Boks 1 PELUANG DAN HAMBATAN INVESTASI DI PROPINSI RIAU. I. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. suatu negara yang sudah menjadi agenda setiap tahunnya dan dilakukan oleh

Tabel 1. Pertumbuhan Ekonomi dan Kebutuhan Investasi

TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA DI PROVINSI RIAU PADA AGUSTUS 2014 SEBESAR 6,56 PERSEN

BAB I PENDAHULUAN. berbagai perubahan mendasar atas seluruh sistem sosial seperti politik, ekonomi,

Hasil Pendaftaran (Listing) Usaha/Perusahaan Sensus Ekonomi 2016 Provinsi Riau

TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA DI PROVINSI RIAU PADA AGUSTUS 2012 SEBESAR 4,30 PERSEN

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU

Disampaikan pada Annual Forum EEP Indonesia 2012 di Provinsi Riau Pekanbaru, Oktober 2012

BAB I PENDAHULUAN. dan kewajiban setiap orang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, pembangunan

Boks 1 TRANSMISI KEBIJAKAN MONETER DI PROVINSI RIAU. 1. Latar Belakang

Perkembangan Indikator Makro Usaha Kecil Menengah di Indonesia

ANALISIS DAYA SAING DAERAH KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI RIAU

TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA DI RIAU PADA AGUSTUS 2010 SEBESAR 8,72 PERSEN

Boks 2. PERINGKAT DAYA SAING INVESTASI DAERAH PROVINSI JAMBI

I. PENDAHULUAN. Indonesia dan sebaliknya, Provinsi Riau akan menjadi daerah yang tertinggal

HASIL SENSUS PERTANIAN 2013 (ANGKA TETAP)

4.1. Sejarah Berdirinya Pemerintah Provinsi Riau

Satuan Kerja Kementerian Pekerjaan Umum Pemerintah Provinsi Riau

PENDAHULUAN. Dinas Perkebunan Provinsi Riau Laporan Kinerja A. Tugas Pokok dan Fungsi

REKOMENDASI SEMINAR STRATEGI DAN TANTANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI JANGKA MENENGAH PROVINSI JAMBI 22 DESEMBER 2005

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Triwulan IV 2012

Disajikan dalam Acara Pertemuan Tahunan EEP- Indonesia Tahun 2013, di Hotel Le Meridien Jakarta, 27 November 2013

DAFTAR ISI. PERATURAN BUPATI MURUNG RAYA KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii DAFTAR TABEL... vii

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI DI PROVINSI RIAU

KEKAYAAN ALAM PEKAN BARU DAN DUMAI UTUK INDONESIA

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. Malaka terletak antara Lintang Selatan Lintang Utara atau antara 100

KAWASAN PESISIR KAWASAN DARATAN. KAB. ROKAN HILIR 30 Pulau, 16 KEC, 183 KEL, Pddk, ,93 Ha

BOKS : PENGEMBANGAN SUB SEKTOR PERIKANAN BUDIDAYA AIR TAWAR DI KAWASAN MINAPOLITAN KABUPATEN KAMPAR, PROVINSI RIAU

GUBERNUR RIAU. b. bahwa untuk meningkatkan kemampuan petani dalam penerapan pemupukan berimbang diperlukan subsidi pupuk;

Catatan Akhir Tahun Anggaran Refleksi Penganggaran Daerah 2013

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB III GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. A. Keadaan Geografis Kabupaten Indragiri Hulu. yang meliputi wilayah Rengat dan Tembilahan di sebelah Hilir.

PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU

Sekapur Sirih. Pekanbaru, Agustus 2010 Kepala BPS Provinsi Riau. Abdul Manaf, MA NIP

Potensi Desa (Podes) 2014 Provinsi Riau

BAPPEDA PROVINSI RIAU

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN III TAHUN 2014

KEBIJAKAN DAN REALITA PERKEBUNAN DAN INDUSTRI KELAPA SAWIT DI PROVINSI RIAU

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Sektor unggulan di Kota Dumai diidentifikasi dengan menggunakan

BAB X PEDOMAN TRANSISI DAN KAIDAH PELAKSANAAN. roses pembangunan pada dasarnya merupakan proses yang berkesinambungan,

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TRIWULAN I- 2013

HARGA PERKIRAAN SENDIRI (HPS) FORMULIR UNTUK KEPERLUAN PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DPR, DPD DAN DPRD TAHUN KOMISI PEMILIHAN 2014 UMUM PROVINSI RIAU

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI DI PROVINSI RIAU

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Boks 1. TABEL INPUT OUTPUT PROVINSI JAMBI TAHUN 2007

PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Penelitian

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya;

Penerimaan Riau Dari DBH Sektor Kehutanan

BAB I PENDAHULUAN. pekerjaan tetapi juga dapat menciptakan lapangan pekerjaan di berbagai sektor

POTENSI PENGEMBANGAN INDUSTRI KELAPA SAWIT 1 Oleh: Almasdi Syahza Peneliti dan Pengamat Ekonomi Pedesaan Lembaga Penelitian Universitas Riau

BAB I PENDAHULUAN. bentuk kenaikan pendapatan nasional. Cara mengukur pertumbuhan ekonomi

Tugas Akhir PW Dosen Pembimbing : Ir. Heru Purwadio, MSP

IV.B.9. Urusan Wajib Penanaman Modal

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Disparitas Sosial-Ekonomi Antar-Daerah

RENCANA UMUM PENGADAAN PADA DINAS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA PROVINSI RIAU TAHUN ANGGARAN 2013

. Tabel 1.2 Pertumbuhan Ekonomi Sisi Penawaran SEKTOR PERTANIAN

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN I TAHUN 2014

GUBERNUR RIAU PERATURAN GUBERNUR RIAU NOMOR : 37 TAHUN 2012 TENTANG NILAI PEROLEHAN AIR PERMUKAAN SEBAGAI DASAR PENGENAAN PAJAK

PERTUMBUHAN EKONOMI KEPULAUAN RIAU TRIWULAN III 2014

HASIL PENCACAHAN LENGKAP SENSUS PERTANIAN 2013 DAN SURVEI PENDAPATAN RUMAH TANGGA USAHA PERTANIAN 2013

RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2016 TEMA : MEMPERCEPAT PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR UNTUK MEMPERKUAT FONDASI PEMBANGUNAN YANG BERKUALITAS

I. PENDAHULUAN. tersebut merupakan faktor pendukung keberhasilan budidaya sapi Bali (Ni am et

Analisis Terhadap Hasil Pemeriksaan BPK Mengenai Pemenuhan Kewajiban Pembiayaan Pada Masa Transisi Pemekaran Daerah

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tabel 1 Peringkat daya saing negara-negara ASEAN tahun

RESUME UMPAN BALIK PELKON dan DALLAP 2013 PERWAKILAN BKKBN PROVINSI RIAU

I. PENDAHUL'CJAN Latar Belakang

RINCIAN HARGA PENAWARAN FORMULIR UNTUK KEPERLUAN PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DPR, DPD DAN DPRD TAHUN KOMISI PEMILIHAN UMUM PROVINSI RIAU

KAJIAN. Triwulan II Kantor Bank Indonesia

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelagic state) terluas di

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH

RENCANA KERJA PEMBANGUNAN DAERAH (RKPD) KABUPATEN MALANG TAHUN 2015

Boks 1. Dampak Pembangunan Industri Hilir Kelapa Sawit di Provinsi Riau : Preliminary Study IRIO Model

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA RESMI STATISTIK

BAB I PENDAHULUAN. pengembangan, yaitu : konsep pengembangan wilayah berdasarkan Daerah

Analisis Isu-Isu Strategis

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR

GAMBARAN UMUM PROPINSI KALIMANTAN TIMUR. 119º00 Bujur Timur serta diantara 4º24 Lintang Utara dan 2º25 Lintang

Rencana Pembangunan Jangka Menengah strategi juga dapat digunakan sebagai sarana untuk melakukan tranformasi,

INDIKATOR MAKRO EKONOMI USAHA KECIL DAN MENENGAH TAHUN 2003

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TRIWULAN II-2011

*11780 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 13 TAHUN 2000 (13/2000)

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB VIII KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

Standar Pelayanan Minimal

PENTINGNYA PENINGKATAN INVESTASI TERHADAP PERCEPATAN PEMBANGUNAN EKONOMI SUMATERA UTARA

A. Luas potensi lahan sumber pakan ternak (Ha) Luas Potensi Hijauan (Ha) No Kabupaten/Kota Tanaman Padang. Pangan Rumput

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. daerah. Adanya otonomi daerah diharapkan masing-masing daerah dapat mandiri

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TRIWULAN III-2011

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN II-2008

5Kebijakan Terpadu. Perkembangan perekonomian Indonesia secara sektoral menunjukkan. Pengembangan Agribisnis. Pengertian Agribisnis

PROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI SIAK NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG

I. PENDAHULUAN. Agenda penanggulangan kemiskinan telah disepakati oleh Perserikatan

BAB 13 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI

Transkripsi:

Boks 1 PELUANG DAN HAMBATAN INVESTASI DI PROPINSI RIAU I. Latar Belakang Penerapan otonomi daerah pada tahun 2001 telah membawa perubahan yang cukup berarti bagi kondisi ekonomi di Propinsi Riau. Penelitian yang dilakukan Brodjonegoro (2001) menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal secara tidak langsung mampu mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah melalui peningkatan dalam belanja rutin dan belanja modal Pemda. Sehingga ketersediaan fasilitas/pelayanan publik yang dibutuhkan dalam rangka mendukung kegiatan investasi pun semakin meningkat dan pada akhirnya mendorong pertumbuhan ekonomi Riau. Sejalan dengan kondisi tersebut, pertumbuhan ekonomi daerah secara optimal dan terpadu dapat dilakukan antara lain dengan memanfaatkan keuntungan komparatif wilayah. Letak yang strategis (berada diantara Selat Malaka dan berbatasan dengan negara-negara lain) serta besarnya potensi sumber daya alam di Propinsi Riau merupakan faktor penting dalam menarik minat para investor untuk berinvestasi, terutama pada sektor unggulan seperti pertanian, industri, perdagangan, serta keuangan. Reorientasi terhadap pendekatan dan metode pengelolaan konvensional yang selama ini digunakan Riau harus diantisipasi untuk bisa menangani wilayah dengan skala dan keanekaragaman yang lebih besar. Kebijakan pembangunan tersebut harus mampu mengkoordinasikan investasi untuk lebih mengoptimalkan peran investasi sebagai salah satu komponen penting dalam pertumbuhan ekonomi Riau (Grafik 2). Oleh karena itu, penting bagi pemerintah daerah untuk mengetahui sektor yang berpotensi menghasilkan nilai tambah terhadap pertumbuhan ekonomi serta masalah yang seringkali ditemui investor (pelaku usaha) ketika akan melakukan investasi di Propinsi Riau.

Grafik 1. Pertumbuhan Ekonomi 2005-2008 Grafik 2. Sumbangan Pertumbuhan Ekonomi 2005-2008 (%) 12,00 10,00 8,00 6,00 100% 80% 60% 4,00 2,00 0,00 (%) 40% 20% 0% Mar 05 Jun 05 Sep 05 Des 05 Mar 06 Jun 06 Sep 06 Des 06 Mar 07 Jun 07 Sep 07 Des 07 Mar 08 Jun 08 Sep 08 Des 08 20% Migas Tanpa Migas Nasional 40% KONSUMSI PENGELUARAN PEMERINTAH INVESTASI NET EKSPOR II. Analisa ICOR Disadari bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi tidak hanya peranan dari penggunaan barang modal atau faktor produksi akan tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor yang lain seperti tenaga kerja, peningkatan produktivitas dan lain-lain. Meskipun demikian, banyak studi yang menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi erat kaitannya dengan tingkat produktifitas penggunaan modal, sehingga penggunaan ICOR untuk menghubungkan pertumbuhan ekonomi dan faktor produksi dapat dipertanggung jawabkan. Seperti kita ketahui, penanaman investasi akan menghasilkan lag output. Artinya, investasi baru akan menghasilkan kapasitas produksi secara penuh pada tahun-tahun berikutnya. Demikian juga dengan produksi atau output yang dihasilkan pada tahun ini belum tentu merupakan hasil dari investasi pada tahun ini, tetapi merupakan output dari investasi yang ditanamkan pada tahun-tahun sebelumnya. Adapun hasil perhitungan ICOR propinsi Riau ditampilkan pada Tabel 1 berikut ini. Tabel 1. ICOR Propinsi Riau Berdasarkan Sektor UsahaTahun 2003-2007 Lapangan Usaha (Sektor) ICOR Kabupaten/ Kota ICOR 1. Pertanian, Peternakan, Kehutanan & Perikanan 1.95 Kuantan Singingi - 2. Pertambangan dan Penggalian 0 Indragiri Hulu 36.12 3. Industri Pengolahan 9.25 Indragiri Hilir 0.67 4. Listrik, Gas dan Air Bersih 0 Pelalawan 10.11 5. Bangunan (2004) 0.21 Siak 0.59 Bangunan (2006) 0.03 Kampar 13.61 6. Perdagangan, Hotel & Restorant 0.12 Rokan Hulu - 7. Pengangkutan dan Komunikasi 25.56 Bengkalis 2.44 8. Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan 0 Rokan Hilir 0.54 9. Jasa-jasa (2003) 0.01 Pekanbaru 0.07 Jasa-jasa (2005-2006) 0.71 Dumai 2.51 Propinsi Riau 3.09 Propinsi Riau 3.09 Makna dari angka ICOR tersebut adalah, bahwa untuk meningkatkan produksi atau output sebesar 1 unit dibutuhkan investasi sebesar 3,09 unit. Angka ini berada dibawah ICOR

nasional yang tercatat sebesar 3,8. Hal ini menunjukkan bahwa investasi di Riau berjalan dengan penggunaan capital yang lebih efisien dibandingkan angka nasional (Indonesia). Studi yang dilakukan oleh PBB juga hasilnya sejalan dengan hal tersebut, bahwa sepuluh tahun terakhir tahun 1963 ICOR di negara berkembang berkisar antara 3 dan 4. Pada Tabel 1, terlihat bahwa nilai ICOR untuk sektor penganggkutan relatif besar dibandingkan dengan sektor lainnya. Salah satu penyebab tingginya angka ICOR tersebut adalah dikarenakan adanya investasi asing senilai Rp 7.238,81 miliar. Namun, investasi yang dilakukan berupa pipa angkutan gas PT. Transportasi Gas Indonesia yang melalui tiga propinsi (Sumatera Selatan, Jambi dan Riau). Sehingga investasi fisik tersebut tidak berpengaruh secara signfikan terhadap PDRB Riau. Sejalan dengan temuan tersebut, ICOR yang dihasilkan di Provinsi Riau periode tahun 2003-2007 tergolong masih cukup baik. Sejak diberlakukannya otonomi daerah tahun 2001 di Provinsi Riau, terjadi beberapa kondisi yang secara langsung maupun tidak langsung ikut mempengaruhi turun naiknya angka ICOR Provinsi Riau. Kondisi tersebut diantaranya adalah : 1. Munculnya kabupaten/kota baru sebagai hasil pemekaran dari kabupaten induk, serta terpisahnya Kepulauan Riau menjadi Provinsi sendiri (tahun 2004). Padahal sebagaimana diketahui, terpisahnya Kepulauan Riau berarti berkurang pula nilai realisasi investasi untuk Provinsi Riau. 2. Minimnya prasarana dan sarana infrastruktur di Provinsi Riau, menyebabkan biaya pembangunan lebih banyak digunakan untuk overhead sosial ekonomi seperti sekolah, rumah sakit, jalan raya, jembatan, listrik (infrastruktur) dan sebagainya, sehingga kondisi ini sangat mempengaruhi nilai ICOR Riau. 3. Nilai ICOR di Provinsi Riau, dan terutama di beberapa kabupaten, sangat dipengaruhi oleh modal yang digunakan untuk menyedot sumber-sumber daya alam yang belum tergali sehingga memerlukan modal besar, seperti HTI dan perkebunan kelapa sawit. Sehingga masih memerlukan beberapa tahun untuk menghasilkan output yang diinginkan. 4. Kebijakan penggalakan teknik padat karya yang dilakukan oleh Pemda Riau memerlukan modal yang lebih besar. Pada akhirnya kondisi inilah yang turut serta mempengaruhi output industri maupun perusahaan. 5. Adanya beberapa pabrik, perusahaan dan usaha baru yang didirikan jauh dari sumber bahan mentah, sehingga modal yang digunakan lebih besar dibandingkan output yang dihasilkan.

III. Hambatan Pelaksanaan Investasi di Propinsi Riau Sementara itu, untuk mengidentifikasi hambatan dalam pelaksanaan investasi, dilakukan survei kepada responden terkait. Hasil survei ini kemudian dikonversi menggunakan skala likert untuk menentukan peringkat iklim investasi di kabupaten/kota Riau (Grafik 3.) Berdasarkan hasil survei, disimpulkan bahwa Kota Pekanbaru dinilai paling kondusif dan prospektif dalam penanaman modal diikuti oleh kabupaten Kampar dan kota Dumai. Relatif baiknya iklim investasi pada ketiga wilayah ini disebabkan oleh kemudahan dalam birokrasi dan administrasi, Grafik 3. Peringkat Iklim Investasi di Kabupaten/Kota Riau 5 4,5 4 3,5 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0 P.Baru Dumai Kampar Pelalaw an Inhu Inhil Bengkalis Siak Rohul Kuansing Rohil Keterbukaan Sistem Ekonomi Sistem Keuangan Infrastruktur dan Sumber Daya Alam Iptek Sumber Daya Manusia Kelembagaan Kebijakan Pemerintah Berdasarkan survei tersebut diketahui bahwa mayoritas responden berpendapat bahwa tiga hambatan utama yang mengganggu iklim investasi investasi di propinsi Riau adalah ketersediaan infrastruktur yang baik, proses peradilan dan penegakan hukum yang bersih serta sistem pemerintahan (kebijakan dan tata kelola). Permasalahan infrastruktur yang dihadapi pelaku usaha dalam melakukan investasi di kabupaten/kota propinsi Riau diantaranya adalah ketersediaan jangkauan transportasi udara serta ketersediaan jaringan telepon dan internet. Hal ini menjadi perhatian penting, sebab ketersediaan infrastruktur dan jaringan komunikasi yang baik akan turut serta memberikan efisiensi bagi pelaku usaha dalam menjalankan usahanya. Sementara itu, aspek kelembagaan yang menjadi kendala bagi investor dalam menginvestasikan dananya di Riau adalah proses peradilan dan penegakan hukum yang bersih, lembaga penegakan hukum yang memiliki integritas yang baik serta biaya peradilan sengketa bisnis yang wajar. Kemudian, permasalahan dalam aspek pemerintahan yang menjadi hambatan utama bagi investor adalah pungutan tidak resmi terkait dengan perijinan investasi serta budaya malu

yang dimiliki oleh aparat apabila melakukan kecurangan. Pada survei ini, juga diketahui bahwa peraturan pemerintah daerah relatif tidak mengganggu iklim investasi di Propinsi Riau. Namun demikian, pelaku usaha berpendapat bahwa peraturan tentang pendirian usaha baru masih perlu diperhatikan oleh pemerintah daerah. Grafik 4. Hambatan Pelaksanaan Investasi di Propinsi Riau 3,65 3,6 3,55 3,5 3,45 3,4 3,35 3,3 3,25 3,2 Keterbukaan Sistem Ekonomi Sistem Keuangan Infrastruktur dan Sumber Daya Alam Iptek Sumber Daya Manusia Kelembagaan Kebijakan Pemerintah IV. Implikasi Kebijakan Berdasarkan uraian di atas, maka implikasi kebijakan yang dapat direkomendasikan diantaranya adalah : 1. Pemerintah Provinsi Riau harus meningkatkan pelayanan infrastruktur berupa penyediaan jaringan komunikasi yang lebih baik. Disamping itu, perbaikan pada aspek tata kelola pemerintahan juga wajib dilakukan yaitu dengan melakukan pembenahan di bidang keadilan dan kelembagaan seperti penyederhanaan sistem dan perijinan, penurunan berbagai pungutan yang tumpang tindih serta melakukan full disclosure terhadap biaya perijinan. 2. Melakukan agenda reformasi dalam peraturan daerah yaitu dengan bekerjasama dengan pemerintah pusat dan provinsi lain dalam mengembangkan prosedur dan standar pengkajian Perda yang terkait dengan perizinan persetujuan investasi yang cenderung memiliki rantai panjang. 3. Pemerintah provinsi dan kabupaten sebaiknya mengintegrasikan kebijakan dan program pengembangan investasi (penanaman modal) sesuai dengan sektor/sub sektor dan komoditas berdaya saing tinggi yang ada di daerahnya. 4. Perlu dibentuk forum investor secara resmi serta dilakukan secara berkala. Hal ini bermanfaat untuk mengembangkan komoditas yang memiliki daya saing tinggi di masing-masing kabupaten/kota Riau.