Bab 2 Landasan Teori 2.1 Teori Penokohan Penokohan merupakan satu bagian penting dalam membangun sebuah cerita. Tokoh-tokoh tersebut tidak saja berfungsi untuk memainkan cerita, tetapi juga berperan untuk menyampaikan ide, motif, plot, dan tema (Fananie, 2000: 86). Istilah penokohan lebih luas pengertiannya daripada tokoh dan perwatakan sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisnya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan dan karakterisasi perwatakan menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita. Atau seperti dikatakan oleh Jones (1968: 33), Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Penokohan sekaligus menyarankan pada teknik pewujudan dan pengembangan tokoh dalam sebuah cerita. Dalam istilah penokohan terkandung dua aspek: Isi dan bentuk. Tokoh, watak, dan segala emosi yang dikandungnya itu adalah aspek isi, sedangkan teknik pewujudannya dalam karya fiksi adalah bentuk. Penokohan sebagai salah satu unsur pembangunan fiksi dapat dikaji dan dianalisis keterjalinannya dengan unsur-unsur pembangunan lainnya. Jika fiksi yang bersangkutan merupakan sebuah karya yang berhasil, berbagai unsur yang lain, misalkan dengan unsur plot dan tema, atau unsur latar, sudut pandang, gaya, amanat, dan lain-lain (Nurgiantoro, 2002: 165, 166,172). Tokoh cerita (character), menurut Abrams (1981: 20), adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan 8
memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang di ekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Dari kutipan tersebut juga dapat diketahui bahwa antara seorang tokoh dengan kualitas pribadinya erat berkaitan dengan penerimaan pembaca. David Daiches (1948: 352) menyebutkan bahwa karakter pelaku cerita fiksi dapat muncul dari sejumlah peristiwa dan bagaimana reaksi tokoh tersebut pada peristiwa yang dihadapi. Walaupun tokoh cerita hanya merupakan tokoh ciptaan pengarang, ia haruslah merupakan seorang tokoh yang hidup secara wajar, sewajar sebagaimana kehidupan manusia yang terdiri dari darah dan daging, yang mempunyai pikiran dan perasaan. Kehidupan tokoh cerita adalah kehidupan dalam dunia fiksi, maka ia haruslah bersikap dan bertindak sesuai dengan tuntutan cerita dengan perwatakan yang disandangnya (Nurgiantoro, 2002: 167). 2.2 Teori Psikoanalisis Sigmund Freud Berikut ini akan dikemukakan berbagai segi teori Psikoanalisis secara singkat, mengikuti pengelompokan yang disarankan Hall & Lindzey yaitu: struktur kepribadian, dinamika kepribadian dan perkembangan kepribadian. 2.2.1 Struktur Kepribadian Menurut Freud dalam Hartono (2003: 3) ketidaksadaran merupakan salah satu inti pokok atau tiang pasak teorinya. Segi-segi terpenting perilaku manusia justru ditentukan oleh alam tak sadarnya. Tahun 1923 Freud secara tegas mengemukakan dalam bukunya The Ego and The Id pandangannya mengenai struktur kepribadian manusia, yaitu terdiri dari tiga bagianyang tumbuh secara kronologis: Id, Ego dan Superego. 9
a. Id Freud dalam Moesono (2003: 3, 4) mengatakan bahwa Id adalah segi kepribadian tertua, system kepribadian pertama, dan sejak lahir, diturunkan secara genetis. Id bekerja berdasarkan prinsip-prinsip yang amat primitif sehingga bersifat kaotik, tidak mengenal moral, tidak memiliki rasa benar-salah. Id adalah perasaan senang-tidak senang. Id bekerja berdasarkan prinsip kesenangan. Ia selalu mengejar kesenangan dan menghindar dari ketegangan. Id memiliki dua mekanisme dasar, yaitu: gerakan-gerakan refleks dan proses primer. Dalam keadaan lapar mulut bayi akan langsung mengatup pada putting ibunya dan menghisap susu, bila mata terkena debu mata akan langsung berkedip dan seterusnya. Proses dimana manusia membentuk citra dari objek yang berguna bagi pemuas suatu kebutuhan mendasar disebut proses primer dan memiliki ciri: tidak logis, tidak rasional, tidak dapat membedakan antara khayalan dan realitas, tidak dapat membedakan antara saya dan bukan saya. Untuk dapat bertahan hidup seorang bayi mutlak harus dapat membedakan mana yang khayal mana yang kenyataan, maka berkembanglah sistem kepribadian yang kedua, yaitu Ego. b. Ego Freud dalam Moesono (2003: 4) mengatakan bahwa Ego adalah segi kepribadian yang harus tunduk pada Id dan harus mencari dalam realitas apa yang dibutuhkan Id sebagai pemuas kebutuhan dan pereda ketegangan. Dengan demikian Ego adalah segi kepribadian yang dapat membedakan antara khayalan dan kenyataan. Ego bekerja berdasarkan prinsip realitas, artinya ia dapat menunda pemuasan diri atau mencari bentuk pemuasan lain yang lebih sesuai dengan batasan lingkungan dan hati nurani. Ego menjalankan proses sekunder, artinya ia menggunakan kemampuan berpikir secara rasional dalam mencari pemecahan masalah terbaik. 10
c. Superego Freud dalam Moesono (2003: 4, 5) mengatakan bahwa Superego adalah aspek sosiologi kepribadian, merupakan wakil dari nilai-nilai tradisional serta cita-cita masyarakat sebagaimana ditafsirkan orang tua kepada anak-anaknya, yang diajarkan dengan berbagai perintah dan larangan. Freud membagi Superego dalam dua subsistem yaitu hati nurani dan Ego ideal. Hati nurani diperoleh melalui penghukuman berbagai perilaku anak yang dinilai jelek oleh orang tua dan menjadi dasar bagi rasa bersalah. Ego ideal adalah hasil pujian dan penghadiahan atas berbagai perilaku yang dinilai baik oleh orang tua. Anak mengejar keunggulan dan kebaikan dan bila berhasil akan memiliki nilai diri dan kebanggaan diri. Superego yang memungkinkan manusia memiliki pengendalian diri, selalu akan menuntut kesempurnaan manusia dalam pikiran, perkataan dan perbuatan. 2.2.2 Dinamika Kepribadian Kecemasan atau Ketakutan Menurut Freud dalam Suryabrata (2002: 139, 140), fungsi kecemasan atau ketakutan itu ialah untuk memperingatkan orang akan datangnya bahaya; sebagai isyarat bagi Ego, bahwa apabila tidak dilakukan tindakan-tindakan yang tepat, bahaya itu akan meningkat sampai Ego dikalahkan. Kecemasan adalah juga pendorong seperti halnya lapar dan seks; bedanya: kalau lapar dan seks itu adalah keadaan dari dalam, maka kecemasan dan ketakutan itu asalnya disebabkan oleh sebab-sebab dari luar. Apabila kecemasan timbul, maka itu akan mendorong orang untuk melakukan sesuatu supaya tegangan dapat direduksikan atau dihilangkan. Freud mengemukakan adanya tiga macam kecemasan, yaitu: 11
1. Kecemasan realistis Dari ketiga macam kecemasan, yang paling pokok adalah kecemasan atau ketakutan yang realistis, atau takut akan bahaya-bahaya di dunia luar; kedua kecemasan yang lain diasalkan dari kecemasan yang realistis ini. 2. Kecemasan neurotis Kecemasan neurotis adalah kecemasan kalau-kalau insting-insting tidak dapat dikendalikan dan menyebabkan orang berbuat sesuatu yang dapat dihukum. 3. Kecemasan moral Kecemasan moral ini juga mempunyai dasar dalam realitas; karena dimasa yang lampau orang telah mendapatkan hukuman sebagai akibat dari perbuatan yang melanggar kode moral, dan mungkin akan mendapatkan hukuman lagi. 2.2.3 Perkembangan Kepribadian a. Identifikasi Identifikasi (identification) yaitu cara untuk mereduksi (meredakan) tegangan dengan cara meniru (mengintimidasi) atau mengidentifikasikan diri dengan orang yang dianggap lebih berhasil memuaskan hasratnya dibandingkan dirinya. Beberapa tujuan dari mekanisme pertahanan, pertama, cara orang dapat memperoleh kembali sesuatu (objek) yang telah hilang, kedua, untuk mengatasi rasa takut, dan ketiga, orang dapat memperoleh informasi baru dengan mencocokan khayalan mental dengan kenyataan (Alwisol, 2004: 30). 12
b. Mekanisme Pertahanan Sigmund Freud dalam Suryabrata (2002: 144) mengatakan bahwa karena tekanan kecemasan ataupun ketakutan yang berlebihan-lebihan, maka Ego kadang-kadang terpaksa mengambil cara yang ekstrem untuk menghilangkan atau mereduksikan tegangan. Cara-cara yang demikian itu disebut mekanisme pertahanan. Bentuk-bentuk pokok mekanisme pertahanan itu adalah: 1. Represi Represi (repression) adalah proses psikis yang tak sadar dimana suatu pikiran atau keinginan yang dianggap tidak pantas disingkirkan dari kesadaran, dipindahkan ke taraf lain, yaitu taraf tak sadar. 2. Fiksasi Fiksasi (fixation) adalah terhentinya perkembangan normal pada tahap perkembangan tertentu karena perkembangan lanjutannya sangat sukar sehingga menimbulkan frustasi dan kecemasan yang terlalu kuat. 3. Regresi Regresi (regression). Frustasi, kecemasan dan pengalaman traumatik yang sangat kuat pada tahap perkembangan tertentu dapat menyebabkan seseorang melakukan regresi, dimana orang tersebut mundur ke tahap perkembangan terdahulu ketika ia merasa puas. 4. Pembentukan Reaksi Pembentukan Reaksi (reaction formation) merupakan tindakan defensif dengan cara mengganti impuls atau perasaan yang menimbulkan kecemasan dengan impuls atau perasaan lawannya/kebalikannya. Misalnya benci diganti cinta, rasa permusuhan diganti rasa persahabatan. 13
5. Projeksi Projeksi (projection) adalah mekanisme mengubah kecemasan neurotic atau pun kecemasan moral menjadi kecemasan realistik. Kecemasan realistic biasanya lebih mudah ditangani oleh Ego dibanding kecemasan neurotic atau kecemasan moral. Menurut Freud dalam Alwisol (2004: 31-35), jarang ada orang yang hanya menggunakan satu mekanisme pertahanan untuk melindungi diri dari kecemasan. Umumnya orang memakai beberapa mekanisme pertahanan baik secara bersamasama atau secara bergantian sesuai bentuk ancaman yang dihadapinya. 14