IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Walur (Amorphophallus campanulatus var sylvestris)

Pati ubi kayu (tapioka)

2. Karakteristik Pasta Selama Pemanasan (Pasting Properties)

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

I PENDAHULUAN. diantaranya adalah umbi-umbian. Pemanfaatan umbi-umbian di Indonesia belum

II. TINJAUAN PUSTAKA A. SAGU B. AREN

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras.

METODOLOGI PENELITIAN. Waktu dan Tempat

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

2 TINJAUAN PUSTAKA. Umbi Iles-iles. Umbi Walur

HASIL DAN PEMBAHASAN. pengolahan, penanganan dan penyimpanan (Khalil, 1999 dalam Retnani dkk, 2011).

2.6.4 Analisis Uji Morfologi Menggunakan SEM BAB III METODOLOGI PENELITIAN Alat dan Bahan Penelitian Alat

Deskripsi PROSES PRODUKSI DAN FORMULASI MI JAGUNG KERING YANG DISUBSTITUSI DENGAN TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI

LOGO. Karakterisasi Beras Buatan (Artificial Rice) Dari Campuran Tepung Sagu dan Tepung Kacang Hijau. Mitha Fitriyanto

PENDAHULUAN. penduduk sehingga terjadi masalah hal ketersediaan pangan. Ketergantungan pada

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu

Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies.

PRODUKSI CASSAVA SOUR STARCH DENGAN VARIASI MEDIA STARTER BAKTERI ASAM LAKTAT DAN LAMA FERMENTASI

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Adonan Kerupuk

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil yang telah diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan adalah

I. PENDAHULUAN. dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu

METODOLOGI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Permintaan tapioka di Indonesia cenderung terus meningkat. Peningkatan

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama. Tabel 6. Komposisi Kimia TDTLA Pedaging

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. PEMBAHASAN Analisa Sensori

Pengaruh Lama Modifikasi Heat-Moisture Treatment (HMT) Terhadap Sifat Fungsional dan Sifat Amilografi Pati Talas Banten (Xanthosoma undipes K.

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Rendemen

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pemanfaatan ubi jalar ungu sebagai alternatif makanan pokok memerlukan

III. METODOLOGI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat

II. TINJAUAN PUSTAKA A. UBI JALAR

HASIL DAN PEMBAHASAN Modifikasi Pati Singkong

SKRIPSI KEVIN ANGGA SAPUTRA F FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung merupakan daerah penghasil ubi kayu terbesar di Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Singkong ( Manihot esculenta) merupakan salah satu komoditas yang memiliki

SIFAT FUNGSIONAL DAN SIFAT PASTA PATI SAGU BANGKA [FUNCTIONAL AND PASTA PROPERTIES OF BANGKA SAGO STARCH] MERYNDA INDRIYANI SYAFUTRI *)

II. TINJAUAN PUSTAKA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 19. Variasi suhu input udara

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pragel pati singkong yang dibuat menghasilkan serbuk agak kasar

IV.HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar merupakan jenis umbi-umbian yang dapat digunakan sebagai pengganti

TINJAUAN PUSTAKA. empat di dunia. Ubi jalar merupakan salah satu sumber karbohidrat dan memiliki

HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Fungsional Tepung Jagung Swelling Volume

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang

BAB V PEMBAHASAN 5.1. Sifat Fisikokimia Kadar Air

BAB I PENDAHULUAN. Pati merupakan polisakarida yang terdiri atas unit-unit glukosa anhidrat.

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Heat Moisture Treated (HMT) Influence on Corn Flour Gelatinization Profiles

PENGARUH HEAT MOISTURE TREATED (HMT) TERHADAP PROFIL GELATINISASI TEPUNG JAGUNG

II. TINJAUAN PUSTAKA A. TEPUNG BERAS B. TEPUNG BERAS KETAN

BAB I PENDAHULUAN. buah berwarna menarik (biasanya merah), mempunyai aroma dan rasa yang. pengisi untuk meningkatkan kekentalan saus.

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. cetak non elastik setelah mengeras akan bersifat kaku dan cenderung patah jika diberi

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

KARAKTERISTIK MUTU MIE INSTAN DARI TEPUNG KOMPOSIT PATI KENTANG TERMODIFIKASI, TEPUNG MOCAF, DAN TEPUNG TERIGU DENGAN PENAMBAHAN GARAM FOSFAT

I. PENDAHULUAN. Produksi ubi jalar di Indonesia pada tahun 2013 dilaporkan sebesar ton

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Uji Pembedaan Segitiga Ikan Teri (Stolephorus sp.) Kering

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Karakteristik menir segar Karakteristik. pengujian 10,57 0,62 0,60 8,11 80,20 0,50 11,42 18,68.

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Kadar Air

KARAKTER FISIKOKIMIA DAN KADAR PATI RESISTEN TAPIOKA HASIL PERLAKUAN HEAT MOISTURE TREATMENT (HMT) MENGGUNAKAN OVEN TRI FERDIANI

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. EKSTRAKSI PATI GARUT (Marantha arundinacea L.)

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan banyak tumbuh di Indonesia, diantaranya di Pulau Jawa, Madura, Sulawesi,

PENGARUH KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA TAPIOKA TERHADAP KARAKTERISTIK FISIKO KIMIA TAPIOKA HMT YANG DIHASILKAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

KARAKTERISASI PATI BIJI DURIAN (Durio zibethinus Murr.,) DENGAN HEAT MOISTURE TREATMENT (HMT) Sumarlin Raswen Efendi Rahmayuni

POLISAKARIDA. Shinta Rosalia Dewi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

sampel pati diratakan diatas cawan aluminium. Alat moisture balance ditutup dan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

I PENDAHULUAN. Bab ini membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2)

METODOLOGI PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA Sagu

I. PENDAHULUAN. kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

PATI ALAMI. Pati adalah salah suatu bahan penyusunan yang paling banyak dan luas terdapat di alam,sebagai karbohidrat cadangan pangan pada tanaman.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODOLOGI PENELITIAN

4. PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Mi Kering Non Terigu Cooking Time

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Karakterisasi Bahan Baku Karet Crepe

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengamatan yang dilakukan pada tepung jagung nikstamal adalah sifat

PEMBAHASAN 4.1.Karakteristik Fisik Mi Jagung Cooking loss

KARAKTERISASI SIFAT FISIKOKIMIA DAN SIFAT FUNGSIONAL PATI SUWEG (Amorphophallus campanulatus var. hortensis) DENGAN METODE HEAT MOISTURE TREATMENT

Transkripsi:

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Pati Walur Alami Sifat bahan pangan dalam bentuk bubuk dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sebagai partikel dan sebagai kesatuan (bulk). Sifat bulk ditentukan oleh karakteristik fisik dan kimia bahan, ukuran, bentuk geometri bahan, sifat permukaan partikel bahan, dan sistem secara keseluruhan (Wirakartakusumah et al, 1992). Densitas kamba didefinisikan sebagai massa partikel yang menempati unit volume tertentu. Dari hasil penelitian diperoleh data bahwa pati walur mempunyai densitas kamba sebesar 0.5160 gram/ml. Hasil ini dipengaruhi oleh karakteristik pati walur itu sendiri. Data densitas kamba ini diperlukan dalam industri pangan terutama untuk memperkirakan kebutuhan ruang dalam hal penyimpanan, pengemasan, dan pengangkutan dalam distribusi bahan. Terkait dengan hal ini, semakin besar densitas kamba suatu bahan, akan semakin ekonomis bahan tersebut karena memiliki area permukaan yang lebih luas (Fennema, 1996). Sementara itu, selama proses ekstraksi pati dari umbi walur, diketahui bahwa rendemen ekstraksi pati walur berkisar antara 2.86-5.29%. Rendemen ini tergolong rendah jika dibandingkan dengan rendemen pati hasil ekstraksi dari perruvian carrot (6.91-10.30%) (Matsuguma et al., 2009), tiger nuts (15.3%), ubi jalar (20%), dan taro (10%) (Abo-El-Fetoh et al., 2010). Rendemen yang rendah ini kemungkinan disebabkan adanya proses reduksi oksalat yang dilakukan dengan perendaman menggunakan asam klorida konsentrasi 1.2 N. Perendaman dengan asam klorida akan menghidrolisis pati walur menjadi molekul-molekul yang lebih kecil sehingga rendemen pati yang dihasilkan cenderung lebih kecil jika dibandingkan dengan rendemen pati dari sumber lainnya (Herminiati dan Abbas, 2006). Ini terlihat dari rendemen pati walur sebelum direduksi kandungan oksalatnya yang berkisar antara 5.76-9.83%. Data rendemen yang dihasilkan memiliki rentang yang besar karena rendemen pengupasan yang bervariasi diakibatkan oleh bentuk dari umbi walur yang berlekuk sehingga sulit untuk dikupas secara manual dan umur dari umbi walur yang didapat sangat bervariasi sehingga kandungan pati yang dihasilkan juga bervariasi. Untuk selanjutnya yang dimaksudkan dengan pati walur kontrol atau pati walur alami adalah pati walur yang telah melalui proses reduksi oksalat. Derajat putih pati walur alami terukur sebesar 45.85 satuan. Derajat putih pati walur tercatat lebih rendah dibandingkan dengan pati kelapa sawit (83.02%), pati sagu (84.86%), dan pati tapioka (93.53%) (Ridwansyah et al., 2007). Secara visual, pati walur tampak berwarna coklat muda. Pencoklatan ini kemungkinan terjadi karena adanya kandungan senyawa fenol pada umbi walur. Pei-Lang et al. (2006) menyatakan bahwa pencoklatan yang terjadi pada pati sagu terjadi karena adanya senyawa fenol dan polifenol oksidase di dalam batang sagu. Dalam Tabel 4 dapat dilihat perbandingan sifat fisikokimia antara pati walur dengan umbi walur. Tabel 4 menunjukkan bahwa pati walur memiliki kadar air 7,65% bb. Kadar air ini masih berada pada kadar air yang baik, yaitu sekitar 6-16% (Moorthy, 2002). Kandungan air pada bahan berperan penting dalam menentukan karakteristik alir dan untuk menjalankan fungsi mekanis lainnya. Namun demikian, kadar air yang terlalu tinggi akan menyebabkan bahan menjadi lembab dan mudah ditumbuhi oleh mikroba perusak sehingga daya tahan produk selama disimpan akan berkurang (Mboungeng et al, 2008). Tabel 4 juga menunjukkan bahwa pati walur yang dihasilkan memiliki kadar lemak sebesar 0,10%. Kadar lemak ini jauh berkurang dari kadar lemak umbi walur segar yaitu sebesar 3,68%. Hal ini disebabkan oleh proses ekstraksi pati yang melibatkan penyawutan umbi,

perendaman dengan air, dan perlakuan dengan asam. Penyawutan umbi memperluas permukaan umbi sehingga pati dan komponen lainnya seperti lemak bisa terekstrak dengan maksimal. Lemak yang terdapat di dalam umbi dan ikut terekstrak bersama pati akan mengambang dikarenakan massa jenis lemak yang lebih rendah dari air, sementara pati akan tenggelam ke dasar wadah karena memiliki massa jenis yang lebih besar dari air. Menurut Fennema (1996), lemak secara alami dapat berikatan dengan granula pati. Perlakuan dengan asam akan menghidrolisis ikatan antara lemak dan pati yang terekstrak. Tabel 4. Data fisikokimia umbi walur dan pati walur Komposisi fisikokimia Walur a Pati walur Rendemen sebelum reduksi oksalat (%) - 5.76-9.83 Rendemen setelah reduksi oksalat (%) - 2.86-5.29 Densitas kamba (gram/ml) - 0.5160 Derajat putih - 45.85 Kadar air (% bb) 74.46 7.65 Kadar lemak (% bk) 3.68 0.10 Kadar protein (% bk) 1.64 3.95 Kadar abu (% bk) 1.25 1.75 Kadar karbohidrat (% bk) 18.97 86.55 Kadar serat kasar (% bk) 4.56 - Kadar pati (% bk) - 78.21 Kadar Amilosa (% bk) - 19.00 Kadar amilopektin (% bk) - 59.21 ph - 4.62 a Purnomo et al. (2010) Kadar protein pati walur tercatat sebesar 3.95% bk lebih tinggi dari kadar protein umbi walur yaitu sebesar 1.64% bk. Hal ini disebabkan proses ekstraksi yang melibatkan perlakuan asam untuk mereduksi kandungan oksalat pada pati walur. Protein yang terekstrak bersama dengan pati ketika pati mendapat perlakuan dengan asam akan tenggelam ke dasar wadah bersama dengan pati (Eromosele et al., 2008). Setelah dikeringkan, maka persen bobot protein yang terkandung di dalam pati akan menjadi semakin besar karena rendemen pati yang dihasilkan jauh lebih kecil dari umbi segar yang digunakan. Hal ini mengakibatkan persen distribusi semakin mengecil sehingga konsentrasi protein di dalam pati walur tampak lebih besar dari kadar protein umbi walur segar. Perbedaan yang besar ini juga mungkin terjadi karena karakteristik fisikokimia pati walur dibandingkan dengan umbi walur hasil penelitian Purnomo et al. (2010) bukan dengan umbi walur yang diekstrak patinya. Pada Tabel 4 juga dapat dilihat bahwa pati walur memiliki kadar abu sebesar 1.75% bk. Kadar abu pati walur ini juga lebih besar dari kadar abu umbi walur. Hal ini disebabkan karena proses ekstraksi yang tidak sempurna sehingga pati yang dihasilkan masih memiliki pengotor yang cukup tinggi (Gunaratne dan Hoover, 2002). Secara singkat, ketidakmurnian pati dapat disebabkan oleh adanya serat dan bahan pengotor (Rahman, 2007; Mboungeng et al, 2008). Kadar pati walur hasil analisis tercatat sebesar 78.21%. Kadar pati ini juga menunjukkan tingkat kemurnian pati yang dihasilkan. Rendahnya kadar pati menunjukkan proses ekstraksi yang kurang sempurna sehingga pati banyak terbuang atau terdapat banyak pengotor pada pati yang dihasilkan (Gunaratne dan Hoover, 2002). Pati sendiri tersusun atas paling sedikit 21

tiga komponen utama yaitu amilosa, amilopektin, dan bahan antara seperti lipid dan protein (Greenwood, 1976). Rasio antara amilosa dan amilopektin akan mempengaruhi karakteristik fungsional pati. Oleh karena itu perlu diketahui jumlah kandungan amilosa dan amilopektin dalam pati agar dapat diketahui aplikasi dan kualitas pati yang dihasilkan (Mboungeng et al, 2008). Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa pati walur memiliki kadar amilosa sebesar 19% dan kadar amilopektin sebesar 59.21%. Kadar amilopektin ini ditentukan dari selisih antara kadar pati dan kadar amilosa. Adapun rasio antara amilosa dan amilopektin berbeda dan bervariasi terhadap berbagai sumber pati (Tester et al, 2004). Sementara itu pati walur memiliki ph yang rendah yaitu 4.62. Menurut Mishra dan Rai (2006) dan Mboungeng et al (2008), rendahnya ph dapat terjadi karena adanya bahan pengotor pada pati yang dihasilkan. Rendahnya nilai ph pati walur juga dapat disebabkan karena adanya perlakuan dengan asam ketika mereduksi kandungan oksalat pada pati walur. B. Modifikasi Pati Walur dengan Heat-Moisture Treatment 1. Pengukuran Penetrasi Panas Wadah Aluminium Penentuan waktu HMT dilakukan untuk menentukan waktu proses HMT menggunakan pati sagu dengan kadar air 17% sebagai pengganti pati walur. Pemilihan pati sagu dikarenakan profil amilografnya berdasarkan pengukuran mirip dengan pati walur yang dihasilkan (kontrol pada Gambar 6,8, dan 9). Karakteristik yang diharapkan tercapai pada penelitian pendahuluan ini adalah perubahan profil amilograf, di mana viskositas puncak, viskositas breakdown, dan viskositas balik menjadi lebih rendah dari pati alaminya. Penentuan waktu HMT dilakukan dengan melakukan uji penetrasi panas dan uji profil amilograf menggunakan RVA untuk menentukan waktu pemanasan HMT. Uji penetrasi panas bertujuan untuk melihat keseragaman penyebaran panas di dalam wadah dengan terisi sampel dan lama waktu tunda yang terjadi sebelum suhu HMT tercapai. Penentuan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suhu yang diinginkan dapat dilihat dari titik terdingin pada sampel. Titik terdingin merupakan bagian sampel yang memiliki kecepatan peningkatan suhu paling rendah (coldest point). Tercapainya suhu yang diinginkan di titik terdingin dapat menjamin bahwa suhu yang diinginkan sudah tercapai pada titik yang lain di seluruh bagian sampel dan panas telah terdistribusi dengan baik. Salah satu alat yang dapat digunakan untuk uji penetrasi panas adalah termokopel. Termokopel terdiri dari rekorder pencatat suhu dan sensor untuk mendeteksi perubahan suhu yang terjadi. Penempatan sensor termokopel dalam loyang dilakukan secara berbeda-beda tergantung bagian terdingin dari produk. Menurut Winarno (2004) letak titik terdingin dalam kemasan tergantung pada jenis perambatan panasnya, apakah secara konveksi atau konduksi. Produk yang berbentuk padat atau sangat sedikit mengandung air bebas seperti pati memiliki perambatan panas secara konduksi. Dalam proses pindah panas konduksi, panas akan merambat dari dinding kemasan ke pusat kemasan dari segala arah, dengan demikian pusat terdinginnya akan berada di pusat kemasan (Toledo 1991). Pengukuran penetrasi panas dilakukan satu ulangan pada suhu 110 o C. Pengukuran suhu pada termokopel diprogram agar ditampilkan setiap satu menit. Penentuan penetrasi panas dilakukan dengan menempatkan sensor-sensor termokopel pada posisi tertentu yang diduga sebagai titik terdingin pada loyang HMT. Adapun dimensi dari loyang yang digunakan adalah 20 x 8.5 x 2 cm dengan tebal wadah aluminium yang digunakan adalah 0.5 mm untuk 22

tutup dan 1 mm untuk wadah. Lima termokopel digunakan untuk pengukuran. Posisi termokopel dapat dilihat pada Gambar 8. Pengujian dilakukan dengan sampel tepung sagu. Sebelum mulai pengukuran penetrasi panas, oven dipanaskan hingga mencapai suhuproses HMT yang diinginkan, yaitu 110 o C. Loyang diisi dengan sampel pati sampai penuh. Pengisian sampel pati harus dilakukan sampai penuh untuk memastikan tidak ada ruang yang dapat memungkinkan terjadinya gelatinisasi parsial selama proses HMT berlangsung. Kedua loyang berisi sampel pati dimasukkan ke dalam oven. Satu untuk pengukuran penetrasi panas, dan yang lainnya sebagai pembanding dalam penentuan profil amilograf. Pengukuran penetrasi panas dimulai saat sampel selesai dimasukkan dan diakhiri ketika termokopel menunjukkan suhu pada titik termokopel menunjukkan suhu target yaitu 110 o C. Data penetrasi panas terlihat pada Gambar 5. 8.5 cm..... Tc4 Tc1 Tc5 Tc3 Tc2 2cm.. Tc4 Tc1 Tc5 20cm (a). Tc3. Tc2. (b) (c1) (c2) Gambar 4. Posisi termokopel dalam wadah HMT. ( Keterangan: (a) loyang tampak atas, (b) loyang tampak samping, (c1) tampilan loyang yang digunakan untuk HMT, (c2) tampilan uji penetrasi pada loyang HMT, bagian tengah merupakan tempat peletakan termokopel.) 23

Tt=110 0 C; t=179menit ( Keterangan: Tc adalah titik tempat pemasangan termokopel dan Tt adalah waktu pada saat suhu 110 o C tercapai pada titik terdingin.) Posisi termokopel di dalam wadah aluminium terlihat dari samping loyang ditampilkan pada gambar. Gambar 5. Data profil penetrasi panas pati sagu kadar air 17%. Berdasarkan data dari rekorder suhu dapat terlihat bahwa hasil pengukuran suhu untuk kelima titik tidak berbeda nyata antara satu dengan yang lain (Gambar 5). Hal ini menunjukkan bahwa perambatan panas pada setiap titik yang diuji tidak berbeda jauh. Perambatan panas yang hampir sama pada setiap titik yang diuji menunjukkan bahwa ukuran loyang yang tidak terlalu besar dan tebal sehingga penyebaran panasnya cukup merata. Berdasarkan profil data penetrasi panas, termokopel pada titik ke-5 (Tc5) mencatat waktu paling lama untuk mencapai suhu target (110 o C) dan termokopel pada titik ke-2 (Tc2) mencatat waktu tersingkat untuk mencapai suhu target (110 o C). Jadi, dapat disimpulkan bahwa titik terdingin ada pada titik termokopel Tc5 yaitu titik di tengah loyang. Adapun waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suhu target berkisar antara 158-179 menit. 2. Penentuan Waktu HMT Setelah mendapatkan data tentang penetrasi panas yang terjadi saat proses HMT berlangsung, penelitian dilanjutkan dengan melakukan HMT terhadap pati sagu contoh sampai diperoleh hasil yang menunjukkan bahwa derajat modifikasi yang telah terjadi cukup untuk memperlihatkan perubahan yang berarti, berdasarkan profil amilograf pati sagu contoh. Proses HMT dilakukan selama 3 jam dan 6 jam terhitung sejak sampel dimasukkan ke dalam oven pada saat pengukuran penetrasi panas. Data profil amilograf hasil HMT dapat dilihat pada Gambar 6. 24

pati sagu kontrol, pati sagu HMT 3 jam, pati sagu HMT 6 jam Gambar 6. Data RVA pati sagu HMT selama 3 jam dan 6 jam pada suhu 110 o C dengan kadar air 17%. Berdasarkan data tersebut, dapat terlihat bahwa pati sagu mulai menunjukkan perubahan profil amilograf berupa viskositas puncak, breakdown, dan setback yang lebih rendah dari pati alaminya pada saat HMT dilakukan selama 6 jam. Oleh karena itu waktu 6 jam dipilih sebagai waktu minimum dalam melakukan proses HMT terhadap pati walur pada kadar air 17%. Modifikasi HMT pada pati walur selanjutnya dilakukan selama 6 jam, 8 jam, dan 10 jam. C. Karakteristik Pati Walur HMT Pati walur diberi perlakuan HMT selama 6 jam, 8 jam, dan 10 jam. Pati walur HMT kemudian dianalisis untuk melihat perubahan yang terjadi pada sifat fisik dan fungsionalnya. Adapun analisis yang dilakukan adalah derajat putih, sifat birefringent pati dilihat dengan mikroskop cahaya terpolarisasi, profil pasting pati, profil kapasitas pembengkakan pati dan kelarutan, karakteristik tekstur gel, dan freeze-thaw stability. 1. Derajat Putih Derajat putih merupakan salah satu penilaian mutu suatu bahan pangan berbentuk tepung khususnya yang berasal dari ekstraksi pati. Derajat putih merupakan daya memantulkan cahaya yang mengenai permukaan benda tersebut dibandingkan dengan standar contoh. Rahman (2007) menyatakan bahwa derajat putih sangat dipengaruhi kemurnian proses ekstraksi pati. Ketidakmurnian pati yang terekstrak dapat disebabkan oleh tingginya kandungan serat dan pengotor lainnya sehingga pati terlihat kurang cerah (Rahman 2007; Mboungeng et al. 2008). Tabel 5 menunjukkan HMT tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap derajat putih pada pati modifikasi. 25

Tabel 5. Derajat putih pati walur kontrol dan HMT kadar air 17%. Perlakuan Derajat Putih Kontrol 45.85 ± 0.21 Suhu 100 o C: 6 jam 46.18 ± 0.11 8 jam 46.05 ± 0.07 10 jam 46.95 ± 0.07 Suhu 110 o C: 6 jam 46.85 ± 0.07 8 jam 45.78 ± 0.11 10 jam 46.63 ± 0.04 2. Bentuk Granula Pati (mikroskop cahaya terpolarisasi) Hasil pengamatan granula pati walur dengan mikroskop cahaya terpolarisasi disajikan pada Gambar 7. Secara mikroskopis, granula pati walur alami berbentuk berbentuk oval dan bersudut banyak (poligonal) dengan permukaan yang halus dan tidak membentuk celah. Pada kondisi alaminya (Gambar 7A.) pati walur masih menunjukkan sifat birefringent. Birefringent adalah sifat granula pati yang dapat merefleksi cahaya terpolarisasi sehingga membentuk bidang biru dan kuning ketika dilihat dengan mikroskop polarisasi (Richana dan Sunarti, 2004). Terbentuknya warna biru dan kuning disebabkan adanya perbedaan indeks refraktif dalam granula pati yang dipengaruhi oleh daerah kristalin dan amorphous pati. Sifat birefringent ini juga dikenal dengan pola maltose cross (pola silang) pada pati yang terjadi akibat perpotongan bidang biru dan kuning (Pinasthi, 2011). Dari hasil pengamatan dengan mikroskop polarisasi dapat diketahui bahwa granula pati pada saat sebelum dan sesudah HMT masih menunjukkan sifat birefringent pada semua sampel yang diamati (Gambar 12.). Hal serupa juga dilaporkan oleh Vermeylen et al. (2006) pada pati kentang dan Pukkahuta et al. (2008) pada pati jagung. Selama proses pemanasan pada HMT berlangsung, penetrasi panas menyebabkan peningkatan derajat ketidakteraturan di dalam granula pati sehingga menurunkan kristalinitas pati (Hoseney, 1998). Intensitas birefringent pati sangat tergantung dari derajat dan orientasi kristal. Semakin lama waktu pemanasan yang diterapkan, semakin besar pula energi panas yang diterima sehingga sifat birefringent granula semakin melemah. 3. Profil Pasting Pati Modifikasi pati walur yang dilakukan pada suhu 100 o C dan 110 o C selama waktu 6 jam, 8 jam, 10 jam menghasilkan pati walur termodifikasi dengan profil amilograf yang berbeda dengan pati walur alaminya. Perubahan yang dihasilkan oleh modifikasi HMT ini dapat dipengaruhi oleh sumber pati dan kondisi modifikasi yang diterapkan (Olayinka et al. 2008; Zavareze dan Dias, 2010). Kurva amilografi pada pati native dan termodifikasi pati walur disajikan dalam Gambar 8 dan 9. Tabel 6 memaparkan perubahan karakteristik pasta pati walur termodifikasi. 26

G Gambar 7. Granula pati walur alami dan termodifikasi HMT dengan kadar air 17% dilihat dengan mikroskop cahaya terpolarisasi pada perbesaran 1000x (Keterangan: Kontrol (A); HMT 100 o C selama 6 jam (B); HMT 100 o C selama 8 jam (C); HMT 100 o C selama 10 jam (D); HMT 110 o C selama 6 jam (E); HMT 110 o C selama 8 jam (F); HMT 110 o C selama 10 jam (G).) a. Suhu Pasting (SP) Perlakuan kadar air merubah suhu pasting (SP) pati termodifikasi yang disajikan pada Tabel 6. Hal ini ditunjukkan dengan peningkatan suhu pasting seiring dengan peningkatan waktu dan suhu proses modifikasi pati walur yang diamati. Namun, berdasarkan analisis dengan t-test dan ANOVA didapati bahwa suhu pasting pati walur kontrol dan pati walur modifikasi HMT tidak berbeda nyata. Fenomena serupa juga diamati oleh Varatharajan et al. (2010), Lawal dan Adebowale (2005), dan Watcharatewinkul et al (2009). Kenaikan suhu pasting ini disebabkan oleh pembentukan ulang struktur di dalam granula pati (Lawal dan Adebowale, 2005). Selama proses modifikasi terjadi peningkatan interaksi antara rantai amilosa-amilosa, amilosa-amilopektin, dan amilopektion-amilopektin. Peningkatan interaksi tersebut turut meningkatkan stabilitas interaksi molekul di dalam granula (Herawati, 2009). Akibatnya, dibutuhkan suhu yang lebih tinggi untuk memutuskan ikatan tersebut (Zavareze dan Dias, 2010). b. Viskositas Puncak (VP) Viskositas puncak pati walur yang tercatat juga menurun selama modifikasi dilakukan. Penurunan drastis terjadi ketika pati walur diberi perlakuan HMT selama 6 jam. Semakin lama perlakuan HMT diberikan, penurunan viskositas puncak pati walur juga terjadi namun penurunan viskositas puncak antar perlakuan berbeda dengan penurunan viskositas puncak antara pati native dan pati yang diberi perlakuan. Ini dapat terlihat dari hasil analisis sidik ragam yang menunjukkan perbedaan yang signifikan antara viskositas puncak pati 27

walur kontrol dan pati walur HMT, namun tidak terdapat perbedaan yang nyata antara pati walur yang diberi perlakuan HMT. Hal ini terjadi karena akibat interaksi antara molekul air, amilosa, dan amilopektin yang terjadi di dalam granula pati melalui ikatan hidrogen. Interaksi yang terjadi antara ketiga molekul menyebabkan penyusunan ulang struktur granula pati. Pada penyusunan ulang ini, ikatan yang terbentuk antara amilosa-amilosa, amilosaamilopektin, dan amilopektin-amilopektin akan semakin kuat sehingga kelarutannya di air akan semakin berkurang (Varatharajan et al., 2010). Hal ini mengakibatkan turunnya viskositas puncak suspensi pati. Kontrol 6 jam 8 jam 10 jam. Gambar 8. Grafik pengaruh HMT terhadap profil pasting pati walur kontrol dan modifikasi pada kadar air 17% selama pemanasan pada suhu 100 o C. Kontrol 6 jam 8 jam 10 jam. Gambar 9. Grafik pengaruh HMT terhadap profil pasting pati walur kontrol dan modifikasi pada kadar air 17% selama pemanasan pada suhu 110 o C. 28

Tabel 6. Karakteristik pasta pati walur alami dan modifikasi HMT kadar air 17% Perlakuan Karakteristik pasta RVA* VP* (cp) VPS* (cp) VBD* (cp) VBD-R* VA* (cp) VB* (cp) VB-R* SP* ( o C) Kontrol 4324 Ab 2155 Ab 2169 Ab 50 Ab 3704 Aa 1549 Aa 72 Aa 82.1 Aa Suhu 100 o C 6 jam 3391.00 ± 411.54 Aa 2351.50 ± 306.18 Ab 1039.50 ± 105.36 Aa 31 Aa 4373.00 ± 538.82 Aa 2021.50 ± 232.64 Aa 86 Aa 83.93 ± 0.32 Aa 8 jam 2689.00 ± 104.65 Aa 1985.00 ± 101.82 Ab 704.00 ± 2.83 Aa 26 Aa 3422.50 ± 125.16 Aa 1437.50 ± 23.33 Aa 72 Aa 84.20 ± 0.00 Aa 10 jam 2480.50 ± 342.95 Aa 1839.50 ± 173.24 Ab 641.00 ± 169.71 Aa 26 Aa 3143.50 ± 485.78 Aa 1304.00 ± 312.54 Aa 71 Aa 84.35 ± 0.28 Aa Suhu 110 o C 6 jam 2949.00 ± 149.91 Aa 2299.50 ± 10.61 Ab 674.50 ± 125.16 Aa 23 Aa 3898.50 ± 210.01 Aa 1599.00 ± 220.62 Aa 69 Aa 85.15 ± 0.85 Aa 8 jam 2926.50 ± 140.71 Aa 2206.50 ± 20.51 Ab 720.00 ± 120.21 Aa 25 Aa 3731.00 ± 258.80 Aa 1524.50 ± 238.29 Aa 69 Aa 84.90 ± 1.13 Aa 10 jam 2738.00 ± 171.12 Aa 2034.00 ± 19.80 Ab 731.00 ± 113.14 Aa 27 Aa 3415.00 ± 117.38 Aa 1381.00 ± 97.58 Aa 68 Aa 84.50 ± 0.57 Aa *Keterangan: VP = Viskositas Puncak, VPS = Viskositas Panas, VBD = Viskositas Breakdown, VBD-R = Viskositas Breakdown Relatif, VA = Viskositas Akhir, VB = Viskositas Balik VB-R = Viskositas Balik Relatif, SP = Suhu Pasting. A = hasil uji dengan t test terhadap pengaruh suhu. Huruf yang sama menunjukkan antara sampel tidak berbeda nyata, a,b = hasil uji dengan ANOVA terhadap pengaruh waktu HMT. Huruf yang sama menunjukkan antara sampel tidak berbeda nyata, huruf yang berbeda menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata dengan sampel lain.

c. Viskositas Breakdown (VBD) Pengukuran viskositas breakdown bertujuan untuk mengetahui pengaruh modifikasi HMT pada pati walur terhadap kestabilan pati walur selama pemanasan. Menurut Collado et al. (2001), viskositas breakdown menunjukkan derajat kemudahan granula pati terdisintegrasi, dan merupakan indikasi derajat kestabilan granula pati. Dari data yang diperoleh dapat dilihat bahwa viskositas breakdown cenderung menurun selama modifikasi jika dibandingkan dengan kontrol. Selama pemanasan pada suhu 100 o C, viskositas breakdown cenderung menurun seiring dengan waktu pemanasan yang semakin lama. Tingkat penurunan viskositas breakdown ini lebih jelas terlihat dengan menggunakan parameter perubahan relatif viskositas breakdown terhadap viskositas puncak atau dikenal dengan viskositas breakdown relatif (Syamsir, 2012). Pada Tabel 6, telihat bahwa jika dibandingkan dengan kontrol atau pati alaminya, viskositas breakdown relatif pati walur cenderung mengalami penurunan. Penurunan ini ditegaskan dengan analisis t test dan ANOVA yang menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antara viskositas breakdown pati walur kontrol dengan sampel pati walur HMT. Hal yang serupa juga dilaporkan oleh Varatharajan et al. (2010), Olayinka et al (2006), dan Watcharatewinkul et al (2009). Hal ini menunjukkan bahwa pati walur hasil HMT lebih stabil terhadap panas. Peningkatan kestabilan pati terhadap panas terjadi akibat pembentukan ulang ikatan-ikatan yang ada di dalam granula pati walur. Pembentukan ulang ini menghasilkan ikatan amilopektin heliks ganda yang lebih banyak terutama di daerah amorphous granula pati. Pembentukan ikatan ini berperan dalam perubahan sifat kristalinitas pati (Adebowale dan Lawal, 2002). Namun, selama pemanasan pada suhu 110 o C, terjadi sedikit peningkatan pada viskositas breakdown seiring dengan waktu pemanasan yang meningkat. Hal ini juga dialami oleh Zavarese et al. (2010). Peningkatan viskositas breakdown selama modifikasi pada suhu 110 o C mungkin terjadi karena pengisian pati pada wadah saat akan melakukan HMT kurang penuh sehingga terdapat rongga di dalam wadah dan air cenderung berkumpul pada rongga tersebut. Akibatnya proses HMT menjadi kurang sempurna. d. Viskositas Balik (VB) Viskositas balik adalah ukuran yang digunakan untuk menentukan kecenderungan retrogradasi pati terkait dengan interaksi dari amilosa dan amilopektin. Menurut Akingbala dan Rooney (1987) seperti yang disitasi oleh Olayinka et al. (2008), pati dengan molekul amilosa dan amilopektin rantai pendek cenderung cepat untuk mengalami retrogradasi. Viskositas balik dari pati walur tercatat meningkat pada perlakuan HMT selama 6 jam. Namun demikian, selama proses HMT terlihat viskositas balik pati walur mengalami penurunan. Proses HMT lebih jauh bahkan menurunkan viskositas balik hingga turun di bawah viskositas balik pati walur kontrol. Jika dilihat dari pengaruh perubahan relatif viskositas balik terhadap viskositas panas, viskositas balik relatif yang dihasilkan tidak terlalu signifikan sehingga dapat dikatakan cenderung tetap jika dibandingkan dengan viskositas balik relatif pada kontrol atau pati walur alami. Hal ini ditegaskan dengan hasil analisis t test dan ANOVA yang menunjukkan bahwa baik viskositas balik maupun viskositas balik relatif dari pati walur kontrol dan pati walur HMT tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95%. Penurunan viskositas balik ini diakibatkan oleh penyusunan ulang antar molekul amilosa dan amilopektin yang menyebabkan ikatan antar molekul amilosa dan amilopektin di dalam pati menjadi lebih banyak sehingga pada akhirnya menurunkan kecenderungan untuk mengalami retrogradasi (Zavarese et al., 2010). Hal ini terlihat dari angka viskositas balik yang semakin menurun bahkan lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Kenaikan viskositas balik yang

terjadi pada awal proses HMT disebabkan oleh derajat modifikasi yang belum cukup tinggi sehingga pola yang diperlihatkan berbeda dengan pola pati walur HMT lain yang cenderung lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. 4. Profil Kapasitas Pembengkakan Pati dan Kelarutan Hasil modifikasi HMT terhadap pati walur dalam pengaruhnya terhadap profil kapasitas pembengkakan disajikan di dalam Gambar 10 dan Tabel 7. Secara garis besar terlihat bahwa profil kapasitas pembengkakan cenderung mengalami penurunan jika dibandingkan dengan kontrol. Analisis lanjut dengan menggunakan ANOVA dan t-test menunjukkan bahwa sampel pati walur kontrol berbeda nyata dengan sampel pati. Penurunan profil kapasitas pembengkakan pati juga dilaporkan pada pati kentang dan singkong (Gunaratne dan Hoover, 2002), pati beras (Hormdok dan Noomhorm, 2007), dan pati sorghum (Olayinka et al., 2008). Adapun penurunan disebabkan oleh perubahan sifat kristalinitas pati sehingga mengurangi hidrasi air pada granula pati (Waduge et al., 2006) dan formasi kompleks amilolipid (Waduge et al., 2006). Pada profil kapasitas pembengkakan pati di suhu 60 o C perubahan ini tidak terlalu nampak, perubahan ini mulai terlihat pada profil daya kembang di suhu 90 o C. Perubahan profil kapasitas pembengkakan pati ini juga terkait dengan kenaikan suhu gelatinisasi yang disebabkan oleh proses penyusunan kembali molekul di dalam granula pati, pembentukan kompleks amilo-lipid, degradasi molekul amilopektin, peningkatan interaksi antar molekul di dalam granula, dan perubahan interaksi antara daerah amorphous dan kristalit (Adebowale et al., 2005; Lorlowhakarn dan Naivikul, 2006). Tabel 7. Hasil analisis kapasitas pembengkakan pati walur alami dan modifikasi HMT pada kadar air 17% dengan menggunakan t test dan ANOVA. Kapasitas pembengkakan pati Perlakuan 60 o C 90 o C Kontrol (0 jam) 2.8713 Abab 14.8854 Aa 100 o C 6 jam 2.6925 Aa 13.0724 Aa 8 jam 2.7614 Aa 13.1066 Aa 10 jam 2.7827 Aa 12.9409 Aa 110 o C 6 jam 3.0083 Ba 12.4355 Aa 8 jam 3.0086 Ba 12.3562 Aa 10 jam 3.0242 Ba 12.3831 Aa Keterangan: A,B = hasil uji dengan t test terhadap pengaruh suhu. Huruf yang sama menunjukkan antara sampel tidak berbeda nyata, huruf yang berbeda menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata dengan sampel lain, a,b = hasil uji dengan ANOVA terhadap pengaruh waktu HMT. Huruf yang sama menunjukkan antara sampel tidak berbeda nyata, huruf yang berbeda menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata dengan sampel lain. Kelarutan pati terjadi sebagai akibat dari amilosa yang keluar dari granula selama proses pemanasan dengan air berlebih. Keluarnya amilosa ini menandakan adanya transisi di dalam granula pati dari teratur menjadi tidak teratur ketika pati dipanaskan dengan air berlebih (Tester dan Morrison, 1990 dalam Zavarese dan Dias, 2011). Besarnya kelarutan ini diukur dengan menggunakan indeks kelarutan. Data mengenai indeks kelarutan pati walur ini tersaji dalam Gambar 11 dan Tabel 8. Terlihat bahwa kelarutan dari pati walur HMT cenderung tetap jika dibandingkan dengan kontrol atau pati alaminya. Hal ini ditegaskan dengan analisis 31

menggunakan t test dan ANOVA yang menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara sampel pati walur kontrol dengan sampel pati walur HMT. Hormdok dan Noomhorm (2007) juga menyatakan bahwa tidak ada perubahan berarti yang terjadi pada indeks kelarutan antara pati beras yang diberi perlakuan HMT dengan pati beras kontrol. Tabel 8. Hasil analisis kelarutan pati walur alami dan modifikasi HMT pada kadar air 17% dengan menggunakan t test dan ANOVA. Kelarutan Perlakuan 60 o C 90 o C Kontrol (0 jam) 0.0196 Aa 0.0710 Aa 100 o C 6 jam 0.0157 Aa 0.0654 Aa 8 jam 0.0189 Aa 0.0736 Aa 10 jam 0.0144 Aa 0.0706 Aa 110 o C 6 jam 0.0161 Aa 0.0727 Aa 8 jam 0.0155 Aa 0.0686 Aa 10 jam 0.0178 Aa 0.0800 Aa Keterangan: A = hasil uji dengan t test terhadap pengaruh suhu. Huruf yang sama menunjukkan antara sampel tidak berbeda nyata, a = hasil uji dengan ANOVA terhadap pengaruh waktu HMT. Huruf yang sama menunjukkan antara sampel tidak berbeda nyata. 5. Karakteristik Tekstur Gel Atribut tekstur dari gel tergantung pada jumlah amilosa pada pati, ukuran dan kemudahan deformasi granula pati, dan interaksi antara fase granula dan fase terdispersi (Choi dan Kerr, 2003). Menurut Lee dan Osman (1991), kekuatan gel tergantung dari kemampuan molekul pati untuk berikatan dengan air melalui ikatan hidrogen. Ikatan hidrogen yang menstabilkan struktur heliks ganda di dalam granula pati akan rusak selama gelatinisasi dan akan digantikan oleh ikatan hidrogen dengan air. Oleh karena itu, kapasitas pembengkakan pati dan kekuatan gel ditentukan oleh derajat kristalinitas molekul-molekul pati (Tester dan Kalkalas, 1996). Hasil pengukuran dengan menggunakan texture analyzer dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Hasil analisis karakteristik tekstur gel pati walur alami dan modifikasi HMT pada kadar air 17% dengan menggunakan t test dan ANOVA. Karakteristik tekstur gel Perlakuan Kekerasan elastisitas kohesifitas Kelengketan Kontrol (0 jam) 2137.600 Aa 0.985 Aa 0.495 Aa 1059.700 Aa 100 o C 6 jam 1428.150 Aa 0.870 Aab 0.655 Aa 887.400 Aa 8 jam 2255.100 Aa 0.923 Aab 0.533 Aa 1195.000 Aa 10 jam 2217.300 Aa 0.755 Ab 0.408 Aa 923.325 Aa 110 o C 6 jam 2927.200 Aa 0.800 Aab 0.300 Aa 921.250 Aa 8 jam 2113.900 Aa 0.860 Aab 0.540 Aa 1159.550 Aa 10 jam 1825.300 Aa 0.813 Ab 0.345 Aa 658.550 Aa Keterangan: A = hasil uji dengan t test terhadap pengaruh suhu. Huruf yang sama menunjukkan antara sampel tidak berbeda nyata, a,b = hasil uji dengan ANOVA terhadap pengaruh waktu HMT. Huruf yang sama menunjukkan antara sampel tidak berbeda nyata, huruf yang berbeda menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata dengan sampel lain. 32

kapasitas pembengkakan (gram/gram bk) 16 14 12 10 8 6 4 2 0 0 6 8 10 lama waktu perlakuan HMT (jam) 60C, 100C 60C, 110C 90C, 100C 90C, 110C Gambar 10. Grafik pengaruh HMT terhadap kapasitas pembengkakan pati walur kontrol dan modifikasi HMT pada kadar air 17% ketika dipanaskan dengan air berlebih pada suhu 60 o C dan 90 o C. kelarutan (%) 0,09 0,08 0,07 0,06 0,05 0,04 0,03 0,02 0,01 0,00 0 6 8 10 lama waktu perlakuan HMT (jam) 60C, 100C 60C, 110C 90C, 100C 90C, 110C Gambar 11. Grafik pengaruh HMT terhadap kelarutan pati walur kontrol dan modifikasi HMT pada kadar air 17% ketika dipanaskan dengan air berlebih pada suhu 60 o C dan 90 o C. Dari Gambar 12 dan Tabel 9 dapat terlihat bahwa pada suhu 100 o C, perlakuan HMT menaikkan kekerasan dari gel yang terbentuk oleh pati walur. Analisis dengan menggunakan t test dan ANOVA menunjukkan bahwa peningkatan antar sampel tidak signifikan atau tidak berbeda nyata. Kenaikan dari kekerasan gel pati juga dilaporkan oleh Hormdok dan Noomhorm (2007) pada pati beras dan Collado dan Corke (1999) pada pati ubi manis. Kenaikan nilai kekerasan ini disebabkan oleh peningkatan ikatan silang antar molekul amilosa di dalam granula pati. Peningkatan ikatan silang ini menyebabkan kapasitas pembengkakan granula pati menurun (Gambar 10) sehingga ikatan hidrogen yang terbentuk antara molekul amilosa yang terlepas ke dalam air (junction zone) menjadi lebih banyak (Liu et al., 2000). Namun demikian, terjadi penurunan nilai kekerasan pada suhu 110 o C pada perlakuan HMT selama 8 jam dan 10 jam. Hal ini terkait dengan urutan selama pengukuran karakteristik tekstur gel. Pengukuran dilangsungkan pada suhu ruang dengan cara menaruh sampel satu-persatu dimulai dari kontrol sampai kepada pati yang mengalami pemanasan HMT selama 10 jam. 33

Dengan kata lain, ada kemungkinan terjadi thawing gel pati selama proses menunggu sebelum diukur oleh alat sehingga ada air yang terperangkap dalam gel pati sempat mencair dan keluar dari pati. Hal tersebut akan mengurangi tingkat kekerasan dari pati yang akan diukur. Elastisitas gel digunakan untuk mengetahui kemampuan gel pati untuk kembali pada kondisi semula setelah penekanan pertama (Simi dan Abraham, 2008). Dalam Gambar 13 dan Tabel 9 terlihat bahwa elastisitas pati walur cenderung menurun seiring dengan meningkatnya waktu perlakuan HMT. Hal ini terjadi karena gel pati yang terbentuk akibat perlakuan HMT yang diberikan menjadi lebih kaku dan keras. Kekerasan gel yang meningkat menyebabkan turunnya elastisitas gel pati karena kemampuan gel pati kembali ke kondisi semula menurun setelah penekanan pertama. Kohesifitas merupakan perbandingan relatif antara kerusakan gel pati akibat penekanan yang kedua terhadap kerusakan gel pati akibat penekanan pertama (Simi dan Abraham, 2008). Dari segi sensori, kohesifitas berarti kekuatan dari interaksi internal dalam mempertahankan bentuk produk (Thibodeau, 2009). Grafik pada Gambar 14 dan data pada Tabel 9 menunjukkan bahwa kohesifitas gel pati walur cenderung untuk menurun selama perlakuan HMT jika dibandingkan dengan kontrol atau pati alaminya. Namun, analisis dengan t test dan ANOVA menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara kohesifitas gel pati walur kontrol dan gel pati walur HMT. Penurunan kohesifitas gel pati juga dialami oleh Zavarese et al. (2012) pada pati jagung. Turunnya kohesifitas pati mungkin disebabkan terjadi thawing pada gel pati selama waktu tunggu pengukuran karakteristik tekstur gel berlangsung. Waktu tunggu yang semakin lama memungkinkan air yang terperangkap dalam gel pati mencair dan bahkan keluar dari gel. Selama penekanan pertama, air yang terperangkap dalam gel akan keluar sehingga kekerasan gel pada penekanan kedua akan jauh berkurang. Hal ini mengakibatkan turunnya nilai kohesifitas gel karena nilai kohesifitas merupakan perbandingan antara kekerasan gel pati pada penekanan pertama dengan penekanan kedua. Sementara itu dari grafik yang nampak dalam Gambar 15 dan data pada Tabel 9 diketahui bahwa kelengketan pada pati walur cenderung menurun seiring dengan peningkatan suhu dan waktu perlakuan HMT. Hal serupa juga dialami oleh Zavarese et al. (2012) pada pati jagung. Menurut Thibodeau (2009), nilai kelengketan berarti energi yang dibutuhkan untuk mengunyah makanan dari awal sampai kepada titik di mana makanan bisa ditelan. Sementara itu, secara analisis tekstur, kelengketan merupakan hasil kali antara kekerasan dengan kohesifitas. HMT menurunkan kelengketan gel pati. Hal ini terjadi karena adanya perlakuan HMT menyebabkan gel pati menjadi semakin keras namun semakin rapuh. Hal ini terlihat dari turunnya nilai kohesifitas gel pati dengan semakin lamanya perlakuan HMT yang diberikan. Kenaikan kekerasan pada gel tidak sebanding dengan penurunan kohesifitas dari gel pati walur sehingga kelengketan dari gel pati walur cenderung menurun seiring dengan penurunan sifat kohesifitas gel pati walur. 6. Freeze-thaw Stability Freeze-thaw stability adalah kemampuan gel pati untuk mempertahankan bentuknya tanpa mengalami sineresis ketika diberi perlakuan dengan ditempatkan pada suhu dingin dan suhu kamar secara berulang (Wadchararat et al., 2005). Retrogradasi adalah representasi dari jumlah air yang keluar sebagai akibat dari penyusutan gel pati. Jumlah air yang keluar dari dalam gel pati merupakan hasil dari interaksi ikatan hidrogen inter dan intra-molekuler di antara molekul-molekul amilosa selama penyimpanan beku (Hoover dan Manuel, 1996). Dari grafik yang ditampilkan pada Gambar 17 dapat diketahui bahwa perlakuan HMT yang 34

diberikan pati walur cenderung meningkatkan persen sineresis jika dibandingkan dengan kontrol. Kenaikan persen sineresis menandakan pati lebih mudah mengalami sineresis. Kenaikan persen sineresis ini diduga dipengaruhi oleh sifat granula pati HMT. Daya pembengkakan pati yang menurun akibat HMT meningkatkan peluang terjadinya agregasi amilosa dalam matriks gel yang cukup intensif (Syamsir, 2012). Jika dilihat dari profil viskositas balik relatif, penurunan viskositas balik relatif tidak signifikan dan cenderung tetap. Hal ini menandakan bahwa sineresis yang terjadi seharusnya tidak berbeda nyata antara pati walur alami dan pati walur HMT. Perbedaan yang jauh antara sineresis pati walur alami dan pati walur HMT mungkin disebabkan oleh larutnya amilopektin rantai pendek bersama dengan amilosa di dalam suspensi pati yang dipanaskan. Amilopektin rantai pendek diperkirakan sebagai penyebab meningkatnya kecenderungan retrogradasi pada pati walur (Yuan dan Thompson, 1998). 4000 3000 kekerasan (g f ) 2000 1000 100C 110C 0 0 6 8 10 lama waktu perlakuan HMT (jam) Gambar 12. Grafik pengaruh HMT terhadap kekerasan gel pati walur kontrol dan modifikasi pada kadar air 17%. 1,2 1,0 elastisitas (sec/sec) 0,8 0,6 0,4 0,2 100C 110C 0,0 0 6 8 10 lama waktu perlakuan HMT (jam) Gambar 13. Grafik pengaruh HMT terhadap elastisitas gel pati walur kontrol dan modifikasi pada kadar air 17%. 35

2,0 kohesifitas (sec.g f /sec.g f ) 1,6 1,2 0,8 0,4 100C 110C 0,0 0 6 8 10 lama waktu perlakuan HMT (jam) Gambar 14. Grafik pengaruh HMT terhadap kohesifitas pati walur kontrol dan modifikasi HMT pada kadar air 17%. 1400 1200 kelengketan (g f ) 1000 800 600 400 200 100C 110C 0 0 6 8 10 lama waktu perlakuan HMT (jam) Gambar 15. Grafik pengaruh HMT terhadap kelengketan gel pati walur kontrol dan modifikasi HMT pada kadar air 17%. 36

20 18 16 sineresis (%) 14 12 10 8 6 4 native 17-100-6 17-100-8 17-100-10 17-110-6 17-110-8 17-110-10 2 0 1 2 3 umur penyimpanan gel pati walur (hari) Gambar 16. Grafik pengaruh HMT terhadap freeze-thaw stability pati walur kontrol dan modifikasi HMT pada kadar air 17%. Keterangan: kadar air HMT-suhu HMT-waktu HMT. D. Evaluasi Pengaruh Faktor Proses dan Penentuan Kondisi HMT Terpilih Pengaturan kadar air HMT hingga 17% mampu memberikan pati termodifikasi HMT dengan suhu gelatinisasi yang lebih tinggi dan stabilitas termal yang lebih baik terhadap pengaruh pemanasan dan pengadukan. Pemilihan kondisi HMT dilakukan dengan memperhatikan faktorfaktor proses yang diterapkan seperti suhu dan lama waktu pemanasan. Pengaruh tersebut antara lain terlihat dari profil amilograf dan bentuk granula (Pinasthi, 2011). Dalam Tabel 7 terlihat analisis parameter yang diperlukan untuk menentukan kondisi HMT yang akan dipilih untuk uji selanjutnya. Secara garis besar, suhu modifikasi dan lama waktu pemanasan memiliki peran penting untuk mengubah karakteristik pati termodifikasi yang dihasilkan (Tabel 7). Secara umum, HMT adalah modifikasi fisik yang melibatkan kadar air terbatas, umumnya antara 10%-30%, dan pemanasan pada suhu tinggi (90-120 o C), dengan rentang waktu pemanasan antara 15 menit sampai 6 jam (Chung et al., 2009; Maache-Rezzoug et al., 2008). Dengan perlakuan kadar air terbatas (<35%), modifikasi HMT dapat menyebabkan adanya pengaturan kembali molekul amilosa dan amilopektin di dalam granula yang berimplikasi pada terjadinya perubahan sifat fisik dan kimia pati (Herawati, 2009). 37

Tabel 10. Evaluasi pengaruh faktor proses untuk menentukan kondisi HMT terpilih Parameter evaluasi yang ingin dicapai Kadar air 17% Suhu 100 C Suhu 110 C 6 jam 8 jam 10 jam 6 jam 8 jam 10 jam Penurunan VP* Penurunan VBD* Penurunan VB* Penurunan VBD-R* Penurunan VB-R* *Keterangan: viskositas puncak (PV), viskositas breakdown (VBD), dan viskositas balik (VB), viskositas breakdown relatif (VBD-R), viskositas balik relatif (VB-R), : parameter yang tercapai. Berdasarkan evaluasi pengaruh faktor proses untuk menentukan kondisi HMT terpilih terlihat bahwa perlakuan dengan kadar air 17% hampir semua menunjukkan penurunan pada parameter VP, VBD, VB, VBD-R, dan VB-R. Pengaruh utama yang ingin dilihat dari proses HMT adalah ketahanan pati terhadap panas. Oleh karena itu, karakteristik utama pati termodifikasi HMT yang diberikan perhatian khusus adalah penurunan R-VBD. Pada tabel 6. dapat dilihat bahwa pati walur HMT pada suhu 110 o C selama 6jam memberikan penurunan R-VBD yang paling signifikan. Oleh karena itu, pati HMT dengan suhu 110 o C selama 6 jam kemudian dipilih untuk dianalisis kembali untuk mengetahui karakteristik fungsional pati yang dihasilkan. 1. Karakteristik Termal Pelelehan Granula Pati HMT mempengaruhi suhu awal pelelehan (T o ), suhu puncak pelelehan (T p ), dan suhu akhir pelelehan (T c ), serta entalpi pelelehan (ΔH) granula pati. Pengaruh yang diberikan tergantung pada kadar air perlakuan, sumber pati, dan kadar amilosa awal pati. dari data yang tersaji lewat Tabel 8. dapat dilihat bahwa nilai T o, T p, dan T c dari pati walur meningkat setelah mendapatkan perlakuan HMT. Hasil yang serupa juga diamati pada pati singkong, kentang, ubi jalar (Gunaratne dan Hoover, 2002) dan pati jagung (Chung et al., 2009). Kenaikan nilai T o, T p, dan T c disebabkan karena perubahan struktur di dalam granula pati yang melibatkan interaksi antara amilosa-amilosa dan interaksi amilo-lipid (Hoover dan Vasanthan, 1994). Setelah proses HMT, interaksi amilosa-amilosa dan amilosa-lipid membuat daerah amorphous pati menjadi lebih mirip dengan struktur daerah kristalin. Sebagai hasilnya, pati modifikasi HMT butuh panas yang lebih untuk membuat pati meleleh. Oleh karena itu nilai T o, T p, dan T c yang terukur pada pati termodifikasi HMT lebih tinggi daripada pati alaminya (Zavarese dan Dias, 2010). Sementara itu, ΔH pati walur yang dimodifikasi HMT tercatat mengalami penurunan jika dibandingkan dengan ΔH pati walur alami. Gunaratne dan Hoover juga melaporkan hal yang sama terjadi pada pati kentang dan singkong, demikian juga Chung et al. (2009) pada pati jagung. Penurunan ΔH pada pati walur hasil HMT terjadi karena gangguan pada ikatan heliks ganda yang berada di daerah kristalin dan non-kristalin di dalam granula pati (Gunaratne dan Hoover, 2002). 38

Gambar 17. Grafik pengaruh HMT terhadap karakteristik termal pelelehan granula pati walur kontrol dan modifikasi pada kadar air 17%. Tabel 11. Profil pelelehan granula pati walur kontrol dan HMT kadar air 17%. Perlakuan Perubahan suhu ( C) To Tp Tc Tc-To ΔH (J/g)* Walur kontrol 37.45 78.47 123.04 85.59 125.80 Suhu110 o C 6 jam 45.62 ± 6.55 86.16 ± 8.44 131.63 ± 6.17 86.02 ± 0.39 86.02 ± 13.28 2. Morfologi Granula Struktur morfologi permukaan pati diamati dengan alat Scanning Electron Microscopy (SEM). Struktur morfologi pati walur native dan HMT disajikan pada Gambar 19. Dari gambar yang diperoleh dapat dilihat bahwa struktur permukaan pati cenderung bulat poligonal. Hasil pengamatan dengan Scanning Electron Microscope (SEM) juga menunjukkan bahwa tidak terdapat perubahan yang berarti antara kontrol dengan pati yang telah di HMT. Struktur luar pati cenderung sama pada semua perlakuan. Secara umum, tidak dilaporkan adanya perubahan pada bentuk dan ukuran granula pati pada pati jagung (Hoover dan Manuel, 1996), pati kentang, ubi jalar, singkong (Gunaratne dan Hoover, 2002), dan pati beras (Khunae et al., 2007). Namun demikian, Kawabata et al. (1994) melihat adanya keretakan pada permukaan pati jagung dan beras yang diberi perlakuan HMT bersama dengan munculnya lubang di dalam granula. Perbedaan hasil ini terjadi karena perbedaan kandungan amilosa pada masing-masing sumber pati. Zavarese et al. (2010) juga menemukan pada perlakuan HMT dengan kadar amilosa yang berbeda pada pati beras memberikan hasil yang berbeda. Perlakuan HMT pada pati beras dengan kadar amilosa tinggi dan sedang sedikit mempengaruhi bentuk dan derajat aglomerasi, mengakibatkan granula pati lebih teragregasi dan permukaan granula pati lebih tidak beraturan jika dibandingkan dengan granula pati alaminya. 39

A B 2000x 3500x C D 2000x 7500x Gambar 18. Granula walur alami dan termodifikasi dengan kadar air 17% pada beberapa perbesaran dilihat menggunakan Scanning Electron Microscope pada perbesaran 2000x, 3500x, dan 7500x. Pati walur alami (A dan B); HMT pada suhu 110 o C selama 6 jam (C dan D). 40