan kekuatan jaring yang paling baik memberikan ketelitian koordinat yang lebih tinggi, tetapi tidak signifikan secara statistik jika dibandingkan dengan jaring tiga dan dua kuadran. Jaring rik2 memiliki nilai faktor kekuatan jaring yang paling kecil yaitu 2,76 x 10 38, sehingga konfigurasi jaring semakin baik. Semakin besar bobot baseline yang digunakan, maka semakin kecil nilai faktor kekuatan jaring. Jaring dengan nilai reduansi individu paling besar adalah yang paling optimal, yaitu sebesar 0,96. Hasil pengujian kehandalan dalam dan kehandalan luar jaring diperoleh bahwa jaring project rik2, rik5, rik6 merupakan jaring dengan kehandalan paling baik. Nilai kehandalan dalam minimum sebesar 0,922 dan maksimal sebesar 10,232. Nilai kehandalan luar minimum yaitu sebesar 1,428 dan maksimal sebesar 12,282. I.8. Landasan Teori I.8.1. Optimasi Jaring Kontrol Optimasi jaring kontrol adalah suatu teknik yang digunakan dalam mendesain konfigurasi distribusi titik-titik kontrol dan melakukan perencanaan pengukuran, sehingga dapat menghasilkan geometri jaring dengan kehandalan yang tinggi, akurasi yang bagus, dan harga yang ekonomis (Anonim, 2012). Persoalan dalam melakukan optimasi adalah membuat nilai suatu fungsi menjadi maksimum atau minimum yang 6

Standard Deviation Standard Deviation Standard Deviation Standard Deviation menggambarkan kualitas dari suatu jaring terhadap nilai pembatas yang sudah ditentukan. Dalam melakukan optimasi jaring dilakukan analisis pra pengukuran yang bertujuan untuk menentukan bentuk geometri jaring, standar ketelitian ukuran yang harus dicapai, jenis peralatan yang digunakan saat melakukan akuisisi data, dan prosedur pengukuran dilakukan di lapangan, sehingga dapat meminimalisasi terjadinya kesalahan sistematis. Kualitas jaring kontrol GNSS ditentukan oleh tiga faktor, yaitu presisi, akurasi, dan kehandalan. I.8.1.1. Presisi dan akurasi. Presisi adalah derajad konsistensi antara pengukuran berdasarkan nilai ketidaksesuaian dari suatu data (Wolf dan Ghilani, 2006). Derajad kepresisian dapat diperoleh dengan bergantung kepada kestabilan lingkungan pada saat pengukuran, kualitas peralatan yang digunakan pada saat pengukuran, prosedur pengukuran, dan kemampuan sumber daya manusianya. Sedangkan akurasi adalah kedekatan nilai hasil ukuran dengan nilai sebenarnya (Wolf dan Ghilani, 2006). Reference Value Reference Value (a) Mean (b) Mean Reference Value Reference Value (c) Mean (d) Mean Gambar I.1. Perbandingan presisi dan akurasi pada kurva distribusi normal Pada Gambar I.1 menyajikan perbandingan presisi dan akurasi pada kurva distribusi normal. Gambar I.1(a) menunjukkan presisi dan akurasi yang rendah, karena nilai rata-rata dengan derajad kepercayaan rendah dan nilai rata-rata ukuran tidak 7

mendekati nilai sebenarnya. Gambar I.1(b) menunjukkan data yang presisi, tetapi tidak akurasi, karena dengan menggunakan derajad kepercayaan yang tinggi data akan mengumpul, tetapi nilai rata-rata ukuran tidak mendekati nilai sebenarnya. Gambar I.1(c) menunjukan akurasi data, tetapi tidak presisi, karena nilai rata-rata ukuran mendekati nilai sebenarnya dan derajad kepercayaan rendah. Gambar I.1(d) menunjukan data yang presisi dan akurasi, karena derajad kepercayaan tinggi dan nilai rata-rata ukuran mendekati nilai sebenarnya. I.8.1.2. Kualitas jaring kontrol GNSS berdasarkan kriteria presisi. Nilai kepresisian suatu jaringan mendeskripsikan pengaruh terhadap hasil estimasi melalui konfigurasi baseline jaring kontrol, yang menyatakan karakteristik dari jaring kontrol GNSS dalam perambatan kesalahan acak suatu pengukuran, dengan mengasumsikan bahwa data ukuran sudah terbebas dari kesalahan kasar dan sistematik. Kepresisian dari suatu jaring digambarkan dari faktor kekuatan jaringan dengan mempertimbangkan matriks varian-kovarian pengamatan. Model matematisnya dapat dituliskan dalam persamaan (I.1) dan (I.2) (Abidin,2000) : Fator kekuatan jaringan = trace(at yy 1 A) 1........(I.1) u yy = σ o 2 A(A T PA) 1 A T.........(I.2) trace(a T yy 1 A) 1 : jumlah diagonal matriks (A T yy 1 A) 1 yy : matriks varian-kovarian ukuran : varian aposteriori A : matriks turunan fungsi pengamatan terhadap parameter P : matriks bobot u : jumlah parameter I.8.1.3. Kualitas jaring kontrol GNSS berdasarkan kriteria akurasi. Suatu pengukuran dikatakan akurat apabila rata-rata dari kesalahannya setelah dihitung dengan metode hitung kuadrat terkecil nilainya mendekati nol atau nilainya sama dengan nol. Tingkat akurasi dari suatu jaring titik kontrol dapat dilihat pada nilai matriks varian-kovarian koordinat titik. Dalam menentukan jaring titik kontrol GNSS 8

dengan konfigurasi baseline yang optimal, fungsi objektif dipilih dari kriteria akurasi global. Analisis yang digunakan berdasarkan kriteria fungsi akurasi yaitu A- Optimality, D-Optimality, E-Optimality, S-Optimality, dan I-Optimality. 1. A-Optimality A-Optimality adalah sebuah kriteria optimasi jaring yang didasarkan pada meminimalkan varian rata rata matriks trace, yang dihitung berdasarkan penjumlahan dai nilai-nilai eigen (λ) dari matriks kofaktor (Kuang, 1996). Nilai trace dibandingkan dengan nilai trace pada jaring yang lain. Suatu desain jaring dikatakan paling optimal diantara desain lainnya apabila hasil perbandingan nilai trace-nya paling minimum. Menurut Kuang (1996) rumus untuk mencari A-Optimality dengan persamaan (I.3) : Trace (Q XX ) = λ 1 + λ 2 +...+λ n = minimum...(i.3) λ 1, λ 2,...λ n : nilai eigen matriks Q XX Q XX : matriks kofaktor Matriks kofaktor dapat ditentukan dengan persamaan (I.4) : Q XX = (A T PA) 1...(I.4) A : matriks turunan terhadap parameter A T P : transpose dari matriks turunan terhadap parameter : matriks bobot 2. D-Optimality D-Optimality adalah sebuah kriteria optimasi jaring yang didasarkan pada determinan dari nilai eigen pada proses perataan suatu jaring titik kontrol (Kuang, 1996). Suatu desain jaring dikatakan paling optimal diantara desain lainnya apabila memiliki nilai D-Optimality yang paling kecil. Menurut Kuang (1996) rumus untuk mencari D-Optimality dengan persamaan (I.5) : Det(Q XX ) = λ 1 * λ 2 *...*λ n = minimum. (I.5) λ 1, λ 2,...λ n : nilai eigen matriks Q XX Q XX : matriks kofaktor 9

3. E-Optimality E-Optimality adalah sebuah kriteria optimasi jaring yang didasarkan pada nilai minimum untuk nilai eigen maksimum dari matriks kofaktor (Kuang, 1996). Suatu desain jaring dikatakan paling optimal diantara desain lainnya apabila memiliki nilai E-Optimality yang paling kecil. Menurut Kuang (1996) rumus untuk mencari E- Optimality dengan persamaan (I.6) : [Q XX ] = minimum...(i.6) [Q XX ] : nilai norm dari matriks Q XX 4. S-Optimality S-Optimality adalah sebuah kriteria optimasi jaring yang didasarkan pada selisih antara nilai maksimum dari nilai eigen dengan nilai minimumnya (Kuang, 1996). Suatu desain jaring dikatakan paling optimal diantara desain lainnya apabila memiliki nilai S-Optimality yang paling kecil. Menurut Kuang (1996) rumus untuk mencari S-Optimality dengan persamaan (I.7) : (λ maksimum - λ minimum ) = minimum...(i.7) 10

Global Lokal Tabel I.1. Kriteria akurasi jaring kontrol GNSS (Yalçinkaya dan Teke, 2006) Helmert point error Werkmeister point error Helmert point error ellipsoid semiaxes Mean coordinate error Objective function for A- Optimal network Objective function for D- Optimal network Objective function for E- Optimal network Objective function for S- Optimal network Objective function for I- Optimal network Fungsi Objektif Akurasi λ max : nilai eigen maksimum setiap desain jaring titik kontrol λ min : nilai eigen minimum setiap desain jaring titik kontrol Z = m P1 m 2 X1 + m 2 2 X2 + m X3 Z w p İ m X m Y m Z Z A H m 0 λ 1 ; B H m 0 λ 2 ; C H m 0 λ 3 Z m x, m y, m z m 0 tr(q XX) 3p Z = tr(q XX ) = λ 1 + λ 2 +...+λ n = λ i Z = det(q XX ) = λ 1 * λ 2 *...*λ n = λ i Z λ max Z λ max - λ min Z 1 λ max /.λ min Keterangan Tabel I.1 : m x, m y, m z : nilai simpangan baku koordinat yang dicari. λ i : nilai eigen dari matriks kofaktor parameter. I.8.1.4. Kualitas jaring kontrol GNSS berdasarkan kriteria kehandalan. Salah satu kualitas jaring ditentukan oleh kehandalan jaring. Kehandalan jaring bergantung pada geometri dari suatu jaring, yaitu matriks konfigurasi dan matriks bobot suatu pengukuran. Konsep kehandalan jaring menurut Yalҫinkaya dan Teke (2006) merujuk pada Baarda (1968) adalah kemampuan suatu jaring untuk mendeteksi dan menolak kesalahan kasar dari suatu pengamatan. Kehandalan jaring ada dua jenis, yaitu kehandalan dalam dan kehandalan luar. 11

Kehandalan dalam jaring kontrol menggambarkan kualitas jaring yang mengacu pada batas minimal dari kesalahan kasar yang dapat dideteksi pada sejumlah pengamatan untuk nilai probabilitas yang diberikan terhadap kesalahan tipe I dan tipe II. Kehandalan luar jaring kontrol menggambarkan efek terbesar dari kesalahan kasar yang tidak terdeteksi pada estimasi besaran parameter yang tidak diketahui (Seemkooei 2001). Tabel I.2. Kriteria kehandalan jaring kontrol GNSS (Yalçinkaya dan Teke, 2006) Fungsi Tujuan Kehandalan Nilai Kritis Redudansi Individu Z = r j = (Q vv ) j P j Z = r j > 0,5 atau r j > 0,3 Kehandalan Dalam Z = 0j = m 0 w 0 P j r j Z = 0j (6 atau 8) m j Kehandalan Luar Z = δ 0j 2 = ((1-r j ) / r j ) w 0 Z = δ 0j 6 atau 10 Pada Tabel I.2, Q vv merupakan matriks kofaktor residu, P adalah matriks bobot pengukuran, m 0 adalah standar deviasi dari unit bobot, dan w 0 adalah standar batas bawah untuk parameter yang nilainya tergantung dari level signifikan (α 0 ) dan uji kekuatan minimum (1-β 0 ). Uji kekuatan dipilih 80% dengan level signifikan 0,01 (Kuang,1996). Matriks kofaktor residu (Q vv ) dapat ditentukan menggunakan persamaan (I.8) : Q vv = P 1 - A(A T PA) 1 A T (I.8) Q vv : matriks kofaktor residu P 1 : nilai inverse dari matriks bobot A : matriks turunan fungsi pengamatan terhadap parameter A T : hasil transpose matriks turunan fungsi pengamatan terhadap parameter Tabel I.3. Nilai batas bawah dengan kekuatan uji 1- β 0 (Kuang,1996) Derajat Kebebasan (r) α 2 5 10 20 30 40 50 85 0,05 9,6 13,4 16,5 21,0 25,3 28,5 32,0 40,0 0,01 14,0 18,3 22,7 29,0 34,5 39,0 42,0 50,0 12

Perhitungan kehandalan dalam menurut Seemkooei (2001) merujuk pada Baarda (1968) disajikan dalam bentuk persamaan (I.9) : 0 l i = δ 0σ li r i......(i.9) 0 l i δ 0 σ li r j : nilai kehandalan dalam masing masing ukuran : standar batas bawah untuk parameter yang nilainya tergantung dari level signifikan (α 0 ) dan uji kekuatan minimum (1-β 0 ) : standar deviasi ukuran ke-i : nilai redudansi individu ukuran ke-i Pada penelitian ini menggunakan dua buah persamaan yang berbeda untuk menghitung kehandalan dalam. Perbedaan antara perhitungan kehandalan dalam menurut Seemkooei (2001) merujuk pada Baarda (1968) yang disajikan pada persamaan (I.9) dan menurut Yalçinkaya dan Teke (2006) yang disajikan pada Tabel (I.2) terletak pada penggunaan bobot ukuran. Persamaan pada Tabel (I.2) menggunakan standar deviasi unit bobot ukuran dan bobot ukuran, sedangkan pada persamaan (I.9) tidak menggunakan standar deviasi unit bobot ukuran dan bobot ukuran, melainkan standar deviasi ukuran. Kehandalan dalam dihitung dengan nilai batas bawah 80% dengan level signifikan 0,01 (Kuang,1996). I.8.2. Hitung Perataan Kuadrat Terkecil Metode Parameter Hitung perataan dengan prinsip kuadrat terkecil merupakan perataan yang paling teliti. Hitung perataan dengan prinsip kuadrat terkecil tidak meratakan data pengamatan atau koordinat stasiun, tetapi suatu proses menghitung secara statistik atau mengestimasi nilai-nilai bilangan (parameter) berdasarkan data pengamatan yang sudah ada. Hitung perataan dengan prinsip kuadrat terkecil pada jaring kontrol digunakan untuk mengintegrasikan baseline secara benar dan konsisten, sehingga titik kontrol memiliki solusi yang unik. Prinsip kuadrat terkecil adalah menghitung jumlah kuadrat dari koreksi yang diberikan pada ukuran adalah minimum dengan nilai besaran 13

pengamatan pada persamaan tersebut merupakan fungsi parameter (Wolf dan Ghilani, 1997). Hitung perataan dengan prinsip kuadrat terkecil yang digunakan dalam optimasi jaring kontrol GNSS pada penelitian ini adalah metode parameter terkendala minimal. Pada hitung kuadrat terkecil metode parameter terkendala minimal, menggunakan minimal satu buah titik ikat dalm proses perhitungan kuadrat terkecil. Parameter yang dicari nilainya dihitung secara langsung. Setelah menentukan parameter, penyelesaiannya didasarkan pada sejumlah persamaan yang menyatakan hubungan fungsional antara masing-masing ukuran dengan parameter. Hal yang harus diperhatikan dari hitung perataan dengan prinsip kuadrat terkecil metode parameter yaitu jumlah persamaan sama dengan jumlah ukuran hasil pengamatan. Persamaan model matematis hitung perataan dengan prinsip kuadrat terkecil metode parameter dapat dituliskan dengan persamaan (I.10) dan (I.11) (Widjajanti dan Heliani, 2005) : L a = F(X a )... (I.10) F(Xa) = F(X o + X).........(I.11) Nilai estimasi pengamatan dapat dirumuskan dengan persamaan (I.12) dan (I.13) : L a = L b + V......(I.12) L b + V = F(X o + X).....(I.13) Dengan mengasumsikan bahwa nilai L b masih mengandung kesalahan acak, oleh karena itu perlu dikoreksikan dengan nilai besaran kesalahan acak V (residu). Persamaan (I.13) belum linier, sehingga perlu dilinierisasikan dengan deret Taylor untuk mendapatkan persamaan pengamatan. L b + V = F(X o ) + F a Xa=XX +........(I.14) L b + V = F(X o ) + AX......(I.15) V V L a L b = AX + F(X o ) L b......(i.16) = AX + L....(I.17) : nilai pengamatan terkoreksi : nilai pengamatan 14

L V X X o : selisih nilai pengamatan dengan nilai pendekatan : matriks nilai residu atau koreksi pengamatan : matriks nilai koreksi parameter : matriks nilai pendekatan parameter Berdasarkan kuadrat nilai residu pada persamaan (I.17) dapat diperoleh persamaan (I.18) s.d. (I.21) : V T PV = (AX + L) T P (AX + L)....(I.18) V T PV = (X T A T + L T )P (AX + L)......(I.19) V T PV = (X T A T PAX) + X T A T PL + L T PAX + L T PL.......(I.20) V T PV = X T A T PAX + 2X T A T PL + L T PL... (I.21) Berdasarkan prinsip kuadrat terkecil V T PV = minimum, yang disajikan pada persamaan (I.22) : V T PV = 0......(I.22) X Sehingga diperoleh persamaan (I.23), V (AX L) = = A.....(I.23) X X Dari persamaan (I.23) dapat dihitung nilai koreksi parameter, seperti pada persamaan (I.24) : X = -(A T PA) 1 A T PL.. (I.24) X A P L : matriks koreksi parameter : matriks turunan fungsi pengamatan terhadap parameter : matriks bobot : selisih nilai pengamatan dengan nilai pendekatan Nilai parameter terkoreksi dapat ditentukan dengan persamaan (I.25) : X a = X o + X.....(I.25) 15

X a X o : matriks nilai parameter terkoreksi : matriks nilai pendekatan parameter X : matriks koreksi parameter Varian aposteriori dapat dihitung dengan persamaan (I.26) : σ o2 A P n u σ o2 = VT PV n u.....(i.26) : matriks turunan fungsi pengamatan terhadap parameter : matriks bobot : jumlah pengamatan : jumlah parameter : varian aposteriori Untuk mendapatkan ketelitian estimasi residu, harus dilakukan derivatif variankovarian residu dari persamaan (I.22) dengan menggunakan hukum perambatan variankovarian sehingga didapatkan persamaan (I.27). vv = σ o2 (P 1 A(A T PA) 1 A T )....(I.27) vv : matriks varian-kovarian residu A : matriks turunan fungsi pengamatan terhadap parameter P : matriks bobot σ o2 : varian aposteriori Untuk mendapatkan ketelitian estimasi pengamatan diperoleh dari variankovarian estimasi pengamatan dengan menggunakan hukum perambatan variankovarian sehingga didapatkan persamaan (I.28). yy = σ o2 A(A T PA) 1 A T......(I.28) yy : matriks varian-kovarian pengukuran A : matriks turunan fungsi pengamatan terhadap parameter P : matriks bobot σ o2 : varian aposteriori 16

Untuk ketelitian koreksi estimasi parameter didapatkan dari derivatif varian-kovarian parameter dari persamaan (I.25) dengan menggunakan hukum perambatan variankovarian sehingga didapatkan persamaan (I.29). xx = σ o2 (A T PA) 1........(I.29) xx : matriks varian-kovarian parameter A : matriks turunan fungsi pengamatan terhadap parameter P : matriks bobot σ o2 : varian aposteriori I.8.3. Penetapan Kelas dan Orde Jaring Kontrol Horizontal Menurut SNI Jaring kontrol horizontal diklasifikasikan berdasarkan kelas dan ordenya. Kelas jaring kontrol horizontal terdiri atas enam kelas, yaitu kelas 3A, 2A, A, B, C, dan D. Orde jaring kontrol horizontal terdiri atas orde 00, 0, 1, 2, 3, dan 4. I.8.3.1. Penetapan kelas jaring kontrol horizontal menurut SNI. Penetapan kelas suatu jaring kontrol horizontal ditetentukan berdasarkan panjang sumbu-panjang dari setiap elips kesalahan relatif dengan tingkat kepercayaan 95% yang dihitung berdasarkan hitung perataan jaring kuadrat terkecil terkendala minimal. Menurut Anonim (2002), panjang maksimum sumbu-panjang elips kesalahan relatif yang digunakan untuk menentukan kelas jaringan dirumuskan pada persamaan (I.34) dan tabel klasifikasi kelas jaringan dapat dilihat pada Tabel I.4. r = c (d + 0.2)..(I.34) r c d : panjang maksimum dari sumbu-panjang yang diperbolehkan dalam satuan milimeter : faktor empirik yang menggambarkan tingkat presisi suatu pengamatan : jarak antar titik kontrol dalam satuan kilometer 17

Tabel I.4. Klasifikasi kelas jaring kontrol horizontal (Anonim, 2002) Kelas c (ppm) Aplikasi Tipikal 3A 0,01 Jaring tetap GPS 2A 0,1 Survei geodetik berskala nasional A 1 Survei geodetik berskala regional B 10 Survei geodetik berskala lokal C 30 Survei geodetik untuk perapatan D 50 Survei pemetaan I.8.3.2. Penetapan orde jaring kontrol horizontal menurut SNI. Penetapan orde suatu jaring kontrol horizontal ditentukan berdasarkan panjang sumbu-panjang dari setiap elips kesalahan relatif dengan tingkat kepercayaan 95% yang dihitung berdasarkan hitung perataan jaring kuadrat terkecil terkendala penuh. Orde yang ditetapkan untuk suatu jaring kontrol horizontal tidak boleh lebih tinggi dari orde jaring titik kontrol yang digunakan sebagai titik ikat dan tidak boleh lebih tinggi dari kelasnya. Berdasarkan nilai faktor c tersebut, dapat dibuat kategorisasi orde jaring titik kontrol horizontal seperti pada Tabel I.5. Tabel I.5. Klasifikasi orde jaring kontrol horizontal (Anonim, 2002) Orde c (ppm) Jaring Kontrol Jarak (Km) Kelas 0 0,01 Jaring fidusial nasional 1000 3A 0 0,1 Jaring titik kontrol geodetik nasional 500 2A 1 1 Jaring titik kontrol geodetik regional 100 A 2 10 Jaring titik kontrol geodetik lokal 10 B 3 30 Jaring titik kontrol geodetik perapatan 2 C 4 50 Jaring titik kontrol geodetik pemetaan 0,1 D I.8.4. Jaring Kontrol GNSS Jaring kontrol GNSS adalah sekumpulan titik kontrol yang satu sama lainnya saling terhubung membentuk garis basis (baseline) yang dikaitkan dengan data ukuran jarak dan/atau sudut, dan koordinatnya dihasilkan dengan receiver GNSS menggunakan metode relatif statik dalam suatu sistem referensi koordinat horizontal tertentu (Anonim, 2002). Komponen dari baseline yaitu vektor koordinat relatif tiga dimensi ( X, Y, Z). Baseline ada dua macam, yaitu baseline trivial dan baseline non-trivial. Baseline trivial dapat diturunkan dari garis-garis basis lainnya dari satu 18

sesi pengamatan. Pada penelitian ini menggunakan jaring kontrol GNSS setingkat orde-3 yang mengacu pada SNI Jaring Kontrol Horizontal. Jarak antar titik kontrol horizontal diusahakan memiliki jarak yang sama dan terhindar dari obstruksi (Anonim, 2002). I.8.5. GNSS Menurut definisi yang diberikan dalam dokumen A/CONF.184/BP/4 pada navigasi satelit dan sistem lokasi yang diterbitkan pada tahun 1998 oleh The United Nations sebagai salah satu kontribusi dalam kerangka konferensi The United Nations yang ketiga tentang eksplorasi dan penggunaan yang aman dari luar angkasa, Global Navigation Satellite System (GNSS) adalah sebuah ruang berbasis sistem penentuan posisi dengan menggunakan gelombang radio yang mencakup satu atau lebih kumpulan satelit, yang ditambahkan sebagai keperluan untuk mendukung pekerjaan yang diharapkan, dan yang menyediakan waktu selama 24 jam untuk penentuan posisi secara tiga dimensi, kecepatan, dan informasi waktu yang lengkap kepada pengguna dimanapun berada, baik itu dekat atau jauh dari permukaan bumi. GNSS memiliki dua buah elemen inti, yaitu GPS dan GLONASS. GPS memiliki nama lengkap, yaitu NAVigation Satellite Timing and Ranging Global Positioning System (NAVSTAR GPS). NAVSTAR GPS adalah sebuah sistem navigasi yang tahan di segala cuaca dengan menggunakan sistem ranging, yang dikembangkan oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat untuk memenuhi kebutuhan angkatan militer dalam menentukan posisi, jarak, dan waktu secara akurat dimanapun berada pada jarak kontinu. Konstelasi satelit GPS menempati enam buah orbit yang memiliki bentuk menyerupai lingkaran dan setiap orbit terdiri atas empat buah satelit GPS yang intervalnya tidak sama. Setiap satelit GPS membawa empat buah jam atom. Sudut inklinasi dari orbit satelit GPS sebesar 55º terhadap bidang ekuator. Satelit GPS mengorbit dengan ketinggian rata rata sekitar 20.200 km di atas permukaan bumi. Satelit GPS memiliki bobot seberat 800 kg, dengan kecepatan bergerak dalam orbitnya sekitar 4 km/s. Satelit GPS mengorbit selama 11 jam dan 58 menit (Hofmann- Welenhof dkk, 2008). 19

GLONASS merupakan singkatan dari Bahasa Rusia Global naya Navigatsionnaya Sputnikovaya Sistema. Pada awalnya GLONASS hanya digunakan untuk kepentingan militer oleh tentara Rusia, kemudian pada tahun 1988 pemerintah Rusia menawarkan GLONASS untuk digunakan oleh rakyat sipil pada pertemuan ICAO. Akhirnya pada bulan Maret 1995, secara resmi pemerintah Rusia menyatakan bahwa GLONASS dapat digunakan oleh rakyat sipil. Satelit GLONASS mengorbit dengan ketinggian rata-rata 19.100 km selama 11 jam 15 menit 44 detik. Konstelasi satelitnya terdiri atas 24 satelit dengan jumlah orbit sebanyak tiga yang terpisah 120 º. Setiap satelit memiliki sudut inklinasi sebesar 64,8 º yang ditempatkan pada setiap orbitnya (Hofmann- Welenhof dkk, 2008). Perkembangan satelit GNSS yang digunakan untuk penentuan posisi, yaitu : 1. Galileo (Uni Eropa). Galileo adalah sebuah sistem GNSS sipil yang dioperasikan oleh The European Global Navigation Satellite System Agency (GSA). Galileo mengggunakan 27 buah satelit dengan kemampuan pengoperasian secara penuh untuk pertama kali diajukan pada tahun 2014. Satelit satelit tersebut secara penuh digunakan pada tahun 2020. 2. BeiDou (China). BeiDou adalah sistem navigasi satelit China. Sistem tersebut terdiri atas 35 satelit. Pelayanan untuk daerah regional mulai beroperasi pada tahun 2012. BeiDou dikembangkan untuk menyediakan cakupan global pada akhir tahun 2020. 3. IRNSS (India). The Indian Regional Navigation Satellite System (IRNSS) menyediakan layanan di India dan area sekelilingnya. Konstelasi dari tujuh buah satelit direncanakan untuk digunakan pada tahun 2015 4. QZSS (Japan). QZSS adalah sistem navigasi satelit regional yang menyediakan layanan ke jepang dan kawasan Asia-Oceania. Sistem QZSS direncanakan digunakan pada tahun 2018. Sistem satelit GNSS terdiri atas buah komponen atau segmen utama, yaitu : 20

Gambar I.2. Segmen GNSS (www.novatel.com, diakses tanggal 8 Desember 2015) 1. Segmen angkasa. Dalam rangka menyediakan pelayanan penentuan posisi global secara terus menerus, jumlah satelit yang digunakan harus mencukupi. Oleh karena itu harus dipastikan sekurang kurangnya ada empat buah satelit yang terlihat di setiap tempat dalam waktu yang bersamaan. Satelit GNSS mengorbit pada jarak 20.000 km di atas bumi. Masing masing GNSS memiliki kumpulan satelitnya sendiri, yang tersusun dalam orbit untuk menyediakan area cakupan yang diinginkan. Pemilihan konstelasi satelit harus mengikuti berbagai optimasi. Kriteria desainnya adalah tanpa keseluruhan, akurasi posisi pengguna, ketersediaan satelit, area cakupan pelayanan, dan geometri satelit. Selanjutnya ukuran dan berat satelit harus diperhitungkan, karena saling berhubungan dengan wahana dan biaya peluncuran. Satelit-satelit GNSS pada dasarnya telah menyediakan platform untuk jam atom, transceiver radio, komputer, dan berbagai macam peralatan pendukung yang digunakan untuk mengoperasikan sistem. 2. Segmen kontrol. Segmen kontrol terdiri atas jaringan yang berada di darat dari stasiun kontrol induk, stasiun upload data, dan stasiun pengamatan. Segmen kontrol bertanggung jawab untuk mengatur seluruh sistem. Tugas segmen tersebut mencakup penyebaran dan pemeliharaan sistem, pelacakan satelit untuk penentuan dan prediksi 21

parameter orbit dan jam, mengamati data tambahan, meng-upload pesan ke satelit, enkripsi kemungkinan data, dan perlindungan pelayanan terhadap pengguna yang tidak resmi. 3. Segmen pengguna. Segmen pengguna dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori, yaitu berdasarkan jenis receiver dan berbagai pelayanan informasi. Kategori pengguna dibagi lagi menjadi pengguna militer dan rakyat sipil, maupun pengguna yang resmi dan tidak resmi. Rakyat sipil dan pengguna tidak rersmi tidak memiliki akses untuk semua sinyal atau pelayanan GNSS. I.8.6. Metode Penentuan Posisi GNSS Konsep dasar penentuan posisi dengan GNSS adalah reseksi (pengikatan ke belakang) dengan jarak, yaitu mengukur jarak secara simultan antara receiver ke beberapa satelit yang koordinatnya telah diketahui pada saat yang bersamaan. Kemudian posisi dari satelit tersebut diperkirakan dan dipancarkan bersama sinyal GNSS kepada pengguna. Dengan diketahuinya posisi dan jarak yang diukur antara receiver dan satelit, posisi receiver dapat ditentukan. GNSS menghasilkan data berupa posisi tiga dimensi, baik dalam sistem koordinat kartesian (X,Y,Z) maupun dalam sistem koordinat elipsoid ( φ,λ,h). I.8.6.1. Metode penentuan posisi secara absolut. Metode penentuan posisi secara absolut juga disebut dengan point positioning. Dalam melakukan penentuan posisi bisa dalam keadaan diam maupun bergerak. Penentuan posisi koordinat di suatu titik menggunakan satu buah receiver, karena titik yang ditentukan posisinya mengacu pada sistem koordinat yang sudah didefinisikan, tidak tergantung pada titik lain. Metode ini menggunakan data pseudorange, sehingga memiliki ketelitian posisi yang rendah. Ketelitian horizontal yang diberikan adalah 10 sampai dengan 20 m dengan derajad kepercayaan 95%. Model matematis penentuan posisi absolut tiga dimensi dengan metode persamaan jarak pseudorange seperti pada persamaan (I.35) dan (I.36) (Hofmann- Welenhof dkk, 2008) : R s r (t) = ρ s r (t) + c δ s r (t)....(i.35) ρ s r (t) = (X s (t) X r ) 2 + (Y s (t) Y r ) 2 + (Z s (t) Z r ) 2. (I.36) 22

R s r (t) : jarak antara satelit GNSS ke receiver ρ s r (t) : jarak antara titik pengamatan ke satelit c : kecepatan cahaya δ s r (t) : beda waktu antara gelombang satelit GNSS saat dipancarkan dan saat diterima ( X(t), Y(t), Z(t) ) s : vektor posisi geosentrik satelit GNSS pada epoch t (X, Y, Z) r : posisi koordinat receiver dalam sistem ECEF (Earth- Centered, Earth-Fixed) I.8.6.2. Metode penentuan posisi secara relatif. Tujuan dari penentuan posisi secara relatif adalah menentukan suatu titik yang belum diketahui koordinatnya terhadap titik lain yang telah diketahui koordinatnya dan dianggap sebagai titik acuan dengan menggunakan minimal dua buah receiver GNSS yang diamat pada waktu yang bersamaan (Sunantyo, 2000). Penentuan posisi secara relatif dapat diaplikasikan secara statik maupun kinematik dengan menggunakan data pseudoranges atau dengan fase. Hasil penentuan posisi secara relatif ini memiliki ketelitian yang tinggi, karena mengurangkan data yang diamati oleh dua buah receiver GNSS pada waktu yang bersamaan, sehingga beberapa jenis bias dan kesalahan dari data dapat dieliminasi atau direduksi. Penentuan posisi secara relatif dapat menggunakan beberapa metode, yaitu single difference, double difference, dan triple difference. Gambar I.3. Visualisasi penentuan poisisi relatif statik (Hofmann- Welenhof dkk, 2008) 23

1. Metode penentuan posisi single difference. Data yang digunakan dalam metode ini adalah selisih antara dua data pengamatan one-way. Berdasarkan Gambar I.3, metode ini menggunakan dua buah receiver GNSS (receiver A dan receiver B) dan satu buah satelit (satelit j). Persamaan single difference dapat dirumuskan dengan persamaan (I.37). Ф j B (t) Ф j A (t) = 1 [ρ j λ j B(t) ρ j A (t)] + N j B N j A + f j [δ B (t) δ A (t)]... (I.37) Ф A j (t) : fase (gelombang tidak penuh) receiver GNSS A ke satelit j Ф B j (t) : fase (gelombang tidak penuh) receiver GNSS B ke satelit j λ j : panjang gelombang satelit j ρ A j (t) : jarak antara receiver GNSS A ke satelit j ρ B j (t) : jarak antara receiver GNSS B ke satelit j N A j : gelombang penuh antara receiver GNSS A ke satelit j N B j : gelombang penuh antara receiver GNSS B ke satelit j δ A (t) : waktu tempuh gelombang receiver GNSS A δ B (t) : waktu tempuh gelombang receiver GNSS B 2. Metode penentuan posisi double difference. Data pengamtan yang digunakan dalam pengamatan double difference adalah selisih antara dua buah data pengamatan single difference Berdasarkan Gambar I.3, metode ini menggunakan dua buah receiver GNSS (receiver A dan receiver B) dan dua buah satelit (satelit j dan satelit k). Persamaan double difference dapat dirumuskan dengan persamaan (I.38) dan (I.39). Ф k AB (t) Ф j AB (t) = 1 [ρ λ AB k (t) ρ j AB (t)] + N k AB N j AB......(I.38) Persamaan (I.38) digunakan untuk sinyal satelit yang memiliki frekuensi sama. Ф j AB (t): data pengamatan single difference pada satelit j Ф k AB (t): data pengamatan single difference pada satelit k λ : panjang gelombang satelit j dan satelit k 24

ρ j AB (t) : jarak antara receiver GNSS A dan receiver GNSS B ke satelit j ρ k AB (t) : jarak antara receiver GNSS A dan receiver GNSS B ke satelit k j N AB k N AB : gelombang penuh antara receiver GNSS A dan receiver GNSS B ke satelit j : gelombang penuh antara receiver GNSS A dan receiver GNSS B ke satelit k Ф k AB (t) Ф j AB (t) = ρ k AB (t) ρ j AB (t) + λ k N k AB λ j N j AB.....(I.39) Persamaan (I.39) digunakan untuk sinyal satelit yang memiliki frekuensi tidak sama. Ф j AB (t): data pengamatan single difference pada satelit j Ф k AB (t): data pengamatan single difference pada satelit k λ j λ k : panjang gelombang satelit j : panjang gelombang satelit k ρ j AB (t) : jarak antara receiver GNSS A dan receiver GNSS B ke satelit j ρ k AB (t) : jarak antara receiver GNSS A dan receiver GNSS B ke satelit k j N AB k N AB : gelombang penuh antara receiver GNSS A dan receiver GNSS B ke satelit j : gelombang penuh antara receiver GNSS A dan receiver GNSS B ke satelit k 3. Metode penentuan posisi triple difference. Data pengamtan yang digunakan dalam pengamatan triple difference adalah selisih antara dua buah data pengamatan double difference. Hanya ada satu jenis data pengamtan triple difference, yaitu data pengamat satelit epoch. Persamaan triple difference dapat dirumuskan dengan persamaan (I.40) : Ф jk AB (t 2 ) Ф jk AB (t 1 ) = 1 [ρ jk λ AB(t 2 ) ρ jk AB (t 1 )]...(I.40) Ф jk AB (t 1 ) : data pengamatan double difference pada epoch t 1 Ф jk AB (t 2 ) : data pengamatan double difference pada epoch t 2 λ : panjang gelombang satelit j dan satelit k ρ jk AB (t 1 ) : jarak antara receiver GNSS A dan receiver GNSS B ke satelit j dan satelit 25

k pada epoch t 1 ρ jk AB (t 2 ) : jarak antara receiver GNSS A dan receiver GNSS B ke satelit j dan satelit k pada epoch t 2 I.8.6.3. Penempatan titik kontrol. Agar diperoleh jaring kontrol GNSS dengan konfigurasi baseline yang presisi, akurasi, dan handal, antar titik kontrol tidak perlu saling terlihat. Penempatan titik kontrol ini harus tepat, agar dapat digunakan sesuai fungsi dan tujuannya untuk keperluan pengukuran selanjutnya. Beberapa kriteria penempatan lokasi titik kontrol sebagai berikut (Anonim, 2002) : 1. Kondisi dan struktur tanahnya stabil. 2. Mudah dicapai dan ditemukan kembali. 3. Tidak menggangu fasilitas dan utilitas umum. 4. Monumen ditempatkan pada lokasi yang aman sehingga tidak mudah rusak. 5. Penempatan titik harus memperhatikan rencana penggunaan lokasi yang bersangkutan pada masa yang akan datang. 6. Titik-titik harus dapat diikatkan ke beberapa titik yang telah diketahui koordinatnya dari orde yang lebih tinggi, untuk keperluan perhitungan, pendefinisian datum, serta penjagaan konsistensi dan homogenitas dari datum dan ketelitian titik-titik dalam jaringan. 7. Mempunyai ruang pandang langit yang bebas ke segala arah di atas elevasi 15º. 8. Titik kontrol diusahakan jauh dari objek-objek reflektif yang mudah memantulkan sinyal GPS, untuk meminimalkan atau mencegah terjadinya multipath. 9. Titik kontrol jauh dari objek-objek yang dapat menimbulkan interferensi elektris terhadap penerimaan sinyal GPS. I.8.7. Sistem Koordinat Sistem koordinat merupakan sistem yang digunakan untuk menentukan posisi titik atau unsur unsur geometri yang lain di dalam ruang 2D atau 3D dengan 26

menggunakan bilangan yang disebut koordinat, dua buah bilangan untuk ruang 2D dan tiga buah bilangan untuk ruang 3D. Pada penelitian ini koordinat pendekatan didapatkan dari hasil akuisisi data menggunakan GPS navigasi dan koordinat pengukuran didapatkan dari hasil akuisisi data menggunakan receiver GNSS. Kedua alat tersebut menghasilkan koordinat dalam sistem koordinat geodetik. Visualisasi sistem koordinat geodetik dengan elipsoid acuan WGS 1984 disajikan dalam Gambar I.3 sebagai berikut : Z (+) meridian Greenwich ekuator paralel P CTP hp meridian P P X (+) a O C P θp φp Y Z P P X Q P b Y (+) Gambar I.4. Sistem koordinat geodetik dengan elipsoid acuan WGS 1984 (Fahrurrazi, 2011) Keterangan Gambar I.4 : : lintang B (φb) dan bujur B ( B) dalam sistem koordinat geodetik : XB, YB, dan ZB dalam sistem koordinat geosentrik : titik B a : setengah sumbu panjang b : setengah sumbu pendek Proses perhitungan menggunakan sistem koordinat kartesi 3D dengan datum WGS 84 dan origin berhimpit pada pusat massa bumi (geosentrik), oleh karena itu perlu dilakukan transformasi koordinat dari sistem koordinat geodetik (φ, λ, h) ke sistem koordinat geosentrik (X, Y, Z). 27

Z (+) Y (+) XP YP X (+) Gambar I.5. Sistem koordinat geosentrik dengan elipsoid acuan WGS 1984 (Ghilani dan Wolf, 2006) Transformasi sistem koordinat dari sistem koordinat geodetik (φ, λ, h) ke sistem koordinat geosentrik (X, Y, Z), dapat ditentukan menggunakan persamaan (I.41) sampai dengan (I.43) (Ghilani dan Wolf, 2006) : X = (N + h) cos φ cos...(i.41) Y = (N + h) cos φ sin....(i.42) Z = [N(1 e 2 ) + h] sin φ (I.43) X : nilai absis dalam sistem koordinat geosentrik Y : nilai ordinat dalam sistem koordinat geosentrik Z : nilai tinggi dalam sistem koordinat geosentrik φ : lintang geodetik : bujur geodetik h : tinggi di atas elipsoid N : garis normal e 2 : nilai eksentrisitas, dapat ditentukan dengan persamaan (I.44) atau persamaan (I.45) e 2 = 2f f 2..(I.44) atau 28

e 2 = a2 b 2...(I.45) a 2 f : nilai penggepengan elipsoid a : sumbu semimajor b : sumbu semiminor I.8.8. Elips Kesalahan Absolut Setelah melakukan proses hitung perataan kuadrat terkecil, menghasilkan standar deviasi dari koordinat titik kontrol yang merepresentasikan kepresisian posisi titik pada sumbu X dan sumbu Y dalam jaring. Standar deviasi menyajikan nilai estimasi kesalahan pada arah sumbu referensi. Elips kesalahan absolut disebut juga sebagai elips kesalahan titik. Elips ini menggambarkan daerah kepercayaan dari ketelitian koordinat suatu titik kontrol. Bentuk dan ukuran elips kesalahan absolut dihitung berdasarkan matriks varian-kovarian dari koordinat titik kontrol yang bersangkutan. Elips kesalahan absolut divisualisasikan pada Gambar I.7. θ Keterangan Gambar I.6 : Gambar I.6. Elips kesalahan absolut X Y σ x σ x : sumbu horizontal : sumbu vertikal : setengah sumbu panjang elips kesalahan absolut : setengah sumbu pendek elips kesalahan absolut 29

X : sumbu horizontal setelah mengalami rotasi Y : sumbu vertikal setelah mengalami rotasi σ x σ y θ : setengah sumbu panjang elips kesalahan setelah mengalami rotasi : setengah sumbu pendek elips kesalahan setelah mengalami rotasi : sudut rotasi Model matematis untuk menggambarkan elips kesalahan absolut dapat dituliskan dalam persamaan (I.46) (Mikhail, 1981) : [ X cosφ sinφ ] = [ Y sinφ cosφ ] [X Y ].... (I.46) Matriks varian-kovarian dari [ X ] dan [X ] seperti pada persamaan (I.47) : Y Y [ σ x 2 σ 2 xy 2 σ xy σ ] dan [σ x 0 2].. (I.47) y 0 σ y Berdasarkan hukum perambatan kesalahan varian-kovarian, diperoleh persamaan (I.48) : [ σ x 2 2 0 cosφ sinφ 2] = [ 0 σ y sinφ cosφ ] [σ x σ xy sinφ 2 ] [cosφ σ xy σ y sinφ cosφ ]..(I.48) Perkalian matriks pada persamaan (I.48), sehingga menghasilkan persamaan (I.49) s.d. (I.51) : σ x 2 σ y 2 = σ x 2 cos 2 φ + 2σ xy sin φ cos φ +σ y 2 sin 2 φ....(i.49) = σ x 2 sin 2 φ - 2σ xy sin φ cos φ +σ y 2 cos 2 φ....(i.50) 0 = (σ y 2 - σ x 2 ) sin φ cos φ + σ xy (cos 2 φ - sin 2 φ)...(i.51) Dengan melakukan substitusi sin φ cos φ = 1 2 sin 2φ dan cos 2φ = cos 2 φ sin 2 φ, maka dapat ditentukan sudut orientasi elips kesalahan absolut dengan persamaan (I.52) : tan 2φ = 2σ xy σ x 2 σ y 2..... (I.52) 30

Kuadran dari 2θ ditentukan dengan menentukan tanda tanda pembilang 2σ xy dan penyebut σ x 2 - σ y 2. Dengan menghilangkan θ dari persamaan (I.49) dan (I.50) dihasilkan persamaan (I.53) dan (I.54). σ x 2 = σ x 2 + σ y 2 2 σ y 2 = σ x 2 + σ y 2 2 + [ (σ x 2 σ y 2 ) 2 4 - [ (σ x 2 σ y 2 ) 2 4 [ X ] : matriks varian-kovarian absis dan ordinat rotasi Y [ X ] : matriks varian-kovarian absis dan ordinat Y 1 2 + σ 2 xy ]. (I.53) 1 2 + σ 2 xy ]. (I.54) 2 σ x 2 σ y 2 σ x 2 σ y σ xy θ : varian absis : varian ordinat : varian sumbu panjang elips kesalahan : varian sumbu pendek elips kesalahan : kovarian absis dan ordinat : sudut rotasi Dalam hal ini σ 2 x dan σ 2 y adalah sumbu semi-major atau sumbu panjang dan sumbu semi-minor atau sumbu pendek dari elips kesalahan absolut. Simpangan baku σ x dan σ y adalah setengah sumbu panjang dan setengah sumbu pendek dari elips kesalahan absolut. I.9. Hipotesis Penelitian Berdasarkan tinjauan pustaka yang ada, hipotesis dari penelitian ini adalah dengan menggunakan empat buah desain konfigurasi baseline jaring kontrol GNSS orde-3, desain konfigurasi baseline yang paling optimal dari segi presisi memiliki nilai faktor kekuatan jaring paling minimum. Desain konfigurasi baseline yang paling 31

optimal dari segi akurasi memiliki nilai A-Optimality, D-Optimality, E-Optimality, S- Optimality, dan I-Optimality yang paling minimum, dengan range nilai 0 s.d. 7,9. Desain konfigurasi baseline yang paling optimal dari segi kehandalan memiliki nilai redudansi individu dengan range nilai 0,3 s.d. 0,9; nilai kehandalan dalam paling dengan range nilai 0,9 s.d. 2,32; nilai kehandalan luar dengan range nilai 1,4 s.d. 10. 32