Bab IV Penutup Kapasitas produksi dan kapabilitas teknologi pada industri otomotif Indonesia telah mengalami perkembangan yang cukup signifikan dari masa ke masa. Kebijakan pemerintah yang mendukung terciptanya mekanisme alih teknologi telah dilaksanakan di tiap periode pemerintahan. Kebijakan pengembangan mobil ramah lingkungan yang membawahi kebijakan pengembangan produksi LCGC pun menjadi salah satu instrumen kebijakan terkini yang bertujuan untuk meningkatkan kapabilitas teknologi industri otomotif nasional. Regulasi-regulasi kebijakan LCGC yang mengatur lokalisasi komponen lokal dan peningkatan rasio kandungan lokal memberikan peluang yang luas bagi industri perakitan mobil dan komponen lokal untuk meningkatkan kapasitas produksi dan kapabilitas teknologinya dan menciptakan inovasi komponen khusus mobil LCGC. Tak hanya itu, kebijakan ini juga mampu mendorong perusahaanperusahaan perakitan mobil merek internasional, salah satunya PT. Astra Daihatsu Motor untuk melakukan investasi baik itu yang bersifat fisik seperti pembangunan pabrik dan fasilitas riset dan pengembangan maupun yang bersifat non-fisik seperti intensifikasi kegiatan pelatihan bagi engineer-engineer lokal. Hal ini tentu mendorong terciptanya alih teknologi dan learning mechanism yang sangat besar, terutama dengan dibangunnya pusat R&D yang baru di Karawang. Fasilitas seperti R&D Styling Building, Design Experiment Buliding dan Track Course awal sepanjang 1 km dapat menjadi wadah pembelajaran bagi tenaga ahli lokal dalam meningkatkan kemampuan mendesain prototipe mobil dan mesin di masa yang akan datang. Salah satu bukti muncul alih teknologi pada kemampuan designing tenaga ahli lokal ialah desain fix Daihatsu Ayla dan Toyota Agya. Kedua mobil yang akan diproduksi PT. ADM ini ternyata didesain oleh tenaga ahli lokal perusahaan mereka, yakni Mark Widjaja. Hal ini semakin mempertegas 80
bahwa kebijakan pengembangan produksi LCGC telah mendorong terciptanya wadah pembelajaran bagi tenaga ahli lokal untuk terus berkarya dan meningkatkan kapabilitas personal mereka. Namun, keputusan pemerintah untuk mencanangkan program pengembangan produksi LCGC sebagai prioritas dari kebijakan pengembangan mobil ramah lingkungan mendapat tekanan dari beberapa pihak. Muncul sebuah polemik dalam tahap perumusan kebijakan ini, dimana terdapat pertarungan antar aktor-aktor utama yang memiliki kepentingan, yakni diantaranya Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan, PT. Astra Daihatsu Motor, Asia Nusa dan Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO). Kebijakan pengembangan mobil ramah lingkungan yang sedianya akan menetapkan dua rancangan proyek pengembangan produksi mobil LCGC dan angkutan pedesaan, ternyata berubah arahnya menjadi hanya pengembangan produksi mobil LCGC untuk tujuan mobil komersial (city car). Keputusan ini sarat dengan kepentingan yang dibawa oleh kelompok kepentingan, dimana pada proses perumusannya muncul dua kelompok kepentingan besar, yakni kelompok yang pro dan kontra terhadap kebijakan LCGC. Kelompok yang menyatakan kesetujuannya pada kebijakan LCGC ini terdiri dari Gaikindo, Perusahaan-perusahaan perakitan mobil merek internasional (ATPM), khususnya PT. ADM, dan Kemenkeu. Sedangkan kelompok yang tidak setuju terhadap pencanangan kebijakan LCGC diwakili oleh Asia Nusa dan industri perakitan mobil nasional. Isu penekanan pertumbuhan konsumsi BBM bersubdisi dan peningkatan kapabilitas teknologi melalui alih teknologi menjadi isu utama yang dibahas disini. Kelompok yang pro terhadap kebijakan LCGC menyatakan kebijakan pengembangan produksi LCGC sebagai langkah strategis untuk memperdalam struktur industri otomotif Indonesia terutama industri komponen lokal sebagai dasar argumen dan ide utama. Lebih jauh, kebijakan ini juga disiapkan sebagai strategi untuk subtitusi impor dan peningkatan daya saing menjelang AEC diimplementasikan 2015 mendatang. Sedangkan bagi kelompok kepentingan yang kontra terhadap kebijakan LCGC, menyatakan bahwa arah pembangunan teknologi industri otomotif 81
nasional harus berlandaskan regulasi yang mendukung terciptanya industri perakitan mobil nasional yang maju. Dengan perbedaan pendapat, kepentingan dan ide dasar yang dibawa oleh kedua kelompok ini, kemudian masing-masing dari mereka saling mempengaruhi formulasi kebijakan pengembangan mobil ramah lingkungan. Kecenderungan aksi yang muncul pun beragam. Dan yang menurut penulis paling berpengaruh adalah kegiatan investasi pabrik dan pembangunan fasilitas produksi serta R&D yang dilakukan oleh PT. ADM, begitu juga dengan usaha lobi dan diskusi dengan pemerintah terkait tertundanya penetapan kebijakan. Sedangkan di sisi yang lain, Asosiasi Industri Automotive Nusantara (Asia Nusa) tidak dapat berbuat banyak terhadap kebijakan pengembangan produksi LCGC ini. Asia Nusa tidak mampu mendorong pemerintah untuk memprioritaskan pengembangan mobil nasional melalui proyek pengembangan angkutan pedesaan. Dengan melihat pemetaan tersebut, bisa disimpulkan bahwa pemerintah lebih berpihak kepada kelompok pemilik modal, yang dalam hal ini adalah PT. ADM, yang merupakan perusahaan hasil kerjasama Grup Astra dengan Daihatsu Motor Company. Dan keputusan yang diambil pemerintah dalam penetapan kebijakan pengembangan ini menunjukkan bahwa pemerintah ingin menjadikan perusahaan ATPM dan PMN sebagai mitra strategis pembangunan industri otomotif agar mampu bersaing di kancah pasar otomotif ASEAN. Kecenderungan negara mengikuti pasar pun terlihat pada studi kasus ini, dimana pemerintah bersedia untuk memberikan insentif kepada perusahaan-perusahaan otomotif raksasa agar program yang dijalankan berjalan efektif serta menghasilkan benefit yang tinggi diantara keduanya. Dari temuan-temuan tersebut, ada hal-hal yang bisa dipelajari oleh pemerintah Indonesia dan para aktor yang terlibat dalam pembuatan kebijakan pengembangan produksi LCGC. Pemerintah seharusnya bisa memberikan insentif khusus kepada industri perakitan mobil nasional agar embrio yang telah terbangun tidak serta merta hilang termakan oleh program LCGC ini. Lebih jauh, pemerintah harus dapat menyiasati keterbatasan modal dalam proyek pengembangan 82
angkutan pedesaan yang terhenti. Selain itu, pihak Asia Nusa harus lebih aktif dalam melakukan langkah konkrituntuk memberikan protes atau masukan secara langsung bagi pemerintah dalam kaitannya dengan perumusan kebijakan pengembangan mobil ramah lingkungan. Hal ini harus dilakukan karena pasar yang dimiliki mobil nasional akan semakin terjepit dan dengan adanya proyek pengembangan angkutan pedesaan, mobil nasional dapat memperoleh insentif yang cukup agar bisa terus berkembang. Bagi studi hubungan internasional, tulisan ini bisa menjadi pembelajaran terkait ekonomi-politik internasional. Alih teknologi yang identik dalam kegiatan ekonomi industri tak bisa dilepaskan dari hal-hal yang mengandung unsur politik. Kebijakan pengembangan produksi LCGC yang dilakukan oleh Indonesia merupakan hal yang menjadi gambaran tentang kegiatan ekonomi yang dipengaruhi oleh keputusan-keputusan yang bersifat politis. Aktor-aktor seperti Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan, PT. Astra Daihatsu Motor, GAIKINDO dan Asosiasi Industri Automotive Nusantara (Asia Nusa) bertarung untuk memenangkan kepentingannya terkait kebijakan pemgembangan mobil ramah lingkungan. Kebijakan pengembangan produksi LCGC Indonesia bisa menjadi contoh bagaimana pemerintah menghadapi tekanan dari dalam maupun luar negeri terkait dengan kebijakan yang diambil. Asean Economic Community (AEC) sebentar lagi akan diterapkan pada 2015. Perdagangan barang dan jasa akan semakin cair diantara negara-negara ASEAN, salah satunya ialah produk otomotif. Indonesia menjadi salah satu negara yang menginginkan perlindungan pasar otomotif dalam negerinya dari serbuan produk otomotif luar negeri. Maka dari itu kebijakan pengembangan mobil ramah lingkungan yang awalnya didesain untuk angkutan pedesaan justru dialihkan kepada mobil komersial. Di sisi yang lain, Indonesia telah telah tumbuh industri mobil nasional dan permintaan terhadap angkutan pedesaan yang murah. Dilema inilah yang dihadapi Indonesia, dimana pada akhirnya tekanan dari situasi perdagangan internasional dan perusahaan otomotif 83
perakit mobil merek Internasional mampu mendorong pemerintah menetapkan kebijakan pengembangan produksi LCGC untuk mobil komersial. 84