BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mendidih untuk melarutkan gula. Proses ini juga yang membuat kulit kismis

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Saus cabai atau yang biasa juga disebut saus sambal adalah saus yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lawan kata dari minuman keras. Minuman ini banyak disukai karena rasanya yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Jeli adalah bentuk makanan semi padat yang penampakannya jernih,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. populer di kalangan masyarakat. Berdasarkan (SNI ), saus sambal

I. PENDAHULUAN. Bubur buah (puree) mangga adalah bahan setengah jadi yang digunakan sebagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bahan Tambahan Makanan (BTM) atau food additives adalah senyawa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bakso adalah jenis makanan yang dibuat dari bahan pokok daging dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Jurnal Farmasi Malahayati Volume 1 No.1 Januari

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Makanan merupakan komponen penting bagi kehidupan manusia, karena

BAB 1. Di Indonesia, sebagian besar masyarakatnya mempunyai tingkat pendidikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut USP (2007), sifat fisikokimia cefadroxil adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. sebanyak 22%, industri horeka (hotel, restoran dan katering) 27%, dan UKM

PENGAWETAN PANGAN. Oleh: Puji Lestari, S.TP Widyaiswara Pertama

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 722/MENKES/PER/IX/88 TENTANG BAHAN TAMBAHAN MAKANAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Buah naga (Hylocereus polyrhizus) merupakan buah yang saat ini cukup populer

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Minuman ringan adalah minuman yang tidak mengandung alkohol,

Assalamu alaikum Wr. Wb. BAHAN TAMBAHAN PANGAN (BTP) Disusun oleh : Devi Diyas Sari ( )

BAB I PENDAHULUAN. harus aman dalam arti tidak mengandung mikroorganisme dan bahan-bahan kimia

PENETAPAN NATRIUM BENZOAT Laporan Praktikum Kimia Pangan

LAPORAN PRAKTIKUM HPLC : ANALISA TABLET VITAMIN C

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN PENGOLAHAN SECARA PENGERINGAN FAKTOR-FAKTOR PENGERINGAN PERLAKUAN SEBELUM DAN SETELAH PENGERINGAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mengkompromikan daya pisah kromatografi, beban cuplikan, dan waktu analisis

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Lampiran 1. A. Karakteristik Responden 1. Nama Responden : 2. Usia : 3. Pendidikan :

II. TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 722/MENKES/PER/IX/88 TENTANG BAHAN TAMBAHAN MAKANAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan merupakan salah satu hasil kekayaan alam yang banyak digemari oleh masyarakat Indonesia untuk dijadikan

TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL TANAMAN PANGAN

BAB III METODE PENELITIAN. Pada penelitian ini digunakan berbagai jenis alat antara lain berbagai

Alasan Penggunaan BTM : (Food Food Protection Committee in Publication) BAB 4 BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengawetan Bahan Nabati dan Hewani. 1. Pengertian Pengawetan Bahan Nabati dan Hewani

722/Menkes/Per/IX/88 yaitu tidak lebih dari 600mg/l. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. oksigen, dan karbon (ACC, 2011). Formalin juga dikenal sebagai formaldehyde,

I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Minuman energi adalah minuman ringan non-alkohol yang dirancang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Kuesiner Penelitian PENGETAHUAN, DAN SIKAP PEDAGANG ES KRIM TENTANG PENGGUNAAN PEMANIS BUATAN DI BEBERAPA PASAR KOTA MEDAN TAHUN 2010

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. makhluk hidup, yang berguna bagi kelangsungan hidupnya. Makanan penting

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Menurut WHO, makanan adalah : Food include all substances, whether in a

FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA BAHAN AJAR KIMIA DASAR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN. segar mudah busuk atau rusak karena perubahan komiawi dan kontaminasi

I PENDAHULUAN. hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Kelapa termasuk dalam famili Palmae,

BAB I PENDAHULUAN. dan merata. Maksudnya bahwa dalam pembangunan kesehatan setiap orang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik

TINJAUAN PUSTAKA. Daging ayam juga merupakan bahan pangan kaya akan gizi yang sangat. diperlukan manusia. Daging ayam dalam bentuk segar relatif

HASIL DAN PEMBAHASAN

I PENDAHULUAN. selain sebagai sumber karbohidrat jagung juga merupakan sumber protein yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Susu kedelai adalah salah satu hasil pengolahan yang merupakan hasil ekstraksi dari

AFLATOKSIN dan BAHAN PENGAWET

Pengawetan bahan pangan

BAB I PENDAHULUAN. lodeh, sayur asam, sup, dodol, dan juga manisan. Selain itu juga memiliki tekstur

Kromatografi Gas-Cair (Gas-Liquid Chromatography)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Ditjen. BKAK (2014), sifat fisikokimia pirasetam adalah : Gambar 2.1 Struktur Pirasetam. : 2-Oxopirolidin 1-Asetamida

BAB I PENDAHULUAN. kuning melalui proses fermentasi jamur yaitu Rhizopus oryzae, Rhizopus stolonifer, atau Rhizopus oligosporus. Tempe dikenal sebagai

ANALISIS BAHAN PENGAWET BENZOAT PADA SAOS TOMAT YANG BEREDAR DI WILAYAH KOTA SURABAYA 1

PENETAPAN KADAR BENSORSAK DALAM OKKY JELLY DRINK SECARA KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI (KCKT) KARYA ILMIAH NOVA LESTARI HARAHAP

High Performance Liquid Chromatography (HPLC) Indah Solihah

BAB I PENDAHULUAN. teknologi pangan dan bahan kimia yang dibutuhkan agar mutunya baik.

Bab 21. Bahan Tambahan Makanan (BTM), Keamanan Pangan dan Perlindungan Konsumen

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. zaman dahulu jus buah dijadikan minuman raja-raja untuk menjaga kesehatan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS KADAR METANOL DAN ETANOL DALAM MINUMAN BERALKOHOL MENGGUNAKAN KROMATOGRAFI GAS. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. bahan dalam pembuatan selai adalah buah yang belum cukup matang dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Jelly adalah produk minuman semi padat yang terbuat dari sari buah-buahan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Fase gerak : dapar fosfat ph 3,5 : asetonitril (80:20) : panjang gelombang 195 nm

IDENTIFIKASI DAN PENETAPAN KADAR PENGAWET BENZOAT PADA SAUS TOMAT PRODUKSI LOKAL YANG BEREDAR DI PASARAN KOTA MANADO ABSTRAK

PENDAHULUAN. Buah-buahan tidak selalu dikonsumsi dalam bentuk segar, tetapi sebagian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bahan tambahan pangan adalah bahan yang biasanya tidak digunakan

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN. disukai oleh masyarakat mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, hingga

BAB I PENDAHULUAN. lemak, laktosa, mineral, vitamin, dan enzim-enzim (Djaafar dan Rahayu, 2007).

High Performance Liquid Chromatography (HPLC) Indah Solihah

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I PENDAHULUAN. kesehatan. Nutrisi dalam black mulberry meliputi protein, karbohidrat serta

PENGARUH JENIS KEMASAN DAN LAMA PENYIMPANAN TEHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI, DAN ORGANOLEPTIK PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING. (Laporan Penelitian) Oleh

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KERUSAKAN BAHAN PANGAN TITIS SARI

LKS 01 MENGIDENTIFIKASI ZAT ADITIF DALAM MAKANAN

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Nimas Mayang Sabrina S, STP, MP Lab. Bioindustri, Jur Teknologi Industri Pertanian Universitas Brawijaya

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kismis Kismis adalah buah anggur yang dikeringkan. Kismis memiliki rasa dan aroma yang khas sangat dimakan. Kismis mengandung konsentrat gula yang tinggi. Selama proses dekristalisasi, buah akan direndam dalam sari buah atau air mendidih untuk melarutkan gula. Proses ini juga yang membuat kulit kismis menjadi kasar. Buah kismis digunakan sebagai hiasan kue, campuran coklat ataupun topping pada ice cream atau pengganti permen. Kismis memiliki kandungan zat-zat yang bermanfaat bagi tubuh. Kandungan gizi pada kismis berupa : raisin, air, energi, protein, lemak, abu, karbohidrat, serat, gula, kalsium, zat besi, magnesium, fosfor, potasium, sodium, zinc, tembaga, mangan, selenium, vitamin C, riboflavin, niasin, folat, vitamin K, vitamin E (Putra, 2004). Kultivar anggur yang baik untuk kismis adalah yang berbiji kecil atau tidak berbiji. Tekstur dagingnya lunak dan tidak melekat satu dengan yang lain selama penyimpanan, serta mempunyai aroma yang baik (Arifin, 1999). 2.2 Bahan Tambahan Makanan Pengertian bahan tambahan pangan dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 772/Menkes/per/IX/88 No. 1168/Menkes/Per/X/1999 secara umum adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komponen khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai

gizi, yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan untuk maksud teknologi pada pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan dan penyimpanan (Cahyadi, 2009). Penggunaan bahan tambahan atau zat aditif pada makanan semakin meningkat, terutama setelah adanya penemuan-penemuan termasuk keberhasilan dalam mensintesis bahan kimia baru yang lebih praktis, lebih murah, dan lebih mudah diperoleh. Penambahan bahan tambahan/zat aditif ke dalam makanan bertujuan untuk meningkatkan mutu suatu produk sehingga mampu bersaing di pasaran. Bahan tambahan tersebut diantaranya: pewarna, penyedap rasa dan aroma, antioksidan, pengawet, pemanis, dan pengental (Siaka, 2009). Berbeda dengan racun, bahan tambahan makanan (BTM) atau bahan tambahan pangan (BTP) adalah bahan yang ditambahkan ke dalam makanan untuk mempengaruhi sifat ataupun bentuk makanan. Bahan tambahan makanan itu bisa memiliki nilai gizi, tetapi bisa pula tidak (Yuliarti, 2007). 2.2.1. Jenis Bahan Tambahan Makanan Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 722/Men.Kes/Per/IX/1988, pengelompokan bahan tambahan makanan yang diizinkan pada makanan dapat digolongkan sebagai berikut: (Cahyadi, 2009). a. antioksidan adalah bahan tambahan makanan yang dapat mencegah atau menghambat oksidasi. b. antikempal adalah bahan tambahan makanan yang dapat mencegah mengempalnya makanan yang berupa serbuk.

c. pengatur keasaman adalah bahan tambahan makanan yang dapat mengasamkan, menetralkan, dan mempertahankan derajat keasaman makanan. d. pemanis buatan adalah bahan tambahan makanan yang dapat menyebabkan rasa manis pada makanan, yang tidak atau hampir tidak memiliki nilai gizi. e. pemutih dan pematang tepung adalah bahan tambahan makanan yang dapat mempercepat proses pemutihan dan atau pematang tepung sehingga dapat memperbaiki mutu pemanggangan. f. pengemulsi, pemantap, pengental adalah bahan tambahan makanan yang dapat membantu terbentuknya atau memantapkan sistem dispersi yang homogen pada makanan. g. pengawet adalah bahan tambahan makanan yang dapat mencegah atau menghambat proses fermentasi, pengasaman atau penguraian lain terhadap makanan yang disebabkan oleh mikroorganisme. h. pengeras adalah bahan tambahan makanan yang dapat memperkeras atau mencegah melunaknya makanan. i. pewarna adalah bahan tambahan makanan yang dapat memperbaiki atau memberikan warna pada makanan. j. penyedap rasa dan aroma adalah bahan tambahan makanan yang dapat memberikan, menambah atau mempertegas rasa atau aroma. k. sikuestran adalah bahan tambahan makanan yang dapat mengikat ion logam yang ada dalam makanan. Menurut ketentuan yang ditetapkan, ada beberapa kategori BTM. Pertama, bahan tambahan makanan yang bersifat aman, dengan dosis yang tidak dibatasi,

misalnya pati. Kedua, bahan tambahan makanan yang digunakan dengan dosis tertentu, dan dengan demikian dosis maksimum penggunaannya juga telah ditetapkan. Ketiga, bahan tambahan yang aman dan dalam dosis yang tepat, serta telah mendapatkan izin beredar dari instansi yang berwenang, misalnya zat pewarna yang sudah dilengkapi sertifikat aman (Yuliarti, 2007). 2.2.2 Tujuan Penggunaan Bahan Tambahan Makanan Tujuan penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) adalah untuk meningkatkan atau mempertahankan nilai gizi dan kualitas daya simpan, membuat bahan pangan lebih mudah dihidangkan, serta mempermudah preparasi bahan pangan. Pada umumnya bahan tambahan pangan (BTP) dapat dibagi menjadi dua golongan besar sebagai berikut: a. bahan tambahan pangan yang ditambahkan (BTP) yang ditambahkan dengan sengaja ke dalam makanan, dengan mengetahui komposisi bahan tersebut dan maksud penambahan itu dapat mempertahankan kesegaran, cita rasa dan membantu pengolahan, sebagai contoh pengawet, pewarna dan pengeras. b. bahan tambahan pangan (BTP) yang tidak sengaja ditambahkan, yaitu bahan yang tidak mempunyai fungsi dalam makanan tersebut, terdapat secara tidak sengaja, baik dalam jumlah sedikit atau cukup banyak akibat perlakuan selama proses produksi, pengolahan dan pengemasan. Bahan ini dapat pula merupakan residu atau kontaminan dari bahan yang sengaja ditambahkan untuk tujuan produksi bahan mentah atau penanganannya yang masih terus terbawa ke dalam makanan yang dikonsumsi (Cahyadi, 2009).

Pada intinya penggunaan bahan tambahan makanan yang telah terbukti aman sebenarnya tidak membahayakan kesehatan. Namun demikian, penggunaannya dalam dosis yang terlalu tinggi atau melebihi ambang yang diizinkan akan menimbulkan problem kesehatan (Yuliarti, 2007). 2.3 Pengawet Pada Makanan Bahan pengawet adalah bahan tambahan makanan yang mencegah atau menghambat fermentasi, pengasaman atau peruraian lain terhadap makanan yang disebabkan mikroorganisme (PerMenKes No.772, 1988). Definisi lain bahan pengawet adalah senyawa atau bahan yang mampu menghambat, menahan atau menghentikan, dan memberikan perlindungan bahan makanan dari proses pembusukan. Bahan tambahan pangan ini biasanya ditambahkan ke dalam makanan yang mudah rusak, atau makanan yang disukai sebagai media tumbuhnya bakteri atau jamur, misalnya pada produk daging, buahbuahan dan lain-lain. (Cahyadi, 2009). Pengawet kimia digunakan untuk mengawetkan makanan sehubungan berubahnya cara produksi, pemasaran, serta konsumsi suatu makanan. Rentang waktu ketika makanan diproduksi dan ketika mencapai konsumen kini semakin panjang, sementara konsumen mengharapkan semua makanan tersedia sepanjang tahun dan bebas dari mikroorganisme pembawa penyakit karena berbagai mikroba, dari jamur sampai bakteri, merupakan agen pembusuk yang sering menimbulkan masalah pada keamanan pangan (Yuliarti, 2007). Tanpa bahan tambahan pangan, khususnya bahan pengawet maka bahan pangan yang tersedia di pasar atau di swalayan akan menjadi kurang menarik,

tidak dapat dinikmati secara layak, dan tidak awet. Bahan pengawet yang ditambahkan umumnya sama dengan bahan pengawet pangan yang sebenarnya sudah terdapat dalam bahan pangan, tetapi jumlahnya sangat kecil sehingga kemampuan mengawetkan sangat rendah (Cahyadi, 2009). Penggunaan bahan pengawet yang tidak sesuai aturan akan menimbulkan suatu permasalahan terutama bagi konsumen. Bahan pengawet yang diijinkan hanya bahan yang bersifat menghambat, bukan mematikan organisme-organisme pencemar. Oleh karena itu, penanganan dan pengolahan bahan pangan harus dilakukan secara higinies (Siaka, 2009). 2.3.1 Tujuan Penggunaan Bahan Pengawet Secara umum penambahan bahan pengawet pada pangan bertujuan sebagai berikut: (Cahyadi, 2009). a. menghambat pertumbuhan mikroba pembusuk pada pangan baik yang bersifat patogen maupun tidak patogen. b. memperpanjang umur simpan pangan. c. tidak menurunkan kualitas gizi, warna, cita rasa, dan bau bahan pangan yang diawetkan. d. tidak untuk menyembunyikan keadaan pangan yang berkualitas rendah. e. tidak digunakan untuk menyembunyikan penggunaan bahan yang salah atau yang tidak memenuhi persyaratan. f. tidak digunakan untuk menyembunyikan kerusakan pangan. Penambahan pengawet dimaksudkan untuk menghambat ataupun menghentikan aktivitas mikroorganisme seperti bakteri, kapang dan khamir

sehingga produk makanan dapat disimpan lebih lama. Selain itu, suatu pengawet ditambahkan dengan tujuan untuk lebih meningkatkan cita rasa, memperbaiki warna, tekstur, sebagai bahan penstabil, pencegah lengket maupun memperkaya vitamin serta mineral. Makanan yang menggunakan pengawet yang tepat (menggunakan pengawet makanan yang dinyatakan aman) dengan dosis di bawah ambang batas yang ditentukan tidaklah berbahaya bagi konsumen (Yuliarti, 2007). 2.3.2 Jenis Bahan Pengawet Zat pengawet organik lebih banyak digunakan daripada anorganik karena bahan ini lebih mudah dibuat, baik dalam bentuk asam maupun garamnya Jenis bahan pengawet antara lain asam sorbat, asam propionat, asam benzoat, asam asetat dan epoksida, sedangkan zat pengawet anorganik yang sering dipakai adalah sulfit, hydrogen peroksida, nitrat dan nitrit. Sulfit digunakan dalam bentuk gas SO2, garam Na atau K sulfit, bisulfit, dan metabisulfit. Bentuk efektifnya sebagai pengawet adalah asam sulfit yang terdisosiasi dan terutama terbentuk ph di bawah 3. Molekul sulfit lebih mudah menembus dinding sel mikroba bereaksi dengan asetaldehid membentuk senyawa yang tidak dapat difermentasi oleh enzim mikroba, mereduksi ikatan disulfida enzim, dan bereaksi dengan keton membentuk hidroksisulfonat yang dapat menghambat mekanisme pernapasan (Cahyadi, 2009). Cara lain mengawetkan bahan makanan dengan aman tanpa menggunakan bahan tambahan adalah dengan menggunakan teknologi pengawetan makanan seperti : (Yuliarti, 2007).

a. pendinginan atau pembekuan berbagai jenis bahan makanan yang mudah rusak, diantaranya ikan, daging, sayuran, buah-buahan dan lain sebagainya b. pengeringan dengan tenaga surya maupun listrik c. pengemasan dengan cara pengemasan steril d. teknologi fermentasi e. pengasapan dengan asap tempurung kelapa yang dicairkan f. pengasaman dan pemanasan. 2.3.3 Efek Bahan Pengawet Terhadap Kesehatan Pemakaian bahan pengawet pada satu sisi menguntungkan karena bahan pangan dibebaskan dari kehidupan mikroba, baik yang bersifat patogen penyebab gangguan keracunan atau gangguan kesehatan lainnya maupun mikroba yang nonpatogen penyebab kerusakan bahan pangan. Namun, apabila pemakaian jenis pengawet dan dosisnya tidak diatur maka menimbulkan kerugian bagi konsumen, misalnya keracunan atau terakumulasinya pengawet dalam organ tubuh dan bersifat karsinogenik (Cahyadi, 2009). 2.4 Asam Benzoat Struktur Kimia dan Sifat sifat Asam Benzoat. Gambar 1. Struktur molekul asam benzoat Nama kimia : asam benzoat, benzoic acid, bensol carboxylic, asam

carboxybenzene Rumus empiris : C 7 H 6 O 2 Berat molekul : 122,12 (Ditjen POM, 1995). Asam benzoat berbentuk hablur atau jarum putih, sedikit berbau benzaldehid atau benzoin. Agak mudah menguap pada suhu hangat dan mudah menguap dalam uap air. Sukar larut dalam air, mudah larut dalam etanol dan dalam eter. Asam benzoat merupakan asam lemah yang mengalami disosiasi tergantung pada ph mediumnya. Molekul yang tidak terdisosiasi ini yang mempunyai efektivitas sebagai pengawet (Cahyadi, 2009). Pengawet yang banyak dijual di pasaran dan digunakan untuk mengawetkan berbagai bahan pangan adalah benzoat, umumnya terdapat dalam bentuk natrium benzoat atau kalium benzoat yang bersifat lebih mudah larut. Benzoat digunakan untuk mengawetkan berbagai pangan dan minuman, seperti sari buah, minuman ringan, saus tomat, saus sambal, selai, jeli, manisan, kecap dan lain-lain (Cahyadi, 2009). Bahan ini bekerja sangat efektif pada ph 2,5 4,0 mencegah pertumbuhan khamir dan bakteri. Mekanisme penghambatan mikroba oleh benzoat yaitu mengganggu permeabilitas membran sel, struktur sistem genetik mikroba, dan mengganggu enzim intraseluler (Siaka, 2009). 2.4.2 Toksisitas Asam Benzoat Didalam tubuh, asam benzoat tidak akan mengalami penumpukan sehingga aman untuk dikonsumsi. Di Amerika Serikat, benzoat termasuk senyawa kimia pertama yang diizinkan untuk makanan. Bukti-bukti menunjukkan,

pengawet ini mempunyai toksisitas sangat rendah terhadap hewan maupun manusia. Ini karena hewan dan manusia mempunyai mekanisme detoksifikasi benzoat yang efisien. Berdasarkan jurnal, benzoate tidak mempunyai efek teratogenik (menyebabkan cacat bawaan) jika dikonsumsi melalui mulut dan tidak mempunyai efek karsinogenik. Meski aman untuk dikonsumsi orang sehat, penderita asma dan orang yang menderita urticaria sangat sensitif terhadap asam benzoat sehingga konsumsi dalam jumlah besar akan mengiritasi lambung. Diduga pula zat ini akan dapat mengakibatkan reaksi alergi dan penyakit syaraf (Yuliarti, 2007). Garam benzoat dalambahan pangan akan terurai menjadi asam benzoat yang tidak terdisosiasi. Bentuk ini mempunyai efek racun pada pemakaian berlebih terhadap konsumen, sehingga pemberian bahan pengawet ini tidak melebihi 0,1% dalam bahan makanan. Apabila tubuh mengkonsumsi bahan pengawet ini secara berlebih, dapat mengganggu kesehatan, terutama menyerang syaraf (Siaka, 2009). 2.5 Penetapan Kadar Benzoat Secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) Untuk eluen metanol buffer posfat (isokratik), sampel cairan langsung dianalisis, sedangkan yang padat dipersiapkan dahulu kemudian dianalisis, dengan cara : a) larutan standar 25 mg asam benzoat murni dilarutkan dalam 25 ml metanol sampai 50 ml dalam labu ukur. Untuk larutan standar kerja (B) dibuat perbandingan 1 : 10. b) langsung dianalisis

Untuk minuman sari buah, seperti sari jeruk, anggur dan minuman lainnya. Di sini tidak perlu di clean up. Dalam hal ini dilakukan penyaringan dengan mikrofilter ukuran 0,45 mikrometer (A). Limit deteksi asam benzoat yang mempunyai koefisien absorpsi paling kecil dan senyawa yang dianalisis jauh di bawah konsentrasi normal yang digunakan dalam pangan. Cara penetapan : Larutan A dan B disuntikkan secara terpisah dan dilakukan analisis dengan kromatografi cair kinerja tinggi dengan kondisi : Kolom : μ- Bondapak C18. Detektor : UV panjang gelombang 235 nm. Fase mobile : Metanol pro HPLC dan buffer yang disaring dengan membrane mikrofilter tipe HVLP 0,45 μm (Buffer posfat : 2,5 gram K 2 HPO 4.3H 2 O pa dan 2,5 gram KH 2 PO 4 dalam air bidestillata), volume penyuntikan : 10 μl 20 μl (Cahyadi, 2009). 2.6 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi Kromatografi merupakan cara pemisahan berdasarkan partisi cuplikan antara fase yang bergerak,dapat berupa gas atau zat cair, dan fase diam,dapat berupa zat cair atau zat padat (Johnson, 1991). Tujuan kromatografi ialah memisahkan komponen cuplikan menjadi pita atau puncak, ketika cuplikan bergerak melalui kolom (Johnson, 1991). Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) atau High Pressure Liquid Chromatography (HPLC) merupakan salah satu metode kimia dan fisikokimia. KCKT termasuk metode analisis terbaru yaitu suatu teknik kromatografi dengan

fasa gerak cairan dan fasa diam cairan atau padat. Banyak kelebihan metode ini jika dibandingkan dengan metode lainnya. Kelebihan itu antara lain: mampu memisahkan molekul-molekul dari suatu campuran mudah melaksanakannya kecepatan analisis dan kepekaan yang tinggi dapat dihindari terjadinya dekomposisi / kerusakan bahan yang dianalisis Resolusi yang baik dapat digunakan bermacam-macam detector Kolom dapat digunakan kembali mudah melakukan "sample recovery" (Putra, 2004). 2.7 Instrumen Kromatografi Cair Kinerja Tinggi 2.7.1 Pompa (Pump) Pompa yang cocok digunakan untuk KCKT adalah pompa yang mempunyai syarat harus inert terhadapa fase gerak (Rohman, 2009). Fase gerak dalam KCKT adalah suatu cairan yang bergerak melalui kolom. Ada dua tipe pompa yang digunakan, yaitu kinerja konstan (constant pressure) dan pemindahan konstan (constant displacement). Pemindahan konstan dapat dibagi menjadi dua, yaitu: pompa reciprocating dan pompa syringe. Pompa reciprocating menghasilkan suatu aliran yang berdenyut teratur (pulsating), oleh karena itu membutuhkan peredam pulsa atau peredam elektronik untuk, menghasilkan garis dasar (base line) detektor yang stabil, bila detektor sensitif terhadapan aliran. Keuntungan utamanya ialah ukuran reservoir tidak terbatas.

Pompa syringe memberikan aliran yang tidak berdenyut, tetapi reservoirnya terbatas (Putra, 2004). 2.7.2 Injektor (injector) Sampel yang akan dimasukkan ke bagian ujung kolom, harus dengan disturbansi yang minimum dari material kolom. Ada dua model umum injector yaitu: a. stopped flow dan b. solvent flowing Tiga tipe dasar injektor yang dapat digunakan : a. stop-flow: Aliran dihentikan, injeksi dilakukan pada kinerja atmosfir, sistem tertutup, dan aliran dilanjutkan lagi. Teknik ini bisa digunakan karena difusi di dalam cairan kecil clan resolusi tidak dipengaruhi b. septum: Septum yang digunakan pada KCKT sama dengan yang digunakan pada Kromtografi Gas. Injektor ini dapat digunakan pada kinerja sampai 60-70 atmosfir. Tetapi septum ini tidak tahan dengan semua pelarut-pelarut Kromatografi Cair. Partikel kecil dari septum yang terkoyak (akibat jarum injektor) dapat menyebabkan penyumbatan. c. loop Valve: Tipe injektor ini umumnya digunakan untuk menginjeksi volume lebih besar dari 10 μ dan dilakukan dengan cara automatis (dengan menggunakan adaptor yang sesuai, volume yang lebih kecil dapat diinjeksifan secara manual). Pada posisi LOAD, sampel diisi kedalam loop pada kinerja atmosfir, bila VALVE difungsikan, maka sampel akan masuk ke dalam kolom (Putra, 2004).

2.7.3 Kolom (Column) Kolom merupakan jantung kromatografi. Keberhasilan atau kegagalan analisis bergantung pada pilihan kolom dan kondisi kerja yang tepat. Kolom dapat dibagi menjadi dua kelompok : a. kolom analitik : Diameter dalam 2-6 mm. Panjang bergantung pada jenis kemasan, Untuk kemasan pelikel biasanya panjang kolom 50-100 cm, untuk kemasan mikropartikel berpori biasanya 10-30 cm; b. kolom preparatif: umumnya memiliki diameter 6 mm atau lebih besar dan panjang kolom 25-100 cm (Johnson, 1991). 2.7.4 Detektor (Detector) Detektor dibutuhkan untuk mendeteksi adanya komponen sampel di dalam kolom (analisis kualitatif) dan menghitung kadamya (analisis kuantitatif) (Johnson, 1991). Detektor mempunyai karakteristik sebagai berikut : (1) mempunyai respon terhadap solut yang cepat dan reprodusibel; (2) mempunyai sensitifitas yang tinggi, yakni mampu mendeteksi solut pada kadar yang sangat kecil; (3) stabil dalam pengoperasiannya; (4) memepunyai sel volume yang kecil sehingga mampu meminimalkan pelebaran pita; (5) signal yang dihasilkan berbanding lurus dengan konsentrasi solut pada kisaran yang luas (kisaran dinamis linier); dan (6) tidak peka terhadap perubahan suhu dan kecepatan alir fase gerak (Rohman, 2009).