BAB I PENDAHULUAN. hukum dan olehnya dapat di pertanggung jawabkan dihadapan hukum.

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah negara hukum sebagaimana termuat dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disebut UUD RI 1945). Secara sederhana terhadap negara hukum adalah negara dalam menjalankan pemerintahannya harus berdasarkan atas hukum dan olehnya dapat di pertanggung jawabkan dihadapan hukum. Salah satu ciri dari negara hukum adalah adanya jaminan terhadap perlindungan Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut HAM) yang diberikan oleh negara. Menurut John Locke dalam Masyhur Effendi terhadap HAM menyatakan : Hak asasi manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. Oleh karenanya, tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya. Hak ini sifatnya sangat mendasar (fundamental) bagi hidup dan kehidupan manusia dan merupakan hak kodrati yang tidak bisa terlepas dari dan dalam kehidupan manusia. 1 Sedangkan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa : Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-nya yang wajib dihormati, dijunjung 1 Masyhur Effendi Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan Internasional. Jakarta. GHalia Indonesia. Hal, 3. 1

2 2 tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Adapun dalam kajian yuridis UUD RI 1945 HAM termuat dalam BAB XA pasal 28 A hinggga 28 J. Pengaturan terhadap HAM tidak hanya sebatas dituangkan dalam UUD RI 1945 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia saja, bahkan hampir semua peraturan perundangundangan dimaksukadkan dalam kerangka perlindungan terhadap HAM. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya di sebut KUHAP) merupakan produk peraturan perundangundangan sebagai pedoman dalam proses beracara hukum pidana materil, yang dalam pembentukannya tidak terlepas dari kerangka perlindungan HAM. Melalui KUHAP ini diharapkan sebagai koreksi peraturan perundangundangan yang dalam hal ini dimaksudkan kerangka perlindungan HAM setiap warga negara termasuk hak dari pada seorang terpidana. Namun dalam perjalanannya KUHAP sebagai salah satu instrumen perlindungan HAM sebagaiamna diamanatkan oleh UUD RI 1945 dinilai belum sepenuhnya mengakomodir HAM. Hal ini tercermin dalam upaya hukum peninjauan kembali, yang mana merupakan hak dari pada seorang terpidana. Tinjauan yuridis Peninjauan Kembali dalam pasal 263 ayat 1 KUHAP menegaskan : Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Senada dengan penegasan Peninjauan Kembali dalam KUHAP Menurut Soenarto Soerodibroto, Peninjauan Kembali (Herziening) adalah Peninjauan

3 3 Kembali terhadap keputusan-keputusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum pasti yang berisikan pemidanaan, dimana tidak dapat diterapkan terhadap keputusan dimana tertuduh telah dibebaskan (vrijgesproken). 2 Lebih lanjut Menurut Irdan Dahlan dan Andi Hamzah, Peninjauan Kembali, yaitu hak terpidana untuk meminta memperbaiki keputusan pengadilan yang telah menjadi tetap, sebagai akibat kekeliruan atau kelalaian hakim dalam menjatuhkan putusannya. 3 Pengajuan upaya hukum Peninjauan Kembali tidak dapat dilakukan secara bebas dan harus berdasar atas sebab-sebab pengajuan PK, oleh karenanya terdapat syarat-syarat yang telah ditentukan dalam KUHAP. Terhadap syarat dapat diajukannya upaya hukum Peninjauan Kembali pasal 363 ayat (2) KUHAP menegaskan : a. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan b. apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhiiafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. Selanjutnya terhadap pengajuan upaya hukum Peninjauan Kembali dalam KUHAP menentukan pembatasan pengajuan Peninjauan Kembali. 2 Satjipto Raharjo.2009.Penegakan Hukum.Genta Publishing.Yogyakarta.Hal Ibid

4 4 Dalam pasal 268 ayat (3) KUHAP menegaskan : Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja. Sebagaimana dalam pengaturan pasal 263 ayat (1) KUHAP dapat dipahami bahwa dalam pembentukannya telah mengakomodir perlindungan HAM. Pengakomodiran HAM ini tercermin dalam eksistensi upaya hukum Peninjauan Kembali sebagai hak dari pada seorang terpidana membawa implikasi batalnya putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap jika terhadap Peninjauan Kembali telah terbukti syarat-syarat pengajuan Peninjauan Kembali sebagaimana pasal 263 ayat (2) KUHAP. Bukti baru (Novum) merupakan salah satu alasan dapat diajukannya upaya hukum Peninjauan Kembali sebagaimana dalam pasal 263 ayat (2) KUHAP. Keberadaan novum sendiri sangatlah urgen dalam memberikan faktafakta hukum baru. Novum sendiri dalam konteks terkini dapat ditemukan kapan saja mengingat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (selanjutnya disebut IPTEK) sangat mempengaruhi eksistensi dari pada novum tersebut. Namun disisi lain eksistensi novum sendiri bukanlah menjadi sebuah hal atau fakta hukum yang urgen kembali manakala terhadapnya muncul ataupun ditemukan setelah adanya putusan Peninjauan Kembali yang telah tertutup pengajuannya dengan ketentuan pasal 268 ayat (3) KUHAP yang mensyaratkan terhadap pengajuan Peninjauan Kembali hanya sekali. Disini lah titik tekan terhadap permasalahan tidak terakomodirnya HAM sebagai hak konstitusional warga negara dalam wujud keadilan seorang terpidana yang telah diberikan oleh KUHAP.

5 5 Sehingga dapat disimpulkan terhadap pasal 268 ayat (3) KUHAP telah membatasi HAM seorang terpidana dalam wujut pemenuhan keadilan. Adapun terhadap pembatasan pengajuan Peninjauan Kembali hanya sekali dinilai telah melanggar HAM sebagai hak konstitusional warga negara yang telah diberikan oleh UUD RI 1945 yang dalam hal ini dapat dikatakan inkonstitusional. Disisi lain dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan terdapat Hierarki peraturan perundang-undangan yang yang menegaskan : Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Selanjutnya ketentuan pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menegaskan Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Mengkaji ketentuan dalam pasal 7 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, maka dapat disimpulkan bahwa UUD RI 1945 dalam posisi tertinggi dalam hierarki perundang-undangan dan oleh karenanya peraturan perundangundangan dibawahnya tidak dapat bertentangan terhadapnya termasuk ketentuan pasal 268 ayat (3) KUHAP.

6 6 Jadi dalam hal ini selain dari pada pasal 268 ayat (3) KUHAP dinilai inkonstitusional, dapat disimplukan telah bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi diatasnya yang dalam hal ini terhadap UUD RI 1945 atau dalam kajian sebuah asas dikenal dengan asas lex superior derograt lex inferior. Atas dasar ini maka dalam kajian Hukum Tata Negara dapat dimohonkan pengujian peraturan perundang-undangan (judicial review). Berdasarkan pada eksistensi novum dapat ditemukan kapan saja dan terdapat pertentangan peraturan KUHAP terhadap UUD RI 1945 maka hal ini memberikan peluang untuk dapat diajukan judicial review yang dapat berimplikasi pada putusan yang berbeda dengan sebelumnya. Sehingga Antasari Azhar mengajukan judicial review Pasal 268 ayat 3 KUHAP terhadap UUD RI 1945 pada Mahkamah Kostitusi, dengan berdasarkan 1. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. 2. Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 juncto Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan, yang pada intinya menyebutkan secara hierarkis

7 7 kedudukan UUD RI 1945 adalah lebih tinggi dari Undang-Undang. Oleh karena itu, setiap ketentuan Undang-Undang tidak boleh bertentangan dengan UUD RI Jika terdapat ketentuan dalam Undang- Undang yang bertentangan dengan UUD RI 1945, maka ketentuan tersebut dapat dimohonkan untuk diuji melalui mekanisme pengujian Undang- Undang terhadap UUD RI Pada ahirnya dari judicial review yang diajukan Antasari Azhar melahirkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013. Adapun dalam putusan ini Mahkamah Konstitusi menimbang bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai kewengan dalam memeriksa,mengadili, dan memutus perkara berdasarkan ketentuan pasal 24C ayat (1) UUD RI 1945 yang menyatakan : Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar,memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentanghasil pemilihan umum. Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan : Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Selanjutnya Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 juncto Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan

8 8 Perundang-Undangan, yang pada intinya menyebutkan secara hierarki kedudukan UUD RI 1945 adalah lebih tinggi dari Undang-Undang. Oleh karena itu, setiap ketentuan Undang-Undang tidak boleh bertentangan dengan UUD RI 1945, jika terdapat ketentuan dalam Undang-Undang yang bertentangan dengan UUD 1945, maka ketentuan tersebut dapat dimohonkan untuk diuji melalui mekanisme pengujian Undang-Undang. Selain dari pada itu Mahkamah Konstitusi menilai pemohon dalam pengajuan judicial review mempunyai kedudukan hukum (legal standing) dan permohonan pemohon dinilai beralasan menurut hukum. Sehingga Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya menyatakan : 1. Mengabulkan permohonan para Pemohon: 1.1 Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 1.2 Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;

9 9 Berdasarkan putusan di atas maka dapat dipahami bahwa Mahkamah Konstitusi pun juga menilai pasal 268 ayat (3) KUHAP inkonstitusional dan bertentangan dengan UUD RI 1945, serta mengesampingkan kepastian hukum dalam putusannya. Sedangkan seharusnya dalam sebuah hukum baik keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum harus mendapatkan perhatian yang proporsional dan seimbang di ketiganya sebagai tujuan hukum. Selain dari pada itu dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi ini sudah pasti membawa implikasi atau akibat hukum tersendiri. Pengetian implikasi atau akibat hukum menurut Achmad ali adalah suatu akibat yang ditimbulkan oleh hukum, terhadap suatu perbuatan yang dilakukan oleh subjek hukum. Maka implikasi atau akibat hukum putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dapat menentukan perilaku subjek hukum yang dimana dalam hal ini terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dalam perkara pidana lebih dari sekali manakala terdapat novum, dan juga dapat dimaknai bertentangan dengan asas cepat, sederhana, biaya ringan dalam sebuah peradilan, serta tidak adanya kepastian hukum yang berujung pada keadilan yang tidak pasti. Berdasarkan uraian latar belakang di atas menarik peneliti membahas IMPLIKASI HUKUM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP PEMBATALAN PENINJAUAN KEMBALI DI TINJAU DARI TUJUAN HUKUM

10 10 B. Rumusan Masalah 1. Apa Implikasi Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU- XI/2013 Terhadap Upaya Hukum Peninjauan Kembali? 2. Bagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 di Tinjau Dari Tujuan Hukum? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk proses menemukan jawaban rumusan masalah implikasi hukum putusan Mahkamah Konstitusi Nomor34/PUU-XI/2013 terhadap upaya hukum Peninjauan Kembali. 2. Untuk proses menemukan jawaban rumusan masalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor34/PUU-XI/2013 di Tinjau Dari Tujuan Hukum. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Peneliti Penelian ini diharapkan dapat menambah wawasan peneliti dan mengembangkan cakrawala berfikir peneliti dalam ilmu hukum mengenai Hukum Tata Negara terkait Implikasi Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Pembatalan Peninjauan Kembali Di Tinjau Dari Tujuan Hukum dalam kontek uji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar

11 11 Republik Indonesia 1945 (judicil review) dan dapat dijadikan syarat memperoleh gelar sarjana hukum strata satu. 2. Bagi masyarakat Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi masyarakat dalam sebuah pengetahuan Hukum Tata Negara terkait Implikasi Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Pembatalan Peninjauan Kembali Di Tinjau Dari Tujuan Hukum dalam kontek uji Undang-Undang terhadap Undang- Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (judicil review), untuk memperkaya referensi dan literatur kepustakaan, serta hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan terhadap penelitian sejenis tahap berikutnya. 3. Institusi Terkait Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi para pembuat hukum dan pengambil putusan dalam putusannya, khususnya putusan Mahkamah Konstitusi mendatang. E. Kegunaan Penelitian Penulisan skripsi ini diharapkan mampu menambah ilmu pengetahuan serta referensi pembaca di bidang Hukum Tata Negara khususnya Implikasi Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Pembatalan Peninjauan Kembali Di Tinjau Dari Tujuan Hukum dalam kontek uji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (judicil review).

12 12 F. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif. Adapun dalam penelitian yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan berdasarkan bahan hukum utama dengan cara menelaah teori-teori, konsep-konsep, asasasas hukum, serta peraturan perundang-undangan yang dalam hal ini terkait Putusan Mahkamah Konstitusi, Uji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (judicial review), Tujuan Hukum,, dan Upaya Hukum Peninjauan Kembali. 1. Jenis Bahan Hukum Dalam penelitian ini peneliti menggunakan beberapa bahan hukum yaitu : a. Bahan Primer Bahan primer dalam penelitian hukum ini Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 Tentang Pembatalan Pasal 268 ayat (3) Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. b. Bahan Sekunder Bahan sekunder dalam penelitian hukum ini buku, jurnal, penelitian terdahulu yang relevan terkait teori-teori, konsep-konsep, asas-asas hukum serta peraturan perundang-undangan yang dalam hal ini terkait Putusan Mahkamah Konstitusi, Uji Undang-Undang terhadap Undang- Undang Dasar 1945 (judicial review), Tujuan Hukum, dan Upaya Hukum Peninjauan Kembali.

13 13 c. Bahan Tersier Bahan hukum tersier dalam penelitian ini berupa kamus, ensiklopedia, dan lain-lain sebagai penunjang dalam penelitian 2. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Dalam teknik pengumpulan bahan hukum ini menggunakan studi kepustakaan dan internet guna mendapatkan bahan-bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang mendukung dalam penelitian ini, kemudian di analisis dan sistemasikan sesuai dengan formulasi pembahasan untuk mampu menjawab pokok masalah. 3. Analisa Bahan Hukum Bahan hukum yang terkumpul akan dianalisis yang berhubungan dengan masalah dalam penelitian dan untuk mendapatkan kesimpulan yang relavan. Peneliti menggunakan penafsiran hukum antara lain penafsiran gramatikal, historis, sistematis, teleologis, sosiologis, dan teoritis. G. Sistematika Penulisan Untuk menjadikan pembahasan dalam penulisan ini menjadi terarah dan lebih sistematis, perlu kiranya sistematika penulisan. Sistematika penulisan penelitian skripsi ini terdiri dari 4 (empat) bab. Adapun susunannya adalah sebagai berikut :

14 14 BAB I PENDAHULUAN Dalam bab pendahuluan ini akan disajikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian, sitematika penulisan. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan disajikan konsep-konsep Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahakamah Konstitusi, uji peraturan perundang-undangan (judicial review),, dan teori tujuan hukum sebagai sumber didalam berfikir serta menganalisis permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini dan mendapatkan analisis hukum yang tepat terhadap penelitian. BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bab ini akan disajikan tentang bahan hukum yang telah dikumpulkan sebagai hasil yang telah dicapai dari suatu penelitian untuk dijadikan sumber utama dalam mengkaji dan melakukan pembahasan. Dalam pembahasan penulisan skripsi ini akan menjawab permasalahan dalam rumusan masalah yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya dengan memaparkan bahan hukum hasil penelitian dan menganalisa permasalahan yang peneliti angkat. BAB IV PENUTUP Pada bab ini, berisikan tentang kesimpulan dan saran dari seluruh uraian yang telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya.