MEMPELAJARI KEAWETAN TEMPE PASTEURISASI DALAM KEMASAN VAKUM HDPE DAN ALUMINIUM FOIL RATIH RISTANTI

dokumen-dokumen yang mirip
II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pasteurisasi dan Pendinginan Secara umum proses pasteurisasi adalah suatu proses pemanasan yang relatif

Teti Estiasih - THP - FTP - UB

BLANSING PASTEURISASI DAN STERIISASI

BAB I PENDAHULUAN. Nilai konsumsi tahu tersebut lebih besar bila dibandingkan dengan konsumsi

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: Latar belakang, Identifikasi masalah,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. permen soba alga laut Kappaphycus alvarezii disajikan pada Tabel 6.

Pengolahan dengan Suhu Tinggi

BAB IV RESPONS MIKROBIA TERHADAP SUHU TINGGI

BAB I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

II. TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

TEKNOLOGI HASIL TERNAK. Kuliah ke 2

Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri

BAB II LANDASAN TEORI

Pengawetan dengan Suhu Tinggi

PASTEURISASI. Teti Estiasih - THP - FTP - UB 1

Analisis Kandungan Mikroba Pada Permen Soba Alga Laut Kappaphycus Alvarezii Selama Penyimpanan

III. TINJAUAN PUSTAKA

PENGARUH JENIS KEMASAN DAN LAMA PENYIMPANAN TEHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI, DAN ORGANOLEPTIK PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING. (Laporan Penelitian) Oleh

BAB I PENDAHULUAN. komposisi senyawanya terdiri dari 40% protein, 18% lemak, dan 17%

TINJAUAN PUSTAKA. Susu

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

KAJIAN PEMBUATAN EDIBEL FILM KOMPOSIT DARI KARAGENAN SEBAGAI PENGEMAS BUMBU MIE INSTANT REBUS

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

ASPEK MIKROBIOLOGIS DAGING AYAM BEKU YANG DILALULINTASKAN MELALUI PELABUHAN PENYEBERANGAN MERAK MELANI WAHYU ADININGSIH

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Bakso ikan Sumber: Dokumentasi Junide (2009)

PENGARUH FOSFORILASI DAN PENAMBAHAN ASAM STEARAT TERHADAP KARAKTERISTIK FILM EDIBEL PATI SAGU CYNTHIA EMANUEL

Haris Dianto Darwindra BAB VI PEMBAHASAN

1. PENDAHULUAN. Jenis makanan basah ataupun kering memiliki perbedaan dalam hal umur simpan

II. TINJAUAN PUSTAKA. (a) (b) (c) Gambar 1. Tanaman jagung (a), jagung (b), dan endosperm jagung (c).

III. METODOLOGI PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA Sifat Umum Susu

ASPEK MIKROBIOLOGIS PENGEMASAN MAKANAN

PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN PENGOLAHAN SECARA PENGERINGAN FAKTOR-FAKTOR PENGERINGAN PERLAKUAN SEBELUM DAN SETELAH PENGERINGAN

STERILISASI. Teti Estiasih - THP - FTP - UB 1

BAB 7. MIKROBIOLOGI HASIL PERIKANAN. 7.1 Jenis-jenis Mikroba Pada Produk Perikanan

7. LAMPIRAN. Lampiran 1. Kandungan Gizi Labu Kuning. Tabel 5. Kandungan Gizi dalam 100 g Labu Kuning. Kandungan Gizi. 0,08 mg.

Pengalengan buah dan sayur. Kuliah ITP

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mineral. Susu adalah suatu cairan yang merupakan hasil pemerahan dari sapi atau

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Ikan Selais (O. hypophthalmus). Sumber : Fishbase (2011)

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. kuning melalui proses fermentasi jamur yaitu Rhizopus oryzae, Rhizopus stolonifer, atau Rhizopus oligosporus. Tempe dikenal sebagai

I PENDAHULUAN. Bab ini membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi

PENGKAJIAN BAHAN PELAPIS, KEMASAN DAN SUHU PENYIMPANAN UNTUK MEMPERPANJANG MASA SIMPAN BUAH MANGGIS KEMALA SYAMNIS AZHAR

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

Seperti tinggrnya langit dari bumi. demikianlah tingginya ialank~( dari jalanmu. dan rancangank~i dari rancanganmu f Yesaya

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

BAB IV PENGEMASAN VACUUM DAN CUP SEALER

KENDALI STABILITAS BETA KAROTEN SELAMA PROSES PRODUKSI TEPUNG UBI JALAR (Ipomoea batatas L.) CHRISTINA MUMPUNI ERAWATI

MEMPERPANJANG UMUR SIMPAN LEMPER MENGGUNAKAN PENGEMASAN VAKUM DAN KOMBINASI PENGEMASAN VAKUM-PASTEURISASI UAP

MIKROORGANISME DALAM PENGEMAS ASEPTIK PENGENDALIAN MUTU MIKROORGANISME PANGAN KULIAH MIKROBIOLOGI PANGAN PERTEMUAN KE-12

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Karakteristik teh hijau No Parameter SNI Menurut Nasution dan Tjiptadi (1975) 1 Keadaan - Rasa

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dan merupakan hasil olahan dari kacang kedelai yang kaya akan

MENERAPKAN TEKNIK PENGOLAHAN SUHU TINGGI KD 1 PRINSIP-PRINSIP PENGAWETAN DENGAN PENGOLAHAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian. Tabel 3. Pertumbuhan Aspergillus niger pada substrat wheat bran selama fermentasi Hari Fermentasi

KERUSAKAN BAHAN PANGAN TITIS SARI

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN DAGING RAJUNGAN (Portunus pelagicus) REBUS PADA SUHU KAMAR

PENDUGAAN MASA KADALUWARSA DENDENG LUMAT IKAN PATIN (Pangasius hypophthalmus) PADA KEMASAN ALUMINIUM FOIL. Oleh

I. PENDAHULUAN. yaitu berkisar jam pada suhu ruang 27 C. Salah satu alternatif untuk

Pengolahan, Pengemasan dan Penyimpanan Hasil Pertanian

I. PENDAHULUAN. dan cepat mengalami penurunan mutu (perishable food). Ikan termasuk komoditi

TINJAUAN PUSTAKA. Kacang merah atau kacang jogo tergolong pangan nabati. Kacang merah

I. PENDAHULUAN. juga mengandung beberapa jenis vitamin dan mineral. Soeparno (2009)

Teknologi pangan adalah teknologi yang mendukung pengembangan industri pangan dan mempunyai peran yang sangat penting dalam upaya mengimplementasikan

BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Kendal terkenal dengan sentra pertanian, salah satunya adalah

PENGAWETAN PANGAN. Oleh: Puji Lestari, S.TP Widyaiswara Pertama

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. makanan. Makanan tradisional seperti yang kita kenal,yaitu tahu, tempe, kecap, tauco, susu

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengasapan Ikan. Pengasapan adalah salah satu teknik dehidrasi (pengeringan) yang dilakukan

KAJIAN FENOMENA DAN PENGHAMBATAN RETROGRADASI BIKA AMBON ANNI FARIDAH

Yoghurt Sinbiotik - Minuman Fungsional Kaya Serat Berbasis Tepung Pisang

Pengeringan Untuk Pengawetan

BAB I PENDAHULUAN. upaya untuk menyelamatkan harga jual buah jambu getas merah terutama

BAB I PENDAHULUAN. Usus sapi merupakan bagian dalam hewan (jeroan) sapi yang dapat. digunakan sebagai sumber bahan makanan hewani. Sebagian masyarakat

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SKRIPSI STUDI KINETIKA PERUBAHAN MUTU TEMPE SELAMA PROSES PEMANASAN. Oleh SUHENDRI F

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I. PENDAHULUAN. (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tersusun oleh aneka macam bahan baku dan bahan tambahan (Hariyadi, 2014).

METODOLOGI PENELITIAN

HUBUNGAN KUALITAS MINYAK GORENG YANG DIGUNAKAN SECARA BERULANG TERHADAP UMUR SIMPAN KERIPIK SOSIS AYAM OLEH UMMI SALAMAH F

VI. PENGAWETAN MAKANAN MENGGUNAKAN SUHU TINGGI

I. PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi

Pengaruh waktu dan Nutrien dalam pembuatan yoghurt dari susu dengan starter plain Lactobacillus Bulgaricus menggunakan alat fermentor

SNI Standar Nasional Indonesia. Saus cabe

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. segar mudah busuk atau rusak karena perubahan komiawi dan kontaminasi

Prinsip pengawetan. Mencegah/memperlambat kerusakan mikrobial. Mencegah/memperlambat laju proses dekomposisi (autolisis) bahan pangan

PRAKTIKUM PRAKARYA KIMIA PEMBUATAN TEMPE

ABSTRAK. Kata kunci: Penaeus sp, stick, limbah kulit udang PENDAHULUAN

KOMBINASI KITOSAN DENGAN KALIUM SORBAT, NATRIUM BENZOAT DAN EKSTRAK TERUNG PUNGO

Sosis ikan SNI 7755:2013

Transkripsi:

MEMPELAJARI KEAWETAN TEMPE PASTEURISASI DALAM KEMASAN VAKUM HDPE DAN ALUMINIUM FOIL RATIH RISTANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Mempelajari Keawetan Tempe Pasteurisasi Tempe Dalam Vakum Kemasan HDPE dan Aluminium Foil adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Juni 2010 Ratih Ristanti IPN/F251070121

ABSTRACT RATIH RISTANTI. Study of Shelf Life of Pasteurized Tempe Vacuum Packed with HDPE and Aluminium Foil Packaging. Under direction of PURWIYATNO HARIYADI and EKO HARI PURNOMO. Tempe is very perishable food at room temperature. Several techniques used to process tempe for its preservation have been developed. These processing techniques include drying, frying, and canning have been used to achieve long shelf life of tempe, with the significant loss of tempe s freshness. The objective of this research was to evaluate the effect of pasteurization process, as a milder heat treatment, in combination with vacuum packaging on extending shelf life of tempe. Using a target microbe of nonproteolytic C. botulinum with z value of 7.2 o C and D 85 of 0.28 minutes, the extent of pasteurization process was based on the heat penetration data and calculated as Pv = P 85 (z=7.2). Our result indicated that 6D reduction of C. botulinum was easily achieved at all temperatures of pasteurization. Futhermore, from several combinations of time and temperature studied, the optimum pasteurization value resulted in maximum shelf life of pasteurized tempe. The optimum pasteurization values of tempe vacuum packed in HDPE and stored at 5, 15, and 20 o C were 35.05, 35.36 and 33.30 minutes. The associated maximum shelf life of the tempe were 24, 16, and 13 days. For tempe vacuum packed in aluminium foil and stored at 5, 15, and 20 o C, the optimum pasteurization values were 37.04, 35.44, and. 42.47 minutes. These optimum pasteurization values resulted in shelf life of 25, 17, and 12 days. Therefore, the longest shelf life of 25 days was obtained from P 85 (z=7.2) of 37 minutes by using aluminium foil packaging and stored at 5 o C. The anomaly observations, in which the shelf life was not proportional to the pasteurization value, was interesting and thought to be associated with complex microbiological nature of tempe as fermented soyfood. Key words: tempe, shelf life, pasteurization, vacuum, HDPE, aluminium foil

RINGKASAN RATIH RISTANTI. Mempelajari Keawetan Tempe Pasteurisasi Dalam Kemasan Vakum HDPE dan Aluminium Foil. Dibimbing oleh PURWIYATNO HARIYADI dan EKO HARI PURNOMO. Potensi tempe di Indonesia cukup tinggi, namun belum diimbangi dengan sifat tempe yang mudah rusak dan umur simpan yang singkat pada suhu ruang. Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalahan tersebut dibutuhkan metode pengawetan yang tepat. Salah satu metode pengawetan yang dapat dilakukan adalah pasteurisasi dan pengemasan vakum. Selama ini kombinasi suhu dan waktu pasteurisasi yang digunakan masih ditujukan untuk menentukan umur simpan terpanjang dan penurunan kualitas yang minimum untuk suatu kondisi dan dimensi/ukuran tempe yang spesifik. Namun belum ada informasi parameter yang menentukan keawetan maksimum hasil aplikasi proses termal. Dalam rangka mengoptimasi aplikasi proses termal pada tempe diperlukan metode pengemasan yang tepat dan informasi tentang kinetika laju penurunan mutu tempe selama pengolahan. Dengan demikian perlu dilakukan penelitian terhadap kajian pengaruh jenis kemasan dan proses pasteurisasi terhadap mutu tempe. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan nilai pasteurisasi dari berbagai kombinasi perlakuan pasteurisasi, mempelajari pengaruh nilai pasteurisasi terhadap keawetan tempe yang dikemas vakum dalam HDPE dan alumunium foil, mempelajari pengaruh nilai pasteurisasi terhadap sifat fisik tempe, menentukan nilai pasteurisasi tempe yang dikemas dalam aluminium dan HDPE vakum, dan menentukan kinetika perubahan mutu tempe selama penyimpanan. Penelitian ini bersifat eksploratif untuk menentukan pengaruh nilai pasteurisasi (Pv) terhadap keawetan tempe. Tahap kegiatan dilakukan dalam dua tahap, yaitu : penentuan nilai pasteurisasi dan evaluasi mutu sifat fisik tempe selama penyimpanan. Penelitian diawali dengan penentuan nilai pasteurisasi (Pv) dari berbagai kombinasi suhu dan waktu. Tempe dikemas vakum dengan kemasan HDPE dan aluminium foil. Selama proses pasteurisasi diperoleh data penetrasi panas yang selanjutnya digunakan untuk melihat profil perubahan suhu dari produk selama pemanasan dan menentukan nilai pasteurisasi. Suhu dan waktu yang digunakan adalah kisaran suhu 70 95 o C dan kisaran waktu 0 40 menit. Pada tahap evaluasi mutu tempe hasil pasteurisasi, tempe hasil pasteurisasi selanjutnya disimpan pada suhu 5, 15, dan 20 o C, dan diamati laju reaksi penurunan mutu (k). Pengamatan mutu meliputi ph, tekstur, daya iris, dan warna. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai pasteurisasi (Pv) yang diperoleh dari berbagai kombinasi perlakuan berkisar antara 0 hingga 378 menit. Pada kombinasi suhu dan waktu pasteurisasi yang sama, tempe yang dikemas dalam HDPE vakum memiliki Pv lebih tinggi dibandingkan tempe yang dikemas dalam aluminium foil vakum. Pasteurisasi dapat memperpanjang keawetan tempe. Keawetan maksimum diperoleh pada nilai pasteurisasi optimum. Namun, keawetan tempe mengalami penurunan pada nilai pasteurisasi lebih dari nilai pasteurisasi optimum. Nilai pasteurisasi optimum yang memberikan keawetan maksimum pada suhu penyimpanan 5, 15, dan 20 o C untuk kemasan vakum HDPE yaitu 35.05, 35.36,

dan 33.30 menit. Keawetan maksimum yang diperoleh pada suhu penyimpanan 5, 15, dan 20 o C untuk kemasan vakum HDPE yaitu 24, 16, dan 13 hari. Sedangkan nilai pasteurisasi yang memberikan keawetan optimum pada suhu penyimpanan 5, 15, dan 20 o C untuk kemasan vakum alumunium foil yaitu 37.04, 35.44, dan 42.47 menit. Keawetan maksimum yang diperoleh pada suhu penyimpanan 5, 15, dan 20 o C untuk kemasan vakum aluminium foil yaitu 25, 17, dan 12 hari. Dengan demikian, keawetan terpanjang yaitu selama 25 hari yang diperoleh pada nilai pasteurisasi 37 menit dengan menggunakan kemasan vakum aluminium foil dan disimpan pada suhu 5 o C. Penurunan keawetan setelah nilai pasteurisasi optimum disebabkan terjadinya kompetisi antar mikroba pembusuk pada tempe. Proses pasteurisasi akan membunuh kapang, sehingga memberi kesempatan pada mikroba pembusuk. Umumnya mikroba pembusuk yaitu mikroba yang tahan panas. Pertumbuhan mikroba pembusuk yang merombak protein akan mengakibatkan terbentuknya senyawa-senyawa berbau busuk seperti bau amoniak dan terbentuknya gas. Adanya mikroba perombak protein akan mengakibatkan tempe cepat mengalami kebusukan. Nilai pasteurisasi yang lebih dari 15 menit mengakibatkan kerusakan atau degradasi tempe dari parameter ph, tekstur, daya iris, dan warna semakin cepat. Selama penyimpanan, nilai konstanta laju perubahan (k) ph, tekstur, daya iris, dan warna semakin besar seiring dengan semakin tingginya nilai pasteurisasi setelah 15 menit. Namun nilai k semakin kecil dengan rendahnya suhu penyimpanan. Berdasarkan hasil yang diperoleh, untuk membuat keawetan yang lebih panjang maka disarankan untuk mengembangkan proses pemanasan dengan cara sterilisasi komersial. Kata kunci: tempe, keawetan, pasteurisasi, vakum, HDPE, alumunium foil

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

MEMPELAJARI KEAWETAN TEMPE PASTEURISASI DALAM KEMASAN VAKUM HDPE DAN ALUMINIUM FOIL RATIH RISTANTI Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

Judul Tesis Judul Tesis Nama NIM : Mempelaam Kemasan Vakum HDPE dan Aluminium Foil : Mempelajari Keawetan Tempe Pasteurisasi Dalam Kemasan Vakum HDPE dan Alumunium Foil : Ratih Ristanti : F251070121 Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc. Ketua Dr. Eko Hari Purnomo, STP, M.Sc. Anggota Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Pangan Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S. Tanggal Ujian : 15 April 2010 Tanggal Lulus :

Judul Tesis Nama NIM : Mempelajari Proses Pasteurisasi Tempe dalam Kemasan HDPE dan Alumunium Foil Vakum : Ratih Ristanti : F251070121 Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc. Dr. Eko Hari Purnomo, STP, M.Sc. Ketua Anggota Diketahui Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S. Tanggal Ujian : 15 April 2010 Tanggal Lulus :

PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah swt atas segala karunia- Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak April hingga November 2009 ini adalah keamanan pangan, dengan judul Mempelajari Keawetan Tempe Pasteurisasi Dalam Kemasan Vakum HDPE dan Aluminium Foil. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc dan Dr. Eko Hari Purnomo, STP, MSc selaku komisi pembimbing atas dukungan dan arahan yang diberikan baik selama proses penelitian hingga selesainya penulisan tesis ini. Tidak lupa saya ucapkan terima kasih kepada Dr. Ir Feri Kusnandar, M.Sc selaku penguji ujian tesis yang telah banyak memberi saran, Dr. Ir. Ratih Dewanti- Hariyadi selaku Ketua Program Studi Ilmu Pangan, Bapak Gatot dan Ibu Rubiah beserta staf teknisi Laboraturium Departemen ITP FATETA IPB, Bapak Junaedi dan Bapak Deni beserta staf teknisi Laboraturium SEAFAST Center, yang telah membantu dalam memberikan dukungan dan fasilitas selama penelitian. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada suami tercinta Chamdani, mama, ibu, papa, abah, serta seluruh keluarga atas doa dan kasih sayangnya, serta teman-teman IPN 2005-2008. Semoga tesis ini bermanfaat bagi yang membaca umumnya dan bagi penulis sendiri khususnya. Bogor, Juni 2010 Ratih Ristanti

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Karawang pada tanggal 16 November 1985 dari ayah Ir. Suismono, M.Si dan ibu Rini Deliszar. Penulis merupakan putri pertama dari tiga bersaudara. Tahun 2003 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Karawang dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas Brawijaya Malang melalui jalur PMDK. Penulis memilih Program studi Teknologi Hasil ternak, Fakultas Peternakan dan telah berhasil lulus sarjana pada bulan April 2007. Pada tahun 2007 penulis terdaftar sebagai mahasiswi pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada program studi Ilmu Pangan. Selama mengikuti perkualiahan, penulis menjadi asisten Ilmu Daging pada tahun ajaran 2005/2006. Penulis aktif dan menjadi Executive Secretary pada organisasi International Association of Student in Agricultural and Related Sciences (IAAS) periode 2004-2005. Pada tahun 2004 penulis menjuarai Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) XVII di STT Telkom Bandung sebagai pemenang poster terbaik dan pada tahun 2005 menjuarai PIMNAS XVIII di Universitas Andalas Padang sebagai penyaji dan poster terbaik. Pada tanggal 19 Juli 2009 penulis menikah dengan Chamdani.

DAFTAR ISI DAFTAR ISI... Halaman DAFTAR TABEL... xiii DAFTAR GAMBAR... xiv DAFTAR LAMPIRAN... xvi DAFTAR ISTILAH... xix DAFTAR SIMBOL... I. PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Rumus Masalah... 2 1.3 Tujuan Penelitian... 2 1.4 Manfaat Penelitian... 3 II. TINJAUAN PUSTAKA... 4 2.1 Tempe dan Manfaatnya... 4 2.2 Kerusakan Tempe... 5 2.3 Pengawetan Tempe... 6 2.4 Pengemasan Vakum... 7 2.5 Pasteurisasi... 9 2.6 Penyimpanan Suhu Rendah... 12 2.7 Mikroba Target... 13 III. BAHAN DAN METODOLOGI... 16 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian... 16 3.2 Bahan dan Alat... 16 3.3 Prosedur Penelitian... 16 3.3.1 Penentuan Nilai Pasteurisasi... 16 3.3.2 Evaluasi Mutu Sifat Fisik Tempe Hasil Pasteurisasi Selama Penyimpanan... 18 3.4 Pengamatan... 18 3.4 1 Analisis ph... 18 3.4 2 Analisis Tekstur... 18 3.4 3 Analisis Daya Iris... 19 3.4.4 Analisis Intensitas Warna... 19 IV. HASIL DAN PEMBAHAN... 20 4.1 Nilai Pasteurisasi Tempe... 20 4.2 Korelasi Antara Nilai Pasteurisasi dan Umur Simpan Tempe... 23 4.3 Perubahan Sifat Fisik Tempe Selama Penyimpanan... 28 4.3.1 Nilai ph... 28 4.3.2 Tekstur... 33 4.3.3 Slicing Quality (Daya Iris)... 37 4.3.4 Warna... 41 xi xx xi

V. SIMPULAN DAN SARAN... 46 5.1 Simpulan... 46 5.2 Saran... 47 DAFTAR PUSTAKA... 48 LAMPIRAN... 54 xii

Tabel DAFTAR TABEL Halaman 1 Nilai gizi tempe dalam 100 g berat bahan yang dapat dimakan (Bdd) dan 100 g bahan kering... 4 2 Standar mutu tempe menurut SNI 01-3144-1992... 5 3 Jenis mikroba yang banyak digunakan pada proses termal sebagai mikroba target dan karakteristik ketahanannya terhadap panas... 14 4 Suhu minimum pertumbuhan beberapa mikroba patogen... 15 5 Titik kritis tempe yang tidak layak konsumsi... 24 6 Hasil pengamatan visual terhadap keawetan tempe... 24 xiii

Gambar DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Grafik thermal death time... 10 2 Tahapan penelitian... 17 3 Profil data penetrasi panas pada pusat geometris tempe (7x7x3 cm) yang dikemas dalam aluminium foil dan HDPE vakum selama pemanasan dan pendinginan pada suhu medium pemanas 95 o C... 20 4 Korelasi antara waktu pemanasan dan pendinginan terhadap nilai pasteurisasi tempe yang dikemas vakum dalam aluminium foil dan HDPE pada suhu medium pemanas 95 o C... 21 5 Kondisi tempe yang menunjukkan kerusakan. Penggelembungan kemasan pada tempe yang dikemas vakum dalam HDPE (a), penggelembungan kemasan pada tempe yang dikemas vakum dalam aluminium foil (b), penampakan tempe yang sudah menimbulkan bau asam, berlendir, dan tektur yang lembek (c), dan penampakan tempe yang sudah menimbulkan warna coklat kehitaman (d)... 23 6 Korelasi antara nilai pasteurisasi dan umur simpan tempe yang dikemas dalam vakum aluminium foil (a) dan HDPE (b). Inset menunjukkan pola perubahan keawetan tempe pada Pv 0-70 menit. Garis menunjukkan pola keawetan tempe pada suhu penyimpanan 5 o C, garis menunjukkan pola keawetan tempe pada suhu penyimpanan 15 o C, dan garis menunjukkan pola keawetan tempe pada suhu penyimpanan 20 o C... 25 7 Korelasi antara nilai pasteurisasi dan ph tempe yang dipanaskan dengan Pv lebih dari 15 menit dan dikemas vakum dalam HDPE dan aluminium foil... 29 8 Degradasi ph tempe yang dipanaskan dengan P 85 (z=7.2) = 122.12 menit dan dikemas vakum dalam aluminium foil selama penyimpanan dalam penentuan nilai k perubahan ph... 30 9 Nilai k perubahan ph selama penyimpanan pada tempe yang dipanaskan dengan Pv lebih dari 15 menit dan dikemas vakum dalam aluminium foil (a) dan HDPE (b)... 31 10 Korelasi antara nilai pasteurisasi dan energi aktivasi perubahan ph tempe yang dipanaskan dengan Pv lebih dari 15 menit dan dikemas vakum dalam HDPE dan aluminium foil... 32 11 Korelasi antara nilai pasteurisasi dan kedalaman penetrasi tempe yang dipanaskan dengan Pv lebih dari 15 menit dan dikemas vakum dalam HDPE dan aluminium foil... 33 12 Degradasi ph tempe yang dipanaskan dengan P 85 (z=7.2) = 122.12 menit dan dikemas vakum dalam aluminium foil selama penyimpanan dalam penentuan nilai k perubahan tekstur... 34 xiv

13 Nilai k perubahan tekstur selama penyimpanan pada tempe yang dipanaskan dengan Pv lebih dari 15 menit dan dikemas vakum dalam aluminium foil (a) dan HDPE (b)... 35 14 Korelasi antara nilai pasteurisasi dan energi aktivasi perubahan tekstur tempe yang dipanaskan dengan Pv lebih dari 15 menit dan dikemas vakum dalam HDPE dan aluminium foil... 37 15 Korelasi antara nilai pasteurisasi dan daya iris tempe yang dipanaskan dengan Pv lebih dari 15 menit dan dikemas vakum dalam HDPE dan alumunium foil... 38 16 Degradasi daya iris tempe yang dipanaskan dengan P 85 (z=7.2) = 122.12 menit dan dikemas vakum dalam aluminium foil selama penyimpanan dalam penentuan nilai k perubahan daya iris... 39 17 Nilai k perubahan daya iris selama penyimpanan pada tempe yang dipanaskan dengan Pv lebih dari 15 menit dan dikemas vakum dalam aluminium foil (a) dan HDPE (b)...... 40 18 Korelasi antara nilai pasteurisasi dan energi aktivasi perubahan daya iris tempe yang dipanaskan dengan Pv lebih dari 15 menit dan dikemas vakum dalam HDPE dan aluminium foil... 41 19 Korelasi antara nilai pasteurisasi dan warna tempe yang dipanaskan dengan Pv lebih dari 15 menit dan dikemas vakum dalam HDPE dan aluminium foil...... 42 20 Degradasi warna tempe yang dipanaskan dengan P 85 (z=7.2) = 122.12 menit dan dikemas vakum dalam aluminium foil selama penyimpanan dalam penentuan nilai k perubahan warna... 43 21 Nilai k perubahan warna selama penyimpanan pada tempe yang dipanaskan dengan Pv lebih dari 15 menit dan dikemas vakum dalam aluminium foil (a) dan HDPE (b)... 44 22 Korelasi antara nilai pasteurisasi dan energi aktivasi perubahan warna tempe yang dipanaskan dengan Pv lebih dari 15 menit dan dikemas vakum dalam HDPE dan aluminium foil... 45 xv

Lampiran 2a DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Persamaan kurva kalibrasi termokopel... 54 Profil data penetrasi panas tempe yang dikemas vakum dalam aluminium foil pada suhu medium pemanas 70 o C... 54 2b Profil data penetrasi panas tempe yang dikemas vakum dalam aluminium foil pada suhu medium pemanas 75 o C... 55 2c Profil data penetrasi panas tempe yang dikemas vakum dalam aluminium foil pada suhu medium pemanas 80 o C... 56 2d Profil data penetrasi panas tempe yang dikemas vakum dalam aluminium foil pada suhu medium pemanas 85 o C... 56 2e Profil data penetrasi panas tempe yang dikemas vakum dalam aluminium foil pada suhu medium pemanas 90 o C... 57 2f Profil data penetrasi panas tempe yang dikemas vakum dalam aluminium foil pada suhu medium pemanas 95 o C... 58 3a Profil data penetrasi panas tempe yang dikemas vakum dalam HDPE pada suhu medium pemanas 70 o C... 59 3b Profil data penetrasi panas tempe yang dikemas vakum dalam HDPE pada suhu medium pemanas 75 o C... 59 3c Profil data penetrasi panas tempe yang dikemas vakum dalam HDPE pada suhu medium pemanas 80 o C... 60 3d Profil data penetrasi panas tempe yang dikemas vakum dalam HDPE pada suhu medium pemanas 85 o C... 61 3e Profil data penetrasi panas tempe yang dikemas vakum dalam HDPE pada suhu medium pemanas 90 o C... 61 3f Profil data penetrasi panas tempe yang dikemas vakum dalam HDPE pada suhu medium pemanas 95 o C... 62 4a Nilai pasteurisasi tempe yang dikemas vakum dalam aluminium foil pada suhu medium pemanas 70 o C... 63 4b Nilai pasteurisasi tempe yang dikemas vakum dalam aluminium foil pada suhu medium pemanas 75 o C... 63 4c Nilai pasteurisasi tempe yang dikemas vakum dalam aluminium foil pada suhu medium pemanas 80 o C... 64 4d Nilai pasteurisasi tempe yang dikemas vakum dalam aluminium foil pada suhu medium pemanas 85 o C... 65 4e Nilai pasteurisasi tempe yang dikemas vakum dalam aluminium foil pada suhu medium pemanas 90 o C... 65 xvi

4f 5a Nilai pasteurisasi tempe yang dikemas vakum dalam aluminium foil pada suhu medium pemanas 95 o C... 66 Nilai pasteurisasi tempe yang dikemas vakum dalam HDPE pada suhu medium pemanas 70 o C... 67 5b Nilai pasteurisasi tempe yang dikemas vakum dalam HDPE pada suhu medium pemanas 75 o C... 68 5c Nilai pasteurisasi tempe yang dikemas vakum dalam HDPE pada suhu medium pemanas 80 o C... 68 5d Nilai pasteurisasi tempe yang dikemas vakum dalam HDPE pada suhu medium pemanas 85 o C... 69 5e 5f 6a Nilai pasteurisasi tempe yang dikemas vakum dalam HDPE pada suhu medium pemanas 90 o C... 70 Nilai pasteurisasi tempe yang dikemas vakum dalam HDPE pada suhu medium pemanas 95 o C... 70 Rataan nilai ph tempe yang dikemas vakum dalam aluminium foil setelah pasteurisasi... 71 6b Rataan nilai ph tempe yang dikemas vakum dalam HDPE setelah pasteurisasi 71 7a Nilai k perubahan nilai ph tempe yang dikemas vakum dalam aluminium foil selama penyimpanan... 72 7b Nilai k perubahan nilai ph tempe yang dikemas vakum dalam HDPE selama penyimpanan... 72 8 Nilai energi nilai tekstur aktivasi tempe yang dikemas vakum dalam aluminium foil dan HDPE... 72 9a Rataan nilai tekstur tempe yang dikemas vakum dalam aluminium foil setelah pasteurisasi... 73 9b Rataan nilai ph tempe yang dikemas vakum dalam HDPE setelah pasteurisasi. 73 10a Nilai k perubahan nilai tekstur tempe yang dikemas vakum dalam aluminium foil selama penyimpanan... 74 10b Nilai k perubahan nilai tekstur tempe yang dikemas vakum dalam HDPE selama penyimpanan... 74 11 Nilai energi nilai tekstur aktivasi tempe yang dikemas vakum dalam aluminium foil dan HDPE... 74 12a Rataan nilai daya iris tempe yang dikemas vakum dalam aluminium foil setelah pasteurisasi... 75 12b Rataan nilai daya iris tempe yang dikemas vakum dalam HDPE setelah pasteurisasi... 76 13a Nilai k perubahan nilai daya iris tempe yang dikemas vakum dalam aluminium foil selama penyimpanan... 76 xvii

13b Nilai k perubahan nilai daya iris tempe yang dikemas vakum dalam HDPE selama penyimpanan... 77 14 Nilai energi nilai daya iris aktivasi tempe yang dikemas vakum dalam aluminium foil dan HDPE... 77 15a Rataan nilai daya iris tempe yang dikemas vakum dalam aluminium foil setelah pasteurisasi... 78 15b Rataan nilai daya iris tempe yang dikemas vakum dalam HDPE setelah pasteurisasi... 78 16a Nilai k perubahan nilai daya iris tempe yang dikemas vakum dalam aluminium foil selama penyimpanan... 78 16bNilai k perubahan nilai daya iris tempe yang dikemas vakum dalam HDPE selama penyimpanan... 79 17 Nilai energi nilai daya iris aktivasi tempe yang dikemas vakum dalam aluminium foil dan HDPE... 79 xviii

DAFTAR ISTILAH Tempe segar : Tempe yang memiliki aroma khas tempe, tekstur yang kompak, penampakan halus tanpa lendir, dan berwarna putih kekuningan. Tempe busuk : Tempe yang telah menunjukkan perubahan fisik dan organoleptik seperti berbau asam atau amoniak, tekstur tidak kompak dan lunak, serta timbul lendir di permukaan tempe. Kemasan vakum Proses termal Pasteurisasi Nilai D : Kemasan yang dirancang agar terjadi pengeluaran semua udara di dalam kemasan tanpa diganti dengan gas lain. : Proses pengawetan pangan dengan menggunakan suhu tinggi untuk menghasilkan produk pangan yang secara mikrobiologis aman dan mutu yang dapat diterima. : Proses pemanasan pada produk pangan dengan menggunakan suhu relatif rendah (kurang dari 100 o C) dengan tujuan untuk membunuh sel vegetatif (khususnya patogen) dan menginaktivasi enzim. : Waktu yang dibutuhkan untuk membunuh mikroba pada suhu tertentu sebesar 1 siklus logaritma atau 90 %. Nilai z : Perubahan suhu yang diperlukan untuk merubah nilai D sebesar 1 siklus logaritma. Daya iris :Gaya yang diperlukan untuk mengiris/memotong Umur simpan atau keawetan : Waktu antara saat produksi dan pengemasan, sampai dengan produk tersebut tidak dapat lagi diterima oleh konsumen pada kondisi penyimpanan tertentu xix

DAFTAR SIMBOL (z=7.2) Pv = P 85 T T ref k E a R : Nilai pasteurisasi : Suhu produk : Suhu referensi : Konstanta laju reaksi penurunan mutu : Energi aktivasi : konstanta gas ideal (1.986 kal/mol) xx

1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tempe merupakan produk pangan tradisional yang dibuat dari kacang kedelai yang difermentasi dengan menggunakan kapang Rhizopus. Tempe merupakan komoditas potensial sebagai sumber protein nabati. Potensi tempe di Indonesia cukup tinggi. Peningkatan konsumsi tempe didorong oleh kesadaran masyarakat tentang gizi dan manfaat tempe bagi kesehatan. Hardinsyah et al. (2008) menyebutkan bahwa rata-rata konsumsi produk tempe di Indonesia pada tahun 2007 yaitu 7.9 kg/kapita. Potensi tempe yang tinggi tidak diimbangi dengan sifat tempe yang mudah rusak dan umur simpan yang singkat. Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah tersebut dibutuhkan suatu metode pengawetan yang tepat. Proses termal merupakan salah satu teknologi pengolahan bahan pangan tertua dan paling sederhana yang telah banyak diaplikasikan. Pengawetan dengan proses termal termasuk efektif dalam memperpanjang daya awet dan umur simpan pangan olahan. Studi aplikasi proses termal untuk memperpanjang umur simpan tempe telah banyak dilakukan seperti sterilisasi, penggorengan, dan pengalengan. Namun aplikasi proses termal yang menghasilkan tempe dengan karakteristik tempe segar masih belum tersedia. Penelitian proses termal pada umumnya ditujukan untuk menentukan kombinasi suhu dan waktu pemanasan tempe yang menghasilkan umur simpan terpanjang dan penurunan kualitas yang minimum. Hasil tersebut berlaku untuk suatu kondisi dan dimensi/ukuran tempe yang spesifik. Sebagai akibatnya ditemukan berbagai kombinasi suhu dan waktu yang berbeda-beda tergantung kondisi penelitian yang dilakukan. Situasi ini menggiring pada suatu pertanyaan mendasar, parameter apakah yang menentukan keawetan maksimum hasil aplikasi proses termal. Informasi parameter penentu umur simpan maksimum saja ternyata tidak cukup untuk mendesain proses pengolahan dengan panas yang optimum. Informasi yang mendasar tentang kinetika laju penurunan mutu tempe selama pengolahan dengan panas juga diperlukan. Sehingga muncul pertanyaan

2 selanjutnya, bagaimana laju penurunan mutu tempe selama proses pasteurisasi dan bagaimana tingkat sensitifitas laju penurunan mutu terhadap perubahan suhu? Informasi tersebut sangat diperlukan dalam rangka mengoptimasi aplikasi proses termal pada tempe. Dalam rangka menunjang optimasi proses termal, metode pengemasan turut memegang peranan penting dalam pengawetan bahan pangan. Metode yang digunakan adalah pengemasan vakum. Jenis kemasan yang digunakan adalah kemasan yang dapat menahan laju transmisi gas oksigen dan laju transmisi uap air, yaitu kemasan HDPE dan aluminium foil. Berdasarkan uraian di atas, maka diperlukan penelitian terhadap proses pasteurisasi tempe dalam kemasan HDPE dan alumunium foil vakum. 1.2 Rumusan Masalah Potensi tempe yang tinggi tidak diimbangi dengan sifat tempe yang mudah rusak dan umur simpan yang singkat. Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah tersebut dibutuhkan suatu metode pengawetan yang tepat. Pengawetan dapat dilakukan dengan proses pasteurisasi. Dalam rangka mengoptimasi aplikasi metode pengemasan dan proses termal pada tempe, diperlukan parameter proses yang dapat menentukan keawetan tempe hasil aplikasi proses termal. Selanjutnya perlu diketahui berapakah nilai laju penurunan mutu tempe selama proses pasteurisasi serta bagaimana tingkat sensitifitas laju penurunan mutu terhadap perubahan suhu. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Menentukan nilai pasteurisasi dari berbagai kombinasi perlakuan pasteurisasi. 2. Mempelajari pengaruh nilai pasteurisasi terhadap keawetan tempe yang dikemas vakum dalam HDPE dan alumunium. 3. Mempelajari pengaruh nilai pasteurisasi terhadap sifat fisik tempe. 4. Menentukan kinetika perubahan mutu tempe selama penyimpanan.

3 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk : 1. Bahan informasi bagi produsen dan industri pengolahan tempe tentang penggunaan jenis kemasan dan proses pasteurisasi dalam mengurangi perubahan mutu tempe selama penyimpanan. 2. Meningkatkan umur simpan tempe.

4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tempe dan Manfaatnya Tempe merupakan produk pangan tradisional yang dibuat dari kacang kedelai yang difermentasi dengan menggunakan kapang Rhizopus. Jenis kedelai berkulit kuning lebih banyak dimanfaatkan untuk pembuatan tempe dibandingkan kedelai berkulit hitam (Purwanti 2004). Pengolahan kedelai menjadi tempe bisa menyebabkan beberapa perubahan fisik dan kimia pada kedelai serta meningkatkan daya cerna tempe. Selama proses fermentasi terjadi penguraian dan penyederhanaan komponen-komponen yang terdapat pada kedelai. Proses tersebut terjadi akibat bekerjanya enzim-enzim seperti proteolitik, lipolitik, dan hidrolitik lainnya (Hermanianto 1996). Nilai gizi kedelai dan tempe secara terperinci disajikan pada Tabel 1, sedangkan standar mutu tempe menurut SNI 01-3144-1992 dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 1 Nilai gizi tempe dalam 100 g berat bahan yang dapat dimakan (Bdd) dan 100 g bahan kering Komposisi Proksimat Satuan Bdd Bahan Kering Air g 55.3 0 Abu g 1.6 3.6 protein g 20.7 46.5 Lemak g 8.8 19.7 Karbohidrat g 13.5 30.2 Serat g 3.2 7.2 Mineral Kalsium mg 155.1 347.0 Fosfor mg 323.6 724.0 Besi mg 4.0 9.0 Vitamin Tiamin μg 0.1 0.3 Riboflavin μg 0.3 0.7 Niasin μg 1.13 2.5 As. Pantotenat μg 232.4 520.0 Piridoksin μg 44.7 100.0 Vitamin B12 μg 1.7 3.9 Biotin μg 23.7 53.0 Sumber : Hermana dan Karyadi (2001)

5 Tabel 2 Standar mutu tempe menurut SNI 01-3144-1992 No Parameter Syarat mutu 1 Bau, warna, rasa Normal (khas tempe) 2 Kadar air (b/b) Maksimum 65 % 3 Kadar abu (b/b) Maksimum 1.5 % 4 Kadar protein (N x 6.25) (b/b) Minimum 20 % 5 Kadar lemak (b/b) Minimum 10 % 6 Serat kasar (b/b) Maksimum 2.5 % 7 Cemaran mikroba : Escherichia coli Salmonella 8 Cemaran logam : Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Timah (Sn) Raksa (Hg) Maksimum 10 % (APM/g) Maksimum negatif (per 25 g) Maksimum 2.0 mg/kg Maksimum 30.0 mg/kg Maksimum 40.0 mg/kg Maksimum 40.0/250.0 mg/kg Maksimum 0.03 mg/kg 9 Cemaran Arsen Maksimum 1.0 mg/kg Sumber : SNI 01-3144-1992 Dari data tersebut terlihat bahwa tempe memiliki kandungan protein yang cukup tinggi. Dari seluruh protein tempe, sekitar 56 persen dapat dimanfaatkan oleh manusia dan setiap 100 gram tempe segar dapat menyumbangkan 10.9 gram protein. Bila orang dewasa mengkonsumsi setiap hari 100 gram tempe, maka lebih dari 25 persen kebutuhan proteinnya telah dapat dipenuhi (Yee et al. 1999). Tempe memiliki rasa khas yang enak, tekstur yang menyerupai daging, dan nilai gizinya yang cukup tinggi. Keunggulan-keunggulan tempe lainnya yaitu kaya akan serat, mengandung antibiotik alami, ideal bagi penderita diabetes, dan ideal bagi penderita hipertensi (USDA 2001). 2.2 Kerusakan Tempe Tempe tergolong ke dalam bahan pangan yang mudah rusak. Kerusakan yang terjadi pada tempe bisa disebabkan oleh proses fermentasi yang diindikasikan dengan terbentuknya amonia dan perubahan nilai ph. Jika diinkubasi dalam jangka waktu yang lama, tempe akan ditumbuhi spora kapang yang berwarna abu-abu atau hitam di bagian ujung. Menurut Nuraini et al. (1995), deskripsi tempe yang tidak layak untuk dikonsumsi lagi adalah apabila tempe tersebut sudah dalam keadaan busuk, berbau amonia, atau alkohol. Pada

6 kondisi tersebut ada aktivitas enzim dari bakteri kontaminan. Pada kelembaban yang tinggi atau suhu fermentasi tempe yang berlebihan, bakteri kontaminan akan beraktivitas. Dengan kondisi tersebut tempe menjadi basah dan berlendir, warna kecoklatan, rapuh, dan miselium tumbuh tidak merata. Kerusakan tempe juga dapat disebabkan oleh perubahan nilai ph selama fermentasi. Selama fermentasi akan terjadi degradasi protein. Semakin lama proses fermentasi dari kondisi optimumnya, protein akan didegradasi oleh enzimenzim proteolitik membentuk senyawa amonia. Koswara (1992) menyatakan bahwa terbentuknya amonia adalah penyebab kerusakan utama pada tempe. Produksi amonia ini akan berkorelasi positif dengan meningkatnya ph. Peningkatan ph akibat produksi amonia oleh aktivitas enzim ini menghasilkan bau busuk. Dengan demikian, semakin lama waktu fermentasi atau pemeraman maka mutu tempe yang dihasilkan akan semakin menurun. 2.3 Pengawetan Tempe Bahan pangan hasil pertanian akan mengalami kerusakan, sehingga umur simpan bahan pangan menjadi terbatas. Hal yang perlu diperhatikan dalam memperpanjang umur simpan yaitu jenis bahan pangan yang akan diawetkan, jenis kerusakan yang dominan terjadi dan penyebabnya, serta penentuan metode pengawetan yang sesuai dengan sifat bahan pangan (Damayanthi dan Mudjajanto 1995). Beberapa teknik pengawetan tempe menurut Shurtleff dan Aoyagi (1980) antara lain, yaitu : (1) penyimpanan pada suhu dingin, (2) pembekuan, (3) blansir, (4) pengeringan, (5) pengeringan beku (freeze drying) yang dilakukan dengan cepat, (6) pengeringan semprot (spray drying), (7) penggorengan, dan (8) pengalengan. Beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk memperpanjang umur simpan tempe antara lain dengan membuat tempe instan (Prihatna 1991), pembuatan tempe berflavor yang dikeringkan (Mutiara 1985), tempe berflavor yang dikemas vakum (Nuraini et al. 1995), pengeringan dan sterilisasi (Kemala 2006), serta kombinasi penambahan bumbu, blansir, pengemasan vakum, dan sterilisasi (Indriani 2006). Hasil dari penelitian tersebut umumnya menghasilkan

7 kombinasi suhu dan waktu yang menghasilkan tempe dengan umur simpan terpanjang dan penurunan kualitas yang minimum untuk suatu kondisi dan dimensi/ukuran tempe yang sangat spesifik. Kombinasi suhu dan waktu yang dihasilkan berbeda-beda tergantung kondisi penelitian yang dilakukan. Lebih lanjut, Winarno (1985) mengemukakan terdapat teknik baru yang dapat memperpanjang umur simpan tempe, yaitu dengan menunda proses fermentasi. Fermentasi dilakukan pada saat tempe akan dikonsumsi. Tujuan pengawetan tempe adalah untuk mengantisipasi kerusakan, memperpanjang umur simpan dan meningkatkan jumlah dan variasi makanan olahan berbahan baku tempe. Koswara (1992) menyatakan bahwa tujuan pengolahan dan pengawetan tempe adalah menghasilkan produk yang bernilai ekonomis lebih tinggi dan lebih awet serta sebagai usaha penganekaragaman pangan. 2.4 Pengemasan Vakum Pengemasan memegang peranan penting dalam pengawetan produk. Bahan kemasan dapat berupa bahan logam maupun bahan lain seperti bermacammacam plastik, gelas, kertas, karton, dan aluminium foil. Kemasan dapat membantu mengurangi atau mencegah terjadinya kerusakan, melindungi bahan pangan yang ada di dalamnya, melindungi dari bahaya pencemaran, maupun bahaya fisik seperti gesekan, benturan, tumpukan dan getaran (Sugiyono et al. 2004). Fungsi perlindungan dari pengemasan perlu memperhatikan aspek-aspek mutu yang akan dilindungi. Mutu produk ketika sampai ke konsumen tergantung pada kondisi produk, metode pengolahan, dan kondisi penyimpanan. Kemasan dapat digolongkan berdasarkan berbagai hal antara lain : frekuensi pemakaian, struktur sistem kemasan, sifat kekakuan bahan kemas, sifat perlindungan terhadap lingkungan, dan tingkat kesiapan pakai. Penggunaan plastik sebagai kemasan makanan cukup menarik karena cukup luwes, mudah dibentuk, mempunyai adaptasi yang tinggi terhadap produk, tidak korosif seperti wadah logam, dan mudah dalam penanganannya (Syarief et al. 1989). Plastik yang biasa digunakan dalam pengawetan adalah jenis

8 plastik untuk kemasan pangan (food grade). Pemilihan kemasan yang tepat bertujuan untuk menghindari munculnya bahaya bagi kesehatan. Selain plastik, jenis kemasan lain yang sering digunakan adalah aluminium foil. Pengemasan dengan menggunakan aluminium foil dapat melindungi produk dari udara, penguapan, perpindahan panas, kontaminasi dan kontak dengan bahan kimia. Santoso et al. (2004) menyatakan bahwa kemasan plastik dan alumunium foil mudah di dapat di pasaran, harga relatif murah, bersifat fleksibel atau mudah dibentuk. Untuk memperpanjang umur simpan tempe, maka beberapa perlakuan dapat dilakukan, antara lain dengan pengemasan vakum. Pengemasan vakum adalah pengeluaran semua udara di dalam kemasan tanpa diganti dengan gas lain (Roth 1992). Kemasan vakum dibuat dengan memasukkan produk ke dalam plastik, diikuti dengan pemompaan udara keluar kemudian ditutup, setelah itu kemasan direkatkan dengan panas (Jay 2000). Dengan demikian akan terjadi perbedaan tekanan antara bagian dalam kemasan dengan bagian luar (Faradissa 1996). Proses pengvakuman dalam kemasan bertujuan untuk menurunkan kandungan udara di dalam kemasan, termasuk oksigen. Kandungan oksigen yang rendah mampu menghambat pertumbuhan mikroba. Menurut Peterson et al. (1999) dalam Nugroho (2007) rendahnya oksigen yang terdapat di dalam kemasan mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan mikroba seperti Pseudomonas, Moraxella, Acinetobacter, Flavobacterium, dan Cytophaga. Dennis (1983) dalam Ersan (1986) menyebutkan bahwa tujuan dari kevakuman suatu kemasan adalah : (1) untuk memindahkan unsur-unsur dalam atmosfer yang dapat menyebabkan reaksi fisik atau kimia selama proses, (2) untuk mengganggu keseimbangan yang ada pada ruangan mormal seperti memindahkan gas terlarut atau terikat atau cairan yang mudah menguap dari sebagian besar bahan, (3) memperluas jarak, sehingga partikel bergerak bebas tanpa benturan antara sumber dan sasaran, (4) mengurangi banyaknya tumbukan molekul tiap detik, sehingga mengurangi kontaminasi permukaan. Jenis kemasan yang dapat digunakan untuk pengemasan vakum antara lain alumunium foil dan plastik. Plastik yang digunakan dalam kemasan vakum yaitu plastik yang mempunyai permeabilitas yang rendah terhadap oksigen dan tahan

9 (Sacharow dan Griffin 1980). Plastik yang umumnya digunakan untuk pengemasan vakum adalah polietilen (PE), polipropilen (PP) dan nilon/polietilen (Ni/Pe). Jenis kemasan vakum dapat digunakan pula untuk tujuan proses termal. Jenis kemasan yang dapat digunakan pada proses pasteurisasi adalah kemasan yang tahan terhadap suhu pemanasan yang tinggi, dapat menahan laju transmisi gas oksigen dan uap air. Tampubolon et al. (1996) dalam penelitiannya menyatakan bahwa pembuatan bandeng presto dalam kemasan High Density Polyethylene (HDPE) menghasilkan karakteristik kimiawi, mikrobiologi dan organoleptik terbaik selama precooking pada suhu 121 o C selama 30 menit serta sterilisasi pada suhu 121 o C selama 45 menit. 2.5 Pasteurisasi Proses pasteurisasi merupakan proses pemanasan pada suhu dan waktu tertentu (umumnya dilakukan pada suhu di bawah 100 o C). Panas digunakan untuk membunuh mikroba pembusuk dan patogen, sehingga dapat meningkatkan keamanan dan memperpanjang daya awet bahan pangan dalam jangka waktu tertentu. Kusnandar et al. (2006) menyatakan bahwa pasteurisasi bertujuan untuk mengurangi populasi mikroba pembusuk. Bahan pangan yang dipasteurisasi tersebut akan mempunyai daya awet beberapa hari sampai dengan beberapa bulan. Pasteurisasi biasanya dilakukan pada produk yang mudah rusak apabila dipanaskan atau tidak dapat disterilisasi secara komersial. Pasteurisasi membunuh semua mikroba psikofilik, mesofilik dan sebagian yang bersifat termofilik. Biasanya pasteurisasi dipadukan dengan teknik penyimpanan pada suhu rendah. Tujuannya untuk mencegah pertumbuhan mikroba termofilik yang suhu pertumbuhan minimumnya cukup tinggi. Proses pasteurisasi bisa menggunakan sistem batch atau sistem sinambung. Dalam sistem batch, pasteurisasi menggunakan bak air panas pada suhu yang telah ditentukan. Bahan yang akan dipasteurisasi dicelupkan ke dalam air panas selama selang waktu yang telah ditentukan. Jika pemanasan telah

10 tercapai, produk tersebut diangkat dan dicelupkan ke dalam bak lain yang berisi air dingin (Toledo 1991). Proses pasteurisasi dalam sistem sinambung menggunakan konveyor yang secara sinambung akan mentransportasikan produk masuk melalui bak air panas dan akhirnya melalui bak air pendingin. Waktu pemanasan dapat dikendalikan dengan mengendalikan kecepatan konveyor. Keuntungan dengan sistem ini adalah proses pemanasan akan berjalan lebih cepat, sehingga tidak membutuhkan ruangan yang terlalu besar (Toledo 1991). Proses pasteurisasi dapat dilakukan sebelum dikemas atau setelah dikemas. Proses pasteurisasi yang dilakukan sebelum dikemas dapat menerapkan sistem sinambung. Teknologi ini terutama memproses produk cair (susu, sari buah, dan telur cair) ataupun produk semi padat (pasta, yoghurt, dan bubur), dimana proses pemanasannya dapat dilakukan dengan alat penukar panas (heat exchanger) yang umumnya beroperasi secara sinambung. Proses pasteurisasi setelah dikemas dilakukan dengan mengemas dahulu bahan pangan dalam kemasan (misal gelas, kaleng, atau plastik). Setelah pasteurisasi, bahan pangan didinginkan kembali sampai mencapai suhu sekitar 40 o C untuk mengevaporasi sisa-sisa air. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya proses korosi dan mempermudah proses penempelan dan pengeleman label pada permukaan bahan pengemas (Kusnandar et al. 2006). Proses pasteurisasi dalam pengolahan pangan perlu dihitung kecukupan panasnya agar kombinasi suhu dan waktu yang diberikan dalam proses pemanasan cukup untuk membunuh mikroba pembusuk atau pembusuk. Kecukupan proses pasteurisasi untuk membunuh mikroba target pada level yang diinginkan dinyatakan sebagai nilai pasteurisasi (Pv) (Kusnandar et al. 2006).

11 Pv Pv 85 Gambar 1 Grafik thermal death time Nilai pasteurisasi (Pv) dapat ditentukan dengan menggunakan uji waktu kematian termal atau thermal death time (TDT) (Gambar 1). Berdasarkan Gambar 1 dapat dijabarkan sebagai berikut: t logt log Pv log m T T T T ref Pv ref (1) Karena 1 z pada t 10Pv maka : m T t Tref T ref T t T Tref z z log Tref atau t Pv. 10 atau Pv dt Pv z 10 (2) 0 dimana t adalah thermal death time pada suhu T, Pv adalah TDT pada suhu referensi (T ref ), dan m adalah slope dari grafik. Penetapan kecukupan proses pasteurisasi didasarkan atas dua faktor, yaitu ketahanan panas mikroba dan kecepatan panas berpenetrasi ke dalam produk pangan yang dikemas selama pasteurisasi. Ketahanan panas mikroba tergantung pada target mikroba yang harus dibunuh. Untuk menentukan waktu yang diperlukan untuk membunuhnya hingga mencapai level tertentu diperlukan nilai D dan nilai z (Kusnandar et al. 2006). Kecepatan penetrasi panas terhadap produk diperoleh dengan menentukan profil hubungan suhu dan waktu pemanasan selama proses pasteurisasi. Profil

12 pindah panas dari medium pemanas ke dalam bahan perlu diketahui untuk menghitung nilai pasteurisasi. Umumnya proses pasteurisasi di industri menerapkan sistem batch. Sistem ini tidak berlangsung pada suhu konstan tetapi terjadi perubahan suhu selama proses pemanasan. Dengan demikian, nilai pasteurisasi didasarkan pada total panas yang diterima oleh produk selama proses pemanasan (Kusnandar et al. 2006). Kombinasi suhu dan waktu dalam proses pasteurisasi akan mempengaruhi efektifitas proses pasteurisasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi yaitu : (a) ketahanan panas mikroba (nilai D dan nilai z), karakteristik produk (jumlah mikroba awal, jenis bahan pangan, dan ph bahan pangan); (b) peralatan proses (jenis medium pemanas, jenis retort, dan profil distribusi panas), serta (c) jenis dan ukuran kemasan yang digunakan (Kusnandar et al. 2006). Proses pasteurisasi yang dilakukan tidak semata-mata membunuh mikroba, tetapi juga harus mempertimbangkan mutu akhir produk. Kerusakan mutu oleh pemanasan harus diminimalkan. Optimasi proses pasteurisasi diperlukan untuk menentukan kombinasi suhu dan waktu selama pemanasan dan pendinginan yang dapat memenuhi kriteria keamanan mutu pangan. Karakteristik produk pangan dan jenis kemasan yang digunakan juga bisa sangat menentukan kombinasi suhu dan waktu yang diperlukan untuk tujuan pasteurisasi tersebut. 2.6 Penyimpanan Suhu Rendah Penyimpanan merupakan suatu perlakuan dimana bahan pangan baik yang telah dikemas maupun yang belum dikemas akan ditempatkan dalam suatu ruangan pada suhu dan kelembaban tertentu untuk proses selanjutnya. Prinsip penyimpanan yaitu pengendalian kecepatan proses metabolisme dan fisik seperti laju respirasi dan transpirasi, timbulnya infeksi penyakit, dan mempertahankan produk dalam bentuk yang paling berguna bagi konsumen. Beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam penyimpanan yaitu karakteristik bahan pangan, pengontrolan kondisi lingkungan, perhitungan teoritis untuk memilih jenis kemasan dan perkiraan lama penyimpanan hingga aspek ekonomi. Kondisi penyimpanan yang kurang baik dapat menyebabkan penurunan mutu bahan pangan (Syarief dan Khalid 1993).

13 Penyimpanan bahan pangan dengan cara pendinginan dapat dilakukan pada suhu chilling dan suhu refrigerator. Suhu chilling berada pada kisaran 10 15 o C dan refrigerator berada pada kisaran 0 2 o C sampai 5 7 o C (Fardiaz dan Jenie 1989). Penyimpanan pada suhu ini dapat mengurangi kecepatan proses biokimia dan pertumbuhan mikroba, memperpanjang daya awet bahan pangan, serta mencegah pertumbuhan mikroba termofilik dan mesofilik. Suhu 5 7 o C bisa memperlambat pertumbuhan bakteri pembusuk dan patogen, dan bisa mengurangi kecepatan reaksi enzim dan mikroba serta memperlambat respirasi pada bahan pangan segar. Semakin rendah suhu, maka semakin lambat terjadinya reaksi kimia, aktivitas enzim dan pertumbuhan mikroba (Buckle et al. 1987). 2.7 Mikroba Target Tempe merupakan produk yang mudah rusak dan rentan terhadap bahaya kontaminasi mikroba, sehingga tempe mempunyai umur simpan yang pendek. Salah satu metode pengawetan untuk memperpanjang umur simpan tempe yaitu pasteurisasi. Untuk memaksimalkan proses pasteurisasi, pengemasan secara vakum dan penyimpanan pada suhu rendah memegang peranan penting dalam pengawetan bahan pangan. Pemilihan mikroba target didasarkan pada kemampuan hidup mikroba pada kondisi anaerobik, ketahanan yang tinggi terhadap panas, dan dapat bertahan pada suhu rendah selama penyimpanan. Mikroba anaerob yaitu mikroba yang mampu hidup tanpa membutuhkan oksigen untuk pertumbuhannnya. Afolabi dan Popoola (2005) menyatakan bahwa mikroba yang terdapat pada tempe antara lain Staphylococcus aureus, Clostridium botulinum, Salmonella spp., Yersinia enterocolitica, dan Bacillus cereus. Mikroba-mikroba tersebut dapat hidup secara anaerob. Fardiaz dan Jenie (1989) menyatakan bahwa Clostridium botulinum, Salmonella spp., Yersinia enterocolitica, dan Bacillus cereus dapat hidup secara anaerbik. Ketahanan panas suatu mikroba dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam (karakteristik sel) yang mempengaruhi sifat ketahanan terhadap panas diantaranya jenis, spesies, umur sel, dan bentuknya (sel vegetatif atau spora). Sedangkan faktor luar yang mempengaruhi

14 ketahanan suatu mikroba terhadap panas yaitu kondisi pertumbuhan dan komposisi medium pemanasan (Fardiaz dan Jenie 1989). Umumnya mikroba yang mempunyai ketahanan terhadap suhu tinggi selama pasteurisasi adalah mikroba yang membentuk spora. Spora mikroba lebih tahan panas dibandingkan sel vegetatifnya. Mikroba yang dapat membentuk spora yaitu kelompok Bacillus dan Clostridium. Bakteri pembentuk spora mempunyai suhu optimum dan maksimum pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan bakteri yang tidak membentuk spora. Ketahanan panas yang tinggi ditunjukkan dengan nilai D yang tinggi. Nilai D dan z untuk inaktivasi mikroba dan kerusakan gizi penting dalam proses termal dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Jenis mikroba yang banyak digunakan pada proses termal sebagai mikroba target dan karakteristik ketahanannya terhadap panas Mikroba Nilai z ( o F) Nilai D 250 (menit) B.stearothermophilus 12.6 4.0 B.subtilis 13.3-23.4 0.48-0.76 B.cereus 17.5 0.0065 B.perfrigenes 18 - B.sporogenes (PA3679) 19.1 0.48 Clostridium botulinum 17.8 0.21 Clostridium thermosaccharolyticum 16-22 3.0-4.0 Coxiella burnetti 8 - Sumber : Hariyadi (2009) Proses pendinginan dapat memperlambat pertumbuhan mikroba. Suhu pendinginan komersial biasanya dibawah 5-7.2 o C dapat menghambat pertumbuhan mikroba. Namun, C. botulinum tipe E yang mempunyai sehu mimimum pertumbuhan pada 3.3 o C tidak dapat dihambat. Suhu mimimum untuk pertumbuhan beberapa bakteri patogen dapat dilihat pada Tabel 4. Dalam Tabel 4 terlihat bahwa beberapa mikroba patogen masih dapat tumbuh pada suhu di bawah 7.2 o C. oleh karena itu, suhu pendinginan makanan belum menjamin makanan tersebut bebas dari mikroba patogen (Fardiaz dan Jenie 1989).

15 Tabel 4 Suhu mimimum pertumbuhan beberapa mikroba patogen Bakteri patogen Suhu mimimum pertumbuhan ( o C) Aeromonas hydrophila 1-5 a Bacillus cereus 10 b Camphylobacter jejuni 27 a Clostridium botulinum (tipe E) 3.3 a Clostridium perfringens 20 a Escherichia coli 4 a Listeria monocytogenes 3 a Plesiomonas shigelloides 8 a Salmonella 5.2 a Staphylococcus aureus 10 a Vibrio parahaemolyticus 5 a Yersinia enterocolitica 7 a Sumber : a Frazier dan Westhoff (1988) dalam Fardiaz dan Jenie (1989); b Feijoo et al. (1997) Penentuan mikroba target penting dalam perhitungan nilai pasteurisasi (Pv). Hal ini berkaitan dengan nilai z dan suhu referensi (T ref ) yang akan digunakan. Nilai z dan T ref yang berbeda akan menghasilkan nilai pasteurisasi yang berbeda pula (Teck 2007). Berdasarkan parameter pemilihan mikroba target, C. botulinum tipe nonproteolitik yang mampu hidup pada kondisi aerob, memiliki ketahanan pada suhu tinggi selama pemanasan, dan bertahan pada suhu rendah selama penyimpanan (Doyle 2002; Grecz dan Arvay 1982). Lindstőm et al. (2003) melaporkan bahwa C.botulinum tipe nonproteolitik terdapat pada produk ikan yang dikemas vakum dan diasap. Selain itu, Hariyadi (2009) mengungkapkan bahwa mikroba tersebut dijadikan mikroba target pada proses pasteurisasi dan penyimpanan pada suhu rendah produk crabmeat. Berdasarkan uraian di atas, mikroba target yang digunakan dalam penelitian ini adalah Clostridium botulinum tipe nonproteolitik dengan nilai D 85 sebesar 0.28 menit dan nilai z sebesar 7.2 o C (Lund dan Notermans 2005; Lindstőm et al. 2003).

16 III. BAHAN DAN METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan April sampai dengan November 2009 di laboraturium SEAFAST Center dan Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB. 3.2 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah tempe komersial yang diperoleh langsung dari pengrajin tempe di wilayah Bogor, kemasan plastik High Density Polyethylen (HDPE) dan aluminium foil. Alat yang digunakan meliputi waterbath, gelas ukur, gelas piala, pasteurizer, thermometer, termokopel, vacuum packer, pisau, penggaris, refrigerator, ph meter, penetrometer, Texture Analyzer (Texture Expert TA- XT2i), dan Minolta Chromamater CR-310. 3.3 Prosedur Penelitian Penelitian ini bersifat penelitian eksplorasi untuk menentukan pengaruh nilai pasteurisasi (Pv) terhadap keawetan tempe. Tahap kegiatan dilakukan dalam 2 tahap, yaitu penentuan nilai pasteurisasi dan evalusi sifat fisik tempe selama penyimpanan. Data yang dikumpukan pada penelitian eksplorasi ini menggunakan metode observasi (Munir 2008). Tahapan penelitian disajikan pada Gambar 2. 3.3.1 Penentuan Nilai Pasteurisasi Tahap penentuan nilai pasteurisasi dilakukan dengan uji penetrasi panas (Kusnandar et al. 2006). Langkah awal dilakukan kalibrasi termokopel untuk mendapatkan akurasi pengukuran suhu. Persamaan kurva kalibrasi termokopel tersaji pada Lampiran 1.

17 Tempe komersial Tempe kontrol Pengemasan vakum (perlakuan) Pasteurisasi (perlakuan) Evaluasi mutu tempe selama penyimpanan pada suhu 5, 15, dan 20 o C Gambar 2 Tahapan penelitian Setelah kalibrasi termokopel selesai, termokopel dipasang pada pusat geometris tempe (7x7x3 cm) kemudian kemasan yang berisi tempe dikemas vakum. Kemasan yang digunakan adalah HDPE dan alumunium foil. Selama proses pasteurisasi, suhu di dalam tempe akan tercatat pada display termokopel. Suhu pemanasan yang digunakan sebesar 70 95 o C selama 0 40 menit. Profil penetrasi panas yang diperoleh kemudian digunakan untuk menghitung nilai pasteurisasi. Nilai pasteurisasi dihitung dengan menggunakan persamaan 3 berikut. Pv = P 85 (z=7.2) = t 0 T 85 7.2 10 dt (3) dimana, T merupakan suhu produk baik selama pemanasan atau pendinginan, T ref merupakan suhu referensi suhu pasteurisasi sebesar 85 o C, nilai z sebesar 7.2 o C, dan t merupakan waktu pemanasan atau pendinginan. Nilai pasteurisasi yang digunakan untuk tahap evaluasi selama penyimpanan adalah nilai pasteurisasi yang menjamin keamanan pangan (food safety), dimana tempe memiliki nilai pasteurisasi lebih dari 6D 85. Tempe segar, tempe yang dikemas vakum dalam HDPE tanpa pasteurisasi, dan tempe yang dikemas vakum dalam aluminium foil tanpa pasteurisasi digunakan sebagai kontrol.

18 3.3.2 Evaluasi Mutu Sifat Fisik Tempe Selama Penyimpanan Tahap evaluasi mutu tempe selama penyimpanan dilakukan dengan cara menyimpan tempe yang dikemas dalam HDPE dan aluminium foil vakum pada suhu 5, 15, dan 20 o C. Penyimpanan dilakukan sampai tempe menunjukkan kerusakan. Selama waktu penyimpanan, konstanta laju perubahan mutu (k) dihitung. Nilai k dihitung dengan cara membuat grafik dari data perubahan mutu suatu parameter, kemudian dari grafik tersebut akan diperoleh suatu persamaan regresi selama penyimpanan, dimana nilai kemiringan (slope) dari tiap garis masing-masing suhu penyimpanan akan diplotkan pada grafik hubungan nilai ln k dengan 1/T. Selanjutnya dari grafik tersebut akan diperoleh kembali suatu persamaan regresi linier untuk mendapatkan nilai E a. (Kusnandar et al. 2006). ln k Ea / RT ln ko. e (4) dimana, ko merupakan konstanta laju absolut, k merupakan konstanta laju perubahan pada suhu T, E a merupakan energi aktivasi (kkal/mol), R merupakan konstanta gas ideal (1.986 kal/mol), dan T merupakan suhu absolut ( o K). Parameter mutu yang diamati meliputi ph, tekstur, daya iris, dan, dan warna. 3.4 Pengamatan 3.4.1 Analisis ph (AOAC, 2005) ph meter yang akan digunakan distabilkan terlebih dahulu selama 15-30 menit kemudian dikalibrasi dengan menggunakan larutan buffer pada ph 4 dan 7. Elektroda dibilas dengan akuades dan dikeringkan dengan kertas pengering. Contoh yang telah dihaluskan ditambah dengan air destilata (1:5). Elektroda ph meter kemudian dicelupkan ke dalam sampel dan dibiarkan hingga menunjukkan suatu angka (stabil). Nilai ph diukur sebanyak 2 kali. 3.4.2 Analisis Tekstur (AOAC, 2005) Pengukuran tekstur tempe dilakukan dengan alat penetrometer. Sampel dengan ukuran 2x2x2 cm diletakkan pada dasar alat dan jarum ditempatkan pada

19 bagian permukaan sampel. Selanjutnya tombol run ditekan dan dicatat kedalaman penetrasi dari jarum penetrometer dalam satuan mm per satuan waktu penetrasi. Dalam penelitian ini digunakan waktu 5.0 detik untuk setiap penetrasi. 3.4.3 Analisis Daya Iris Kualitas irisan tempe hasil pasteurisasi dibandingkan terhadap tempe segar secara kualitatif maupun kuantitatif. Secara kualitatif hasil irisan tempe dibandingkan terhadap tempe segar dengan mengamati kemudahan pengirisan dan keutuhan kedelainya. Secara kuantitatif kemudahan pengirisan diukur dengan menggunakan Texture Analyzer untuk mengukur gaya pengirisan yang diperlukan. Sebelum pengujian terlebih dahulu dilakukan kalibrasi alat. Jenis probe yang digunakan adalah Warner-Bratzler Blade yang digunakan untuk mengiris. Kalibrasi alat yang dilakukan meliputi penentuan kecepatan penurunan pisau 1.5 mm/detik dan distance penekanan yang sesuai yaitu 30 mm dari permukaan sampel. Sampel yang memiliki ukuran dimensi yang seragam (2x2x2 cm) diletakkan pada piringan. Probe diaktifkan dengan menekan TA quick run as test atau menekan tombol Ctrl dan Q pada komputer. Hasil pengukuran daya iris akan terekam dalam bentuk kurva. Daya iris dihitung berdasarkan gaya maksimum per jarak irisnya. 3.4.4 Analisis Intensitas Warna (AOAC, 2005) Pengujian sifat fisik warna dilakukan dengan menggunakan alat Minolta Chromameters CR310. Setelah alat dihidupkan, dilakukan pengaturan indeks data dengan cara menekan tombol Calibrate sesuai data warna standar, lalu dilanjutkan dengan menekan tombol Measure untuk mengaktifkan perintah pengukuran warna. Pengukuran warna dilanjutkan dengan cara mendekatkan kamera pengukur warna pada sampel dan dilanjutkan dengan menekan tombol Measure atau Target Color Set untuk diperoleh nilai L, a, dan b.

20 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Nilai Pasteurisasi Tempe Nilai pasteurisasi (Pv) adalah waktu yang dibutuhkan untuk membunuh mikroba target hingga mencapai level tertentu pada suhu pemanasan tertentu. Penentuan nilai pasteurisasi bertujuan untuk mengetahui apakah jumlah panas yang diberikan pada suatu produk dapat membunuh atau mengurangi jumlah mikroba. Selain itu, tujuan lain dari penentuan nilai pasteurisasi yaitu untuk menetapkan seberapa besar tingkat resiko keamanan pangan dapat diterima. Penentuan nilai pasteurisasi dilakukan pada berbagai kombinasi suhu dan waktu pemanasan dan pendinginan. Untuk menghitung nilai pasteurisasi, perlu diketahui profil pindah panas dari medium pemanas ke dalam bahan selama proses pasteurisasi. Profil pindah panas dihitung dengan melakukan pengukuran penetrasi panas mulai dari tahap pemanasan, holding, hingga pendinginan (Kusnandar et al. 2006). Pengukuran penetrasi panas dilakukan pada suhu medium 70 hingga 95 o C dengan waktu pemanasan hingga 40 menit kemudian dilanjutkan dengan proses pendinginan hingga suhu produk mencapai suhu 2 o C. Cara mengetahui suhu produk sudah mencapai suhu medium pemanas dan suhu pendinginan adalah dengan membaca data rekaman termokopel yang tersaji pada display. Gambar 3 Profil data penetrasi panas pada pusat geometris tempe (7x7x3 cm) yang dikemas vakum dalam HDPE dan alumunium foil selama pemanasan dan pendinginan pada suhu medium pemanas 95 o C.

21 Gambar 3 menunjukkan pola kenaikan dan penurunan suhu pusat geometris tempe yang dikemas vakum dalam HDPE dan alumunium foil selama proses pasteurisasi. Peningkatan dan penurunan suhu produk terjadi karena pindah panas antara medium pemanas atau pendingin dan tempe berlangsung secara unsteady state. Kondisi ini menyebabkan suhu di dalam produk mengalami perubahan suhu seiring dengan adanya perubahan waktu. Suhu dari produk akan terus berubah selama pemanasan dan pendinginan hingga tercapai kondisi kesetimbangan (Kusnandar et al. 2006). Pola yang sama terjadi pula pada suhu pemanasan 70, 75, 80, 85, dan 90 o C (Lampiran 2a 3e). Lebih lanjut, kondisi vakum membuat panas yang berpenetrasi ke dalam produk selama pasteurisasi menjadi lebih baik. Hal ini dikarenakan kontak antara produk dengan permukaan kemasan lebih efektif, sehingga pindah panas menjadi lebih baik dan mengakibatkan nilai pasteurisasi menjadi tinggi. Profil data penetrasi panas yang diperoleh kemudian diolah untuk menentukan nilai pasteurisasi. Nilai pasteurisasi dihitung berdasarkan total panas yang diterima produk selama proses pemanasan dan pendinginan. Gambar 4 Korelasi antara waktu pemanasan dan pendinginan terhadap nilai pasteurisasi tempe yang dikemas vakum dalam HDPE dan alumunium foil pada suhu medium pemanas 95 o C. Dari berbagai kombinasi perlakuan diperoleh nilai pasteurisasi sebesar 0 hingga 378 menit. Nilai pasteurisasi pada suhu medium pemanas 95 o C pada

22 tempe yang dikemas vakum dalam HDPE lebih tinggi dibandingkan tempe yang dikemas vakum dalam alumunium foil pada waktu yang sama. Selama pasteurisasi 52 menit, nilai pasteurisasi untuk tempe yang dikemas vakum dalam HDPE mencapai 378 menit sedangkan tempe yang dikemas vakum dalam alumunium foil mencapai 320 menit (Gambar 4). Pola yang sama terjadi pula pada suhu pemanasan 70, 75, 80, 85, dan 90 o C (Lampiran 4c-5e). Perbedaan nilai pasteurisasi pada kedua kemasan disebabkan karena perbedaan ketebalan kemasan. Alumunium foil memiliki ketebalan 8 µm sedangkan HDPE memiliki ketebalan 4 µm. Kemasan yang lebih tebal menurunkan kecepatan penetrasi panas ke dalam produk. Kusnandar et al. (2006) menyatakan bahwa proses transfer panas akan lebih cepat pada kemasan yang lebih tipis dibandingkan pada kemasan yang lebih tebal. Karena salah satu tujuan penentuan nilai pasteurisasi adalah menetapkan tingkat resiko keamanan pangan, maka standar reduksi mikroba target dari proses pasteurisasi yaitu 6D. Goodburn (2005); Méndez dan Abuín (2006) melaporkan bahwa target reduksi untuk Clostridium botulinum tipe nonproteolitik yaitu sebesar 6D. Apabila perhitungan nilai pasteurisasi masih lebih rendah dari 6D 85 yaitu sebesar 1.69 menit maka proses pasteurisasi tersebut masih belum mencukupi. Akibat dari belum mencukupinya nilai pasteurisasi yaitu mikroba masih mempunyai peluang untuk tumbuh dan berkembang di dalam kemasan. Nilai pasteurisasi sebesar 1.69 menit menunjukkan bahwa standar waktu minimal yang dibutuhkan untuk membunuh mikroba target (Clostridium botulinum tipe nonproteolitik) pada suhu 85 o C yaitu 1.69 menit. Berdasarkan standar reduksi tersebut, waktu pemanasan yang memberikan nilai pasteurisasi lebih dari 6D 85 pada suhu 80, 85, 90, dan 95 o C secara berturutturut yaitu waktu pemanasan yang dimulai pada menit ke-37, menit ke-21, menit ke-26, dan menit ke-23 untuk tempe yang dikemas vakum dalam alumunium foil (Lampiran 4c-4f). Sedangkan untuk tempe yang dikemas vakum dalam HDPE, nilai pasteurisasi setara 6D 85 diperoleh pada pemanasan suhu 80, 85, 90, dan 95 o C secara berturut-turut dimulai pada menit ke-34, menit ke-22, menit ke-17, dan menit ke-16 (Lampiran 5c-5f). Perlakuan yang memiliki nilai pasteurisasi lebih

23 dari 6D85, kemudian disimpan pada tiga suhu penyimpanan yang berbeda dan dievalusi sifat fisiknya selama penyimpanan. 4.2 Korelasi Antara Keawetan Tempe dan Pasteurisasi Umur simpan produk pangan adalah waktu antara saat produksi dan pengemasan, sampai dengan produk tersebut tidak dapat lagi diterima oleh konsumen pada kondisi penyimpanan tertentu (Ellis dan Man 2000). Umur simpan dapat didefinisikan pula sebagai keawetan produk pangan. Keawetan tempe ditentukan secara visual berhubungan dengan kelayakan tempe secara organoleptik untuk dikonsumsi. Tingkat keawetan tempe dinilai berdasarkan kriteria kritis tertentu yang menyebabkan tempe tidak layak untuk dikonsumsi. Berdasarkan pengamatan visual, tempe yang tidak layak konsumsi mempunyai parameter objektif tersaji pada Gambar 5 dan kriteria kritis tempe yang tidak layak untuk dikonsumsi tersaji pada Tabel 5. Gambar 5 dan Tabel 5 menunjukkan beberapa kriteria kritis untuk tempe yang tidak layak untuk dikonsumsi. Tempe yang tidak layak konsumsi secara organoleptik mempunyai karakteristik bau amonia yang menyengat, tekstur yang lunak, warna coklat kehitaman, dan berlendir. lendir a b c d Gambar 5 Kondisi tempe yang menunjukkan kerusakan. Penggelembungan kemasan pada tempe yang dikemas dalam HDPE vakum (a), penggelembungan kemasan pada tempe yang dikemas dalam aluminium foil vakum (b), penampakan tempe yang sudah menimbulkan bau asam, berlendir, dan tektur yang lembek (c), dan penampakan tempe yang sudah menimbulkan warna coklat kehitaman (d)