BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Definisi klinis rinitis alergi adalah penyakit simptomatik pada hidung yang dicetuskan oleh reaksi inflamasi yang dimediasi oleh immunoglobulin E (IgE) setelah paparan alergen pada membran hidung (Patterson et al., 2009). Gejala yang menjadi karakteristik dari penyakit ini antara lain rhinorrhea, hidung tersumbat, bersin, gatal pada hidung, adanya cairan pada bagian belakang hidung atau tenggorokan, dan terkadang gatal pada mata, telinga, dan tenggorokan. Meskipun rinitis alergi dapat memiliki onset pada usia berapa saja, insidensi onset terbanyak ditemukan pada anak-anak saat remaja, dengan ada penurunan insidensi pada usia yang lebih tua. Prevalensi rinitis alergi diperkirakan sekitar 15% dan 20%, tetapi rinitis alergi yang didiagnosis dokter pada kelompok usia anakanak tercatat sebanyak 42%. Meskipun dilaporkan bahwa kejadian sering ditemukan pada infants (usia hingga 12 bulan), pada sebagian besar kasus, seseorang membutuhkan dua atau lebih rangkaian paparan pada antigen baru 1
2 sebelum menunjukkan manifestasi klinis dari rinitis alergi. Anak-anak yang lebih tua memiliki prevalensi rinitis alergi yang lebih tinggi dibanding dengan yang lebih muda, dengan puncak pada usia 13-14 tahun. Sekitar 80% individu didiagnosis rinitis alergi akan menunjukkan gejala sebelum usia 20 tahun. Sedangkan laki-laki memiliki kecenderungan untuk mengalami kejadian rinitis alergi tinggi pada anak-anak, namun pada saat dewasa rasio jenis kelamin akan menjadi sama. Studi epidemiologi menunjukkan bahwa prevalensi rinitis alergi di Amerika Serikat dan seluruh dunia meningkat. Bagaimanapun, perkiraan pasti rinitis alergi sulit untuk didapatkan akibat dari variabilitas polen secara geografis, interpretasi yang salah dari gejala dari pasien, dan ketidakmampuan dokter maupun pasien untuk mengenali penyakit itu sendiri. Meskipun terdapat peningkatan prevalensi dari rinitis alergi, penyebab dari peningkatan ini masih belum diketahui. Faktor risiko yang berhubungan dengan perkembangan rinits alergi termasuk riwayat keluarga, status sosioekonomi yang lebih tinggi, polusi udara, etnisitas selain orang kulit putih, terlambatnya masuk ke tempat penitipan anak, sedikitnya saudara kandung, kelahiran selama musim yang memiliki banyak polen, kebiasaan merokok berat pada
3 saat ibu hamil pada satu tahun pertama, paparan terhadap alergen dalam ruang dengan konsentrasi tinggi seperti jamur, tungau debu, dan bulu hewan, serum IgE yang tinggi (>100IU/mL sebelum usia 6 tahun), adanya alergen positif dari tes alergi kulit (Skin Prick Test), awalnya konsumsi makanan atau susu formula, dan adanya gaya hidup yang berubah. Rinitis alergi bukan merupakan suatu penyakit yang fatal namun gejala yang ditimbulkan dapat memberikan pengaruh pada kesehatan seseorang sehingga dapat menurunkan kualitas hidup penderita (Wulandari, 2010). Kegiatan penderita seperti bekerja dan sekolah dapat terpengaruh karena gejala yang ditimbulkan. Pada bidang ekonomi di Amerika Serikat, penyakit ini dapat menimbulkan kerugian sebesar 3 juta dolar Amerika Serikat dan tambahan 4 juta dolar Amerika Serikat akibat komplikasi yang ditimbulkan. Rinitis alergi menjadi penyakit yang dialami secara global, yang mempengaruhi 10% hingga 25% populasi (Wulandari, 2010). Prevalensi rinitis alergi di negaranegara maju ditemukan lebih tinggi, seperti di Inggris mencapai 29%, di Denmark mencapai 31,5%, dan di Amerika mencapai 33,6%.
4 Data survei pada tahun 1997 dari dokter layanan primer, terdapat 16,9 juta kunjungan pasien dengan gejala rinitis alergi. Pada tahun 2000, lebih dari 6 milyar dolar Amerika Serikat dibelanjakan untuk pengobatan kondisi ini dan pengobatan over-the-counter setidaknya menghabiskan dua kali dari jumlah tersebut (Patterson et al., 2009). Selain karakteristik gejala pada mata dan hidung pada rinitis alergi, pasien juga dapat merasakan kelelahan, nyeri kepala, pola tidur yang terganggu, dan penurunan fungsi kognitif, kecepatan psikomotor, pembelajaran bahasa, dan ingatan. Biaya tak terduga yang dapat muncul dapat ditemukan untuk pengobatan asma, infeksi saluran nafas atas, sinusitis kronis, otitis media, nasal polyposis, dan obstructive sleep apnea. Pada sebuah survey melaporkan bahwa 38% pasien dengan rinitis alergi juga memiliki penyakit asma, sedangkan 78% pasien penderita asma juga mengalami rinitis alergi. Kerugian akibat rinitis alergi ditunjukkan dengan data di mana rinitis alergi merupakan penyakit dengan prevalensi cukup tinggi dengan penderita di Amerika Serikat berjumlah sekitar 20 juta dari 40 juta dengan proposi laki-laki dan perempuan yang sama (Pratidina, 2008). Penyakit ini memiliki kecenderungan ditemukan
5 pada kelompok usia di bawah 45 tahun dengan puncak pada usia 21-30 tahun. Pada kelompok anak-anak, ditemukan bahwa satu dari lima anak menderita rinitis. Beban ekonomi yang dibelanjakan dapat mencapai hingga 1,2 milyar dolar Amerika Serikat per tahunnya untuk biaya medikasi atau pencegahan rinitis. Pada penderita rinitis, 80% pasien akan merasa lemas dan sakit kepala, 59% pasien tidak masuk kerja, dan 52% pasien mengalami penurunan produktivitas kerja. Morbiditas yang umum ditemukan pada pasien rinitis alergi meliputi asma (25-35%), konjungtivitis (50%), rinosinusitis, polip nasal, otitis media, eksemia, urtikaria (15,5%) dan pertumbuhan mulut dan gigi yang abnormal. Sedangkan pada pasien rinitis anak-anak ditemukan adanya gangguan proses belajar dan kognitif. Rinitis alergi merupakan masalah kesehatan yang penting karena prevalensi dan dampaknya terhadap kehidupan sosial, prestasi akademik, dan produktivitas kerja (Brozek et al., 2010). Selain itu, perubahan iklim yang sebagian diakibatkan oleh peningkatan konsentrasi karbondioksida pada atmosfer dan gas rumah kaca dapat menyebabkan peningkatan suhu dan kelembaban, perubahan pada jumlah,
6 distribusi, dan intensitas hujan, dan peningkatan intensitas dan frekuensi beberapa kejadian cuaca yang ekstrem (Ried dan Gamble, 2009). Perubahan seperti perubahan konsentrasi karbondioksida atmosfer ini dapat mempengaruhi produksi, distribusi, persebaran, dan konten alergen pada aeroalergen dan pertumbuhan dan distribusi organisme yang memproduksi aeoralergen tersebut seperti rumput, pohon, dan jamur. Perubahan produksi aeroalergen tersebut mampu menyebabkan perubahan prevalensi dan keparahan gejala pada individu yang memiliki penyakit alergi. Polutan udara bersama dengan aeroalergen dapat menyebabkan dan memperburuk penyakit alergi. Tiga penyakit alergi yang sangat berkaitan dengan paparan terhadap aeroalergen adalah rinitis alergi, asma, dan dermatitis atopik. Penyakit tersebut secara terpisah maupun bersamaan dapat memberikan dampak kesehatan yang besar dan beban ekonomi yang tinggi. Prevalensi asma dan rinitis alergi meningkat selama beberapa dekade terakhir (Schoenwetter, 2000). Kecenderungan ini terjadi di banyak negara (Asher et al., 2006). Perubahan faktor meterologis dapat mempengaruhi produksi aeroalergen yang akan mempengaruhi prevalensi atau keparahan alergi. Paparan terhadap
7 konsentrasi aeroalergen atau protein alergen yang lebih tinggi dapat menyebabkan respon alergi yang lebih parah. Berdasarkan dari prevalensi serta berbagai faktor resiko yang sudah disebutkan diatas, telah tampak pentingnya mengetahui hubungan antara sensitisasi alergen hirupan terhadap kejadian rinitis alergi. Selain itu belum banyak penelitian yang mengangkat tema ini baik diluar negeri, maupun di Indonesia. Dengan demikian, maka penulis ingin mengetahui hubungan antara sensitisasi alergen hirupan dengan kejadian rinitis alergi pada anak. B.Rumusan Masalah Dari latar belakang di atas timbul masalah yang dapat dirumuskan sebagai berkut : Apakah terdapat hubungan sensitisasi alergen hirupan dengan kejadian rinitis alergi pada anak. C.Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan sensitisasi alergen hirupan dengan kejadian rinitis alergi pada anak.
8 D.Keaslian Penelitian Penulis tidak menemukan penelitian yang dilakukan sebelumnya mengenai sensitisasi alergen hirupan dengan kejadian rinitis alergi pada anak. Namun, penulis menemukan beberapa penelitian yang hampir mendekati penelitian ini. Penulis menemukan setidaknya 3 penelitian yang mendekati penelitian ini yang semuanya dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Tabel penulis beserta tahun, desain penelitian, variabel bebas, variabel tergantung, cara pengukuran, dan hasil masing-masing penelitian dituliskan dalam tabel di bawah. 2 penelitian yang dilakukan oleh Diyana pada tahun 2013 dan oleh Hendrawardani pada tahun 2013 memiliki variabel bebas yang berbeda yakni sensitisasi kutu debu rumah, sedangkan penulis memiliki variabel bebas sensitisasi alergen hirupan. Penelitian yang dilakukan oleh Pratidina pada tahun 2008 memiliki variabel tergantung yang berbeda yakni frekuensi sensitisasi rinitis alergi, sedangkan penulis memiliki variabel tergantung kejadian penyakit rinitis alergi. Pengukuran yang ada pada penelitian tersebut juga berbeda dengan yang dilakukan oleh penulis mengingat
9 penelitian-penelitian tersebut memberikan batasan usia dalam hitungan tahun sedangkan penulis memberikan batasan usia berupa usia sekolah. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Pratidina pada tahun 2008 dilakukan di RSUP Dr. Sardjito dan RS JIH, berbeda dengan penelitian yang dilakukan penulis yang dilakukan di lapangan, yakni di PAUD, TK, maupun SD tertentu. Penelitian yang dilakukan oleh Diyana pada tahun 2013 dan Hendrawardani pada tahun 2013 menggunakan cara pengukuran yang sama dengan yang dilakukan penulis yakni antara lain dengan anamnesis dan uji tusuk kulit.
10 Tabel 1. Daftar penelitian penelitian sebelumnya Penelitian Desain Σ Variabel Variabel Cara pengukuran Hasil (tahun) sampel bebas tergantung Diyana, Cross Sensitis Komorbiditas Sampel usia 6-13 Terdapat hubungan antara Wahyu sectional asi kutu rinitis tahun, anamnesis sensitisasi alergen kutu debu (2013), debu alergi. dalam kuisioner, rumah dengan komorbiditas analitik rumah. dan uji tusuk rinitis alergi pada anak. observasi kulit onal Pratidina, Cross Sensitis Frekuensi Uji deskriptif, Sensitisasi tertinggi terhadap Dining sectional asi sensitisasi sampel pasien kutu rumah tangga (53,85%) (2008) alergen. rinitis rinitis alergi dengan 52,94% pasien pria dan alergi. usia 0-15 tahun 71, 43% pasien wanita. di RSUP Dr. Sardjito dan RS JIH. Hendrawarda Cross Sensitis Derajat Sampel berusia Terdapat hubungan antara ni, Dewa Ayu sectional asi kutu keparahan 6-13 tahun, sensitisasi kutu debu rumah
11 Citra debu rinitis anamnesis dalam dengan derajat keparahan (2013) rumah. alergi anak. kuisioner, tes rinitis alergi anak. uji tusuk kulit.
12 E.Manfaat Penelitian Pasien Pasien mendapatkan informasi mengenai hubungan berbagai macam alergen hirupan terhadap kejadian rinitis alergi khususnya pada pasien anak-anak. Sehingga informasi ini dapat digunakan untuk melakukan pencegahan dan penanganan terhadap rinitis alergi. Institusi Penelitian ini menyediakan informasi berupa data statistik mengenai hubungan sensitisasi alergen hirupan dengan kejadian rinitis alergi pada anak, sehingga penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya yang relevan dengan penelitian ini. Peneliti Penelitian ini memberikan informasi kepada peneliti mengenai mengenai hubungan sensitisasi alergen hirupan dengan kejadian rinitis alergi pada anak, sehingga dapat digunakan sebagai pertimbangan ketika melakukan edukasi terhadap pasien ketika telah menjadi dokter kelak dan dengan penelitian ini, peneliti mendapatkan pengalaman
13 dan pembelajaran mengenai bagaimana melakukan suatu penelitian.