BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Panjang Tongkol Berkelobot Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan umur panen memberikan pengaruh yang nyata terhadap panjang tongkol berkelobot. Berikut ini ditampilkan tentang sidik ragam dengan BNT 5% pada panjang tongkol berkelobot. Tabel 4. Rata-rata Panjang Tongkol Berkelobot Berdasarkan Pengaruh Waktu Panen Terhadap Kandungan Gula. Perlakuan Waktu Panen Panjang tongkol berkelobot (cm) 60 hari setelah tanam 36.56 b 65 hari setelah tanam 36.40 b 70 hari setelah tanam 35.90 ab 75 hari setelah tanam 36.87 b 80 hari setelah tanam 33.63 a BNT 5% 2.403 Keterangan : angka angka yanga diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada uji BNT 5% Berdasarkan Tabel 4 diatas, menunjukkan hasil rata-rata panjang tongkol berkelobot jagung manis yang dipanen berbeda-beda. Pada perlakuan waktu panen, hasil panjang tongkol berkelobot yang terpanjang terdapat pada perlakuan umur panen 75 HST yaitu 36.87 cm, kemudian itu diikuti umur panen 60 hari sebesar 36.56 cm dan umur panen 65 HST sebesar 36.40 cm. Hal ini diduga karena pertumbuhan terutama pada bagian, umur panen yang di anjurkan adalah pada umur 70 hari sesuai dengan deskripsi Varietas (East Weast Seed Thailand). Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Nurhayati (2002) bahwa panjang tongkol yang maksimal diperoleh pada umur 75 hari. Tongkol yang dipanen kurang dari 75 hari yaitu 60 HST, 65 HST, 70 HST memiliki panjang tongkol lebih pendek, hal ini disebabkan karena varietas yang berbeda, teknik budidaya yang berbeda, dan perlakuan yang berbeda pula. Dengan demikian penundaan waktu panen mampu meningkatkan hasil panjang tongkol berkelobot.
Hasil pengamatan menunjukkan adanya hubungan panjang tongkol berkelobot terhadap kandungan gula jagung manis. Tabel 5. Rata-rata korelasi panjang tongkol berkelobot terhadap kandungan gula Perlakuan Berdasarkan Tabel 5 diatas menunjukkan adanya korelasi yang kuat antara panjang tongkol berkelobot terhadap kandungan gula jagung manis. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa 80 HST Nilai Korelasi 60 HST - 0.30553 65 HST - 0.07131 70 HST - 0.39836 75 HST - 0.02124 80 HST - 0.63209 memiliki hubungan yang kuat antara panjang tongkol berkelobot terhadap kandungan gula jagung manis sebesar -0,63209, dikuti 70 HST sebesar -0,39836, 60 HST sebesar -0,305533, 65 HST sebesar -0,07131 dan 80 HST -0.02124. Angka korelasi menunjukkan nilai negatif artinya hubungan yang terjadi berlawanan arah. Bermakna semakin panjang tongkol berkelobot maka kandungan gula jagung manis menurun. 4.2 Panjang Tongkol Tanpa Berkelobot Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan umur panen memberikan pengaruh yang nyata terhadap panjang tongkol tanpa kelobot. Berikut ini ditampilkan tentang sidik ragam dengan BNT 5% pada panjang tongkol tanpa berkelobot. Tabel 6. Rata-rata Panjang Tongkol Tanpa Kelobot Berdasarkan Pengaruh Waktu Panen Terhadap Kandungan Gula. Perlakuan Panjang tongkol tanpa Kelobot (cm) 60 hari setelah tanam 19.16 a 65 hari setelah tanam 21.80 c 70 hari setelah tanam 22.03 d 75 hari setelah tanam 21.22 bc 80 hari setelah tanam 21.15 b BNT 5% 0.631 Keterangan : angka angka yanga diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada uji BNT 5%
Berdasarkan Tabel 6 diatas, menunjukkan hasil rata-rata panjang tongkol tanpa berkelobot jagung manis yang dipanen berbeda-beda. Pada perlakuan waktu panen, hasil panjang tongkol tanpa berkelobot yang terpanjang terdapat pada perlakuan umur panen 70 HST yaitu 22.03 cm, kemudian itu diikuti umur panen 65 HST sebesar 21.80 cm, 75 HST sebesar 21.22 cm, umur panen 80 HST sebesar 21.15 cm, dan 60 HST 19.16 cm. Hal ini diduga karena peningkatan aktivitas fotosintesis dapat meningkatkan fotosintat yang terbentuk, kemudian transfer kebiji sebagai cadangan makanan. Sehingga makin besar cadangan makanan yang terbentuk dalam biji, semakin besar ukuran biji. Hal tersebut secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap ukuran panjang tongkol. Peningkatan panjang berarti terjadi pula peningkatan jumlah biji yang terdapat pada tongkol. Sebagai akibatnya terjadi peningkatan berat tongkol yang seimbang dengan peningkatan ukuran tongkol dan jumlah biji. Semakin besar ukuran tongkol dan banyaknya biji secara langsung berpengaruh terhadap peningkatan berat tongkol, hal ini didukung oleh Lingga (2004) dimana hasil fotosintesis pada tanaman mulamula digunakan untuk pertumbuhan kemudian untuk pembentukan organ generatif dan pembentukan biji. Protein yang dibentuk pada akhirnya disimpan dalam biji sebagai lanjutan proses fotosintesis yang semula dipakai untuk menyusun pertumbuhan vegetatif. Setelah pertumbuhan vegetatif berhenti, maka dipindahkan menjadi penimbunan protein didalam biji sebagai cadangan makanan Hasil pengamatan menunjukkan adanya hubungan panjang tongkol tanpa kelobot terhadap kandungan gula jagung manis. Tabel 7.Rata-rata korelasi panjang tongkol tanpa kelobot terhadap kandungan gula Perlakuan Nilai Korelasi 60 HST - 0.3964 65 HST - 0.4026 70 HST - 0.5176 75 HST - 0.4806 80 HST - 0.4060 Berdasarkan Tabel 7 diatas menunjukkan adanya korelasi yang sedang antara panjang tongkol tanpa kelobot terhadap kandungan gula jagung manis. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa 70 HST memiliki hubungan yang sedang
antara panjang tongkol tanpa kelobot terhadap kandungan gula jagung manis sebesar -0,5176, dikuti 75 HST sebesar -0,4806, 65 HST sebesar -0,40264, 60 HST sebesar -0,3964 dan 80 HST -0.40603. Angka korelasi menunjukkan nilai negatif artinya hubungan yang terjadi berlawanan arah. 4.2 Berat Tongkol Berkelobot Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan umur panen memberikan pengaruh yang nyata terhadap berat tongkol berkelobot. Berikut ini ditampilkan tentang sidik ragam dengan BNT 5% pada berat tongkol berkelobot. Tabel 8. Rata-rata Berat Tongkol Berkelobot Berdasarkan Pengaruh Waktu Panen Terhadap Kandungan Gula. Perlakuan Berat tongkol berkelobot (cm) BNT 5% 60 hari setelah tanam 369.88 ab 65 hari setelah tanam 425.32 b 70 hari setelah tanam 452.60 c 73.129 75 hari setelah tanam 435.00 bc 80 hari setelah tanam 350.64 a Keterangan : angka angka yanga diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada uji BNT 5% Berdasarkan Tabel 8 diatas, menunjukkan pada perlakuan waktu panen, hasil berat tongkol berkelobot tertinggi terdapat pada perlakuan umur panen 70 HST yaitu 452.60 g, kemudian berturut-turut di ikuti umur panen 75 HST sebesar 435.00 g, umur panen 65 HST sebesar 425.32 g, umur panen 60 HST sebesar 369.88 g, dan umur panen 80 HST sebesar 350.64 g. Berat tongkol berkelobot ditentukan oleh panjang tongkol, semakin besar panjang tongkol akan mempengaruhi berat tongkol berkelobot yang dihasilkan. Peningkatan berat tongkol berhubungan erat dengan besar fotosintat yang dialirkan kebagian tongkol. Apabila transport fotosintat kebagian tongkol tinggi maka akan semakin besar tongkol yang dihasilkan. Menurut Budyati I (1996) hasil tanaman jagung ditentukan oleh fotosintesis yang terjadi setelah pembuangaan. Pada jagung manis yang dipetik adalah dalam bentuk tongkol kotor yaitu tongkol beserta kelobotnya, sehingga dalam hal ini berperanan menentukan hasil tanaman adalah besearya fotosintat yang terdapat pada daun dan batang. Artinya jika transport fotosintat dari kedua
organ ini dapat ditingkatkan selama fase pengisian biji maka hasil tanaman yang berupa biji dapat ditingkatkan. Hasil pengamatan menunjukkan adanya hubungan berat tongkol berkelobot terhadap kandungan gula jagung manis. Tabel 9. Rata-rata korelasi Berat Tongkol Berkelobot terhadap kandungan gula Perlakuan Nilai Korelasi 60 HST - 0.08535 65HST - 0.18408 70 HST - 0.34578 75 HST - 0.14508 80 HST - 0.70788 Berdasarkan Tabel 9 diatas menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara berat tongkol berkelobot terhadap kandungan gula jagung manis. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa 80 HST memiliki hubungan yang kuat antara berat tongkol berkelobot dengan kandungan gula jagung manis sebesar -0.70788, diikuti 70 HST sebesar -0.34578, 65 HST sebesar -0.18408, 75 HST sebesar - 0,14508, dan 60 HST sebesar -0.08535. Angka korelasi menunjukkan nilai negatif artinya hubungan yang terjadi berlawanan arah. Bermakna semakin panjang tongkol tanpa kelobot maka kandungan gula jagung manis menurun. 4.2 Berat Tongkol Tanpa Kelobot Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan umur panen memberikan pengaruh yang nyata terhadap berat tongkol tanpa kelobot. Berikut ini ditampilkan tentang sidik ragam dengan BNT 5% pada berat tongkol tanpa kelobot. Tabel 10. Rata-rata Berat Tongkol Tanpa Berkelobot Berdasarkan Pengaruh Waktu Panen Terhadap Kandungan Gula.
Perlakuan Berat tongkol tanpa berkelobot(gram) BNT 5% 60 hari setelah tanam 203.80 a 65 hari setelah tanam 272.84 bc 70 hari setelah tanam 324.32 d 49.620 75 hari setelah tanam 314.84 cd 80 hari setelah tanam 264.32 b Keterangan : angka angka yanga diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada uji BNT 5% Berdasarkan Tabel 10 diatas, menunjukkan pada perlakuan waktu panen, hasil berat tongkol tanpa kelobot tertinggi terdapat pada perlakuan umur panen 70 HST yaitu 324.32 g, kemudian di ikuti umur panen 75 hari sebesar 314.84 g, dan umur panen 80 HST sebesar 264.32 g. Berat tongkol tanpa kelobot antara umur 60 sampai 70 hari terlihat peningkatan berat bahan kering yang tinggi sekali, di mana peningkatanya hingga mencapai 324.32 g. Diduga pada saat inilah terjadi penimbunan bahan kering dari daerah sumber ke daerah lumbung yang paling efektif dan selanjutnya peningkatan bahan kering diumur panen 65 hari sampai 70 hari akan terus menurun seiring dengan bertambahnya umur panen. Hal ini mungkin disebabkan karena bahan kering sudah menipis persediaannya didaerah sumber. Peningkatan berat tongkol ada kaitannya dengan lamanya waktu panen. Semakin lama waktu panen maka semakin banyak waktu yang digunakan oleh tongkol untuk menghimpun bahan kering yang ada dibagian sumber dan dipindahkan ke tongkol. Hasil asimilat yang digunakan untuk pengisian biji diperoleh dari tiga sumber utama yaitu fotosintesis daun saat sekarang, fotosintesis bagian lain yang bukan daun saat sekarang, dan remobilisasi hasil asimilasi yang disimpan dalam organ tanaman yang lain (Surtinah, 2008) Hasil pengamatan menunjukkan adanya hubungan berat tongkol tanpa kelobot terhadap kandungan gula jagung manis. Tabel 11. Rata-rata korelasi Berat tongkol tanpa kelobot terhadap kandungan gula Perlakuan Nilai Korelasi 60 HST - 0.18964 65HST - 0.16886 70 HST - 0.23743 75 HST - 0.03612 80 HST - 0.16911
Berdasarkan Tabel 11 diatas menunjukkan adanya hubungan yang rendah antara berat tongkol tanpa kelobot terhadap kandungan gula jagung manis. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa 70 HST memiliki hubungan yang rendah antara berat tongkol tanpa kelobot dengan kandungan gula jagung manis sebesar - 0.23743, diikuti 60 HST sebesar -0.18964, 80 HST sebesar -0.16911, 65 HST sebesar -0,16886, dan 75 HST sebesar -0.03612. Angka korelasi menunjukkan nilai negatif artinya hubungan yang terjadi berlawanan arah. Bermakna semakin berat tongkol tanpa kelobot maka kandungan gula jagung manis menurun. 4.3 Kandungan Gula Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan umur panen memberikan pengaruh yang nyata terhadap kandungan gula. Berikut ini ditampilkan Tabel 7 tentang sidik ragam dengan BNT 5% pada kandungan gula. Tabel 12. Rata-rata Kandungan Gula Berdasarkan Pengaruh Waktu Panen Terhadap Kandungan Gula. Perlakuan Kandungan Gula (brix) BNT 5% 60 hari setelah tanam 8.58 a 65 hari setelah tanam 16.30 e 70 hari setelah tanam 15.54 d 0.354 75 hari setelah tanam 12.20 c 80 hari setelah tanam 10.52 b Keterangan : angka angka yanga diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama men unjukan tidak berbeda nyata pada uji BNT 5%. Kurva pada Gambar 1 dibawah ini memperlihatkan kandungan gula biji jagung manis yang dipanen pada umur 60 hari sampai 80 hari.
Kandungan Gula 18.00 17.00 16.00 15.00 14.00 13.00 12.00 11.00 10.00 9.00 8.00 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 Y = -0.061x2 + 8.547x - 283.3 r² = 0.759 Waktu Panen Gambar 1. Pengaruh Waktu Panen Terhadap Kandungan Gula Berdasarkan uji BNT 5% pada Perlakuan 65 hari setelah tanam menghasilkan nilai tertinggi pada kandungan gula sebesar 16,30 brix, dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Garis regresi mengikuti persamaan garis y = -0.061x2 + 8.547x - 283.3 r² = 0.759 hal ini memperlihatkan bahwa waktu panen dapat menjelaskan peningkatan kandungan gula jagung manis sebesar 75,9 % yang berarti waktu panen ada kaitannya dengan kandungan gula jagung manis. Kandungan gula tertinggi diperoleh pada umur panen 65 hari sebesar 16.30 brix dan kandungan gula terendah pada umur 60 hari sebesar 8.58 brix. Berdasarkan uji BNT 5% pada Perlakuan 65 hari setelah tanam menghasilkan nilai tertinggi pada kandungan gula sebesar 16,30 brix, dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Gambar grafik diatas memperlihatkan terjadi penurunan kandungan gula biji jagung manis bila dipanen semakin lama, namun hasil grafik memperlihatkan bahwa waktu panen yang terbaik adalah pada umur 65 HST. Hal ini diduga hasil fotosintesis yang berlangsung terakumulasi kedalam biji dalam jumlah yang cukup, dan pada panen 65 HST merupakan batas waktu yang menjadi patokan panen, lewat dari waktu tersebut maka kandungan gula menurun, karena akan terjadi perubahan gula menjadi tepung.
Pada umur panen muda kurang dari 65 HST menghasilkan kandungan gula yang rendah demikian pula pada umur panen lebih dari 65 HST. Pada umur panen muda diduga jagung manis belum mencapai tingkat umur kemasakan yang optimum (tingkat pra susu). Pada umur panen ini masih terjadi proses inisiasi biji pada peristiwa penyerbukan. Penyerbukan jagung manis terjadi pada umur ±52 HST. Pada umur panen lebih 65 HST diduga bahwa jagung manis sudah melewati tingkat kemasakan fisiologis dimana biji sudah menunjukkan gejala keriput dan sudah terjadi akumulasi pati sehingga sulit untuk dirombak menjadi senyawa lain terutama sukrosa. Nurhayati (2002) melaporkan bahwa waktu panen yang tepat akan mempengaruhi kualitas jagung manis. Faktor iklim yang dapat mempengaruhi rasa yang kurang manis dari biji jagung manis adalah curah hujan yang tinggi pada saat panen, ini dapat menyebabkan rasa biji menjadi kurang manis, karena kandungan air biji pada saat masak fisiologis menjadi lebih tinggi. Hal ini ada hubungannya dengan proses asimilasi pada tanaman,pada kondisi yang kurang menguntungkan seperti itu, maka proses fotosintesis juga akan terganggu, karena intensitas cahaya yang dibutuhkan untuk fotolisis akan berkurang, sehingga asimilat yang dihasilkan juga berkurang. Kandungan gula jagung manis akan sangat menentukan kualitasnya. Kualitas hasil diukur dalam bentuk kandungan gula yang terdiri dari sukrosa dan gula reduksi (glukosa dan fruktosa). Semakin tinggi kandungan gula maka kualitasnya semakin baik. Sebagaimana yang dinyatakan Palungkun dan Asiani (2004), kurang lebih 48 jam setelah panen sukrosa dalam biji jagung akan berubah perlahan-lahan menjadi dekstrin yang tidak manis. Rasa yang semakin tidak manis ini disebabkan oleh semakin banyak terjadinya transformasi gula menjadi pati. Panen dilakukan lebih 70 HST menjadikan rasa jagung manis semakin tawar, karena pada saat ini kandungan gula sudah mencapai maksimal, kemudian menurun secara perlahan dan pada waktu yang bersamaan kandungan pati meningkat.
Pada umur panen 80 HST kandungan gula jagung manis turun sampai 10.52, hal ini disebabkan karena pada saat ini terjadi perubahan gula menjadi tepung, sehingga mengurangi rasa manis dari biji jagung. Dan pada umur panen 80 hari serat biji jagung manis lebih kasar dan semakin tua dan menurut Pratiwi (1986) menemukan bahwa presentase gula pada biji berubah konstan selama perkembangan dan pematangan biji. Gula total bertambah dengan cepat sejak silking dan kemudian menurun hingga masak. Sukrosa bertambah dengan cepat hingga 15 hari sesudah silking kemudian menurun secara perlahan. Sesudah panen sebagian gula diubah menjadi pati dan sebagian akan hilang disebabkan oleh respirasi yang menghasilkan CO 2, air dan energy, perombakan gula menjadi pati sangat menurunkan kualitas jagung manis.