PENGUJIAN TAP MPR (Suatu Kajian Filsafat)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGUJIAN TAP MPR (Suatu Kajian Filsafat)"

Transkripsi

1 PENGUJIAN TAP MPR (Suatu Kajian Filsafat) Riki Yuniagara, S.HI

2 PENGUJIAN TAP MPR (Suatu Kajian Filsafat) Riki Yuniagara, rikiyuniagara.wordpress.com Banda Aceh, 2015 P a g e 1

3 DAFTAR ISI BAB I : PENDAHULUAN... 3 BAB II : TAP MPR DALAM HIRARKI PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN INDONESIA A. Pengertian TAP MPR B. Kedudukan Tap MPR dalam Hirarki Peraturan Perundang-Undangan BAB III : JUDICIAL REVIEW PERATURAN HUKUM DI INDONESIA A. Hak Menguji Perundang-Undangan di Indonesia B. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Praktek Judicial Review BAB IV : PENGUJIAN TAP MPR DALAM KAJIAN FILSAFAT A. Norma Hukum B. Pengujian Norma Hukum BAB V : PENUTUP DAFTAR PUSTAKA P a g e 2

4 BAB I PENDAHULUAN Dalam negara hukum, pembentukan undangundang merupakan suatu bagian penting yang mendapat perhatian serius. Undang-undang dalam negara hukum berfungsi sebagai hukum tertulis yang mempunyai kekuatan mengikat setiap warga dan seluruh komponen kehidupan bernegara. Kebijakan-kebijakan yang dilahirkan oleh suatu negara hukum harus didasarkan pada suatu peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3) menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Implikasi dari ayat tersebut bahwa setiap kebijakan-kebijakan P a g e 3

5 yang diputuskan harus mempunyai landasan hukum yang kuat. 1 Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3) menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Implikasi dari ayat tersebut bahwa setiap kebijakan-kebijakan yang diputuskan harus mempunyai landasan hukum yang kuat. 2 Sehingga setiap pemberlakuan peraturan perundangundangan merujuk kepada peraturan perundangundangan yang berada di atasnya dan tersusun secara hirarki. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) merupakan salah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia. Pemberlakuannya harus merujuk kepada peraturan 1 Muhammad Siddiq Armia, Studi Epistemologi Perundang-Undangan, (Jakarta: Teratai Publisher, 2011), hlm Ibid. P a g e 4

6 perundang-undangan yang ada di atasnya yaitu Undang-Undang Dasar Dalam hal ini, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menyebutkan tata urutan peraturan perundang-undangan sebagai berikut: 1. UUD Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat 3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) 4. Peraturan Pemerintah 5. Peraturan Presiden 6. Peraturan Daerah Propinsi 7. Peraturan Daerah Kabupaten /Kota. Dalam undang-undang tersebut ditegaskan pula, bahwa kekuatan hukum peraturan perundangundangan sesuai dengan hirarkinya. Artinya ketentuan ini memulihkan kembali keberadaan P a g e 5

7 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai peraturan perundang-undangan yang kekuatan hukumnya lebih kuat dari undang-undang. Dari uraian di atas muncul permasalah baru, ketika ada Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang bertentangan dengan UUD 1945 atau bertentangan dengan masyarakat umum, apa upaya hukum yang harus dilakukan ketika hal itu terjadi, kemanakah harus diuji kelayakannya, karena mengingat tidak ada diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun Sehingga, apabila Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat bertentangan dengan UUD 1945 atau masyarakat umum, kemanakah harus mengajukan keberatannya sesuai dengan tatanan hukum perundang-undangan di Indonesia. Dalam hal ini, terjadinya kekosongan hukum (recht vacum) pengujian terhadap Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang merupakan salah P a g e 6

8 satu jenis produk perundang-undangan di Indonesia. Sehingga perlu diteliti dan dikaji lebih lanjut mengenai hal ini, dikarena kekosongan hukum akan mengganggu sistem hukum di Indonesia. Jika merujuk kepada hukum ketatanegaraan di Indonesia, lembaga yang berwenang menguji peraturan perundang-undangan di Indonesia menurut Pasal 24 huruf a dan Pasal 24 huruf c UUD 1945 adalah Mahkamah Agung (MA) berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang dan Mahkamah Konstitusi (MK) yang berwenang menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Berarti Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak mungkin diuji oleh Mahkamah Konstitusi karena pada pasal tersebut tidak disebutkan kewenangannya menguji Ketetapan P a g e 7

9 Majelis Permusyawaratan Rakyat melainkan hanya menguji undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar saja. Jadi intinya, Mahkamah Konstitusi tidak berhak menguji Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat karena tidak diatur dalam Undang-Undang Dasar atau peraturan perundangundangan lainnya. Jika dilihat secara historis, pada masa orde lama dan orde baru (sebelum amandemen UUD 1945) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat diuji oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atau lembaga pembuat ketetapan itu sendiri yaitu dengan cara mengeluarkan Ketetapan yang baru untuk mencabut Ketetapan yang lama. Dalam hal ini, metode pengujian yang digunakan yaitu legeslative review (pengujian lembaga legeslatif). Apabila legeslative review diaplikasikan terhadap Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat pada saat sekarang ini, maka akan P a g e 8

10 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar dikarenakan menurut Undang-Undang Dasar setelah amandemen Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak dapat lagi mengeluarkan produk hukum ketetapan yang bersifat mengatur (regeling) dan hanya bisa mengeluarkan ketetapan yang bersifat penetapan (beschikking). Apalagi Majelis Permusyawaratan Rakyat sekarang bukan lembaga tertinggi lagi melainkan lembaga tinggi sama kedudukannya dengan lembaga tinggi lainnya (Presiden, DPR, MK) sehingga Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak semena-mena mengeluarkan atau mencabut Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Jadi, Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak mempunyai kewenangan menguji Ketetapannya sendiri. Berarti, status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sampai sekarang tidak jelas, dikarenakan tidak ada P a g e 9

11 landasan hukum yang menjelaskannya untuk dijadikan pedoman dalam proses pengujiannya. P a g e 10

12 BAB II TAP MPR DALAM HIRARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA A. Pengertian Tap MPR Dari berbagai pendapat yang menyatakan telah terjadi perubahan atas UUD 1945 dapat diketahui, bahwa salah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang digunakan untuk melakukan perubahan terhadap UUD 1945 adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. 3 Sejak tahun 1960 Majelis Permusyawaratan Rakyat telah menetapkan dan mengeluarkan satu jenis produk hukum peraturan baru yang disebut Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. 4 Di dalam Pasal 3 ayat (2) Ketetapan Majelis 3 Budiman N.P.D Sinaga, Hukum Konstitusi, (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2005), hlm Ibid P a g e 11

13 Permusyawaratan Rakyat Nomor III/MPR/2000 dijelaskan bahwa Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat merupakan putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai pengemban kedaulatan rakyat yang ditetapkan dalam sidang-sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat. Menurut Pasal 98 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. I/MPR/1983 bahwa bentuk-bentuk putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah: 1. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; 2. Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat. 5 Perbedaan antara kedua peraturan perundang-undangan ini dikatakan dalam ayat (2) dan ayat (3). Menurut kedua ayat tersebut bahwa 5 S. Toto Pandoyo, Ulasan Terhadap Beberapa Ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 Proklamasi dan Kekuasaan MPR, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1992), hlm.167. P a g e 12

14 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah putusan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang mempunyai kekuatan hukum (umum) mengikat ke luar dan ke dalam, sedangkan Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya mempunyai kekuatan hukum mengikat ke dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat saja. Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang pertama adalah segala keputusan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, yang dapat berbentuk Undang-Undang Dasar, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat. 6 Penyebutan nama Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditafsirkan dari ketentuan Pasal 2 dan 3 UUD Jika diperhatikan dengan teliti, tidak semua Ketetapan Majelis 6 Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, (Bandung: Alumni, 2006), hlm.229. P a g e 13

15 Permusyawaratan Rakyat dapat diklasifikasikan sebagai suatu ketetapan, dan sangat jauh perbedaan jika diartikan dalam hukum administrasi negara. Menurut Sri Soemantri: Dalam dua pasal tersebut ditemukan istilah menetapkan atau ditetapkan. Hasil dari menetapkan atau ditetapkan adalah ketetapan. Konstitusi ini tidak keliru tetapi tidak selalu menetapkan menghasilkan ketetapan. Istilah menetapkan dapat dipergunakan dalam pengertian umum dan khusus. Dalam pengertian umum, tindakan menetapkan dapat berwujud undang-undang (menetapkan undang-undang), dan lain sebagainya. Sedangkan dalam pengertian khusus, keluaran dari tindakan menetapkan adalah ketetapan, dan kalangan Ilmu Hukum Administrasi Negara, istilah ketetapan bisa dipakai sebagai nama perbuatan administrasi negara yang bersifat individual, konkrit atau yang lazim disebut beschikking. Ketetapan P a g e 14

16 sebagai suatu bentuk tindakan atau perbuatan administrasi negara tidak lagi tergolong sebagai peraturan perundang-undangan. 7 B. Kedudukan Tap MPR dalam Hirarki Peraturan Perundang-Undangan Kedudukan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam hirarki peraturan perundang-undangan memang mengundang kritik dari akademisi. Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Jimly Asshiddiqie menyatakan sebenarnya penempatan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat di atas undangundang adalah keliru. Menurutnya, ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat seharusnya sederajat dengan undang-undang sehingga bisa 7 Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, (Bandung: Alumni, 1984), hlm.161 P a g e 15

17 dibatalkan jika bertentangan dengan konstitusi melalui pengujian ke Mahkamah Konstitusi. 8 Pendapat senada juga dikemukakan Pengajar Ilmu Peraturan Perundang-undangan Universitas Indonesia Sonny Maulana Sikumbang menilai masuknya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat ke dalam hirarki merupakan langkah mundur. Karena, menurut Sonny, dahulu ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sudah dikeluarkan dari hirarki peraturan perundang-undangan. 9 Mengenai kedudukan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran Prof. Sri Soemantri pernah berpendapat bahwa setelah amandemen Undang- Undang Dasar 1945 terjadi perubahan mendasar atas kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Majelis Permusyawaratan Rakyat menurutnya tidak 8 Ibid. 9 Ibid. P a g e 16

18 lagi sebagai lembaga negara tertinggi dan tidak akan ada lagi bentuk hukum yang namanya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. 10 Dalam hal yang sama, pakar Ilmu Peraturan Perundang-undangan Universitas Indonesia (UI) yang kini adalah hakim Mahkamah Konstitusi Maria Farida Indrati juga menyatakan bahwa karena sekarang presiden dipilih oleh rakyat, maka Presiden bukan lagi sebagai mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat sehingga untuk selanjutnya tidak boleh ada lagi ketetapan yang memberikan mandat ke presiden. Menurutnya, Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak berwenang membuat ketetapan yang bersifat mengatur, tapi sebatas Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang bersifat beschikking Ibid. 11 Ibid P a g e 17

19 Patrialis Akbar (Menteri Hukum dan HAM) mengusulkan agar Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat diletakkan di atas UUD Ia berargumentasi bahwa pengesahan perubahan UUD 1945 melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Sehingga wajar saja bila TAP MPR diletakan di atas UUD 1945, ujarnya. Dengan argumentasi seperti itu berarti posisi Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat lebih tinggi dari UUD Sebelum disahkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat memang telah disepakati untuk dimasukkan ke dalam hirarki peraturan perundang-undangan, tetapi Pemerintah dan DPR belum sepakat mengenai posisinya dalam hirarki tersebut. Apakah akan sejajar dengan UUD 1945, di bawah UUD 1945 atau P a g e 18

20 sejajar dengan undang-undang. 12 Dengan lahirnya Undang-Undnag Nomor 12 Tahun 2011, kedudukan Tap MPR berada diurutan kedua dalam hirarki peraturan perundang-undangan yang terletak di bawah UUD dan diatas undang-undang. 12 Hukumonline.com, Eksistensi Tap MPR akan Dihidupkan Kembali, Diakses pada tanggal 25 Maret 2015 dari Situs: /eksistensi-tap-mpr-akan-dihidupkan-kembali. P a g e 19

21 BAB III JUDICIAL REVIEW PERATURAN HUKUM DI INDONESIA A. Hak Menguji Perundang-undangan di Indonesia Dalam sistem yang dianut oleh UUD 1945 sebelum amandemen, Majelis Permusyawaratan Rakyat diberi kedudukan sebagai lembaga tertinggi negara. Dari lembaga tertinggi Majelis Permusyawaratan Rakyat itulah cabang-cabang kekuasaan negara dibagikan ke lembaga tinggi negara yang berada di bawahnya sesuai dengan prinsip pembagian kekuasaan. Karena itu, hubungan antar cabang kekuasaan legislatif dan eksekutif tidak didasarkan atas prinsip checks and balances, dan karena itu, produk lembaga legislatif bersama-sama eksekutif berupa undang-undang dinilai tidak dapat P a g e 20

22 dilakukan pengujian (judicial review) oleh cabang kekuasaan kehakiman. 13 Pengujian terhadap produk hukum di Indonesia dibagi dua, yaitu terhadap undangundang (legislative acts) dan terhadap produk di bawah undang-undang (executive acts). Di Indonesia sendiri dikenal adanya lembaga Peninjauan Kembali (PK) oleh Mahkamah Agung. Dengan perkataan lain, dalam pengertian judicial review itu terdapat pula pengertian mengenai pengujian kembali, tidak saja terhadap produk legislatif dan eksekutif, tetapi juga terhadap produk putusan judicial atau hakim sendiri. 14 Dalam tatanan hukum di Indonesia, judicial review menjadi suatu hal yang selalu diperdebatkan 13 Dian Rositawati, Judicial Review (Bahan Materi). Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara X Tahun 2005 tentang Mekanisme Judicial Review, (Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 2005), hlm Ibid. P a g e 21

23 sejak founding fathers membicarakan tentang Undang-Undang Dasar yang akan diberlakukan apabila Indonesia telah merdeka. Hal yang diperdebatkan mengenai kekuasaan kehakiman sehingga terjadinya pasang surut menurut kondisi sosial politik yang berada diruang lingkup sistem peradilan dan kekuasaan kehakiman. 15 B. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Praktek Judicial Review Salah satu hal penting dari perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara baru yang berdiri sendiri dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman sebagaimana 15 Muhammad Siddiq Armia, Studi Epistemologi Perundang-Undangan, hlm. 88. P a g e 22

24 diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia adalah lembaga (tinggi) negara yang pembentukannya pada masa amandemen UUD Lahirnya Mahkamah Konstitusi merupakan suatu bentuk upaya dalam mengimbangi atas kekuasaan legislatif maupun kekuasaan eksekutif. Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia dilatarbelakangi adanya kehendak untuk membangun pemerintahan yang demokratis dengan checks and balances antara cabang-cabang kekuasaan, serta menjamin dan melindungi hak-hak konstitusional warga negara serta sebagai sarana penyelesaian beberapa problem yang terjadi dalam praktik ketatanegaraan yang sebelumnya tidak 16 Republik Indonesia, Undang Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Ps. 2. P a g e 23

25 ditentukan oleh konstitusi. 17 Oleh karena itu dibentuknya Mahkamah Konstitusi dengan tujuan untuk mengawal Konstitusi (UUD 1945). 18 Dalam Pasal 24c ayat (1) UUD 1945 (setelah amandemen) menyatakan bahwa: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undangundang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang- Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum 17 Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi, Constitutional Question (Antara Realitas Politik dan Implementasi Hukumnya) Jurnal Konstitusi, Vol. 7, No. 1, Februari 2010, hlm Ibid. P a g e 24

26 Jadi, kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Praktek judicial review sangat jelas diatur dalam Pasal 24c ayat (1) Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dengan kewenangan yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi ini dapat berjalan dengan baik sehingga terwujudnya penyelenggaraan kekuasaan dan ketatanegaraan yang lebih baik. P a g e 25

27 A. Norma Hukum BAB IV PENGUJIAN TAP MPR DALAM KAJIAN FILSAFAT Norma merupakan suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannya dengan sesamanya ataupun hubungannya dengan lingkungannya. Norma adalah patokan atau ukuran bagi seseorang dalam bertindak dan bertingkah laku. 19 Kelebihan dari norma hukum adalah karena bersifat umum dan norma hukum mempunyai kekuatan untuk memaksa karena dibuat oleh penguasa, Sudikno Mertokusumo mengemukakan, bahwa yang hanya dapat melakukan paksaan 19 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundangundangan: Dasar-dasar dan Pembentukannya, cet. XI, (Yogyakarta : Kanisius, 2006), hlm. 6. P a g e 26

28 terhadap pelanggaran terhadap norma hukum adalah penguasa. 20 Kaitannya dengan norma hukum, Hans Kelsen mengembangkan sebuah Teori Hukum Murni (General Theory of Law and State). Aliran Teori Hukum Murni merupakan suatu pengembangan dari teori mazhab positivisme, yang menitikberatkan pada inti ajarannya mengenai hukum dapat dibuat dari undang-undang. Menurut W. Friedman, inti ajaran Teori Hukum Murni adalah : 1. Tujuan teori hukum, seperti tiap ilmu pengetahuan adalah untuk mengurangi kekacauan dan kemajemukan menjadi kesatuan 20 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Edisi ke-4, cet. II (Yogyakarta: Liberty, 1999), hlm. 20. P a g e 27

29 2. Teori hukum adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku, bukan mengai hukum yang seharusnya 3. Hukum adalah ilmu pengetahuan normatif, bukan ilmu alam 4. Teori hukum sebagai teori tentang normanorma, tidak ada hubungannya dengan daya kerja norma-norma hukum 5. Teori hukum adalah formal, suatu teori tentang cara menata, mengubah isi dengan cara yang khusus 6. Hubungan antara teori hukum dan sistem yang kas dari hukum psoitif ialah hubungan apa yang mungkin dengan hukum yang nyata JimlyAsshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hal P a g e 28

30 Selain itu Hans Kelsen juga memaparkan bahwa suatu pernyataan tentang realitas dikatakan benar, karena pernyataan tersebut berhubungan dengan realitas atau karena pengalaman menunjukkan kesesuaian dengan realitas tersebut. Suatu norma adalah bukan pernyataan tentang realitas sehingga tidak dapat dikatakan benar atau salah dengan ukuran realitas. Validitas norma tidak karena keberlakuannya. Pertanyaan mengapa sesuatu seharusnya terjadi tidak pernah dapat dijawab dengan penekanan pada akibat bahwa sesuatu harus terjadi, tetapi hanya oleh penekanan bahwa sesuatu seharusnya terjadi. 22 Hans Kelsen mengemukakan bahwa setiap aturan harus ada hirarkinya, dimulai dari yang norma dasar dan menjadi tolak ukur validitas bagi 22Jimly Asshiddiqie, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2006, hal.111. P a g e 29

31 norma yang ada di bawahnya. 23 Kelsen menempatkan konstitusi sebagai norma dasar bagi setiap peraturan perundang-undangan yang akan dibuat, maka berlaku asas lex superior derogat legi inferiori. 24 B. Pengujian Norma Hukum Mengenai hirarki peraturan perundangundangan, setiap aturan yang lebih rendah tentunya harus disesuaikan dengan peraturan yang ada di atasnya, maka perlu ada judicial review yaitu pengujian terhadap peraturan yang di bawah tersebut apakah sudah sesuai atau tidak dengan aturan yang di atasnya. Pengujian terhadap setiap norma hukum (peraturan perundang-undangan) dengan maksud 23 Hans Kelsen,Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, (terj. Raisul Muttaqien), cet. V, (Bandung : Nusa Media, 2010), hlm Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, (Yogyakarta : Penerbit UAJY, 2010), hlm. 9. P a g e 30

32 agar tidak saling bertentangan atau berbenturan antara norma yang satu dengan norma yang lainnya baik norma hukum yang berada di atasnya maupun yang sederajat dengannya. Dengan demikian, terhindar terjadinya tumpangtindih norma hukum yang berlaku dan menghasilkan norma hukum yang berjenjang serta seirama dengan saling menguatkan antara norma hukum yang ada seperti seperti teori yang dikembangankan oleh Hans Kelsen bahwa hukum itu berjenjang. Setiap norma hukum diperlukan pengujian karena setiap produk hukum yang diciptakan ataupun yang dibentuk oleh penguasa (legislatif dan eksekutif) belum tentu lengkap, sempurna dan sesuai dengan perkembangan yang hidup di dalam masyarakat serta tidak seluruhnya mencakup apa yang terkandung dalam nilai-nilai konstitusi Negara. Pembentuk norma hukum dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya bukan berarti tidak pernah P a g e 31

33 salah dan keliru. Bukan berarti juga norma hukum yang dihasilkan oleh pembentuk hukum tidak dapat diubah dan bukan bersifat saklar atau suci. Pembentuk hukum tidak semua paham tentang hukum dan paham terhadap kondisi masyarakatnya. Jadi, tak heran jika norma hukum yang dihasilkan oleh pembuat hukum tersebut dapat di uji. Setelah dilakukan pengujian terhadap norma hukum dapatkah hukum itu menjadi lebih baik. Tujuan dilakukannya pengujian terhadap norma hukum agar hukum itu menjadi terarah dan tidak saling berbenturan sehingga hukum itu menjadi lebih baik. Ukuran baiknya suatu norma hukum itu tidak lepas dari efektifnya pemberlakuan hukum itu sendiri. Karena hukum harus dirasakan oleh masyarakat tanpa terlanggar hak-haknya sebagai warga yang hidup dalam sebuah Negara hukum. Hukum itu dikatakan baik apabila pemberlakuan P a g e 32

34 hukum itu tidak bertentangan atau tidak melanggar hak masyarakat. Pemberlakuan Setiap peraturan perundangundangan harus disesuaikan dengan masyarakat. Makanya setiap peraturan perundang-undangan yang diberlakukan tidak boleh bertentangan satu dengan yang lain serta melanggar hak konstitusional masyarakat. Begitu juga dengan Tap MPR yang diberlakukan serta dimasukkan kembali ke dalam hirarki peraturan perundang-undangan, norma hukum tersebut harus diuji karena merupakan produk hukum yang terdapat di dalam hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Setiap peraturan perundang-unndangan tidak boleh bertentangan dengan peraturan di atasnya karena norma hukum itu berjenjang dan sistematis seperti yang dijelaskan oleh Hans Kelsen. Tapi MPR harus diuji agar terjadi harmonisasi setiap peraturan perundang-undangan yang ada. P a g e 33

35 Jika Tap MPR tidak diberi ruang untuk pengujiannya maka akan berdampak buruk pada sistem hukum di Indonesia. Dan dapat merusak harmonisasi peraturan perundang-undangan yang berjenjang sehingga tidak lagi sistematis serta berakibat pada penerapan produk hukum lainnya. Apalagi Tap MPR itu kedudukannya berada di bawah UUD, berarti ada batu uji yang dapat dijadikan sebagai tolak ukur dalam menilai apakah Tap MPR bertentangan dengan UUD ataukah sesuai. Mengenai lembaga mana yang berwenang mengujinya secara jelas tidak diatur dalam produk hukum baik dalam UUD maupun dalam undangundang. Namun, bila dikaji menurut kajian review maka terjadi masalah hukum yang baru. Konsep review undang-undang telah dikenal pasca perubahan UUD Secara kelembagaan, lembaga negara yang berhak melakukan review, adalah lembaga bidang kekuasaan kehakiman. Menurut P a g e 34

36 Pasal 24C UUD 1945, pelaksanaan judicial review dilakukan oleh MK, dengan batasan menguji undang-undang terhadap UUD Selain MK, MA juga mempunyai wewenang dalam melakukan judicial review, yang dibatasi hanya peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. 25 Demikian juga halnya Mahkamah Konstitusi harus mengakomodir Tap MPR untuk dapat diuji Sebab TAP MPR termasuk bagian integral dari hukum dasar yang posisinya di atas undangundang.maka secara hierarkis dan menurut prinsip berjenjang itu MK harus juga menguji undangundang terhadap TAP MPR. Artinya, di negeri ini tidak boleh ada undang-undang yang bertentangan dengan TAP MPR. Ini sesuatu yang baru yang harus mendapatkan perhatian MK dalam melaksanakan fungsinya menguji undang-undang. 25 Isra, Saldi. Ihwal pengajuan Judicial Review. Koran Tempo, 16 Januari P a g e 35

37 Dilihat dari segi materi muatan Tap MPR itu sendiri sama dengan halnya dengan materi muatan undang-undang. Apabila materi muatannya sama, maka batu uji serta lembaga yang mengujinya juga sama. Dengan demikian, MK berwenang menguji Tap MPR terhadap UUD. P a g e 36

38 BAB V PENUTUP 1. Tap MPR harus diuji karena telah termasuk dalam bagian dari hirarki peraturan perundangundangan di Indonesia. Setiap peraturan perundang-unndangan tidak boleh bertentangan dengan peraturan di atasnya karena norma hukum itu berjenjang dan sistematis seperti yang dijelaskan oleh Hans Kelsen. Tapi MPR harus diuji agar terjadi harmonisasi setiap peraturan perundang-undangan yang ada. 2. Tap MPR perlu diuji Karena materi muatan yang terdapat di dalamnya sama dengan materi muatan undang-undang. Sehingga perlu diberi ruang dalam pengujiannya sehingga dapat terakomodir hak-hak masyarakat yang terlanggar atas pemberlakuaannya. P a g e 37

39 3. Secara filosofi hukum, Mahkamah Konstitusi yang lebih berwenang melakukan pengujian terhadap Tap MPR karena MK sebagai lembaga pengawal konstitusi (UUD) berwenang menguji produk hukum yang berada di bawah undangundang dan dan menjadikan UUD sebagai batu uji dalam penliaianya. P a g e 38

40 Buku-Buku : DAFTAR PUSTAKA Muhammad Siddiq Armia, Studi Epistemologi Perundang-Undangan, Jakarta: Teratai Publisher, 2011 Budiman N.P.D Sinaga, Hukum Konstitusi, Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2005 S. Toto Pandoyo, Ulasan Terhadap Beberapa Ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 Proklamasi dan Kekuasaan MPR, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1992 Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Bandung: Alumni, 2006 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundangundangan: Dasar-dasar dan Pembentukannya, cet. XI, Yogyakarta : Kanisius, Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Edisi ke-4, cet. II Yogyakarta : Liberty, 1999 P a g e 39

41 JimlyAsshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, Jimly Asshiddiqie, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, Hans Kelsen,Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, (terj. Raisul Muttaqien), cet. V, Bandung : Nusa Media, Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Yogyakarta : Penerbit UAJY, Jurnal : Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi, Constitutional Question (Antara Realitas Politik dan Implementasi Hukumnya) Jurnal Konstitusi, Vol. 7, No. 1, Februari P a g e 40

42 DAFTAR RIWAYAT HIDUP a. Biodata Diri Nama : Riki Yuniagara Tempat / Tgl. Lahir : Terbangan, 02 Juni 1989 Jenis kelamin : Laki-Laki Agama : Islam Kebangsaan / Suku : Indonesia / Aceh Status : Belum Kawin Alamat : Jl. Rukoh Utama No. 3, Lr. Lam Ara, Desa Rukoh, Banda Aceh. /web : rikiyuniagara@gmail.com P a g e 41

43 b. Riwayat Pendidikan 1. SD Negeri 1 Blangpidie Berijazah Tahun SLTP N 2 Blangpidie Berijazah Tahun SMA N 1 Blangpidie Berijazah Tahun Strata 1 (S1) Fakultas Syari'ah Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum IAIN Ar- Raniry Banda Aceh Tahun Strata 2 (S2) Program Studi Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala Tahun masuk 2014 s/d sekarang 6. Program Pendidikan dan Peningkatan Mutu Dosen Muda (P3MDM)/SPU Ke-35 di IAIN Ar- Raniry Tahun 2013 c. Riwayat Pekerjaan 1. Asisten Pengacara Publik di YLBHI-LBH Banda Aceh tahun 2014 s/d sekarang 2. Asisten Dosen di Fakultas Syariah UIN Ar- Raniry Tahun 2014 s/d sekarang 3. Lembaga Survei (LSI, Indikator Politik Indonesia, Populi Center) Tahun 2013 s/d Lembaga Peneitian The Aceh Institute Tahun 2009 s/d 2010 P a g e 42

44 d. Pengalaman Organisasi 1. Ketua DPD LPLHI-KLHI Aceh Barat Daya Tahun Wakil Ketua Koordinatoriat Wilayah Kesatuan Mahasiswa Islam Provinsi Aceh Periode Pengurus Pemuda Islam Provinsi Aceh Periode Sekretaris Kabinet BEMA IAIN Ar-Raniry Tahun Pengurus BEM se-aceh Tahun Ketua Umum MPM Fakultas Syariah Tahun Peneliti Muda The Aceh Institute tahun Ketua Litbang Himpunan Mahasiswa Islam Kom. Fak. Syariah Tahun Ketua HUAL Himpunan Pelajar Mahasiswa ABDYA (HIPELMABDYA) Tahun Wakil Ketua HMJ-SPH Tahun Wakil Ketua Lembaga Seni Mahasiswa Islam HMI Tahun Dewan Pembina HMJ-SPH Tahun Ketua Komisi Pemilihan Raya Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry tahun 2010 P a g e 43

45 14. Pengawas Pemilihan Raya Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry Tahun Penanggungjawab Tabloid Media Diplomasi dan Aspirasi (MEDIASI) Tahun e. Pelatihan dan Kegiatan yang diikuti 1. Karya Latih Bantuan Hukum (KALABAHU) LBH Banda Aceh Tahun Debat Konsitusi Tahun 2012 di Fakultas Syari ah IAIN Ar-Raniry 3. Jelajah Budaya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh tahun Bakti Sosial IAIN Ar-Raniry Di Kabupaten Simeulue Tahun Bakti Sosial BEMA IAIN ar-raniry di Kecamatan Tangse Tahun Latihan Kepemimpinan Mahasiswa IAIN Ar- Raniry Tahun Seminar Mahasiswa Tingkat Nasional Tahun Kampanye Pendidikan di Kabupaten ABDYA Tahun Sosialisasi Napza dan HIV/AIDS di ABDYA Tahun 2009 P a g e 44

46 10. Pelatihan tentang Revitalisasi lembaga Keuangan Syari ah Tahun Pelatihan Manajemen Keuangan Tahun Pelatihan Spiritual Awareness and Leadership Training Tahun Training Motivation and Public Speaking Tahun Seminar Nasional Peran Pemuda dan Mahasiswa dalam Mensukseskan Pemilikada Aceh Tahun Pelatihan Sehari Pertolongan Pertama dan kesiagaan Menghadapi Bencana Tahun Survey Pelayanan Publik di Kabupaten ABDYA tahun Survey Musyawarah Rencana Gampong (Musrembang) di Banda Aceh tahun Kursus Bahasa Inggris Basic Comversation di KIES Aceh Kursus Test Of English Foreign Language (TOEFL) di Pusat Bahasa Unsyiah tahun 2013 P a g e 45

47 f. Karya Ilmiah/Opini 1. Tanpa Negara Rakyat Hidup Sejahtera (diterbitkan di Website YLBHI-LBH Banda Aceh) tahun Kewenangan Judicial Review Terhadap TAP MPR RI (diterbitkan oleh Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry ) tahun Keberadaaan Mahkamah Konstitusi Mahasiswa di Kampus IAIN Ar-Raniry (diterbitkan Oleh IAIN Ar-Raniry) tahun Fungsionalitas Badan Legislatif Kampus (diterbitkan oleh tabloid MEDIASI) tahun Peran Lembaga Adat dalam Penerapan Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat/ Mesum di Kota Banda Aceh (diterbitkan Oleh The Aceh Institute) Tahun Sistem Kekerabatan Aceh Singkil (diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Aceh) Tahun Buku Saku: Jenis dan Hirarki Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia (TAP MPR dari Masa Ke Masa). (diterbitkan melalui website: P a g e 46

48 8. Dan masih banyak tulisan lainnya yang berbentuk Opini dan Karya Ilmiah dalam website P a g e 47

Riki Yuniagara: Hak Menguji Peraturan...

Riki Yuniagara: Hak Menguji Peraturan... Buku Saku: Studi Perundang-Undangan, Edisi Ke-2 1 HAK MENGUJI PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DI INDONESIA Riki Yuniagara, S.HI Publisher Rikiyuniagara.wordpress.com Banda Aceh 2013 Buku Saku: Studi Perundang-Undangan,

Lebih terperinci

BAB SATU PENDAHULUAN

BAB SATU PENDAHULUAN 1 BAB SATU PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam negara hukum, pembentukan undang-undang merupakan suatu bagian penting yang mendapat perhatian serius. Undang-undang dalam negara hukum berfungsi

Lebih terperinci

Riki Yuniagara: Jenis dan Hirarki Peraturan...

Riki Yuniagara: Jenis dan Hirarki Peraturan... Buku Saku: Studi Perundang-Undangan, Edisi Ke-3 1 Buku Saku: Studi Perundang-undangan Edisi Ke-3 JENIS DAN HIRARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA DALAM LINTAS SEJARAH (TAP MPR dari Masa ke Masa)

Lebih terperinci

CURICULUM VITAE (CV)

CURICULUM VITAE (CV) CURICULUM VITAE (CV) a. Biodata Diri Nama : Riki Yuniagara Tempat / Tanggal Lahir : Terbangan, 02 Juni 1989 Jenis kelamin : Laki-Laki Pekerjaan : Swasta Agama : Islam Kebangsaan / Suku : Indonesia / Aceh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan.

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan. Menurut Sri Soemantri tidak ada satu negara pun yang tidak mempunyai konstitusi atau Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011: 34 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Judicial Review Kewenangan Judicial review diberikan kepada lembaga yudikatif sebagai kontrol bagi kekuasaan legislatif dan eksekutif yang berfungsi membuat UU. Sehubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehakiman diatur sangat terbatas dalam UUD Buku dalam pasal-pasal yang

BAB I PENDAHULUAN. kehakiman diatur sangat terbatas dalam UUD Buku dalam pasal-pasal yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi Nasional tahun 1998 telah membuka peluang perubahan mendasar atas Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang disakralkan oleh pemerintah

Lebih terperinci

Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H.

Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H. Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H. Lahir : Solo, 14 Juni 1949 Alamat Rumah : Jl. Margaguna I/1 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan Alamat Kantor : Mahkamah Konstitusi Jl. Medan Merdeka Barat No. 6

Lebih terperinci

Mengenal Mahkamah Agung Lebih Dalam

Mengenal Mahkamah Agung Lebih Dalam TUGAS AKHIR SEMESTER Mata Kuliah: Hukum tentang Lembaga Negara Dosen: Dr. Hernadi Affandi, S.H., LL.M Mengenal Mahkamah Agung Lebih Dalam Oleh: Nurul Hapsari Lubis 110110130307 Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Oleh: Dr. (HC) AM. Fatwa Wakil Ketua MPR RI Kekuasaan Penyelenggaraan Negara Dalam rangka pembahasan tentang organisisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat diubah oleh MPR sekalipun, pada tanggal 19 Oktober 1999 untuk pertama

BAB I PENDAHULUAN. dapat diubah oleh MPR sekalipun, pada tanggal 19 Oktober 1999 untuk pertama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setelah pemerintah orde baru mengakhiri masa pemerintahannya pada tanggal 20 Mei 1998 melalui suatu gerakan reformasi, disusul dengan percepatan pemilu di tahun 1999,

Lebih terperinci

Oleh: Totok Soeprijanto Widyaiswara Utama pada Pusdiklat Pengembangan Sumber Daya Manusia Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan

Oleh: Totok Soeprijanto Widyaiswara Utama pada Pusdiklat Pengembangan Sumber Daya Manusia Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan SEPINTAS KAJIAN TATA URUTAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN PENDELEGASIAN WEWENANG DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Oleh: Totok Soeprijanto Widyaiswara Utama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Norma hukum yang berlaku di Indonesia berada dalam sistem berlapis dan

BAB I PENDAHULUAN. Norma hukum yang berlaku di Indonesia berada dalam sistem berlapis dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Norma hukum yang berlaku di Indonesia berada dalam sistem berlapis dan berjenjang sekaligus berkelompok-kelompok dimana suatu norma berlaku, bersumber pada norma yang

Lebih terperinci

BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI. Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU

BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI. Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU 62 BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU 3.1. Kekuatan berlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Peraturan Perundang-undangan

Lebih terperinci

Pemetaan Kedudukan dan Materi Muatan Peraturan Mahkamah Konstitusi. Rudy, dan Reisa Malida

Pemetaan Kedudukan dan Materi Muatan Peraturan Mahkamah Konstitusi. Rudy, dan Reisa Malida Pemetaan Kedudukan dan Materi Muatan Peraturan Mahkamah Konstitusi Rudy, dan Reisa Malida Dosen Bagian Hukum Tata Negara FH Unila Mahasiswa Bagian HTN angkatan 2009 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum dikenal adanya kewenangan uji materiil (judicial review atau

BAB I PENDAHULUAN. hukum dikenal adanya kewenangan uji materiil (judicial review atau 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diskursus mengenai Mahkamah Konstitusi muncul saat dirasakan perlunya sebuah mekanisme demokratik, melalui sebuah lembaga baru yang berwenang untuk menafsirkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagaimana dituangkan secara eksplisit dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. sebagaimana dituangkan secara eksplisit dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara yang mendaulat diri sebagai negara hukum sebagaimana dituangkan secara eksplisit dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar NRI 1945 1. Hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada mulanya terdapat tiga alternatif lembaga yang digagas untuk diberi kewenangan melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

JUDICIAL REVIEW : Antara Trend dan Keampuhan bagi Strategi Advokasi

JUDICIAL REVIEW : Antara Trend dan Keampuhan bagi Strategi Advokasi Seri Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 JUDICIAL REVIEW : Antara Trend dan Keampuhan bagi Strategi Advokasi Tubagus Haryo Karbyanto, S.H. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jl Siaga II No 31 Pejatien

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kita memiliki tiga macam dokumen Undang-undang Dasar (konstitusi) yaitu: 1

BAB I PENDAHULUAN. kita memiliki tiga macam dokumen Undang-undang Dasar (konstitusi) yaitu: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sebagai hukum dasar yang digunakan untuk penmbentukan dan penyelenggaraan Negara Indonesia adalah Undang-undang Dasar, yang pertama kali disahkan berlaku sebagai konstitusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang (UU) tehadap Undang-Undang Dasar (UUD). Kewenangan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang (UU) tehadap Undang-Undang Dasar (UUD). Kewenangan tersebut 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ada satu peristiwa penting dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, yakni Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) hasil Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1999 yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Bergulirnya reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 membawa dampak banyak perubahan di negeri ini, tidak terkecuali terhadap sistem dan praktik ketatanegaraan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD Tahun 1945) telah melahirkan sebuah

PENDAHULUAN. Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD Tahun 1945) telah melahirkan sebuah PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD Tahun 1945) telah melahirkan sebuah lembaga baru dengan kewenangan khusus yang merupakan salah satu bentuk judicial

Lebih terperinci

Oleh : Widiarso NIM: S BAB I PENDAHULUAN

Oleh : Widiarso NIM: S BAB I PENDAHULUAN Validitas peraturan daerah berkaitan dengan adanya perubahan undangundang yang menjadi landasan pembentukannya dan implikasinya terhadap kebijakan penegakan hukum Oleh : Widiarso NIM: S. 310907026 BAB

Lebih terperinci

SKRIPSI. Diajukan Guna Memenuhi Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : Nama : Adri Suwirman.

SKRIPSI. Diajukan Guna Memenuhi Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : Nama : Adri Suwirman. ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 006/PUU-IV TAHUN 2006 TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI SKRIPSI Diajukan Guna Memenuhi Sebagai

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Pemilihan Presiden Secara Langsung. Jakarta: Sekertariat Jenderal MK RI. (2006). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid

DAFTAR PUSTAKA. Pemilihan Presiden Secara Langsung. Jakarta: Sekertariat Jenderal MK RI. (2006). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid DAFTAR PUSTAKA BUKU-BUKU: Asshiddiqe, Jimly, Bagir Manan (2006). Gagasan Amandemen UUD 1945 dan Pemilihan Presiden Secara Langsung. Jakarta: Sekertariat Jenderal MK RI (2006). Pengantar Ilmu Hukum Tata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem norma hukum di Indonesia, norma-norma hukum yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem norma hukum di Indonesia, norma-norma hukum yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sistem norma hukum di Indonesia, norma-norma hukum yang berlaku berada dalam sistem yang berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, sekaligus berkelompok-kelompok,

Lebih terperinci

PERTANYAAN Bagaimanakan kasus Marbury vs Madison Apa alasan John Marshall membatalkan Judiciary Act. Bagaimana pemikiran Yamin tentang Yudisial Review

PERTANYAAN Bagaimanakan kasus Marbury vs Madison Apa alasan John Marshall membatalkan Judiciary Act. Bagaimana pemikiran Yamin tentang Yudisial Review MAHKAMAH KONSTITUSI DAN HUKUM ACARA PERADILAN KONSTITUSI PERTANYAAN Bagaimanakan kasus Marbury vs Madison Apa alasan John Marshall membatalkan Judiciary Act. Bagaimana pemikiran Yamin tentang Yudisial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). 1 Karena

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). 1 Karena BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) diberitakan kemungkinan bakal menjadi calon tunggal dalam pemilihan presiden tahun 2009. Kemungkinan calon tunggal dalam pilpres

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN TUGAS DAN WEWENANG DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI INDONESIA. A. Kewenangan Memberi Pertimbangan dan Fungsi Pengawasan Dewan

BAB II PENGATURAN TUGAS DAN WEWENANG DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI INDONESIA. A. Kewenangan Memberi Pertimbangan dan Fungsi Pengawasan Dewan BAB II PENGATURAN TUGAS DAN WEWENANG DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI INDONESIA A. Kewenangan Memberi Pertimbangan dan Fungsi Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah DPD sebagai Lembaga Negara mengemban fungsi dalam

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA EKSISTENSI PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG DALAM SISTEM PERUNDANG-UNDANGAN UNDANGAN DI INDONESIA MATERI DISAMPAIKAN OLEH: HAKIM KONSTITUSI MARIA FARIDA

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MATERI AUDIENSI DAN DIALOG DENGAN FINALIS CERDAS CERMAT PANCASILA, UUD NEGARA RI TAHUN 1945, NKRI, BHINNEKA TUNGGAL IKA, DAN KETETAPAN MPR Dr. H. Marzuki Alie

Lebih terperinci

Pengujian Peraturan Daerah

Pengujian Peraturan Daerah Pengujian Peraturan Daerah I. Latar Belakang Peraturan Daerah (Perda) adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan persetujuan bersama Kepala Daerah.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tinggi negara yang lain secara distributif (distribution of power atau

BAB I PENDAHULUAN. tinggi negara yang lain secara distributif (distribution of power atau 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Amandemen UUD 1945 membawa pengaruh yang sangat berarti bagi sistem ketatanegaraan Indonesia. Salah satunya adalah perubahan pelaksanaan kekuasaan negara.

Lebih terperinci

BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN

BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN A. Komisi Yudisial Komisi Yudisial merupakan lembaga tinggi negara yang bersifat independen. Lembaga ini banyak berkaitan dengan struktur yudikatif

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 144 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Dari hasil penelitian ini, latar belakang perluasan kewenangan MK dan konstitusionalitas praktek perluasan kewenangan tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:

Lebih terperinci

MENGUJI KONSTITUSIONALITAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG

MENGUJI KONSTITUSIONALITAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG MENGUJI KONSTITUSIONALITAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG Achmad Edi Subiyanto Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jalan Medan Merdeka Barat Nomor 6, Jakarta Pusat subimk71@yahoo.com Abstract

Lebih terperinci

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENGUJI PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA. Oleh : DJOKO PURWANTO

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENGUJI PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA. Oleh : DJOKO PURWANTO KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENGUJI PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA Oleh : DJOKO PURWANTO Abstrak Wewenang Mahkamah Konstitusi secara khusus diatur

Lebih terperinci

PENUTUP. partai politik, sedangkan Dewan Perwakilan Daerah dipandang sebagai

PENUTUP. partai politik, sedangkan Dewan Perwakilan Daerah dipandang sebagai 105 BAB IV PENUTUP A. KESIMPULAN Lembaga perwakilan rakyat yang memiliki hak konstitusional untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang adalah Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Dewan Perwakilan

Lebih terperinci

Tinjauan Konstitusional Penataan Lembaga Non-Struktural di Indonesia 1

Tinjauan Konstitusional Penataan Lembaga Non-Struktural di Indonesia 1 Tinjauan Konstitusional Penataan Lembaga Non-Struktural di Indonesia 1 Hamdan Zoelva 2 Pendahuluan Negara adalah organisasi, yaitu suatu perikatan fungsifungsi, yang secara singkat oleh Logeman, disebutkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Sebelum Amandemen Undang-Undang Dasar 1954, MPR merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Sebelum Amandemen Undang-Undang Dasar 1954, MPR merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Sebelum Amandemen Undang-Undang Dasar 1954, MPR merupakan lembaga tertinggi Negara sebagai pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat Indonesia Pasal

Lebih terperinci

BAB II MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI BAGIAN DARI KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA. A. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Sebelum Perubahan UUD 1945

BAB II MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI BAGIAN DARI KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA. A. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Sebelum Perubahan UUD 1945 33 BAB II MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI BAGIAN DARI KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA A. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Sebelum Perubahan UUD 1945 Dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan, kekuasaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanahkan pembentukan sebuah lembaga negara dibidang yudikatif selain Mahkamah Agung yakninya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. susunan organisasi negara yang terdiri dari organ-organ atau jabatan-jabatan

BAB I PENDAHULUAN. susunan organisasi negara yang terdiri dari organ-organ atau jabatan-jabatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap negara senantiasa memiliki seperangkat kaidah yang mengatur susunan organisasi negara yang terdiri dari organ-organ atau jabatan-jabatan kenegaraan untuk menjalankan

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Bagir manan, Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia, Jakarta: Indo Hill, 1992

DAFTAR PUSTAKA. Bagir manan, Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia, Jakarta: Indo Hill, 1992 DAFTAR PUSTAKA A. Buku Abraham Amos, Katatstropi & Quo Vadis sistem politk peradilan indonesia, Jakarta, Grafindo persada, 2007 Acmad Ruslan, Teori dan Panduan Praktik Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Lebih terperinci

Hubungan Antar Lembaga Negara IRFAN SETIAWAN, S.IP, M.SI

Hubungan Antar Lembaga Negara IRFAN SETIAWAN, S.IP, M.SI Hubungan Antar Lembaga Negara IRFAN SETIAWAN, S.IP, M.SI Lembaga negara merupakan lembaga pemerintahan negara yang berkedudukan di pusat yang fungsi, tugas, dan kewenangannya diatur secara tegas dalam

Lebih terperinci

keberadaan MK pd awalnya adalah untuk menjalankan judicial review itu sendiri dapat dipahami sebagai and balances antar cabang kekuasaan negara

keberadaan MK pd awalnya adalah untuk menjalankan judicial review itu sendiri dapat dipahami sebagai and balances antar cabang kekuasaan negara Gagasan Judicial Review Pembentukan MK tidak dapat dilepaskan dari perkembangan hukum & keratanegaraan tentang pengujian produk hukum oleh lembaga peradilan atau judicial review. keberadaan MK pd awalnya

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. Dalam Pembukaan UUD 1945 tersirat suatu makna bahwa Negara. Republik Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (Rechtstaat)

BAB I. Pendahuluan. Dalam Pembukaan UUD 1945 tersirat suatu makna bahwa Negara. Republik Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (Rechtstaat) 1 BAB I Pendahuluan A. Latar belakang Dalam Pembukaan UUD 1945 tersirat suatu makna bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (Rechtstaat) sehingga penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) telah melahirkan sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) telah melahirkan sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) telah melahirkan sebuah lembaga baru yang menjadi bagian dari kekuasaan kehakiman. Sebuah lembaga dengan kewenangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Konsep mengenai kedaulatan di dalam suatu negara, berkembang cukup

BAB I PENDAHULUAN. Konsep mengenai kedaulatan di dalam suatu negara, berkembang cukup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konsep mengenai kedaulatan di dalam suatu negara, berkembang cukup kompleks di seluruh dunia. Berbagai pandangan seperti kedaulatan Tuhan, kedaulatan negara, kedaulatan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis normatif ( normative legal reserch) yaitu

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis normatif ( normative legal reserch) yaitu BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis normatif ( normative legal reserch) yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara melakukan pengkajian

Lebih terperinci

Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003

Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003 M a j a l a h H u k u m F o r u m A k a d e m i k a 45 Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003 Oleh: Ayu

Lebih terperinci

KEWENANGAN JUDICIAL REVIEW TERHADAP KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

KEWENANGAN JUDICIAL REVIEW TERHADAP KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA SKRIPSI Diajukan oleh: RIKI YUNIAGARA Mahasiswa Fakultas Syari ah Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum NIM: 130707590 FAKULTAS SYARI AH INSTITUT AGAMA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangsa sebagaimana penegasannya dalam penjelasan umum Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. bangsa sebagaimana penegasannya dalam penjelasan umum Undang-Undang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara hukum yang diidealkan oleh para pendiri bangsa sebagaimana penegasannya dalam penjelasan umum Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan olehnya dapat di pertanggung jawabkan dihadapan hukum.

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan olehnya dapat di pertanggung jawabkan dihadapan hukum. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah negara hukum sebagaimana termuat dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disebut UUD RI 1945).

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang

II. TINJAUAN PUSTAKA. kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang 12 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem Ketatanegaraan Indonesia Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUDNRI 1945) pada Pasal 1 Ayat (2) mengamanatkan bahwa kedaulatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perubahan Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD tahun 1945) tidak hanya

I. PENDAHULUAN. Perubahan Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD tahun 1945) tidak hanya I. PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Perubahan Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD tahun 1945) tidak hanya didasari oleh keinginan untuk hidup berbangsa dan bernegara secara demokratis. Terdapat alasan lain

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 75/PUU-XII/2014

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 75/PUU-XII/2014 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 75/PUU-XII/2014 PERIHAL Pengujian TAP MPR No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum TAP MPR Tahun

Lebih terperinci

MEMBANGUN KUALITAS PRODUK LEGISLASI NASIONAL DAN DAERAH * ) Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H, M.Si**)

MEMBANGUN KUALITAS PRODUK LEGISLASI NASIONAL DAN DAERAH * ) Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H, M.Si**) MEMBANGUN KUALITAS PRODUK LEGISLASI NASIONAL DAN DAERAH * ) Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H, M.Si**) I Pembahasan tentang dan sekitar membangun kualitas produk legislasi perlu terlebih dahulu dipahami

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA (Kuliah ke 13) suranto@uny.ac.id 1 A. UUD adalah Hukum Dasar Tertulis Hukum dasar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (a) Hukum dasar tertulis yaitu UUD, dan

Lebih terperinci

PUTUSAN. Nomor 024/PUU-IV/2006 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

PUTUSAN. Nomor 024/PUU-IV/2006 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA PUTUSAN Nomor 024/PUU-IV/2006 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada tingkat pertama dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern sekarang ini, hampir semua negara mengklaim menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern sekarang ini, hampir semua negara mengklaim menjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di zaman modern sekarang ini, hampir semua negara mengklaim menjadi penganut paham demokrasi. Seperti dapat diketahui dari penelitian Amos J. Peaslee pada tahun 1950,

Lebih terperinci

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS Sebagaimana judul di atas, dalam Bab ini pula akan membahas dua point, yaitu hasil penelitian dan analisis. Dalam point pertama, yaitu hasil penelitian, terdapat dua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah diubah pada tahun 1999 sampai dengan 2002 merupakan satu kesatuan rangkaian perumusan

Lebih terperinci

CHECK AND BALANCES ANTAR LEMBAGA NEGARA DI DALAM SISTEM POLITIK INDONESIA. Montisa Mariana

CHECK AND BALANCES ANTAR LEMBAGA NEGARA DI DALAM SISTEM POLITIK INDONESIA. Montisa Mariana CHECK AND BALANCES ANTAR LEMBAGA NEGARA DI DALAM SISTEM POLITIK INDONESIA Montisa Mariana Fakultas Hukum, Universitas Swadaya Gunung Jati E-mail korespondensi: montisa.mariana@gmail.com Abstrak Sistem

Lebih terperinci

Faridah T, S.Pd., M.Pd. NIP Widyaiswara LPMP Sulawesi Selatan

Faridah T, S.Pd., M.Pd. NIP Widyaiswara LPMP Sulawesi Selatan TRIAS POLITICA DI INDONESIA, ANTARA SEPARATION OF POWER DENGAN DISTRIBUTION OF POWER, MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945. Faridah T, S.Pd., M.Pd. NIP.19651216 198903

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disingkat UUD RI Tahun 1945, adalah hukum dasar tertulis (basic law)

BAB I PENDAHULUAN. disingkat UUD RI Tahun 1945, adalah hukum dasar tertulis (basic law) BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, atau disingkat UUD RI Tahun 1945, adalah hukum dasar tertulis (basic law) dan merupakan konstitusi bagi pemerintahan

Lebih terperinci

SILABUS DAN SATUAN ACARA PERKULIAHAN. Mata Kuliah TEORI DAN METODE PERANCANGAN PERUNDANG-UNDANGAN

SILABUS DAN SATUAN ACARA PERKULIAHAN. Mata Kuliah TEORI DAN METODE PERANCANGAN PERUNDANG-UNDANGAN SILABUS DAN SATUAN ACARA PERKULIAHAN Mata Kuliah TEORI DAN METODE PERANCANGAN PERUNDANG-UNDANGAN PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BRAWIJAYA 2012 SILABI A. IDENTITAS

Lebih terperinci

Pengujian Peraturan Perundang- Undangan Mengenal Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia

Pengujian Peraturan Perundang- Undangan Mengenal Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia MODUL 1 Pengujian Peraturan Perundang- Undangan Mengenal Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H., dkk. M PENDAHULUAN odul ini berjudul Mengenal Keberadaan

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Abdulkadir Muhammad Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: Citra Aditya Bhakti.

DAFTAR PUSTAKA. Abdulkadir Muhammad Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: Citra Aditya Bhakti. DAFTAR PUSTAKA Buku: Abdulkadir Muhammad. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: Citra Aditya Bhakti. Armen Yasir, 2007. Hukum Perundang-Undangan. Bandar Lampung: Pusat Studi Universitas Lampung. Bagir

Lebih terperinci

FUNGSI LEGISLASI DPR PASCA AMANDEMEN UUD Sunarto 1

FUNGSI LEGISLASI DPR PASCA AMANDEMEN UUD Sunarto 1 FUNGSI LEGISLASI DPR PASCA AMANDEMEN UUD 1945 Sunarto 1 sunarto@mail.unnes.ac.id Abstrak: Salah satu fungsi yang harus dijalankan oleh DPR adalah fungsi legislasi, di samping fungsi lainnya yaitu fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah institusi yang berperan melakukan kegiatan pengujian konstitusional di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

Lebih terperinci

PROBLEMATIKA KETETAPAN MPR PASCA REFORMASI DAN SETELAH TERBITNYA UNDANG-UNDANG NO. 12 TAHUN 2011

PROBLEMATIKA KETETAPAN MPR PASCA REFORMASI DAN SETELAH TERBITNYA UNDANG-UNDANG NO. 12 TAHUN 2011 Jurnal Ilmu Hukum Rechtsidee Vol. 2 No. 1, Januari - Juni 2015, hlm. 1-77 tersedia daring di: PROBLEMATIKA KETETAPAN MPR PASCA REFORMASI DAN SETELAH TERBITNYA UNDANG-UNDANG NO. 12 TAHUN 2011 PROBLEMATIC

Lebih terperinci

Cita hukum Pancasila harus mencerminkan tujuan menegara dan seperangkat nilai dasar yang tercantum baik dalam Pembukaan maupun batang tubuh UUD 1945.

Cita hukum Pancasila harus mencerminkan tujuan menegara dan seperangkat nilai dasar yang tercantum baik dalam Pembukaan maupun batang tubuh UUD 1945. Disampaikan dalam acara Sosialisasi Peningkatan Pemahaman Hak Konstitusional Warga Negara Bagi Pengurus dan Kader Penggerak Masyarakat Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) yang diselenggarakan oleh Mahkamah

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan rumusan masalah yang telah dibentuk maka ditarik tiga. kesimpulan, yakni:

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan rumusan masalah yang telah dibentuk maka ditarik tiga. kesimpulan, yakni: 363 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan rumusan masalah yang telah dibentuk maka ditarik tiga kesimpulan, yakni: 1. Pasca amandemen konstitusi kekuasaan presiden terdiri dari tiga pola sebagaimana

Lebih terperinci

UU JABATAN HAKIM; 70 TAHUN HUTANG KONSTITUSI

UU JABATAN HAKIM; 70 TAHUN HUTANG KONSTITUSI UU JABATAN HAKIM; 70 TAHUN HUTANG KONSTITUSI Oleh: Andi Muhammad Yusuf Bakri, S.HI., M.H. (Hakim Pengadilan Agama Maros) Signal bagi pembentuk undang undang agar jabatan hakim diatur tersendiri dalam satu

Lebih terperinci

REFORMULASI PROSES REKRUITMEN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI INDONESIA Oleh: Meirina Fajarwati * Naskah diterima: 03 Juni 2016; disetujui: 27 Juni 2016

REFORMULASI PROSES REKRUITMEN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI INDONESIA Oleh: Meirina Fajarwati * Naskah diterima: 03 Juni 2016; disetujui: 27 Juni 2016 REFORMULASI PROSES REKRUITMEN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI INDONESIA Oleh: Meirina Fajarwati * Naskah diterima: 03 Juni 2016; disetujui: 27 Juni 2016 Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi bermula dari kasus

Lebih terperinci

PROSPEK MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI PENGAWAL DAN PENAFSIR KONSTITUSI. Oleh: Achmad Edi Subiyanto, S. H., M. H.

PROSPEK MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI PENGAWAL DAN PENAFSIR KONSTITUSI. Oleh: Achmad Edi Subiyanto, S. H., M. H. PROSPEK MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI PENGAWAL DAN PENAFSIR KONSTITUSI Oleh: Achmad Edi Subiyanto, S. H., M. H. Pendahuluan Ada dua sejarah besar dalam judicial review di dunia. Pertama adalah sejarah judicial

Lebih terperinci

DAFTAR REFERENSI. . Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia; Pasca Reformasi. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 2007.

DAFTAR REFERENSI. . Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia; Pasca Reformasi. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 2007. 112 DAFTAR REFERENSI BUKU Arifin, Firmansyah dkk. Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara. Cet. 1. Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHAN), 2005. Asshiddiqie, Jimly. Perkembangan

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI (OBYEK PENELITIAN) hukum kenamaan asal Austria, Hans Kelsen ( ). Kelsen menyatakan

BAB II DESKRIPSI (OBYEK PENELITIAN) hukum kenamaan asal Austria, Hans Kelsen ( ). Kelsen menyatakan BAB II DESKRIPSI (OBYEK PENELITIAN) 2.1 Sejarah Singkat Organisasi Keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) baru diperkenalkan oleh pakar hukum kenamaan asal Austria, Hans Kelsen (1881-1973). Kelsen menyatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikelola salah satunya dengan mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi

BAB I PENDAHULUAN. dikelola salah satunya dengan mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Founding fathers bangsa Indonesia telah memberikan ketegasan di dalam perumusan dasar pembentukan negara dimana Indonesia harus dibangun dan dikelola salah satunya dengan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Reformasi Kelembagaan MPR Pasca Amandemen UUD 1945

Reformasi Kelembagaan MPR Pasca Amandemen UUD 1945 Reformasi Kelembagaan MPR Pasca Amandemen UUD 1945 Oleh: Jamal Wiwoho Disampaikan dalam Acara Lokakarya dengan tema Penyelenggaraan Sidang Tahunan MPR : Evaluasi Terhadap Akuntablitas Publik Kinerja Lembaga-Lembaga

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 130/PUU-XII/2014 Pengisian Kekosongan Jabatan Gubernur, Bupati, dan Walikota

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 130/PUU-XII/2014 Pengisian Kekosongan Jabatan Gubernur, Bupati, dan Walikota RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 130/PUU-XII/2014 Pengisian Kekosongan Jabatan Gubernur, Bupati, dan Walikota I. PEMOHON Ny. Yanni, sebagai Pemohon KUASA HUKUM Syahrul Arubusman, S.H, dkk berdasarkan

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. III/No. 7/Sep/2015

Lex Administratum, Vol. III/No. 7/Sep/2015 KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENGUJI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR TAHUN 1945 1 Oleh : Magdalena E. J. Sarkol 2 ABSTRAK Keberadaan lembaga Mahkamah Konstitusi dalam kehidupan negara-negara

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Peraturan Perundang-undangan sebagai produk hukum, bukan merupakan produk

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Peraturan Perundang-undangan sebagai produk hukum, bukan merupakan produk BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Pengertian Peraturan Perundang-undangan Peraturan Perundang-undangan sebagai produk hukum, bukan merupakan produk politik semestinya ditempatkan sebagai norma yang digali bersumber

Lebih terperinci

Implementasi Kewenangan Kepala Daerah Dalam Pembuatan Perda Dan Peraturan Lainnya. Yusdiyanto Dosen Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unila

Implementasi Kewenangan Kepala Daerah Dalam Pembuatan Perda Dan Peraturan Lainnya. Yusdiyanto Dosen Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unila Implementasi Kewenangan Kepala Daerah Dalam Pembuatan Perda Dan Peraturan Lainnya Yusdiyanto Dosen Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unila Abstrak Pasal 18 ayat (6) UUD 1945, mengatakan pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada Tahun 2008, Presiden Republik Indonesia dengan kewenangannya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada Tahun 2008, Presiden Republik Indonesia dengan kewenangannya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada Tahun 2008, Presiden Republik Indonesia dengan kewenangannya sebagaimana tercantum dalam Pasal 22 UUD 1945, mengeluarkan Perpu Nomor 4 Tahun 2008 tentang

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

BAB III GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN BAB III GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN A. Pembentukan Mahkamah Konstitusi Ketatanegaraan dan penyelenggaraan pemerintahan Indonesia mengalami perubahan cepat di era reformasi. Proses demokratisasi dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum artinya meniscayakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum artinya meniscayakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum artinya meniscayakan hukum menjadi pedoman/landasan oleh pemerintah dalam menjalankan pemerintahan negara. Makna

Lebih terperinci

KOMISI YUDISIAL BARU DAN PENATAAN SISTEM INFRA-STRUKTUR ETIKA BERBANGSA DAN BERNEGARA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1.

KOMISI YUDISIAL BARU DAN PENATAAN SISTEM INFRA-STRUKTUR ETIKA BERBANGSA DAN BERNEGARA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1. KOMISI YUDISIAL BARU DAN PENATAAN SISTEM INFRA-STRUKTUR ETIKA BERBANGSA DAN BERNEGARA Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1. A. PERKEMBANGAN KONTEMPORER SISTEM ETIKA PUBLIK Dewasa ini, sistem etika memperoleh

Lebih terperinci

ANALISIS REGULASI JKN DAN REGULASI TERKAIT DI FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA OLEH: RIMAWATI

ANALISIS REGULASI JKN DAN REGULASI TERKAIT DI FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA OLEH: RIMAWATI ANALISIS REGULASI JKN DAN REGULASI TERKAIT DI FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA OLEH: RIMAWATI FAKULTAS HUKUM - UGM TUJUAN KEGIATAN 1. Memberikan gambaran analisis regulasi JKN dan regulasi terkait di

Lebih terperinci

Tugas dan Wewenang serta Dasar Hukum Lembaga Negara

Tugas dan Wewenang serta Dasar Hukum Lembaga Negara Tugas dan Wewenang serta Dasar Hukum Lembaga Negara Bagan Lembaga Negara Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Tugas dan Wewenang MPR Berikut tugas dan wewenang dari Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS KEDUDUKAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG SEBAGAI DASAR HUKUM DALAM MEMUTUS PERKARA PERDATA DI LINGKUNGAN PENGADILAN AGAMA

BAB IV ANALISIS KEDUDUKAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG SEBAGAI DASAR HUKUM DALAM MEMUTUS PERKARA PERDATA DI LINGKUNGAN PENGADILAN AGAMA BAB IV ANALISIS KEDUDUKAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG SEBAGAI DASAR HUKUM DALAM MEMUTUS PERKARA PERDATA DI LINGKUNGAN PENGADILAN AGAMA Pembahasan mengenai analisis data mengacu pada data-data sebelumnya,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 21/PUU-XIV/2016 Frasa Pemufakatan Jahat dalam Tindak Pidana Korupsi

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 21/PUU-XIV/2016 Frasa Pemufakatan Jahat dalam Tindak Pidana Korupsi RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 21/PUU-XIV/2016 Frasa Pemufakatan Jahat dalam Tindak Pidana Korupsi I. PEMOHON Drs. Setya Novanto. Kuasa Pemohon: Muhammad Ainul Syamsu, SH., MH., Syaefullah Hamid,

Lebih terperinci

BAB III SUMBER HUKUM

BAB III SUMBER HUKUM BAB III SUMBER HUKUM A. Pengertian Sumber Hukum Adapun yang dimaksud dengan sumber hukum ialah segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

BAB II KEDUDUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA BAB II KEDUDUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA A. Sistem Ketatanegaraan Indonesia 1. Pengertian Menurut W.J.S. Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, yang dimaksud

Lebih terperinci

BAB III KEDUDUKAN SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 34/PUU- XII/2014

BAB III KEDUDUKAN SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 34/PUU- XII/2014 BAB III KEDUDUKAN SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 34/PUU- XII/2014 A. Latar Belakang Keluarnya SEMA No. 7 Tahun 2014 Pada awalnya SEMA dibentuk berdasarkan

Lebih terperinci

MPR sebelum amandemen :

MPR sebelum amandemen : Dalam UUD 1945, tidak dirinci secara tegas bagai mana pembentukan awal Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Penelusuran sejarah mengenai cikal-bakal terbentuknya majelis menjadi sangat penting dilakukan

Lebih terperinci

PENGUJIAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA KRISTON SIGILIPU / D

PENGUJIAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA KRISTON SIGILIPU / D PENGUJIAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA KRISTON SIGILIPU / D 101 08 523 ABSTRAK Pengujian Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem

Lebih terperinci