BAB SATU PENDAHULUAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Sebelum Amandemen Undang-Undang Dasar 1954, MPR merupakan

Riki Yuniagara: Jenis dan Hirarki Peraturan...

BAB I PENDAHULUAN. bangsa sebagaimana penegasannya dalam penjelasan umum Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang (UU) tehadap Undang-Undang Dasar (UUD). Kewenangan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem norma hukum di Indonesia, norma-norma hukum yang

BAB I PENDAHULUAN. sebagaimana dituangkan secara eksplisit dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan.

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah normatif, yang dilakukan dengan cara meneliti bahan

Oleh: Totok Soeprijanto Widyaiswara Utama pada Pusdiklat Pengembangan Sumber Daya Manusia Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan

DAFTAR PUSTAKA. Pemilihan Presiden Secara Langsung. Jakarta: Sekertariat Jenderal MK RI. (2006). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid

Riki Yuniagara: Hak Menguji Peraturan...


BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum artinya meniscayakan

OLEH: DR. WICIPTO SETIADI, S.H., M.H. PENDAHULUAN. law as a tool of social engineering

PENGUJIAN TAP MPR (Suatu Kajian Filsafat)

BAB III KEDUDUKAN SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 34/PUU- XII/2014

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB III METODE PENELITIAN. menggali, mengelola dan merumuskan bahan-bahan hukum dalam menjawab

III. METODE PENELITIAN

terhadap penelitian normatif (penelitian yuridis normatif), maka penting sekali

BAB I PENDAHULUAN. disingkat UUD RI Tahun 1945, adalah hukum dasar tertulis (basic law)

BAB I PENDAHULUAN. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang merupakan peraturan yang

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. kesimpulan dari permasalah yang penulis teliti, yaitu:

DAFTAR PUSTAKA. Dahlan Thaib, dkk, 2013, Teori dan Hukum Konstitusi, Cetakan ke-11, Rajawali Perss, Jakarta.

BAB I PENDAHULUAN. Produk hukum, terutama undang-undang, keberadaannya dituntut. untuk dinamis terhadap kebutuhan hukum yang diperlukan oleh

PERKEMBANGAN PENGATURAN SUMBER HUKUM DAN TATA URUTAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA Oleh: RETNO SARASWATI 1

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PRODUK HUKUM KETETAPAN MPR SETELAH PERUBAHAN UUD Drs Munif Rochmawanto, SH,MH,MM. Abstrak

PROBLEMATIKA KETETAPAN MPR PASCA REFORMASI DAN SETELAH TERBITNYA UNDANG-UNDANG NO. 12 TAHUN 2011

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan

BAB I PENDAHULUAN. Pergerakan reformasi yang digalakkan oleh mahasiswa dan masyarakat

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) dalam konstitusi di. pengganti undang-undang (Perppu). Peraturan Pemerintah Pengganti

KEWENANGAN JUDICIAL REVIEW TERHADAP KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

KEDUDUKAN KETETAPAN MPR DALAM SISTEM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA Oleh: Muchamad Ali Safa at

BAB I PENDAHULUAN. cita-cita, gagasan, konsep, bahkan ideologi. Cita-cita, gagasan, konsep bahkan

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) dalam rangka menghadapi. Dikeluarkannya Perpu oleh Presiden harus memuat unsur hal ihwal

EKSISTENSI KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

III. METODE PENELITIAN. hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang

HAN Sektoral Pertemuan Kedua HAN Sektoral dan Peraturan Perundang-Undangan SKEMA PEMERINTAH

BAB III KONSEKUENSI HUKUM MASUKNYA TAP MPR RI KE DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG P3

EKSISTENSI KETETAPAN MPR RI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DI INDONESIA

Pengujian Peraturan Daerah

BAB II PENGATURAN TUGAS DAN WEWENANG DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI INDONESIA. A. Kewenangan Memberi Pertimbangan dan Fungsi Pengawasan Dewan

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432, Penjelasan umum.

Mengenal Mahkamah Agung Lebih Dalam

BAB I PENDAHULUAN. dapat diubah oleh MPR sekalipun, pada tanggal 19 Oktober 1999 untuk pertama

Oleh : Widiarso NIM: S BAB I PENDAHULUAN

Problematic MPR Decree Post Reform and After The Issuance of Law No. 12 of 2011

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian normatif (dokcrinal research) yaitu

BAB I PENDAHULUAN. dasarnya konstitusi menurut K.C. Wheare, adalah resultante atau kesepakan. sosial,ekononi, dan budaya ketika dibuat.

peraturan (norma) dan kondisi pelaksanaannya, termasuk peraturan pelaksanaan dan limitasi pembentukannya. 2. Peninjauan, yaitu kegiatan pemeriksaan

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENGUJI PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA. Oleh : DJOKO PURWANTO

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis normatif ( normative legal reserch) yaitu

DASAR PERTIMBANGAN MASUKNYA KETETAPAN MPR DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. Oleh : Masriyani, S.H., M.H. Abstract

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. Pajak menurut Pasal 1 Undang-Undang No 28 Tahun 2007 tentang

BAB I PENDAHULUAN. berwenang untuk membuat Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah.

I. PENDAHULUAN. Perubahan Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD tahun 1945) tidak hanya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional merupakan upaya untuk mewujudkan masyarakat

MEMAHAMI UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. OLEH : SRI HARININGSIH, SH.,MH

POKOK-POKOK PIKIRAN YANG MENDASARI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN *

Daftar Pustaka. Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan. Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif yang biasa dikenal

DINAMIKA KEDUDUKAN TAP MPR DI DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Reposisi Peraturan Desa dalam Kajian Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 & Undang-undang No. 12 Tahun 2011

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern sekarang ini, hampir semua negara mengklaim menjadi

Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H.

. METODE PENELITIAN. yang digunakan sebagai dasar ketentuan hukum untuk menganalisis tentang apakah

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

BAB I PENDAHULUAN. pelaku sepenuhnya dari kedaulatan rakyat Indonesia, Presiden sebagai kepala

HUKUM TERTULIS Adalah hukum yang sengaja dibuat oleh pemerintah untuk mengatur kehidupan bersama manusia dalam masyarakat

KEWEWENANGAN PRESIDEN DALAM BIDANG KEHAKIMAN SETELAH AMANDEMEN UUD 1945

Reformasi Kelembagaan MPR Pasca Amandemen UUD 1945

PENDAHULUAN. kendatipun disebut sebagai karya agung yang tidak dapat terhindar dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada Tahun 2008, Presiden Republik Indonesia dengan kewenangannya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH : RANTI SUDERLY

DAFTAR PUSTAKA. - Arifin Hoesein, Zainal, Kekuasaaan Kehakiman Di Indonesia, Yogyakarta:

BAB I PENDAHULUAN. zoon politicon, yakni sebagai makhluk yang pada dasarnya. selalu mempunyai keinginan untuk berkumpul dengan manusia-manusia lainnya

BAB I PENDAHULUAN. perdata maupun putusan yang bersifat erga omnes seperti putusan Mahkamah

SKRIPSI. Diajukan Guna Memenuhi Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : Nama : Adri Suwirman.

BAB IV AKIBAT HUKUM TERHADAP HASIL PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA YANG TELAH MELALUI PROSES EXECUTIVE REVIEW

BAB I PENDAHULUAN. peran penting dalam negara hukum. Karena dalam perspektif fungsi maupun

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. struktur organisasi negara, termasuk bentuk-bentuk dan fungsi-fungsi lembaga

Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan prasyarat penting dalam negara. demokrasi. Dalam kajian ilmu politik, sistem Pemilihan Umum diartikan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan olehnya dapat di pertanggung jawabkan dihadapan hukum.

BAB I PENDAHULUAN. Konstitusi yang berbunyi Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan

BAB I PENDAHULUAN. bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, sejalan dengan ketentuan

BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya buku Dei delitti e delle pene/on crimes and Punishment (Pidana

Kewenangan pembatalan peraturan daerah

MEMBANGUN KUALITAS PRODUK LEGISLASI NASIONAL DAN DAERAH * ) Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H, M.Si**)

BAB I PENDAHULUAN. The Constitution is made for men, and not men for the Constitution. (Soekarno, dalam pidato tanggal 17 Agustus 1959)

BAB IV PENUTUP. sebelumnya, penulis menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. yang pada masa ini hampir secara global dianut adalah asas demokrasi. Pada

PANCASILA DALAM KONTEKS KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Hakim adalah aktor utama penegakan hukum (law enforcement) di

CHECK AND BALANCES ANTAR LEMBAGA NEGARA DI DALAM SISTEM POLITIK INDONESIA. Montisa Mariana

Transkripsi:

1 BAB SATU PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam negara hukum, pembentukan undang-undang merupakan suatu bagian penting yang mendapat perhatian serius. Undang-undang dalam negara hukum berfungsi sebagai hukum tertulis yang mempunyai kekuatan mengikat setiap warga dan seluruh komponen kehidupan bernegara. Kebijakan-kebijakan yang dilahirkan oleh suatu negara hukum harus didasarkan pada suatu peraturan perundangundangan. 1 Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3) menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Implikasi dari ayat tersebut bahwa setiap kebijakankebijakan yang diputuskan harus mempunyai landasan hukum yang kuat. 2 Sehingga setiap pemberlakuan peraturan perundang-undangan merujuk kepada peraturan perundang-undangan yang berada di atasnya dan tersusun secara hirarki. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) merupakan salah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia. Pemberlakuannya harus merujuk kepada peraturan perundang-undangan yang ada di atasnya yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Kedudukan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia berdasarkan TAP MPRS No.XX/MPRS/1966 1 Muhammad Siddiq Armia, Studi Epistemologi Perundang-Undangan, (Jakarta: CV. Teratai Publisher, 2011), hlm. 13. 2 Ibid.

2 dalam lampiran II Tentang Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia berdasarkan UUD 1945 sebagai berikut; 1. Undang-Undang Dasar 1945 2. Ketetapan MPR 3. Undang-undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang 4. Peraturan Pemerintah 5. Keputusan Presiden 6. Peraturan- peraturan pelaksana lainnya seperti: a. Peraturan Menteri b. Instruksi Menteri c. Dan lain-lain-nya. 3 Demikian pula halnya setelah reformasi dan setelah amandemen Undang- Undang Dasar 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tetap ditempatkan sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang kedudukannya di bawah UUD 1945, walaupun ada perubahan atas jenis peraturan perundang-undangan. Dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No III/MPR/2000 yang menyebutkan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan sebagai berikut; 1. UUD 1945 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (S) 3. Undang-Undang (UU) 4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) 5. Peraturan Pemerintah (PP) 3 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 2008), hlm. 215.

3 6. Peraturan Presiden (Perpres) 7. Peraturan Daerah (Perda). 4 Dari kedua Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tersebut terlihat, bahwa jenis dan tata urutan peraturan perundang-undangan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tetap dipandang sebagai suatu peraturan perundangundangan yang penting untuk diberlakukan. Dalam kaitan ini keberadaan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat setingkat lebih rendah dari UUD 1945, pada dasarnnya bisa dipahami dengan mengedepankan fungsi-fungsi yang dimiliki Majelis Permusyawaratan Rakyat. 5 Dalam konteksnya dengan sistem norma hukum Indonesia tersebut, kedudukan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat berada di bawah UUD 1945, namun Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat selain masih bersifat umum dan belum dilekatkan oleh sanksi pidana maupun sanksi pemaksa. Tetapi, keberadaan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dihilangkan dari jenis dan tata urutan peraturan perundang-undangan di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dalam Pasal 7 ayat (1) dikemukakan bahwa; jenis dan hirarki peraturan perundangundangan adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 4 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hlm. 51. 5 Fungsi Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam naskah asli UUD 1945 Pasal 3 menyebutkan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang untuk menetapkan UUD, menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), dan memilih presiden dan wakil presiden.

4 c. Peraturan Pemerintah d. Peraturan Presiden e. Peraturan Daerah Dari sudut pandang hukum, kebijakan dari pembentuk Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentulah suatu kebijakan yang bertentangan dengan prinsipprinsip norma hukum yang berjenjang, artinya bertentangan dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. III/MPR/2000 yang berkedudukan lebih tinggi dari undang-undang tersebut. Semenjak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, yaitu tidak dimasukkannya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai salah satu jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan tersebut tidak banyak diperdebatkan, meskipun sangat penting bagi ketertiban hukum di Indonesia. Padahal, tata urutan (hirarki) norma hukum sangat berpengaruh pada kehidupan hukum suatu negara, apalagi suatu negara yang menganggap dirinya sebagai negara hukum. Urutan norma hukum dari negara manapun juga termasuk Indonesia selalu berlapis-lapis atau berjenjang secara berurutan. Dalam hal ini, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tidak mempunyai kejelasan apa yang menjadi pertimbangan dari pembentuk undang-undang tersebut sehingga tidak dimasukkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan dalam tata urutan peraturan perundang-undangan. Kekeliruan mengeluarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dari jenis dan tata susunan peraturan perundang-undangan sejak diundangkannya

5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 itu akhirnya telah disadari oleh pembentuk undang-undang. Hal ini ditandai dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 pada tanggal 12 Agustus 2011 lalu yang dimaksukannya kembali Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan. Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 banyak terdapat perubahan atau penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, salah satunya penambahan urutan hierarki peraturan perundang-undangan yaitu adanya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang tercantum dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Jenis Hirarki Peraturan Perundang-undangan. Di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 juga disebutkan dalam konsideran adanya kekurangan pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, khususnya berkaitan dengan dikeluarkannya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai salah satu jenis dari susunan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menyebutkan tata urutan peraturan perundang-undangan sebagai berikut: 1. UUD 1945 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat 3. Undang-Undang/peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) 4. Peraturan Pemerintah 5. Peraturan Presiden 6. Peraturan Daerah Propinsi

6 7. Peraturan Daerah Kabupaten /Kota. Dalam undang-undang tersebut ditegaskan pula, bahwa kekuatan hukum peraturan perundang-undangan sesuai dengan hirarkinya. Artinya ketentuan ini memulihkan kembali keberadaan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai peraturan perundang-undangan yang kekuatan hukumnya lebih kuat dari undang-undang. Dari uraian di atas muncul permasalah baru, ketika ada Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang bertentangan dengan UUD 1945 atau bertentangan dengan masyarakat umum, apa upaya hukum yang harus dilakukan ketika hal itu terjadi, kemanakah harus diuji kelayakannya, karena mengingat tidak ada diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Sehingga, apabila Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat bertentangan dengan UUD 1945 atau masyarakat umum, kemanakah harus mengajukan keberatannya sesuai dengan tatanan hukum perundang-undangan di Indonesia. Dalam hal ini, terjadinya kekosongan hukum (recht vacum) pengujian terhadap Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang merupakan salah satu jenis produk perundang-undangan di Indonesia. Sehingga perlu diteliti dan dikaji lebih lanjut mengenai hal ini, dikarena kekosongan hukum akan mengganggu sistem hukum di Indonesia. Jika merujuk kepada hukum ketatanegaraan di Indonesia, lembaga yang berwenang menguji peraturan perundang-undangan di Indonesia menurut Pasal 24 huruf a dan Pasal 24 huruf c UUD 1945 adalah Mahkamah Agung (MA) berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-

7 undang dan Mahkamah Konstitusi (MK) yang berwenang menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Berarti Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak mungkin diuji oleh Mahkamah Konstitusi karena pada pasal tersebut tidak disebutkan kewenangannya menguji Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat melainkan hanya menguji undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar saja. Jadi intinya, Mahkamah Konstitusi tidak berhak menguji Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat karena tidak diatur dalam Undang-Undang Dasar atau peraturan perundangundangan lainnya. Jika dilihat secara historis, pada masa orde lama dan orde baru (sebelum amandemen UUD 1945) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat diuji oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atau lembaga pembuat ketetapan itu sendiri yaitu dengan cara mengeluarkan Ketetapan yang baru untuk mencabut Ketetapan yang lama. Dalam hal ini, metode pengujian yang digunakan yaitu legeslative review (pengujian lembaga legeslatif). Apabila legeslative review diaplikasikan terhadap Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat pada saat sekarang ini, maka akan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar dikarenakan menurut Undang-Undang Dasar setelah amandemen Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak dapat lagi mengeluarkan produk hukum ketetapan yang bersifat mengatur (regeling) dan hanya bisa mengeluarkan ketetapan yang bersifat penetapan (beschikking). Apalagi Majelis Permusyawaratan Rakyat sekarang bukan lembaga tertinggi lagi melainkan lembaga tinggi sama kedudukannya dengan lembaga tinggi lainnya

8 (Presiden, DPR, MK) sehingga Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak semena-mena mengeluarkan atau mencabut Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Jadi, Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak mempunyai kewenangan menguji Ketetapannya sendiri. Berarti, status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sampai sekarang tidak jelas, dikarenakan tidak ada landasan hukum yang menjelaskannya untuk dijadikan pedoman dalam proses pengujiannya. 1.2. Rumusan Masalah Dalam penulisan proposal skripsi ini yang menjadi pokok permasalahan adalah : 1. Bagaimanakah status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam sistem perundang-undangan di Indonesia? 2. Bagaimanakah pendapat ahli hukum tentang judicial review terhadap Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat 3. Lembaga manakah yang mempunyai kewenangan judicial review terhadap Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam sistem perundang-undangan di Indonesia.

9 2. Untuk mengetahui pendapat ahli hukum tentang judicial review terhadap Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat 3. Untuk mengetahui lembaga yang berwenang melakukan judicial review terhadap Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. 1.4. Penjelasan Istilah Untuk menghindari kesalahpahaman pembaca dalam memahami judul skripsi ini, penulis menjelaskan beberapa istilah yang terdapat dalam judul skripsi ini diantaranya adalah: 1. Judicial Review Dalam kamus besar Bahasa Inggris, yudicial diartikan yang berhak dengan pengadilan dan review diartikan tinjauan 6.Judicial review (hak uji materil) merupakan kewenangan lembaga peradilan untuk menguji kesahihan dan daya laku produk-produk hukum yang dihasilkan oleh eksekutif, legislatif maupun yudikatif di hadapan konstitusi yang berlaku. 7 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) adalah bentuk putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang berisi hal-hal yang bersifat penetapan (beschikking). Pada masa sebelum Perubahan (Amandement) UUD 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat merupakan peraturan perundangan yang secara Gramedia, 2005). 6 John M, Echols dan Hasan Shadly, Kamus Besar Bahasa Inggris, cet XXVI, (Jakarta: PT 7 Dian Rositawati, Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara X Tahun 2005, Materi: Mekanisme Judicial Review, (Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 2005) hlm. 1.

10 hirarki berada di bawah UUD 1945 dan di atas undang-undang yang besifat mengatur (regeling). Pada masa awal reformasi, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak lagi termasuk urutan hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia dan hanya bersifat penetapan saja. Namun pada tahun 2011, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat kembali menjadi peraturan perundangan yang secara hierarki berada di bawah UUD 1945. Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat sempat menyatakan bahwa kembali berlakunya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak serta-merta mengembalikan posisi Majelis Permusyawaratan Rakyat seperti kondisi sebelumnya, dikarenakan pada era reformasi pembuatan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat baru tidak akan seperti masa yang sebelumnya, mengingat peran pembuatan undang-undang (legislatif) pada era reformasi diserahkan sepenuhnya kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dimaksud di sini menurut Penjelasan Umum (PU) Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (TAP MPRS) tahun 1960 sampai dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) tahun 2002 yang masih berlaku untuk saat ini. 1.5. Kajian Pustaka Permasalahan yang berkaitan dengan judicial review (hak menguji undangundang) sudah banyak dikaji sebelumnya, akan tetapi kajian tentang kewenangan judicial review terhadap Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat belum pernah

11 dikaji dalam bentuk skripsi. Adapun kajian yang berhubungan dengan skripsi ini adalah: Skripsi yang ditulis oleh Delvi Suganda mengenai Mekanisme Judicial Review terhadap Qanun Aceh. 8 Kesimpulan dari skripsi ini menjelaskan tentang posisi atau kedudukan Qanun Aceh dengan Peraturan Daerah (perda) setingkat atau sederajat dalam hirarki peraturan perundang-undangan. Maka, mekanisme judicial review nya kepada Mahkamah Agung karena kewenangannya dalam menguji segala peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang telah diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Penelitian lain adalah skripsi yang ditulis oleh Suhardi yang berjudul Kewenangan Menteri Dalam Negeri terhadap Perda. 9 Di dalam skripsi ini menjelaskan tentang kewenangan Menteri Dalam Negeri berhak membatalkan peraturan daerah melalui exekutive review sehingga fungsi pengawasan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah dapat terjalin dengan baik. Sebelum peraturan daerah disahkan atau diundangkan, Menteri Dalam Negeri berhak mengkaji dan menguji kelayakan peraturan daerah yang akan diundangkan oleh pemerintah daerah. 8 Delvi Suganda, Mekanisme Judicial Review terhadap Qanun Aceh, (Skripsi yang tidak dipublikasi). Fakultas Syariah, IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh, 2008. 9 Suhardi, Kewenangan Menteri Dalam Negeri terhadap Perda, (Skripsi yang tidak dipublikasi). Fakultas Syariah, IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh, 2010.

12 1.6. Metode Penelitian Setiap penelitian memerlukan metode dan teknik pengumpulan data tertentu sesuai dengan masalah yang diteliti. Penelitian adalah sarana yang digunakan oleh manusia untuk memperkuat, membina serta mengembangkan ilmu pengetahuan demi kepentingan masyarakat luas. 10 Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif (hukum normatif) adalah metode penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. 11 Metode berpikir yang digunakan adalah metode berpikir deduktif yaitu cara berpikir dalam penarikan kesimpulan yang ditarik dari sesuatu yang sifatnya umum yang sudah dibuktikan kebenarannya dan kesimpulan itu ditujukan untuk sesuatu yang sifatnya khusus. 12 Dalam kaitannya dengan penelitian normatif di sini akan digunakan beberapa pendekatan, yaitu : 13 1). Pendekatan perundang-undangan (statute approach) Pendekatan perundang-undangan (statute approach) adalah suatu pendekatan yang dilakukan terhadap berbagai aturan hukum yang berkaitan dengan judicial review terhadap Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, seperti: Undang- 10 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 3. 11 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), (Jakarta: Rajawali Pers, 2001), hlm. 13-14. 12 Sedarmayanti dan Syarifudin Hidayat, Metodologi Penelitian, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2002), hlm. 23. 13 Johnny Ibrahim, Teori, Metode dan Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publising, 2007), hlm. 300.

13 Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan peraturan perundang-undangan lain yang berhubungan dengan objek penelitian. 2). Pendekatan konsep (conceptual approach) Pendekatan konsep (conceptual approach) digunakan untuk memahami konsep-konsep tentang : kewenangan judicial review terhadap Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dengan didapatkan konsep yang jelas maka diharapkan penormaan dalam aturan hukum kedepan tidak lagi terjadi pemahaman yang kabur dan bersifat ambigu. 14 1.6.1. Jenis penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library reasearch) yaitu penelitian dengan cara mengkaji dan menelaah sumber-sumber tertulis seperti bukubuku, kitab undang-undang, artikel dan lain sebagainya yang berkaitan dengan kewenangan judicial review terhadap Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, sehingga ditemukan data-data yang konkrit dan akurat. 1.6.2. Sumber data Sumber data dalam penelitian ini adalah subyek dari mana data itu diperoleh. 15 Karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research), maka semua kegiatan penelitian ini dipusatkan pada kajian terhadap data- 14 Ibid. 15 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 1988), hlm. 144.

14 data dan buku-buku yang berkaitan dengan tema. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan dua sumber data, yaitu: a. Sumber data utama (primer) Yaitu sumber data berupa peraturan perundang-undang yang berhubungan dengan penelitian yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan peraturan perundang-undangan lainnya. b. Sumber data pendukung (sekunder) Adapun sumber data pendukung diperoleh dengan membaca dan menelaah buku-buku yang relevan dengan permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini. Contohnya, buku-buku, pandangan para pakar hukum dan konsep-konsep yang dipaparkan, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar. 16 Adapun buku-bukunya yaitu buku-buku yang secara khusus membahas tentang Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, judicial review dan juga data yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang dikaji yang dapat membantu penulis melakukan penelitian, antara lain: buku karangan Jimly Asshiddiqie judulnya Pokok Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi dan Perihal Undang-Undang, buku karangan Muhammad Siddiq Armia judulnya Studi Epistemologi Perundang- Undangan, buku karangan Mohd. Mahfud MD judulnya Konstitusi dan Hukum Dalam Kontroversi Isu dan lain sebagainya. 2005), hlm. 141. 16 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,

15 Adapun teknik penulisan yang digunakan dalam penulisan ini penulis mengacu kepada buku Panduan Penulisan Skripsi dan Laporan Akhir Studi Mahasiswa penerbit Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh Tahun 2010. 1.6.3. Analisa data Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisis untuk memecahkan masalah yang terjadi berdasarkan gambaran yang dilihat dan didengar serta hasil penelitian melalui teori berupa data-data dan buku-buku yang berkaitan dengan topik pembahasan sehingga diberikan penggambaran mengenai kewenangan judicial review terhadap Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan analisisnya diarahkan pada pendekatan peraturan perundang-undangan. 1.7. Sistematika Pembahasan Dalam penelitian ini disusun sebuah sistematika pembahasan kepada empat bab, supaya dengan mudah memperoleh gambaran secara global dan jelas, maka secara umum ditulis sebagai berikut: Bab satu, pendahuluan, terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, penjelasan istilah, kajian pustaka, metode penelitian, dan sistematika pembahasan. Bab dua, membahas tentang gambaran umum tentang tinjauan teoritis terhadap Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, yang meliputi: pengertian dan dasar hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, bentuk-bentuk Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, kategori-kategori Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, fungsi dan tujuan pemberlakuan Ketetapan Majelis

16 Permusyawaratan Rakyat, kedudukan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Bab tiga, menjelaskan tentang judicial review terhadap ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat menurut sistem hukum di Indonesia, yaitu sistem dan mekanisme judicial review peraturan hukum di indonesia, sejarah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam tata hukum negara Indonesia, pendapat ahli hukum tentang judicial review terhadap ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, studi kritis terhadap wewenang judicial review Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Bab empat, merupakan bab penutup yang di dalamnya hanya berisikan kesimpulan dan saran- saran.